Dampak Deforestasi pada Pertumbuhan Ekonomi dan Kesejahteraan

yang subur sampai antara biaya produksi di lahan-lahan yang subur terhadap lahan-lahan marjinal hampir semua lahan-lahan marjinal telah digunakan untuk produksi. Karena harga pangan naik sesuai dengan peningkatan biaya, maka nominal uang dari upah yang dibayarkan kepada para TK sektor industri perlu untuk dinaikkan agar dapat bertahan hidup pada level subsisten. Ketika upah meningkat, keuntungan tidak terus meningkat secara proporsional dengan peningkatan kapital. Jadi ketika demand terhadap pangan terus meningkat sesuai dengan akumulasi kapital dan pertumbuhan lapangan pekerjaan, harga pangan akhirnya akan meningkat sampai pada suatu level dimana tingkat profit akan menjadi begitu rendah sehingga tidak ada insentif untuk melakukan investasi lebih lanjut. Pertumbuhan ekonomi akan berhenti pada titik ini. Hayami 2001 melukiskan Teori Ricardo, menggunakan dua diagram yang dikonstruksi sebagai suatu model dalam perekonomian modern dalam Gambar 6. Diagram bagian kiri menyajikan pasar TK bagi sektor industri modern, dalam ukuran model kesetimbangan parsial Marshallian. Garis DD mewakili kurva demand TK, yang dianggap bersesuaian dengan suatu sekedul produk nilai marjinal dari TK untuk suatu stok kapital yang digunakan. Sementara diagram distrukturkan dalam kerangka pemikiran neoklasik, maka karakteristik dari Teori Ricardo diwakili oleh bentuk suplai tenaga kerja TK. Dengan mengadopsi hukum Malthus, Ricardo menganggap suplai TK yang horisontal pada upah subsisten O dalam jangka panjang, seperti diwakili oleh garis LS. Namun, karena angkatan kerja tetap konstan dalam jangka pendek dan, karena marginal disutility dari TK relatif terhadap utilitas marjinal dan pendapatan dipandang begitu kecil sehingga dapat diabaikan oleh para TK yang hidup pada level yang mendekati subsisten, maka dalam jangka pendek suplai TK bisa dianggap menjadi inelastik terhadap tingkat upah, yang diwakili dengan garis tegak SS. Seperti dapat dilihat pada Gamber 2.6 bahwa awal permitaan demand terhadap tanaga kerja TK bagi sektor industri diberikan sebagai DD sesuai ketika stok kapital yang dimiliki oleh kaum wirausaha-kapitalis adalah K , dan bahwa kesetimbangan jangka panjang pada periode permulaan berada pada titik A dengan jumlah TK yang dipekerjakan adalah OL pada level upah subsisten. Kemudian, total nilai produk dalam sektor industri diwakili oleh luas ADOL dimana luas A OL dibayarkan kepada TK dan luas sisanya AD menjadi keuntungan ataupun return bagi kapital. Upah Harga Pangan P W SS HS D d2 Ŵ’ G d1 Ws E do A B C LS P2 f c D1 D2 Do ko k1 k2 Po=P1 a b WS L No N1 N2 0 L o L 1 L 2 Q 1 Q 2 Tenaga Kerja Ouput Bahan Pangan Gambar 6. Konsepsi Teori Kendala Sumberdaya Sumber: Hayami, 2001 Sebagaimana asumsi yang umum diterima baik oleh kaum ekonom klasik maupun Marxian, bahwa TK mengkonsumsi seluruh upah pendapatannya, dan kaum kapitalis yang makmur selalu mencari peningkatan keuntungan melakukan reinvestasi hampir seluruh keuntungan yang telah didapatkan, sehingga stok kapital meningkat dari K imenjadi K 1 atau K + luas AD . Bersamaan dengan itu produk marjinal bagi TK bergeser ke arah atas, meghasilkan suatu pergeseran ke arah kanan dalam kurva permintaan TK dari DD ke DD 1 dan tingkat upah meningkat di luar O ke OWs. Namun, karena tingkat upah naik di atas tingkat upah riil itu, maka hukum Malthusian mulai beroperasi dengan meningkatnya populasi maupun angkatan kerja. Oleh karena itu, bersama berlalunya waktu, kurva short run labor suplay SS akan bergesar ke arah atas dan menurunkan tingkat upah ke sepanjang kurva permintaan TK yaitu DD 1 pada titik B, dimana level kesetimbangan TK jangka panjang pada OL 1 ditentukan. Jika skala netralitas produksi dan