Lebih lanjut dalam realitasnya, kini faktor input kapital dan energi hanya memberikan respon terhadap output yang relatif rendah yaitu masing-masing 0,05
dan 0,17; sedangkan faktor input bahan baku dan tenaga kerja memiliki respon yang cukup baik terhadap outputnya yaitu masing-masing 0,32 dan 0,34. Artinya
secara rata-rata keduabelas sektor agroindustri tersebut masih relatif cukup responsif terhadap faktor tambahan input bahan baku maupun tenaga kerja tetapi
kurang responsif terhadap tambahan input kapital maupun energi. Mengingat dasar análisis yang digunakan Affandi 2009 adalah data
jangka panjang yaitu tahun 1988-2005, maka fenomena ini dapat memberikan imajinasi tentang kendala kelangkaan bahan baku. Dalam istilah Igliori 2008
telah terjadi demand congestion terhadap bahan baku. Imajinasi ini didukung oleh
kinerja elastisitas industri makanan. Elastisitas input bahan baku bagi industri makanan dapat mencapai 0,93 sementara untuk input kapital, tenaga kerja dan
input energi masing-masing 0,10, -0,12 dan -0,01. Artinya input tenaga kerja maupun energi di dalam industri makanan telah jenuh, sedangkan kapital sudah
mendekati jenuh dan bahan baku masih sangat responsif terhadap peningkatan input. Kongesti akan bahan baku ini telah menyebabkan sektor industri makanan
ini juga turut mengalami skala pengembalian yang DRS yaitu hanya berkisar 0,89.
Adanya fenomena kongesti ini juga diperlihatkan oleh statistik laju pertumbuhan PDRB sektor agroindustri ataupun industri pengolahan yang secara rata-rata lebih
besar dari pada sektor pertanian sebagai sektor yang menjadi pemasok bahan baku bagi input agroindustri tersebut. Fakta ini dapat dilihat pada Tabel 3 berikut.
Tabel 3. Rataan Pertumbuhan PDRB Sektor Pertanian, Sektor Agroindustri, dan Industri Pengolahan pada Periode 2000-2008 di Provinsi Lampung
No. Sektor Subsektor Pangsa PDRB
Pertumbuhan Sd
1 Pertanian
43,19 4,34
1,66 a Tanaman Pangan
20,76 3,97
4,53 b Tanaman Perkebunan
10,54 2,86
3,17 c Peternakan
5,44 3,64
6,03 d Perikanan
6,00 7,80
7,37 e Kehutanan
0,45 29,69
32,15 2.
Industri Tanpa Migas 13,79
3,49 13,68
3. Agroindustri
13,26 5,20
14,63 Sumber: Badan Pusat Statistik Provinsi Lampung 2000-2004; 2005-2009, diolah
Analisis Indikator Ekon Makro Regional Provinsi Lampung
Seperti dapat dicermati pada Tabel 3 tersebut, bahwa laju pertumbuhan PDRB sektor pertanian secara umum tertinggal dari sektor-sektor hilirnya yaitu
utamanya sektor-sektor agroindustri. Dalam kurun waktu yang sama sektor pertanian tumbuh hanya sebesar 4,34Sd=1,66 sedangkan untuk agroindustri
tumbuh secara rata-rata 5,20 Sd=14,63. Dengan demikian tampak hubungan antara fenomena degradasi fungsi
intrinsik dengan stagnasi pertumbuhan PDRB sektor pertanian. Lebih lanjut stagnasi sektor pertanian telah menimbulkan
excess demand akan input bahan baku bagi sektor-sektor industri pengolahan ataupun agroindustri yang bermuara
pada kinerja decreasing return sektor agroindustri sebagai sektor yang menjadi
pijakan penting
dalam transformasi
struktural perekonomian
menuju perekonomian industri modern di Provinsi Lampung.
Pada akhirnya serangkaian fenomena tersebut telah bermuara pada stagnasi indikator capaian kinerja pembangunan ekonomi wilayah Propisi
Lampung pada masa desentralisasi tata pemerintahan selama ini. Benang merah yang sangat penting yang dapat ditarik dari sub bagian ini adalah bahwa telah
muncul kendala sumberdaya dalam pembangunan ekonomi wilayah Popinsi Lampung semasa desentralisasi tata pemerintahan ini. Kendala sumberdaya yang
diatribusi oleh degradasi sumberdaya alam semacam ini dikenal sebagai Ricardian trap. Fenomena Ricardian trap ini umum dijumpai pada negara-negara
berkembang ketika mulai melakukan transformasi struktural dalam skenario pertumbuhan penduduk yang belum dapat ditekan. Tetapi untuk memperoleh
gambaran yang lebih obyektif tentang ekstraksi sumberdaya anugerah alam Resource endowment, sebelum melakukan kajian terhadap teori kendala
sumberdaya maka perlu ditinjau dampak deforestasi terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat.
