Kendala Sumberdaya: Teori Moderenisasi Ekonomi Wilayah bagi

budidaya agar dapat melakukan transformasi strutural melalui batu pijakan sektor- sektor industri pertanian. Dengan berlandasakan pada karya Stimson dan Stough 2008 dengan demikian bahwa kini proses transformasi struktural tersebut keberhasilnya sangat tergantung kemampuan wilayah untuk mencapai surplus produksi sektor pertanian dan ekstraksi SDA sebagai resource endowment agar mencapai keunggulan kompetitifnya sehingga mampu bersaing di pasar global. Karena itu tinjauan terhadap kinerja Re dan pasar ekspor M menjadi variabel yang sangat penting pada awal proses transformasi struktural tersebut.

2.6 Peran Resource Endowment dan Kinerja Ekspor dalam Pengembangan

Ekonomi Wilayah Sebagaimana dapat disarikan dari Hayami 2001, bahwa sumberdaya anugerah atau Resource endowment segala jenis sumberdaya yang tersedia sehingga untuk memperolehnya tanpa diperlukan investasi yang relatif besar. Re dapat berupa sumberdaya alam termasuk cadangan bahan tambang, sumberdaya lahan, pemandagan atau bentang alam, topografi, atmosfer, temperatur udara dsb. Re juga bisa berupa sumberdaya buatan seperti ilmu pengetahuan, teknologi yang telah tersedia, konstruksi bangunan fisik yang sudah ada termasuk jalan, jembatan, pelabuhan, fasilitas jaringan irigasi, sistem komunikasi, pranata sosial, perangkat hukum dsb. Begitu beragamannya sistem Re yang ada dalam suatu wilayah, tak terkecuali di wilayah Provinsi Lampung. Namun dalam konteks penelitian ini yang dijadikan fokus adalah sistem sumberdaya hutan, yang di dalamnya terdapat subsistem sumberdaya lahan topografi, iklim dll. Fokus tersebut dipilih mengingat sistem hutan merupakan sistem yang sangat berperan dalam menopang keberlangsungan perikehidupan life support system dan mempunyai fungsi intrinsik dalam pengendalian aktivitas perekonomian wilayah. Lebih dari itu, khususnya di Provinsi Lampung sumberdaya hutan ini telah mengalami degradasi akut hingga proporsi tutupannya hanya tersisa sekitar 7,5 dari total wilayah Provinsi Lampung Departemen Kehutanan, 2006. Bahkan menurut Dinas Kehutanan Provinsi Lampung 2005 dikutip Watala, 2008 degradasi tersebut untuk masing-masing fungsi hutan berturut-turut telah mencapai: 80 di hutan lindung, 76 di hutan produksi, 71 di hutan produksi terbatas, 70 di taman hutan raya, 36 di TNW, dan 16 TNBBS. Umumnya sumberdaya hutan tersebut telah banyak berubah fungsi menjadi pertanaman kopi, karet, coklat, lada, cengkeh, nilam cash crop, perladangan, pertanian pangan dan pemukiman. Menurut Verbist dan Pasya 2004 deforestasi di Provinsi Lampung bermula pada tahun 1905, ketika Pemerintah Kolonial melakukan trasmigrasi pertama. Deforestasi ini meningkat pada dekade 1970-an ketika hasil hutan kayu menjadi andalan pemasukan devisa. Deforestasi terus berlanjut dan memuncak pada saat desentralisai tata pemerintahan dimana koordinasi tata pemerintahan menjadi simpul-simpul lemah lihat Resosudamo, 2005. Data beberapa titik tahun tutupan hutan dan perkiraan laju deforestasiya disajikan