Hukum Say tentang produksi dalam penciptaan demand dianggap sesuai dengan Teori Ricardo, maka produk, kapital, stok dan TK akan meningkat dengan laju yang sama dalam jangka panjang dalam situasi tingkat upah subsisten yang konstan yang dapat diukur dengan satuan produksi. Kemudian pembayaran upah wL dan total profit Y-wL meningkat pada laju yang sama seperti total output Y dan kapital K, sehingga tingkat keuntungan ataupun return kapital [Y-wLK] tetap konstan. Jadi suplai TK horisontal didukung oleh Hukum Malthus tentang populasi mencegah timbulnya insentif berupa keuntungan bagi wirausahawan-kapitalis untuk menginvestasikan terhadap penurunan, dan karena itu jaminan kelanjutan dalam akumulasi kapital maupun output dalam sektor industri moderen. Kendala terhadap pertumbuhan seperti itu dalam sektor moderen adalah DRS dalam produksi pangan yang beroperasi dalam sektor pertanian. Diagram sebelah kanan Gambar 6 menyajikan suatu pasar pangan yang diwakili oleh bijian, dimana sumbu horisontal mengukur output bijian ataupun konsumsi dan sumbu vertikal adalah harga. Garis HS mewakili sekedul suplai bijian yang ditentukan oleh biaya marjinalnya. Sekedul ini arah naik, karena sumberdaya lahan SDL didistribusikan dari yang paling subur sampai ke katagori yang paling marjinal dan luasan SDL tiap katagori kesuburan suplainya tetap fixed. Biaya marjinal dalam produksi bijian tetap konstan pada OP dimana OP =OP 1 sampai mencapai output maksimum yang bisa diproduksi oleh SDL kategori terbaik OQ 1 namun melompat sampai ke OP 2 ketika output melebihi batas tersebut dan SDL kelas 2 mulai digarap. Peningkatan maju stepwise berlanjut ketika makin banyak SDL yang kesuburannya rendah marjinal mulai digunakan untuk budidaya. Karena bijian dikonsumsi oleh hampir semua TK dan karena pendapatan perkapitanya konstan pada level subsisten dalam jangka panjang, maka terjadi suatu pergeseran kurva permintaan dd sebagai respon dari pertumbuhan populasi itu sendiri. Dalam diagram sebelah kanan, d d mewakili kurva permintaan yang bersesuaian terhadap lapangan kerja sektor industri yang ditunjukkan oleh OL . Ketika lapangan kerja meningkat ke OL 1 , dan kemudian ke OL 2 , pertumbuhan populasi proporsional dengan pertumbuhan lapangan pekerjaan menggeser kurva bijian ke d 1 d 1 , dan kemudian ke d 2 d 2 berturut-turut. Untuk memperluas permitaan bijian dipenuhi dengan produksi hanya menggunakan katagori SDL terbaik, seperti dalam kasus d 1 , harga bijian tetap pada OP =OP 1 . Namun ketika permintaan bijian meningkat ke d 2 , harga bijian menjadi OP 2 ; bersesuaian dengan biaya marjinal produksi menggunakan SDL kelas 2 untuk budidaya. Di sini dianggap bahwa peningkatan biaya marjinal dalam peningkatan produksi bijian dengan cara membawa SDL kelas 2 untuk budidaya adalah sama saja artinya dengan menggunakan jumlah kapital dan TK yang lebih banyak terhadap produksi dengan menggunakan SDL kelas 1. Ketika harga bijian meningkat dari OP 1 ke OP 2 , maka tingkat upah subsisten OW yang digunakan untuk mencukupi buruh dalam membeli bijian dengan jumlah yang memadai untuk hidup subsisten pada level harga OP menjadi tidak cukup lagi. Oleh karena itu, tingkat upah dalam sektor industri harus ditingkatkan dalam jangka panjang ke level OW‟, yang memungkinkan para TK untuk membeli bijian yang cukup untuk bertahan hidup. Kemudian keuntungan dalam sektor industri yang menggunakan jumlah kapital K 2 menurun dari luasan CD ke GDW‘. Oleh karena itu, tingkat profit kapital dalam sektor industri akan menurun secara progresif ketika SDL yang marginal mulai dibuka untuk dibudidayakan. Fenomena ini punya efek pada penurunan pendapatan wirausahawan kapitalis sekaligus juga penurunan insentifnya. Di lain fihak, ketika harga bijian naik dari OP 