2.4 Dampak Deforestasi pada Pertumbuhan Ekonomi dan Kesejahteraan
Selain pendapatan perkapita, pertumbuhan ekonomi merupakan variabel yang umum digunakan sebagai indikator perkembangan kesejahteraan masyarakat
di suatu negara ataupun wilayah. Namun dalam 2 dekade terakhir ini selain kedua variabel ekonomi tersebut juga mulai banyak digunakan Indeks Pembangunan
Manusia IPM. IPM atau HDI Human Development Indeks merupakan
indikator komposit dari indeks tingkat konsumsi, indeks kesehatanan, dan indeks pengetahuan. Dari komponen penyusunnya, maka IPM tampak merupakan suatu
indikator kesejahteraan masyarakat yang lebih baik dari pada pedapatan per kapita maupun pertumbuhan ekonomi.
Setiap awal pembangunan ekonomi wilayah senantiasa memanfaatkan sumberdaya yang telah diwariskan sebagai anugerah [
Resource endowment], seperti tambang, sumberdaya hutan, sumberdaya perikanan ataupun sumberdaya
lainnya. Bagi negara-negara tropika basah, sumberdaya hutan seringkali menjadi andalan utama dalam memulai pembangunan perekonomiannya. Andalan tersebut
sering dilakukan karena sumberdaya hutan sifatnya liquídate, tanpa banyak
memerlukan investasi ataupun teknologi yang relatif tinggi sehingga biaya ekstraksi sumberdaya alam ini begitu relatif sangat murah untuk diekstraksi baik
berupa kayu maupun nir kayunya lihat Naidoo, 2004. Artinya ekstraksi hasil hutan kayu maupun nir kayu umumnya menjadi sasaran pertama. Dengan kata
lain deforestasi merupakan suatu keniscayaan bagi negara-negara tropika basah pada awal pembangunan perekonomiannya.
Sehubungan dengan itu, dalam penelitiannya untuk mengetahui dampak deforestasi terhadap pertumbuhan ekonomi yang menggunakan panel data 77
negara, Naidoo 2004 membuat 2 kesimpulan. Pertama, bahwa deforestasi telah mempercepat pertumbuhan ekonomi, semakin awal dan semakin luas suatu negara
melakukan deforestasi sumberdaya hutannya maka negara tersebut akan makin cepat tumbuh. Sebaliknya negara-negara yang lamban melakukan deforestasi dan
banyak mensisakan sumberdaya hutannya maka akan tertinggal dan lambat dalam pertumbuhannya. Kedua, bahwa deforestasi akan menekan pertumbuhan ekonomi
suatu negara jika pangsa ekspor hasil hutannya relatif kecil yaitu rata-rata 0,3. Kedua kesimpulan ini kukuh
robust terhadap perbedaan geografis, perbedaan tingkat perkembangan ekonominya, maupun perbedaan luasan awal sumberdaya
hutan yang dimiliki oleh suatu negara. Namun terhadap kesimpulan dari penelitian Naidoo 2004 yang pertama
tersebut kita perlu sangat berhati-hati, karena peneliti ini merupakan penganut mahzab
technosentric_conurcopian yang menganggap bahwa antarsumberdaya
sebagai faktor produksi dapat saling disubstitusikan. Pandangan itu juga mengabaikan eksternalitas negatif yang merupakan dampak dari setiap aktivitas
perekonomian, tidak terkecuali aktivitas yang menyebabkan deforestasi dan konversi penggunaan lahan. Tentu pandangan ini memiliki label keberlanjutan
sebagai kebersinambungan yang lemah weak sustainability.
Hasil eksplorasi data yang ditampilkan oleh Indufor Forest Intelegence atau IFI 2010 juga mendukung kesimpulan yang pertama dari penelitian Naidoo
2004 tersebut. Sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 2, bahwa data dari 44 negara menunjukkan semakin luas tutupan hutan semakin rendah tingkat
PDBkapita maupun IPM suatu negara. Sebaliknya makin besar tingkat deforestasi maka kedua indikator kesejahteraan masyarakat tersebut makin besar.