pada Tabel 5. Merosotnya fungsi intrinsik hutan sebagai pengendali siklus hidrologi wilayah, pengendali kesetimbangan ekologi kawasan, penambat karbon dan penyedia jasa amenitas lingkungan akibat deforestasi tersebut telah menekan pertumbuhan kinerja perekonomian wilayah. Sebagaimana telah diuraikan pada bagian terdahulu, bahwa yang sangat kritis adalah terjadinya stagnasi pertumbuhan ekonomi akibat aglomerasi agroindustri pada bagian Tengah dan Timur Provinsi Lampung yang malah mengalami decreasing return to scale seperti dilaporkan Affandi 2009. Tabel 5. Tutupan Hutan dan Laju Deforestasi Beberapa Titik Tahun di Provinsi Lampung Tahun 1985a 1991b 1997b 2005c Luas Tutupan ha 647.800 570.060 361.319 236.400 Proporsi Provinsi 19,10 15,80 10,80 7,40 Laju Deforestasi hath - 12.957 34.790 20.820 Sumber: a DepnakerTrans 1989, b Dept. Kehutanan 2006, c Kemenhut 2009. Aglomerasi agroidustri yang awalnya merupakan korbanan dari ekstraksi sumberdaya hutan maupun dari konversi luasan hutan melalui deforestasi di masa lalu seharusnya dapat menampilkan kinerja dengan skala pengembalian yang meningkat IRS: Increasing Retrun to Scale sehingga korbanan deforestasi tersebut dapat meghasilkan rente ekonomi yang lebih baik. Tetapi kenyataannya tidaklah demikian. Realitas merosotnya fungsi intrinsik dari Resource endowment yang utama ini harus segera dipulihkan, agar sektor-sektor agroindustri tersebut dapat berkembang sebagai pondasi yang sangat mendasar bagi pijakan untuk transformasi struktural dan modernisasi perekonomian di Popinsi Lampung. Karena itu dalam perencanaan pengembangan ekonomi wilayah Provinsi Lampung maka fokus kepada sumberdaya hutan sebagai Re menjadi prioritas pertama agar sumberdaya hutan ini dapat menjadi sistem penopang kehidupan yang kokoh, yang sekaligus juga berfungsi sebagai penopang sistem perekonomian secara menyeluruh. Sementara itu pula, mengingat dewasa ini dunia sudah mengalami globalisasi kuat sehingga hampir tidak ada satu wilayahpun yang tersekat dari perdagangan internasional, dalam perencanaan pembagunan ekonomi wilayah kinerja ekspor komoditas utama haruslah menjadi pilar penting. Bila dengan kinerja Re dapat dikelola menjadi produk yang kompetitif di pasaran internasional, maka kinerja ekspor merupakan saluran ataupun outlet bagi produk yang dihasilkan dari ekstraksi Re tersebut ke pasar ekspor Stimson et al., 2006. Peran ekspor bagi pengembangan ekonomi wilayah setidaknya dapat diproksi dari pangsa ekspor tersebut terhadap PDRB. Adapun peran ekspor tersebut di Provinsi Lampung pada masa desentralisasi tata pemerintahan secara ringkas disajikan pada Tabel 6. Sebagaimana dapat diperiksa pada Tabel 6, bahwa meskipun berfluktuasi, baik total nilai ekspor, pertumbuhan nilai total ekspor, pertumbuhan nilai ekspor setiap jenis produk, pangsa ekspor tiap produk terhadap PDRB, maupun total pangsa ekspor terhadap PDRB secara rata-rata tidak ada yang bernilai negatif. Gambaran ini memberikan indikasi bahwa sebenarnya pasar ekspor bagi Provinsi Lampung secara umum cukup baik bagi