Peran Resource Endowment dan Kinerja Ekspor dalam Pengembangan

tinggi dapat menyebabkan tingkat perekonomian pada kondisi mapan yang tinggi pula, tetapi tabungan tidak akan dapat menghasilkan pertumbuhan ekonomi secara berkesinambungan, karena efek dari tabungan tersebut akan selalu berakhir pada kondisi mapan tersebut. Tema yang ke dua dari Model Solow 1956 dan 2000 adalah bahwa tingkat pertumbuhan ekonomi merupakan determinan penting bagi peningkatan standar kehidupan. Makin tinggi tingkat pertumbuhan populasi n, maka akan semakin rendah output per pekerja y=YL. Secara diagramatik kedua tema dari Model Solow dapat ditunjukkan dalam Gambar 11 dan 12. Investasi δk s 1 fk BIE 1 S1S0 s fk BIE Outputpekerja [y=fk] sebagai fungsi dari kapitalpekerja [k]. Total investasi adalah sy=sfk. Tingkat tabungan s smenjadi penentu saat kondisi mapan tercapai k. Jika s1s0 maka k 1 k . Di sini δk adalah total penyusutan. Kurva investasi yang konveks menunjukkan: pada awalnya tabungan menyebabkan pertumbuhan yang pesat, berangsur-angsur menuju konstan saat tercapai kondisi mapan. BIE: break event investment yang diperlukan pada saat kondisi mapan dicapai. k k 1 ModalPekerja k Gambar 11. Model Pertumbuhan Solow Mankiw, 2007. Adapun tema yang ke tiga dari Model Solow 1956 dan 2000 adalah bahwa pertumbuhan ekonomi secara berkesinambungan ditentukan oleh tingkat pertumbuhan teknologi g. Akumulasi kapital Δk dalam kondisi mapan dibawah pengaruh kemajuan Ipteks adalah: Δk= sfk – BIE break event investment. Dalam hal ini k=KEL adalah modal per pekerja efektif. Untuk mempertahankan agar k tetap konstan dari penyusutan δk maupun untuk menyediakan modal bagi masuknya tenaga kerja baru nk akibat pertumbuhan populasi serta untuk memfasilitasi kebutuhan para pekerja efektif yang baru gk, maka diperlukan investasi sebesar BIE= δk + nk + gk. Sehingga akumulasi kapital menjadi: Δk= sfk – δ + n + gk {2.1} Secara diagramatik realitas ini disajikan pada Gambar 13. Seperti dapat diperiksa pada Gambar 13 tersebut, bahwa dalam kondisi mapan, tingkat pertumbuhan modaltenaga kerja efektif atau k eff maupun outputk eff atau y memiliki tingkat pertumbuhan nol. Adapun output per pekerja atau YL=yE tumbuh pada tingkat g dan output total tumbuh sebesar n+g. Dengan demikian dapat difahami bahwa kemajuan teknologi dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan standar kehiduan secara berkelanjutan, yang ditunjukkan oleh pertumbuhan output per pekerja di bawah pertumbuhan populasi. Namun demikian, menurut Solow 1956 kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni Ipteks tersebut sifatnya berasal dari luar sistem perekonomian exogenous. S δ+ n 1 k Investasi=sfk δ+ n k Ketika populasi meningkat dari n ke n 1 , maka saat tercapai kondisi mapan tingkat modal per pekerja turun dari ko menjadi k 1 . Dalam hal ini investasi selain untuk mengimbangi depresiasi δk modal juga untuk menyediakan modal bagi pekerja baru δn akibat dari pertumbuhann populasi tersebut. K k 1 k Gambar 12. Pengaruh Pertumbuhan Populasi n terhadap k.Mankiw, 2007 Investasi δ+n+gk sfk BIE Tingkat Pertumbuhan: Δk=KExL=0 Δy=YExL=0 Δ[YL]=yxE =g ΔY=yxExL= n+g