1 ke OP 2 , maka para produsen bijian menggunakan SDL kelas satu dapat meraup ekses profit sebesar P 1 P 2 per unit output. Karena ekses profit dapat diperoleh dengan menggunakan SDL kelas 1 daripada kelas 2, maka kompetisi diantara para produsen bijian untuk menggunakan SDL kelas 1 tersebut akan meningkatkan rentenya ke P 1 P 2 dengan pendapatan tuan tanah menggunung, yang diwakili oleh areal P 1 bfP 2 Gambar 1. Jadi para tuan tanah dapat menangkap windfall gain dari akumulasi kapital di sektor industri melalui pertumbuhan populasi maupun permintaan pangan. Teori Ricardo memprediksi bahwa di bawah Re SDA yang ada dalam ukuran luasan SDL yang tetap, maka harga pangan meningkat akibat dari pertumbuhan populasi akan mengendalikan perekonomian kedalam keadaan yang stasioner dimana tingkat keuntungan begitu rendah sehingga tidak ada insentif untuk melakukan investasi tambahan dan upah TK tidak menjadi divergen terhadap upah subsisten yang minimum, sementara itu para tuan tanah sendiri memperoleh perluasan rent revenue dan menghamburkan konsumsinya yang mencolok mata. Mekanisme SDL yang tetap fixed land resource endowment yang membatasi pertumbuhan ekonomi pada fase awal industrialisasi terkenal dengan sebutan Ricardian Trap. Pilihan kebijakan policy yang diusulkan oleh Ricardo agar perekonomian Inggris waktu itu dapat terbebas dari perangkap kendala SDL adalah dengan melakuan liberalisasi impor bijian atau secara lebih khusus mencabut Corn Law yang telah banyak membebani hambatan tarif terhadap impor bijian murah dari luar negeri sebagai bagian dari sistem perdagangan mercantile system waktu itu. Ricardo berargumentasi bahwa SDL superior haruslah tersedia dalam luasan yang tidak terbatas, bukan hanya di Negara Inggris tetapi di seluruh dunia termasuk di benua baru. Akibat dari liberalisasi perdagangan itu, total suplai bijian baik dari dalam maupun dari luar negeri menjadi horisontal pada harga yang rendah OP , seperti diwakili oleh garis WS Gambar 6, sebelah kanan. Sehingga suplai TK bagi sektor industri dapat berlanjut menjadi horisontal pada tingkat upah O dimana akumulasi kapital dan pertumbuhan ekonomi di sektor industri moderen dapat dipertahankan sutainable. Pencabutan Corn Law merupakan kondisi yang perlu untuk mempertahankan pertumbuhan ekonomi secara berkesinambungan yang dimulai ketika Revolusi Industri. Model Ricardo memulai secara jelas persoalan kendala SDA yang harus dihadapi oleh low-income economy countries dalam melakukan pembangunan industri ketika pertanian mengalami stagnasi. Bila pertumbuhan populasi di fase awal industrialisasi tidak paralel dengan peningkatan suplai pangan, maka harga pangan akan meningkat secara tajam yang akan menyebabkan meningkatnya biaya hidup bagi masyarakat low-income yang dicirikan oleh tingginya Engle Coefficients. Fenomena ini akan menyebabkan tekanan yang kuat untuk kenaikan upah melalui serikat buruh dan juga dapat menyebabkan food riot. Resultansi dari peningkatan upah akan mempunyai implikasi terhadap goncangan serius serious blow bagi sektor industri di fase awal, yang tergantung kepada labour-intensive technologies. Menurut Hayami 2001 Ricardian trap yang dihadapi oleh berbagai low- income developing economies dewasa ini tidak dapat dipecahkan melalui liberalisasi impor pangan secara sendiri. Saran yang diberikan oleh Ricardo berupa perdagangan bebas hanya relevan bagi Inggris pada awal abad ke 19, ketika itu populasinya hanya merupakan bagian yang kecil saja dari populasi dunia dan juga supremasi Inggris dalam produktivitas di sektor industri telah membuat negeri ini mudah dalam mendapatkan nilai tukar asing dalam jumlah yang cukup untuk impor pangan. Namun tidak mudah bagi negara berkembang dewasa ini untuk mendapatkan nilai tukar