Bentuk Model Perilaku Fiskal terhadap Faktor Endogenik

Sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 13 maupun Gambar 19 di atas, bahwa kecuali pada tahun 1996, luasan tutupan hutan secara umum terus mengalami penurunan bersama berlangsungnya proses pembangunan. Kenaikan luasan di dari tahun 1996 ke 1997 sebesar 2,22 tersebut tampaknya diatribusi oleh pertambahan luas hutan rakyat yang ada di hulu maupun di hilir serta pertambahan luas hutan negara yang ada di hulu. Tetapi dalam kurun 21 tahun dari Tahun 1992 ke 2007 telah terjadi korbanan deforestasi secara neto sebesar 635.071 ha atau dengan laju 57.734 hatahun. Gambar 19. Perkembangan Luasan X10 Ribu ha Hutan Rakyat HR dan Hutan Negara HN di Subwilayah Hulu HU dan di Hilir HI Provinsi Lampung Periode 1992-2008 Realitas tersebut seharusnya dapat menggugah para pemegang kebijakan publik untuk lebih menggalakkan implementasi program-program pembinaan hutan kemasyarakatan HKm di provinsi ini mulai dari kultur teknis budidaya sampai dengan pemasaran hasil, baik yang berupa produk kayu sampai nir kayu seperti madu, sutera alam, getah damar, rotan dsb. Dengan kuatnya HKm masyarakat perdesaan telah memperoleh akses terhadap lahan utamanya lahan hutan negara yang telah terdegradasi akut. Dengan begitu property right menjadi jelas, timbul insentif yang kuat bagi para petani gurem untuk melakukan berbagai bentuk investasi setidaknya berupa curahan tenaga, waktu dan mungkin juga uang untuk budidaya hutan dalam kultur teknis agroforestry, mengamankan investasi yang telah dilakukan baik secara individu ataupun secara berkelompok, yang berarti akan sangat mereduksi biaya-biaya transaksi dan akhirnya reforestasi pada kawasan-kawasan hutan negara akan relatif murah untuk dicapai. Pulihnya tutupan hutan tersebut pada gilirannnya akan membangkitkan pendapatan masyarakat melalui bentuk produk material baik kayu ataupun nir kayu selain juga melalui produksi jasa lingkungan atau pulihnya berbagai fungsi intrinsik hutan yang menjadi life support system di wilayah ini. Imajinasi ini sangat mungkin untuk diwujudkan mengingat akses petani terhadap lahan melalui skema HKm tersebut dapat dijamin sampai 30 tahun, suatu jangka waktu yang cukup untuk melakukan amandemen terhadap degradasi fungsi intrinsik hutan yang selama ini telah sangat menekan pencapaian kesejahteraan masyarakat Provinsi Lampung secara agregat. Sebagai catatatan, khususnya untuk implementasi HKm yang belum terlaksana seperti Kabupaten Lampung Utara, Lampung Tengah dan Lampung Timur, hendaknya pembagian lahan hutan kepada masyarakat perlu dilakukan setelah pelaksanaan Pilkada, untuk menghindari bias kepentingan politik yang mungkin terjadi. Tidak semua dampak deforestasi bersifat mudarat, seiringan dengan pesatnya deforestasi di sisi lain juga telah telah membawa berbagai manfaat antara lain ditunjukkan oleh adanya peningkatan berbagai investasi publik seperti infrastruktur di Provinsi Lampung. Dalam Tabel 14 dan Gambar 20 disajikan perkembangan kerapatan panjang jalan beraspal yang merupakan salah satu infrastruktur vital bagi pembangunan wilayah.