Namun bila dari 44 negara tersebut dipilih dengan pendapatan per kapita yang lebih rendah dari 10.000 USD, maka terjadi kesimpulan yang sebaliknya Gambar
3.
-200 200
400 600
800 1000
1200 1400
- 20,0
40,0 60,0
PDB Kp
t X10
0 USD
Tutupan Hutan
Banglades Kwait
Singapura Islandia
0,00 0,20
0,40 0,60
0,80 1,00
1,20
- 20,0
40,0 60,0
IP M
Tutupan Hutan
Singapur Qatar
Yaman
Sumber: Indofur Forest Intelegence 2010, diolah n=44
Qatar
Turkministan
Yaman Afganistan
Banglades Islandia
Comoro Afganistan
Israel Israel
Kwait Comoro
Balbados
Balbados
Gambar 2. Hubungan Proporsi Tutupan Hutan dengan Kesejahteraan pada LFCCs Low Forest Cover Countries
20 40
60 80
100 120
- 10.0
20.0 30.0
PDB K
pt X1
00 U
SD
Tutupan Hutan
0.00 0.10
0.20 0.30
0.40 0.50
0.60 0.70
0.80 0.90
- 10.0
20.0 30.0
IP M
Tutupan Hutan
Tonga Tunisia
Tajikistan
Proporsi Tutupan Hutan≤20; PDBKpt ≤ 10.000USD n=15
Sumber: Indofur Forest Intelegence 2010, diolah
Afrika Selatan Tunisia
Djiboti Tonga
Afganistan Afganistan
Afrika Selatan Maroko
Kyrgistan Djiboti
Maroko Yaman
Yaman Kenya
Kenya Lesotho
Chad Mali
Gambar 3. Hubungan Proporsi Tutupan Hutan dengan Kesejahteraan pada LFCCs dengan Proporsi Tu
tupan ≤20 dan PDBKpt ≤ 10.000USD
Merujuk hasil penelitian Mudiyarso et al. 2006 yang menggunakan panel
data semua kabupaten yang ada di Indonesia, antara lain dapat analisis hubungan antara proporsi tutupan hutan terhadap IPM disajikan pada Tabel 4 berikut:
Tabel 4. Indeks Pembangunan Manusia sebagai Fungsi dari Proporsi Luas Tutupan Hutan di Indonesia
No. Wilayah
Regresi Signifikansi
1. Pulau Jawa
IPM =
–76,9Hutan + 69,6 Nyata
2. Luar P Jawa
IPM = 89,3 Hutan + 24,1 Nyata
3. Pulau Sumatera
IPM = 151,5Hutan – 20,7
Nyata
Sumber: Mudiyarso et al. 2006;diolah. Keterangan: Gabungan dari 6 Pulau Besar selain Jawa
.
Seperti dapat dilihat pada Tabel 4 untuk P Jawa, semakin luas tutupan hutan maka respon IPM semakin turun. Sedangkan untuk luar Jawa termasuk
Sumatera adalah sebaliknya. Hubungan itu secara umum dapat mencerminkan peran intrinsik hutan sebagai pengendali pertumbuhan ekonomi wilayah dan
kesejahteraan masyarakatnya. Bahwa di P Jawa kepemilikan lahan sudah relatif sempit. Memperluas proporsi hutan di P Jawa berarti akan menurunkan proporsi
penggunaan lahan untuk berbagai kegiatan yang mempunyai rente ekonomi land
rent yang relatif lebih tinggi dari pada land rent untuk penggunaan hutan. Mengingat secara umum P Jawa telah mencapai kesejahteraan yang relatif lebih
tinggi, maka mungkin sekali juga di P Jawa kebutuhan akan amenitas lingkungan yang antara lain dapat disediakan oleh penggunaan lahan untuk hutan sudah
relatif tinggi dibandingkan pulau-pulau lain. Sebagaimana pandangan Kuznetsian ECK:
Environmental Kuznets Curve, proporsi hutan yang ada di P Jawa dapat dipelihara secara baik sehingga cukup dapat menyuplai kebutuhan akan amenitas
lingkungan ataupun mungkin fungsi. Dengan begitu, nampaknya proporsinya tidak perlu diperbesar lagi agar penggunaan lahan untuk non hutan yang
memiliki land rent lebih tinggi tidak tergusur.