asing dalam jumlah yang cukup yang bersumber dari barang-barang industri selama periode awal industrialisasinya. Kecuali itu juga begitu banyak negara berkembang berkompetisi dalam impor pangan, maka harga pangan internasional akan meningkat sebegitu besar sehingga harga dalam negeri akan tidak stabil. Bagi negara berkembang, tampaknya tidak ada jalan lain untuk melepaskan diri dari Ricardian Trap selain dengan mengembangkan teknologi budidaya pertanian yang diiringi dengan pembangunan sektor-sektor industri. Ricardo tidak mengelak posibilitas dalam pengembangan teknologi pertanian, tetapi menganggap bahwa hal itu akan sangat dibatasi oleh skala pengembalian yang menurun decreasing retun to scale dalam produksi sektor pertanian dalam jangka panjang. Lumrah saja anggapan itu terbentuk karena ketika itu perkembangan teknologi pertanian utamanya hanya didasarkan kepada pengalaman maupun coba-coba dari para petani. Namun fakta sejarah telah membuktikan bahwa melalui penerapan ilmu pengetahuan secara terorganisir terhadap pemecahan masalah produksi pertanian yang dimulai pada akhir abad ke 19, kemajuan teknologi dalam pertanian telah mengalami percepatan secara nyata sehingga tingkat pertumbuhan dalam produktivitas pertanian telah melebihi dari apa yang sebelumnya dicapai oleh negara-negara industri maju kala itu. Karena itu negara-negara berkembang menurt Hayami 2001 agar dapat eksit dari Ricardian trap, maka pola pertumbuhan produktivitas pertanian dari negara- negara maju di masa lalu dengan melakukan investasi dalam bidang sumberdaya manusia dan riset untuk mengembangkan akumulasi pengetahuan dalam teknologi budidaya agar dapat melakukan transformasi strutural melalui batu pijakan sektor- sektor industri pertanian. Dengan berlandasakan pada karya Stimson dan Stough 2008 dengan demikian bahwa kini proses transformasi struktural tersebut keberhasilnya sangat tergantung kemampuan wilayah untuk mencapai surplus produksi sektor pertanian dan ekstraksi SDA sebagai resource endowment agar mencapai keunggulan kompetitifnya sehingga mampu bersaing di pasar global. Karena itu tinjauan terhadap kinerja Re dan pasar ekspor M menjadi variabel yang sangat penting pada awal proses transformasi struktural tersebut.

2.6 Peran Resource Endowment dan Kinerja Ekspor dalam Pengembangan

Ekonomi Wilayah Sebagaimana dapat disarikan dari Hayami 2001, bahwa sumberdaya anugerah atau Resource endowment segala jenis sumberdaya yang tersedia sehingga untuk memperolehnya tanpa diperlukan investasi yang relatif besar. Re dapat berupa sumberdaya alam termasuk cadangan bahan tambang, sumberdaya lahan, pemandagan atau bentang alam, topografi, atmosfer, temperatur udara dsb. Re juga bisa berupa sumberdaya buatan seperti ilmu pengetahuan, teknologi yang telah tersedia, konstruksi bangunan fisik yang sudah ada termasuk jalan, jembatan, pelabuhan, fasilitas jaringan irigasi, sistem komunikasi, pranata sosial, perangkat hukum dsb. Begitu beragamannya sistem Re yang ada dalam suatu wilayah, tak terkecuali di wilayah Provinsi Lampung. Namun dalam konteks penelitian ini yang dijadikan fokus adalah sistem sumberdaya hutan, yang di dalamnya terdapat subsistem sumberdaya lahan topografi, iklim dll. Fokus tersebut dipilih mengingat sistem hutan merupakan sistem yang sangat berperan dalam menopang keberlangsungan perikehidupan life support system dan mempunyai fungsi intrinsik dalam pengendalian aktivitas perekonomian wilayah. Lebih dari itu, khususnya di Provinsi Lampung sumberdaya hutan ini telah mengalami degradasi akut hingga proporsi tutupannya hanya tersisa sekitar 7,5 dari total wilayah Provinsi Lampung Departemen Kehutanan, 2006. Bahkan menurut Dinas Kehutanan Provinsi Lampung 2005 dikutip Watala, 2008 degradasi tersebut