5.1.3 Kerapatan Jaringan Jalan dan Kinerja Faktor Endogenik Pertumbuhan Wilayah

Kerapatan jaringan jalan JL merupakan unsur vital dalam upaya untuk memberikan deskripsi tentang aspek untuk mengakses pasar. Jaringan jalan dapat menjadi proksi bagi market tapping apakah itu untuk produk-produk pertanaian maupun industri. Pada Tabel 14 kolom 2 sampai 4 disajikan perkembangan kerapatan jaringan jalan km per 10 ribu ha di subwilayah hulu JL_HU, subwilayah hilir JL_HI serta secara keseluruhan di Provinsi Lampung JL_PROP. Kecuali itu, untuk dapat memberikan gambaran perkembangan ketiga macam kelompok kerapata jaringan jalan menurut runtun waktu, maka disajikan Gambar 20. Tabel 14. Kerapatan Jaringan Jalan Beraspal JL, Km10 Ribu Ha dan Tempat Ibadah IBD per 10 Ribu Penduduk di Hulu HU dan di Hilir HI serta Provinsi Lampung Tahun [JL_HU] [JL_HI] [JL_PROP] [IBD_HU] [IBD_HI] [IBD_ PROP] 1996 3,09 13,43 10,79 30,20 30,29 30,28 1997 10,31 16,03 14,57 31,95 31,86 31,87 1998 14,20 16,62 16,00 31,99 31,65 31,71 1999 14,20 19,80 18,37 31,76 31,29 31,38 2000 13,76 24,50 21,76 32,22 32,34 32,32 2001 14,24 25,91 22,94 32,22 31,59 31,70 2002 14,36 25,91 22,97 31,98 32,32 32,26 2003 12,87 26,75 23,21 33,03 33,48 33,40 2004 18,33 26,73 24,59 33,65 34,83 34,62 2005 19,84 29,35 26,93 36,13 33,74 34,14 2006 21,86 29,38 27,46 38,93 33,90 34,74 2007 22,18 29,38 27,54 39,20 33,52 34,46 2008 22,41 29,89 27,98 38,61 33,47 34,33 Rataan 15,51 24,13 21,93 33,99 32,64 32,86 Sd 5,45 5,71 5,48 3,11 1,29 1,49 Sumber: BPS KabupatenKota se Provinsi Lampung 1997-2009; diolah Dari data tersebut tampak bahwa kerapatan jalan di hilir secara rata-rata menurut runtun waktu memperlihatkan lebih tinggi kerapatan jaringan jalan tersebut dari pada yang ada di subwilayah hilir. Bahkan di subwilayah hilir melebihi dari pada kerapatan rata-rata di Provinsi Lampung. Distribusi semacam ini secara umum dapat difahami, mengingat bahwa jalan merupakan bentang budaya. Artinya kerapatan jalan juga bertalian dengan kerapatan populasi. Lebih dari itu, secara umum juga berkaitan dengan aktivitas sosial, ekonomi dan budaya. Makin rapat jaringan jalan semakin rapat populasi yang berarti semakin intensif aktivitas perekonomian wilayah. Selain itu, dapat difahami bahwa tidak ada aktivitas perekonomian yang tidak terkait dengan aktivitas sosial dan budaya. Aktivitas sosial-budaya tersebut pada akhir juga memberiak feedback pada perekonomian wilayah. Sehubungan dengan itu, dalam aktivitas sosial, budaya maupun perekonomian juga berlangsung proses-proses sosial yang sifatnya sinergis, kompetitif bahkan sampai konflik yang kemudian juga sering berujung pada resolusi. Proses-proses tersebut berlangsung berulang sifatnya dan siklis. Proses- proses seperti ini juga menginisiasi terbentuknya pranata-pranata sosial yang dinamis. Pranata sosial atau kelembagaan sebenarnya merupakan entitas yang sifatnya abstrak dan tidak kasat mata. Namun entitas tersebut hidup di dalam dan dipelihara oleh masyarakat. Karena kelembagaan dalam masyarakat itu sifatnya bukan barang privat yang dapat diekslusifkan, maka sekalipun abstrak proses- proses tersebut memerlukan ruang kejadian atau tempat bagi berlangsungnya perkembangan norma-norma. Kecuali dalam ruang keluarga, proses perkembangan norma-norma tersebut juga umumnya juga berlangsung dalam ruang-ruang publik seperti pasar, balai desa, kantor, masjid, gereja, surau dll. Untuk konteks Indonesia, tempat ibadah IBD diduga masih merupakan tempat pembentukan ataupun pengembangan norma-norma hidup bersama yang di berbagai wilayah masih relatif kuat sampai dewasa ini. Oleh karena itu, seperti dapat pada Gambar 20 dan 5.3, tampak hubungan yang bersesuaian antara kerapatan jaringan jalan dengan kerapatan tempat ibadah. Bahwa kerapatan populasi, telah menyebabkan jejaring makin intensifnya interaksi antarwarga, meningkatkan komunikasi dan terbentuknya jaringan jalan maupun perkembangan kelembagaan di suatu wilayah. Mengingat tak satu orang pun yang dapat hidup menyendiri, melainkan selalu berinteraksi dengan sesama, maka kelembagaan yang timbul juga menguatkan untuk saling bekerja sama, menekan konflik untuk akomodatif. Dalam keadaan seperti itu dapat memunculkan jiwa bisnis diantara anggota masyarakat. Sifat kerja sama dipandang sebagai naluri yang berkembang dalam diri setiap insan. Karakter seperti itu oleh Stimson et al. 2003 dipandang sebagai naluri kerjasama. Dengan kerjasama tersebut maka akan membangkitkan efisiensi yang besar dalam segala usaha manusia. Dengan begitu kinerja kelembagaan Institution yang efektif akan berdampak terhadap kinerja Leadership yang kuat pula.