pengembangan perekonomian wilayah yang dewasa ini semakin perlu untuk mengandalkan pasar ekspor. Tumpuan harapan kepada pasar ekspor bagi perencanaan pengembangan ekonomi wilayah ke depan juga cukup didukung oleh pangsa ekspor terhadap PDRB Provinsi Lampung. Tabel 6. Nilai Total Ekspor, Pangsa Ekspor Sektoral terhadap PDRB dan Pertumbuhannya di Provinsi Lampung Periode 2000-2008 No. Indikator Rataan Sd I. Total Nilai Ekspor Jt USD 1 633 1 185 II. Total Pertumbuhan Nilai Ekspor th 29,13 37,34 III. Pertumuhan Nilai Eskpor Tiap Produk th 1. Tambang 233,39 545,90 2. Industri 43,66 91,83 3. Pertanian 29,20 48,15 4. Kehutanan 21,73 63,67 IV. Pangsa Ekspor Tiap Produk PDRB 1. Tambang 2,62 1,52 2. Industri 17,71 6,36 3. Pertanian 12,73 3,71 4. Kehutanan 0,05 0,03 Total Pangsa Ekspor PDRB 33,11 11,63 Pertumbuhan Total Pangsa Ekspor 11,33 31,25 PDRB Jt USD; 1 USD=Rp 9,000.- 4 534 2 122 Sumber: BPS 2001-2009, Diolah Sebagaimana dapat dicermati pada Bagian IV Tabel 6 di atas bahwa secara rata-rata ekspor Provinsi Lampung memiliki kontribusi yang cukup besar terhadap PDRB yaitu sebesar 33,11 [Sd=11,63]. Adapun pangsa terbesar disumbangkan oleh ekspor dari produk-produk industri 17,71[Sd=6,36]; disusul produk pertanian 12,730[Sd=3,71]; produk tambang 2,62[Sd=1,52] dan terakhir produk hasil hutan 0,05[Sd=0,03]. Adanya realitas bahwa produk dari sektor industri yang menjadi penyumbang terbesar dalam ekspor yang disusul oleh ekspor dari produk-produk primer tersebut merupakan gambaran yang sangat prospektif bagi berlangsungnya transformasi struktural perekonomian wilayah Provinsi Lampung. Sejalan dengan inisiasi proses transformasi struktural dari sektor primer ke sektor-sekor industri tersebut, pertumbuhan nilainya ekspor dari produk-produk industri juga meningkat secara rata-rata 43,66. Namun sungguh disayangkan punya fluktuasi yang sangat tajam yang ditunjukkan oleh nilai Sd-nya yang cukup besar yaitu 91.83, seperti dapat dilihat pada Bagian III Table 2.6. Bila dibandingkan dengan produk primer, pertumbuhan nilai ekspor dari produk industri juga cukup menggembirakan. Namun tidak demikian jika dibandingkan dengan pertumbuhan nilai-nilai ekspor dari produk tambang yang secara rata-rata naik 233,39 [Sd=545,90] per tahun. Dari kenaikan ini juga berarti bahwa kebocoran nilai tambah dari produk-produk tambang masih terus berlangsung. Ke depan perlu dikembangkan industri pengolahan untuk menekan kebocoran semacam ini agar nilai tambah yang umumnya berlipat ganda dapat dicegah. Untungnya pangsa ekspor produk primer dari hasil-hasil tambang ini relatif kecil saja yaitu rata-rata sekitar 2,62[ Sd=1,52] saja dari total PDRB Provinsi Lampung. Kecuali itu suatu fenomena yang menarik lagi yang dapat dicermati dari Tabel 6 tersebut adalah relatif sangat rendahnya pangsa ekspor produk-produk yang bersumber dari hasil hutan yaitu rata-rata hanya 0,05[Sd=0,03]. Kontribusi tersebut menjadi fenomena biasa saja bila diingat degradasi hutan akibat deforestasi di Provinsi Lampung telah mencapai taraf yang akut. Namun angka tersebut