Sedangkan fenomena di luar P Jawa adalah sebaliknya. Karena pemilikan lahan ataupun peguasaan lahan secara rata-rata masih relatif besar, maka
sumberdaya hutan masih menjadi andalan bagi penyumbang pendapatan masyarakat, sementara itu kebutuhan akan amenitas lingkungan yang dapat
disediakan oleh proporsi tutupan hutan yang ada masih surplus. Karena itu deforestasi untuk mengekstraksi manfaat ekonomi dari sumberdaya hutan
maupun untuk konversi ke penggunaan lahan dengan land rent yang lebih tinggi
masih memungkinkan sampai batas-batas tertentu. Sekalipun Provinsi Lampung merupakan anak gugus
sub set dari P Sumatera, tetapi distribusi rata-rata pemilikan ataupun punguasaan lahan sudah
mendekati di P Jawa. Sehubungan dengan itu, eksplorasi hubungan antara proporsi tutupan hutan dengan tingkat kesejahteraan masyarakat juga menyerupai
di P Jawa. Pada Gambar 4 dan 5 disajikan hubungan antara proporsi tutupan hutan di Provinsi Lampung terhadap kesejahteraan. Untuk Provinsi Lampung
hubungan antara proporsi tutupan hutan terhadap PDRBkapita bersifat negatif baik dengan ataupun tanpa menyertakan Kabupaten Lampung Barat dan
Kabupaten Tanggamus yang masing-masing waktu itu memiliki proporsi tutupan hutan 66 dan 80 Gambar 4. Fenomena ini menyerupai fenomena di P Jawa.
Namun terhadap IPM, maka fenomenanya menjadi berbeda, dengan tidak menyertakan kedua kabupaten yang merupakan wilayah resapan tersebut maka
IPM meningkat dengan bertambahnya proporsi tutupan hutan Gambar 5.
2,0 2,5
3,0 3,5
4,0 4,5
5,0
10 20 30 40 50 60 70 80 PD
RB KP
T Ta
hu n
20 02
Rp Jt
Tutupan Hutan 1988
Lampung Utara
Way Kanan Tanggamus
2,0 2,5
3,0 3,5
4,0 4,5
5,0
10 20
30 40
50 60
70 80
PD RB
Kp tT
ah un
20 02
Rp Jt
Tutupan Hutan 1988
Tulang Bawang
Way Kanan
a Dengan Subwilayah Resapan b Tanpa Subwilayah Resapan
Sumber Mudiyarso dkk., 2006, Diolah
Tulang Bawang
Lampung Timur Lampung Tengah
Lampung Barat Lampun Selatan
Lampung Utara Lampung Tengah
Lampung Selatan Lampung Timur
Gambar 4. Hubungan antara Proporsi Tutupan Hutan 1988 terhadap PDRBKapita 2002 di Provinsi Lampung
63 64
65 66
67 68
10 20
30 40
50 60
70 80
IPM T
ahu n
2002
Tutupan Hutan Tahun 1988
Lamp. Barat Tanggamus
63 64
65 66
67 68
10 20 30 40 50 60 70 80 IP
M T
ahun 2
00 2
Tutupan Hutan Tahun 1988
a Dengan Subwilayah Resapan b Tanpa Subwilayah Resapan
Sumber: Mudiyarso dkk., 2006, Diolah
Gambar 5. Hubungan antara Proporsi Tutupan Hutan 1988 terhadap IPM 2002 di Provinsi Lampung
Dari kedua gambar tersebut dapat ditarik pelajaran bahwa pada proporsi penutupan hutan lebih dari 66 tidak akan dapat meningkatkan pendapatan per
kapita maupun IPM. Sekalipun pertambahan proporsi tutupan hutan tidak
memperlihatkan peningkatan PDRBkapita tetapi kegiatan aforestasireforestasi AR tetap masih sangat penting untuk dilakukan di Provinsi Lampung.
Pentingnya kegiatan AR tersebut ditunjukkan oleh peningkatan IPM dengan bertambahnya proporsi tutupan hutan Gambar 5. Walaupun begitu hendaknya
peningkatan proposi tutupan hutan tidak perlu mencapai tutupan 66 ataupun lebih. Selain itu, dari sisi indikator bahwa IPM merupakan indikator yang lebih
dapat menggambarkan tingkat kesejahteraan masyarakat ketimbang PDRBkapita berhubung IPM menggunakan indeks komposit yang lebih baik dari pada
indikator tunggal berupa PDBRkapita yang belum mencerminkan distribusi kepada siapa pendapatan tersebut berpolar. Indeks komposit penyusun IPM
tersebut juga sering diproksi dengan indeks konsumsi indeks usia harapan hidup waktu lahir, dan indeks pendidikan.