Modalpekerja k eff Gambar 13. Dampak Ipteks dalam Model Solow Mankiw, 2007 Karakter sumber pertumbuhan dari Ipteks yang berasal dari luar sistem suatu perekonomian eksogenus ini yang kemudian mendatangkan banyak kritikan seperti dari Lucas 1988, Romer 1990 dll. Kemudian para begawan ini mengusulkan pertumbuhan yang berasal dari dalam sistem perekonomian: New Endogenous Growth NEG Theory, yang secara ringkas dapat disarikan dari Hayami 2001 seperti berikut: Fungsi produksi individu perusahaan ke-i: Y i = EL i α K i β {2.2} Asumsi yang harus dipenuhi bahwa efisensi tenaga kerja bagi perusahaan ke-i tidak tergantung pada produksi pengetahuan dari suatu perusahaan tertentu saja, tetapi bergantung pada produksi pengetahuan yang berasal dari investasi semua perusahaan yang ada dalam suatu sistem perekonomian atau suatu wilayah, yang dapat diungkapkan sebagai berikut: E=aK {2.3} yang dalam Pers. [2.3] tersebut a adalah konstanta yang menentukan hubungan yang paralel antara stok kapital K dengan rataan efisiensi tenaga kerja E dalam suatu sistem perekonomian atau wilayah. Dengan memasukkan Pers.[2.3] ke dalam Pers. [2.2] dan membagi kedua ruas dengan L maka diperoleh: y i =a α L i α K α k i β {2.4} dalam hal ini y i =Y i K i L i dan a α =A dan karena k=KL maka diperoleh: y=AL i α k α k i β {2.5} Lebih lanjut dapat dianggap bahwa dalam kesetimbangan kompetisi jangka panjang seluruh perusahaan mendapatkan nilai optimalitas yang sama dalam melakukan alokasi sumberdaya yang dimilikinya, sehingga k i =k dan y i =y. Oleh karena itu Pers.{2.4} dapat diungkapkan menjadi: Y y=AL α k {2.6} Dalam skenario populasi yang konstan, produk marjinal kapital per tenaga kerja MPK tetap konstan untuk seluruh kisaran k sehingga baik k maupun y secara kontinyu akan terus meningkat secara tidak terbatas. Bahkan jika populasi meningkat, maka y dan k akan terus semakin besar Gambar 14. Karena itu Pers. [2.6] dapat diubah menjadi berikut: YK= AL α {2.7} Ungkapan dalam Pers.[2.7] tersebut di atas memberikan makna bahwa pertumbuhan populasi yang dicirikan oleh petumbuhan L akan mereduksi capital-output ratio YK yang berarti pula meningkatkan keefektifan kapital dalam proses produksi dlm suatu sistem perekonomian. Karena peningkatan populasi n juga berarti meningkatkan jumlah pelaku aktivitas perekonomian yang dapat menemukan berbagai ide baru yang sangat penting bagi setiap proses produksi dalam sistem perekonomian di suatu wilayah. Ini merupakan suatu pandangan yang optimistik sifatnya tentang peranan pertumbuhan penduduk dalam pembangunan ekonomi secara berkelanjutan. y=YL y=Ak S sAk nk Menurut Hayami 2001 bentuk Pers. [2.7] adalah ekivalen dengan Model Harold-Domar, tetapi asumsi yang melandasi berbeda, yang mana dalam Model Harold_Domar K tidak meliputi intangible capital. ModaPekerja k=KL K k 1 Gambar 14. Kurva Pertumbuhan Ekonomi secara Endogenik Hayami, 2001 Untuk lebih memahami terhadap pandangan yang optimistik ini dapat dirujuk uraian dari Mankiw 2007. Perekonomian secara sederhana dapat dikatagorikan menjadi dua sistem. Sistem pertama adalah yang memproduksi barang manufaktur dan yang satunya lagi yang