menjadi menarik bila dikaitkan temuan Naidoo 2004 bahwa deforestasi akan sangat menekan pertumbuhan ekonomi suatu negara manakala pangsa ekspor dari hasil hutan kurang dari 0,3. Artinya angka pangsa ekspor yang berasal dari produk-produk hasil hutan di Provinsi Lampung sudah memasuki kategori itu. Dengan fakta ini berarti bahwa stagnasi pertumbuhan ekonomi wilayah Provinsi Lampung semasa desentralisasi menjadi tervalidasi oleh temuan Naidoo 2004 tersebut. Sehubungan dengan itu, maka kegiatan aforestasireforestasi AR menjadi mendesak untuk segera dilakukan agar stagnasi pertumbuhan ekonomi dapat diatasi. Pada hakekatnya kegiatan AR itu sendiri merupakan mekanisme pemulihan fungsi ekonomi melalui restorasi fungsi intrinsik hutan yang telah terdegrasi akibat deforestasi yang akut. Dengan pulihnya fungsi intrinsik tersebut maka life support system ke depan diharapkan akan menjadi viable bagi berlangsungnya semua proses kehidupan. Namun demikian untuk dapat memberikan gambaran peranan dari nilai ekspor yang berasal dari produk-produk hasil hutan terhadap kesejateraan masyarakat maka pada bagian berikut diuraikan secara lebih detil. Berkaitan dengan itu mengingat deforestasi di Provinsi Lampung juga telah menyebabkan konversi hutan menjadi perkebunan, pertanian pangan, pemukiman, untuk pedagangan maupun indusri maka tinjauan ini juga perlu dilengkapi dengan peranan ekspor komoditas tersebut terhadap kesejahteraan masyarakat Provinsi Lampung. Secara agregat hubungan peranan ekspor yang berasal dari produk-produk bahan tambang, industri, pertanian dan kehutanan terhadap PDRBkapita dan terhadap IPM di Provinsi lampung disajikan pada Gambar 7 dan 8. 3,6 3,7 3,8 3,9 4,0 4,1 4,2 4,3 - 50,0 100,0 150,0 PD R B K p t Rp jut a Tambang Juta USD 3,6 3,7 3,8 3,9 4,0 4,1 4,2 4,3 300,0 400,0 500,0 600,0 PD R B K pt J ut a R p Industri Juta USD 3,6 3,7 3,8 3,9 4,0 4,1 4,2 4,3 - 500,0 1.000,0 PD R B K pt Jua R p Pertanian Juta USD 3,6 3,7 3,8 3,9 4,0 4,1 4,2 4,3 - 20,0 40,0 P D RB K p t Ju ta Rp Hasil Hutan Juta USD 3,6 3,7 3,8 3,9 4,0 4,1 4,2 4,3 500,0 1.000,0 1.500,0 PD R B K p t J u ta R p Total Ekspor Juta USD Gambar 7. Hubungan antara Nilai Ekspor Agregat dengan PDRBKpt Provinsi Lampung Periode Tahun 2000-2005 Sumber: BPS Provinsi Lampung, diolah Seperti dapat dilihat pada Gambar 7, bahwa semua komoditas ekspor memperlihatkan hubungan positif dengan PDRBKpt pada periode waktu tersebut. Namun perlu dicatat, bahwa secara kasar dengan memperbandingkan kemiringan masing-masing kurva ekspor bahan tambang tampak yang paling rendah peranannya disusul ekspor produk-produk industri. Adapun sektor pertanian dan kehutanan tampak lebih besar peranannya dibandingkan terhadap ekspor bahan tambang maupun produk-produk industri. Bahkan lebih jauh peranan ekspor total terhadap PDRBKpt tampak mirip dengan peranan hasil-hasil pertanian maupun kehutanan tersebut. 