2.5 Kendala Sumberdaya: Teori Moderenisasi Ekonomi Wilayah bagi
Negara-negara Berkembang
Fenomena stagnasi perkembangan kinerja ekonomi wilayah tersebut dapat dijelaskan secara memuaskan dengan menggunakan teori kendala sumberdaya
dalam pembangunan wilayah di negara-negara berkembang. Ulasan teori tersebut adalah sebagai berikut.
Menurut Hayami 2001, walaupun laju pertumbuhan populasi di berbagai negara berkembang telah menurun sejak dekade 1970-an, namun itu akan kembali
muncul dan bersifat eksplosif setidaknya untuk 2 dekade mendatang, terutama pada masyarakat yang pendapatan perkapitanya rendah, yaitu suatu masyarakat
yang dicirikan oleh tingginya dependensi kepada SDA. Dalam skenario pertumbuhan populasi yang terus meningkat, masalah yang umumnya muncul
dalam masyarakat seperti ini adalah bagaimana untuk mempertahankan pertumbuhan pendapatan per kapita secara berkesinambungan dalam kondisi
ketersediaan SDA yang terus menurun. Banyak para ahli yang berupaya untuk menjelaskan fenomena kendala
sumberdaya bagi nasib keberlanjutan pembangunan ekonomi seperti Malthus dan kemudian pada awal 1970-an
The Limit to Growth dari Kelompok Roma. Teori Malthus yang fokus pada sisi perilaku manusia yang dikendalikan oleh
instinct
hewani dalam berkembang biak tanpa mempedulikan aktivitas pembentukan kapital, berarti teori itu hanya merupakan teori populasi dan sulit untuk dapat
disebut sebagai teori ekonomi. Karena itu, ramalan teori ini belum pernah terbukti. Walaupun begitu, dunia belum pernah terlepas dari situasi trauma
Malthusian tersebut. Trauma seperti itu kemudian muncul kembali pada dekade awal 1970-an,
yaitu ketika Kelompok Roma mempublikasikan laporan The Limit to Growth
Meadow et al., 1972 dikutip Hayami, 2001
. Laporan tersebut bukan hanya
menyoroti krisis populasi-pangan, tetapi juga untuk krisis akibat penyusutan SDA dan degradasi lingkungan akibat
overexploitation serta akibat dampak negatif dari limbah akibat terlalu mengejar pertumbuhan ekonomi yang bersifat eksponensial.
Laporan ini memprediksi, jika pertumbuhan ekonomi yang bersifat eksponensial ini tidak dicegah atau dikendalikan, maka industrisalisasi akan terhenti dan
aktivitas perekonomian akan mulai menyusut paling lama dalam 2 dekade dalam abad 21 karena adanya pengurasan SDA. Akibatnya pertumbuhan populasi dunia
akan menyusut karena peningkatan angka mortalitas yang dilecut oleh kekurangan suplai pangan dan degradasi lingkungan.
Laporan tersebut sangat menyita perhatian publik dunia karena setahun setelah dipublikasikan karya tersebut kemudian ternyata terjadi: i krisis pangan
dunia akibat gagal tanam dan ii munculnya pertamakali krisis minyak dunia yang dipicu oleh embargo OPEC sebagai respon dari Perang Timur Tengah.
Harga kedua macam komoditas meningkat beberapa kali lipat. Namun krisis berakhir dan harga berbagai komoditas kembali menurun. Akibatnya efek
publikasi tersebut terhadap perhatian publik menurun bahkan laporan Kelompok Roma tersebut
menuai banyak kritikan utamanya karena ketiadaan landasan teori ekonomi maupun lemahnya dukungan data statistiknya.
Menurut Hayami 2001 keterbatasan utama dari analisis dan simulasi yang dilakukan dalam laporan Kelompok Roma itu terletak pada asumsi yang
bersifat eksponensial untuk pertumbuhan penduduk, tingkat produksi sektor- sektor industri maupun untuk berbagai aktivitas perekonomian lainnya di masa
lalu periode 1900-1970-an yang dianggap tetap tidak berubah di masa depan