memproduksi Ipteks sebagai berikut: Fungsi produksi manufaktur: Y=f[K,1-µEL {2.8} Fungsi poduksi Ipteks : ΔE=gµE {2.9} Akumulasi Modal : ΔK=sY - ðK {2.10} Ipteks dalam pandangan Hayami 2001 disebut sebagai kapital yang tidak kasat mata intangible capital. Sedangkan produksi barang adalah kapital yang kasat mata tangible capital. Dalam Pes. [2.8] sampai [2.10] tersebut, µ adalah proporsi penduduk yang bekerja di sistem perekonomian yang memproduksi Ipteks seperti universitas, lembaga penelitian dsb. Sedangkan 1-µ proporsi penduduk yang pekerja dalam sistem perekonomian yang memproduksi barang. Sedangkan E adalah persediaan Ipteks yang sagat menentukan efisiensi tenaga kerja. Dari Pers.[2.8] sampai [2.10] tersebut tampak bahwa akumulasi kapital ΔK sangat ditentukan oleh kinerja output Y, sementara Y sangat ditentukan oleh tenaga kerja yang di- augmented oleh Ipteks EL dan semuanya itu sangat tergantung dari proporsi penduduk yang berkerja untuk memproduksi Ipteks µ. Apabila tidak ada orang yang memproduksi Ipteks, maka µ=0. Dalam keadan ini berarti Pers. [2.8] identik model Solow 1956 dimana faktor Ipteks bersifat eksogenik. Namun bila µ0, maka berarti faktor Ipteks menjadi endogenik. Dalam model pertumbuhan endogenik tersebut, secara ringkas dapat dinyatakan bahwa pertumbuhan penduduk secara optimistik akan mendorong pertumbuhan akumulasi modal secara berkesinambungan, berhubung di dalam bagian pertumbuhan populasi tersebut juga akan lahir berbagai Ipteks baru melalui daya cipta manusia yang tidak pernah mengalami depresiasi, bahkan terus berkembang. Namun Hayami 2001 memperingatkan bahwa pandangan optimis saja belum cukup, bahkan sangat berbahaya untuk menyimpulkan kalau pertumbuhan ekonomi dapat dicapai hanya dengan melalui akumulasi kapital baik yang tangible maupun yang intangible saja. Untuk dapat melakukan eksploitasi terhadap kedua jenis kapital tersebut demi untuk memaksimalkan pertumbuhan ekonomi, maka diperlukan pengembangan setting kelembagaan institution agar mampu menfasilitasi bagi berlangsunganya perubahan sikap danpeilaku sesuai dengan tuntutan aspirasi masyarakat sebagai damapak dari perkembangan tingkat kesejahteraan yag dicapai dari hasi-hasil akumulasi kapital. Sejalan dengan ini menurut Stimson et al. 2003, 2005, dan 2006 serta Stimson dan Stough 2008 bahwa pertumbuhan Ipteks, tidak serta-merta akan menyebabkan pertumbuhan ekonomi di suatu wilayah. Suatu Ipteks baru akan akan memiliki kontribusi nyata bagi pertumbuhan perekonomian wilayah manakala suatu Ipteks telah dapat dieksploitasi oleh para wirausahawan atau Entrepreneurs untuk menghasilkan keuntungan yang sama sekali baru melalui sistem pasar. Kecuali itu, menurut para pakar ini agar Entrepreneurships dapat berkembang maka harus ditopang oleh Institution yang efektif dan Leaderships yang kuat di suatu wilayah. Ketiga faktor ini oleh Stimson et al 2003, 2005, dan 2006 dan Stimson dan Stough 2008 disebut bagi faktor endogenik pertumbuhan ekonomi wilayah. Mengingat begitu sentral ketiga faktor endogenik tersebut, maka ketiga faktor ini perlu diulas lebih mendalam peranannya dalam pertumbuhan ekonomi wilayah.