64,0 64,5 65,0 65,5 66,0 66,5 67,0 67,5 68,0 68,5 69,0 69,5 - 50,0 100,0 150,0 IP M 2 00 1 -2005 Tambang Juta USD 64,0 65,0 66,0 67,0 68,0 69,0 70,0 300,0 400,0 500,0 600,0 700,0 IPM 2 00 1- 2005 Industri Juta USD 64,0 65,0 66,0 67,0 68,0 69,0 70,0 - 500,0 1.000,0 IPM 2 00 1 - 2005 Pertanian Juta USD 63,0 64,0 65,0 66,0 67,0 68,0 69,0 70,0 5,0 15,0 25,0 35,0 IP M 2 00 1 -2005 Hsl. Hutan Juta USD 63,0 64,0 65,0 66,0 67,0 68,0 69,0 70,0 500,0 1.000,0 1.500,0 IPM 2 00 1 - 2005 Total Juta USD Gambar 8. Hubungan antara Nilai Ekspor Agregat dengan IPM Provinsi Lampung Periode Tahun 2000-2005 Sumber: BPS Provinsi Lampung, diolah Seperti dapat dicermati dalam Gambar 8, berbeda hubungannya dengan PDRBKpt, di sini hanya ekspor bahan tambang yang memiliki hubungan negatif terhadap IPM di Provinsi Lampung pada masa desentralisasi. Artinya semakin besar nilai ekspor bahan tambang telah memberikan kontribusi pada penurunan IPM. Nampaknya bahan ekspor bahan tambang lebih banyak memberikan eksternalitas negatif bagi kesejahteraan masyarakat Provinsi Lampung selama periode tersebut. Sebaliknya untuk ekspor produk-produk yang berasal dari pertanian, kehutanan dan dari produk-produk industri berperan positif terhadap IPM. Oleh karena itu atas peran ekspor ketiga asal produk yang disebutkan terakhir ini, maka secara total nilai ekspor Provinsi Lampung pada periode tersebut masih tetap memperlihatkan hubungan yang positif terhadap IPM sekalipun ekspor dari produk-produk tambang memperlihatkan hubungan yang negatif tersebut. Kecuali itu yang menarik adalah besarnya kemiringan kurva hubungan nilai ekspor total terhadap IPM tampak relatif sejajar dengan kemiringan kurva hubungan nilai ekspor produk pertanian dengan IPM. Sedangkan kemiringan kurva hubungan antara nilai ekspor hasil hutan dengan IPM tampak relatif sejajar dengan kemiringan kurva hubungan antara ekspor hasil industri dengan IPM. Sementara itu pula kedua kelompok kurva tersebut juga relatif sejajar. Dari sini tampaknya adanya relasi yang erat antara peranan sektor kehutanan dengan sektor industri. Karena pangsa sektor kehutanan terhadap PDRB relatif kecil hanya 0,45 untuk periode 2000-2008, maka berarti bukan produk kayu hasil hutan yang mengendalikan peranan tersebut melainkan yang paling mungkin adalah peranan fungsi intrinsik hutan. Untuk memeriksa peranan fungsi intrisik hutan terhadap kesejahteraan masyarakat maka perlu digunakan proksi nilai ekspor produk nir kayu yang tersusun dari nilai eskpor getah damar, kulit kayu manis dan rotan. Proksi ini dipandang tepat sebagai penduga viabilitas fungsi intrinsik hutan, mengingat ketiga tumbuhan penghasil produk-produk nir kayu tersebut tumbuh secara alami dalam ekosistem hutan tanpa banyak dikenai perlakuan budidaya. Dengan begitu adanya keberlanjutan ekspor ketiga macam produk nir kayu tersebut dapat digunakan sebagai petunjuk tinggi-rendahnya fungsi intrinsik hutan, yang pada gilirannya juga akan memberikan kesejahteraan masyarakat. Karena pangsa eskpor hasil hutan di Provinsi Lampung kecil 0,45 dari PDRBKpt maka dapat dipastikan pangsa nilai ekpor produk nir kayu lebih kecil dari nilai itu. Oleh karena itu, maka peranan produk nir kayu terhadap kesejahteraan masyarakat bukan melalui nilai ekpornya tetapi karena jasa lingkungnya. Pada Gambar 9 dan 10 disajikan hubungan antara nilai produk nir kayu terhadap PDRBKpt dan terhadap indek pembangunan manusia IPM. Tetapi mengingat deforestasi di Provinsi Lampung juga telah menyebabkan konversi lahan kepada penggunaan cash crop maka pada Gambar 9 dan 10 tersebut juga disertakan hubungan antara nilai ekspor produk cash crop terhadap kesejahteraan masyarakat di Provinsi Lampung selama periode desentralisasi. Seperti dapat dilihat pada Gambar 9 dan 10, hubungan antara nilai ekspor getah damar, kulit kayu manis, rotan, nilai ekspor total produk nir kayu dan nilai total ekspor produk cash crop terhadap PDRBKpt maupun IPM semuanya menunjukkan hubungan positif. Lebih lanjut bila dicermati semua kemiringan kurva-kurva tersebut semuanya tampak relatif sejajar. Untuk komoditas nir kayu baik masing-masing maupun secara total mudah difahami karena ketiga jenis tumbuhan penghasil produk-produk nir kayu tersebut tumbuh secara alami, tanpa banyak proses budidaya. Tetapi tidak untuk tanaman penghasil produk cash crop kopi, coklat, karet dan lada adalah tanaman budidaya. Namun demikian perlu diingat bahwa di Provinsi Lampung hampir semua cash crop tidak ditanam secara monokultur, melainkan bersama-sama komoditas penghasil kayu dalam sistem multistrata agroforestry. 3,6 3,7 3,8 3,9 4,0 4,1 4,2 4,3 500 1000 PD B Kpt j ut a Rp Kayu Manis Ribu USD 3,6 3,7 3,8 3,9 4,0 4,1 4,2 4,3 1000 2000 3000 PD RB Kp t Ju ta R p Damar Ribu USD 3,6 3,7 3,8 3,9 4,0 4,1 4,2 4,3 500 1000 1500 2000 PD R B K pt j ut a Rp Rotan Ribu USD 3,6 3,7 3,8 3,9 4,0 4,1 4,2 4,3 1000 2000 3000 4000 5000 PD R B K pt J ut a R p Total Nir Kayu Ribu USD 3,6 3,7 3,8 3,9 4,0 4,1 4,2 4,3 500 1.000 1.500 2.000 2.500 PD R B K pt R ibu R up ia h Total Cash Crop Jt. USD Gambar 9. Hubungan antara Nilai Ekspor Produk Nir Kayu Cash Crop dengan PDRBKpt Provinsi Lampung Periode Tahun 2000-2005 Sumber: BPS Provinsi Lampung, diolah Karena itu di Provinsi Lampung pertanaman cash crop sangat sulit untuk dibedakan dengan hutan rakyat. Dengan kata lain bahwa cash crop umumnya ditanam dalam sistem wanatani multistrata atau agroforestry. Oleh karena itu, dengan realitas ini maka tidak sulit memahami fenomena kemiringan kurva hubungan nilai ekspor cash crop terhadap PDRBKpt dan terhadap IPM terhadap ketiga jenis kurva nir kayu tersebut. Berkaitan itu, untuk memeriksa hubungan konversi lahan dengan akumulasi kapital yang melandasi berlangsungnya transformasi struktural perekonomian di setiap wilayah, maka pada bagian berikut diuraikan tentang risalah teori pertumbuhan ekonomi. 64,0 65,0 66,0 67,0 68,0 69,0 200 400 600 800 IPM 2 00 1 -2005 Kayu Manis Ribu USD 64,0 65,0 66,0 67,0 68,0 69,0 70,0 1000 2000 3000 IPM 2 00 1 -2005 Damar Ribu USD 64,0 65,0 66,0 67,0 68,0 69,0 500 1000 1500 2000 IPM 2 00 1 -2005 Rotan Juta USD 64,0 65,0 66,0 67,0 68,0 69,0 1000 2000 3000 4000 5000 IP M 2 00 1 -2005 Total Eksp. Nir Kayu 3,6 3,7 3,8 3,9 4,0 4,1 4,2 4,3 500 1.000 1.500 2.000 2.500 PD RB K pt R ibu R up ia h Total Cash Crop Juta USD Gambar 10. Hubungan antara Nilai Ekspor Produk Nir Kayu Cash Crop dengan IPM Provinsi Lampung Periode Tahun 2000-2005 Sumber: BPS Provinsi Lampung, diolah