2.8 Peran Faktor Endogenik Pembangunan Ekonomi bagi Pembangunan

Wilayah Pendekatan tradisional dari berbagai teori pembangunan ekonomi wilayah utamanya didasarkan pada teori pertumbuhan eksogenus ekonomi neoklasik yang esensinya terkandung dalam Model Solow 1956 seperti diuraikan di atas. Namun evolusi dalam teori maupun strategi perencanaan pembangunan ekonomi wilayah kini telah mencapai pada perkembangan pada pentingnya peranan faktor- faktor endogenik Stimson et al., 2006; Stimson et al., 2009. Perkembangan ini terjadi merupakan turunan dari munculnya New Growth Theory yang dipelopori antara lain oleh Romer 1990, Lucas 1988 dan lainnya. Walaupun begitu menurut Stimson et al. 2009 sampai kini belum ada suatu definisi baku tentang pertumbuhan ekonomi secara endogenik tersebut. Begitu pula belum ada standar operasional yang spesifik yang dapat mengintegrasikan faktor-faktor endogenik yang telah banyak dihipotesiskan sebagai penentu bagi adanya keragaman kinerja pertumbuhan endogenik ekonomi menurut spasial. Tetapi menurut Stimson et al., 2009 kepeloporan dalam menggunakan faktor-faktor Entrepreneurships, Leaderships dan Institutions yang diajukan oleh Stimson et al., 2003 dan 2005 patut untuk dicatat sebagai model yang mampu menjelaskan bekerjanya faktor-faktor penentu pertumbuhan ekonomi wilayah secara endogenik tersebut. Karena itu ketiga faktor tersebut dianggap sebagai faktor-faktor endogenik. Argumentasi yang diajukan oleh Stimson et al, 2005 adalah bahwa ketiga faktor tersebut merupakan faktor yang menjadi penentu bagi akumulasi pengetahuan untuk menangkap peluang pasar M=market dengan melakukan realokasi sumberdaya yang tersedia Re=resource endowment di wilayah yang bersangkutan. Model tersebut sudah diuji di Australia oleh Stimson et al., 2009 untuk menjelaskan pertumbuhan dan penyusutan tenaga kerja. Karena itu pemahaman mengenai ketiga faktor endogenik tersebut menempati tema sentral dalam penelitian ini.

2.8.1 Pengertian dan Peranan Faktor Leadership dalam Pembangunan

Ekonomi Wilayah 1 Pengertian Faktor Leadership Sebagaimana dikemukakan oleh Parkinson 1990 dikutip Stimson et al., 2003 bahwa Leaderships dalam konteks perencanaan pembangunan ekonomi wilayah bukanlah suatu konsep yang leksikal, tetapi harus dipandang sebagai suatu suasana kapasitas untuk menciptakan dan melanggengkan berbagai mekanisme maupun aliansi untuk mempromosikan regenerasi perekonomian dan mengidentifikasi sampai jangkauan micro-level skills maupun macro-level resource yang dapat membangkitkan kapasitas tersebut. Sementara ini banyak yang menganggap L sebagai ‖orang besar‖. Namun dalam konteks pembangunan ekonomi wilayah, L lebih tepat jika dipandang sebagai ekspresi dari suatu collective action. Dengan demikian L umumnya bukan dipandang sebagai ―peran bintang‖ tetapi sebagai ―collective action”. Oleh karena itu L bisa didefinisikan sebagai ―tendensi komunitas untuk berkolaborasi dalam berbagai sektor kehidupan sehingga dapat meningkatkan kinerja perekonomian di suatu wilayah ” De Santis dan Stough, 1999. Lebih lanjut De Satis dan Stough, 1999 menunjukkan bahwa dalam abad perekonomian yang baru seperti dewasa ini, meningkatnya saling kebergantungan dan perubahan teknologi yang sangat cepat telah membuat kolaborasi bukan saja merupakan suatu keinginan melainkan merupakan suatu keputusan yang kritis sifatnya. Sebelumnya, pengaruh power dan decision-making seringkali digantungkan hanya pada seorang individu tunggal saja dan dalam keadaan seperti itu, L sepenuhnya hanya didasarkan pada suatu kekuasaan tradisional yang memisahkan secara tegas antara pemimpin terhadap pengikutnya. Namun kini, baik power, pengaruhnya, maupun proses pembuatan keputusan decision making-nya kini lebih terdispersi ke berbagai stake holders yang bekerjasama untuk mencapai tujuan bersama common goal. Harus dengan melalui proses kolaborasi dan proses kolektifitas agar suatu wilayah dapat mencapai fleksibilitas maupun pengetahuan yang cukup dalam melakukan penyesuaian terhadap setiap guncangan shock maupun dalam mengikuti perubahan lingkungan yang terus berlanjut Stough et al., 2001. Dengan demikian L dalam pembangunan ekonomi wilayah tidak akan bisa bertumpu pada relasi hirarki tradisional tetapi harus lebih bergantung: i pada hubungan kolaboratif antara para aktor yang terlibat sektor-sektor publik, privat, maupun komunitas; dan ii juga harus didasarkan pada mutual trust dan kooperasi Stimson et al., 2006. Keadaan seperti itu akan selalu mengharuskan situasi pelibatan power sharing, fleksibilitas, dan jiwa kewirausahaan entrepreneurial yang kuat agar dapat mengaktifkan tenaga energizing kepada wilayah sehingga dapat mengejar tantangan kekompetitifan dan agar dapat beradaptasi terhadap perubahan lingkungannya demi memenuhi tantangan tersebut. Semua persoalan tersebut melibatkan kapasitas yang ulet dalam berperilaku untuk menghadapi resiko De Santis dan Stough, 1999. 2 Peranan Faktor Leadership dalam Pembangunan Ekonomi Wilayah Karena L memegang peranan yang utama dalam formulasi framework, maka sangat penting untuk membuat spesifikasi catatan mengenai atribusi bagi L yang dinilai baik untuk pembangunan ekonomi wilayah. Atribusi tersebut meliputi: i menemukenali dan mengantisipasi berbagai problema, terutama kesetimbangan dalam skala besar yang dapat mengancamnya, ii memberikan induksi agar terjadi kolaborasi dan membangun konsensus diantara beragam pemangku kepenting, iii memberikan guidance bagi strategi pembangunan, iv menggalang partispasi yang luas dalam strategi pelaksanaannya, v membangkitkan elicits komitmen terhadap kekosongan slack sumberdaya kelembagaan untuk tujuan yang strategis, dan vi pada perlunya melakukan monitoring terhadap implementasinya untuk mengkaji kemajuannya Stimson et al., 2005. Dengan demikian dan dalam pengertian secara umum bahwa Resource endowment di suatu wilayah dipandang bisa berkonotasi baik kepada keunggulan ataupun ketidakunggulan dari setiap wilayah. Namun suatu wilayah mungkin bisa sukses sekalipun relatif miskin sumberdaya Resource endowment yaitu jika mampu menangkap oportunitas untuk ekspansi perkonomian dan oportunitas ini bisa dicapai melalui Leadership yang kuat dalam seting Institution yang efektif yang bertindak sebagai katalisator dalam pengembangan aktivitas Entepreneurial untuk merentangkan dan mengontrol Re yang ada dan untuk meningkatkan daya tangkap terhadap peluang pasar Market tapping. Sebaliknya kinerja L yang buruk dan dengan I yang tidak sesuai atau tidak efektif maka seringkali menyebabkan Re tersebut digunakan secara tidak efektif pula dan oportunitas pasar pun tidak dapat dikejar atau ditangkap secara efektif pula Stimson et al., 2003; 2005.

2.8.2 Pengertian dan Peran Faktor Institution dalam Pembangunan Ekonomi

Wilayah 1 Pengertian Faktor Institution Kelembagaan atau I nstitution merupakan suatu faktor yang kritis sifatnya dalam menyediakan ―struktur tata aturan” dan ―organisasi” yang berada dalam masyarakat. ―Government‖ merupakan suatu sistem yang mengatur wilayah, Provinsi, kabupaten, kota ataupun negara. Sedangkan “governance” adalah tata cara tata kelola ataupun proses bagi berjalannya tata pemerintahan ataupun berfungsinya pemerintahan Stimson et al., 2005. Menurut Stimson et al. 2003 bahwa kerangka kelembagaan institutional framework akan sangat menentukan struktur insentif dan pada akhirnya akan menentukan berbagai oportunitas bagi setiap anggota dalam suatu masyarakat. Kinerja perekonomian dari suatu wilayah setiap saat pada dasarnya selalu dipengaruhi oleh bagaimana cara keterlibatan institusi , cara institusi menekan ketidakmenentuan uncertainty, cara bagaimana institusi memperkenankan individu untuk dapat mengakses informasi, dan cara bagaimana institusi menekan ketidaksempurnaan pasar sehingga dapat menekan biaya transaksi transaction cost. Institusi itulah yang dapat memberikan stabilitas dalam collective choices. Bila tidak ada mekanisme seperti itu, maka akan menyebabkan kekacauan dalam masyarakat. Pilihan yang diambil oleh para aktor politik maupun agen ekonomi dibentuk oleh peraturan, konvensi sepert nilai-nilai dan keyakinan yang melekat