2.7 Risalah Teori Pertumbuhan Ekonomi: Dari Model Solow ke Model Baru

Pertumbuhan Endogenik Inti dari setiap teori ekonomi adalah penjelasan tetang pertumbuhan atau akumulasi kapital Hayami, 2001. Robert Solow merupakan seorang begawan yang memenangkan Hadiah Nobel tahun 1985 atas keberhasilannya dalam menjelaskan teori pertumbuhan ekonomi dari unsur-unsur penentunya. Ada 3 tema besar yang dapat disarikan dari Model Solow 1956; 2000. Pertama, dalam jangka panjang bahwa tingkat tabungan s merupakan ukuran persediaan modal maupun tingkat output yang dapat dicapai dari suatu sistem perekonomian. Adanya kenaikan tingkat tabungan dapat menyebabkan kenaikan pertumbuhan ekonomi yang cepat tetapi kemudian berangsur-angsur menurun dan kemudian konstan. Pada keadaan konstan tersebut berarti perekonomian berada dalam kondisi mapan staedy state, yang dicirikan oleh total depresiasi modal δk sama dengan total investasi. Investasi itu sendiri merupakan fungsi dari jumlah output yang disisihkan untuk tabungan [ sy=sfk]. Jadi sekalipun tingkat tabungan yang tinggi dapat menyebabkan tingkat perekonomian pada kondisi mapan yang tinggi pula, tetapi tabungan tidak akan dapat menghasilkan pertumbuhan ekonomi secara berkesinambungan, karena efek dari tabungan tersebut akan selalu berakhir pada kondisi mapan tersebut. Tema yang ke dua dari Model Solow 1956 dan 2000 adalah bahwa tingkat pertumbuhan ekonomi merupakan determinan penting bagi peningkatan standar kehidupan. Makin tinggi tingkat pertumbuhan populasi n, maka akan semakin rendah output per pekerja y=YL. Secara diagramatik kedua tema dari Model Solow dapat ditunjukkan dalam Gambar 11 dan 12. Investasi δk s 1 fk BIE 1 S1S0 s fk BIE Outputpekerja [y=fk] sebagai fungsi dari kapitalpekerja [k]. Total investasi adalah sy=sfk. Tingkat tabungan s smenjadi penentu saat kondisi mapan tercapai k. Jika s1s0 maka k 1 k . Di sini δk adalah total penyusutan. Kurva investasi yang konveks menunjukkan: pada awalnya tabungan menyebabkan pertumbuhan yang pesat, berangsur-angsur menuju konstan saat tercapai kondisi mapan. BIE: break event investment yang diperlukan pada saat kondisi mapan dicapai. k k 1 ModalPekerja k Gambar 11. Model Pertumbuhan Solow Mankiw, 2007. Adapun tema yang ke tiga dari Model Solow 1956 dan 2000 adalah bahwa pertumbuhan ekonomi secara berkesinambungan ditentukan oleh tingkat pertumbuhan teknologi g. Akumulasi kapital Δk dalam kondisi mapan dibawah pengaruh kemajuan Ipteks adalah: Δk= sfk – BIE break event investment. Dalam hal ini k=KEL adalah modal per pekerja efektif. Untuk mempertahankan agar k tetap konstan dari penyusutan δk maupun untuk menyediakan modal bagi masuknya tenaga kerja baru nk akibat pertumbuhan populasi serta untuk memfasilitasi kebutuhan para pekerja efektif yang baru gk, maka diperlukan investasi sebesar BIE= δk + nk + gk. Sehingga akumulasi kapital menjadi: