Sejarah Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat

73

VI. GAMBARAN UMUM PENGELOLAAN SUMBERDAYA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT

6.1. Sejarah Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat

Hutan sebagai asset dan modal pembangunan nasional memiliki potensi dan manfaat sangat besar bagi kemakmuran rakyat Indonesia, baik manfaat ekonomi, sosial budaya maupun lingkungan. Hutan Indonesia menduduki tempat kedua dalam luas setelah Brazil dan mewakili 10 persen dari hutan tropis dunia yang masih tersisa. Hampir 75 persen dari luas lahan Indonesia digolongkan sebagai areal hutan sekitar 144 juta hektar dan 100-110 juta hektar diperkirakan sebagai hutan lindung closed canopy yang lebih kurang 60 juta hektar diperuntukkan bagi hutan produksi Yakin, 1997. Namun sejalan dengan itu, tekanan dan gangguan terhadap kelestarian hutan juga semakin meningkat dan berakibat pada terjadinya kerusakan hutan deforestrasi. Kerusakan hutan yang tinggi dapat mengakibatkan menurunnya daya kemampuan hutan untuk menjalankan fungsi ekologisnya sehingga bisa menimbulkan masalah-masalah lingkungan yang serius seperti erosi dan penurunan kualitas lahan, berkurangnya keragaman hayati biological diversity serta bahkan kenaikan suhu bumi globalwarming. Data laju deforestrasi pada tiga pulau besar yakni Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi dari tahun 1985-1997 adalah sebesar 1.6 – 2 juta hatahun Baplanhutbun, 2000 dalam Santoso, 2005. Selama kurun waktu tiga tahun berikutnya, yakni tahun 1997-2000 untuk lima pulau besar yaitu Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Irian, laju kerusakan hutan dan lahan di dalam dan di luar kawasan semakin cepat yaitu mencapai 3.51 juta hatahun. Sementara kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan berupa reboisasi dan 74 penghijauan yang dilakukan sejak tahun 2001-2003 yang luasnya tercatat hanya 86 242 ha, tidak akan mampu memulihkan kembali hutan yang telah rusak Santoso, 2005. Terjadinya deforestrasi, disebabkan bukan hanya karena kebijakan pemerintah melalui transmigrasi dan pemberian Hak Pengusahaan Hutan HPH tetapi juga karena aktivitas masyarakat baik individu maupun kelompok. Aktivitas masyarakat tersebut, misalnya masih adanya perladangan berpindah di beberapa daerah, dan adanya aktivitas tak terpuji lainnya seperti pencurian kayu dan penebangan liar Yakin, 1997. Selain itu, adanya peningkatan jumlah penduduk, langkanya lapangan kerja dan penegakkan hukum yang lemah, turut berpengaruh dalam mengakibatkan deforestrasi Selama ini pengelolaan hutan lestari ternyata mengalami kegagalan. Pengelolaan hutan secara konvensional bersifat sentralistik dan lebih berorientasi pada produk kayu dengan distribusi hasil tidak merata. Selain itu masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar hutan tidak banyak dilibatkan dalam setiap pengelolaan hutan, masyarakat hanya sebatas sebagai buruh bukan sebagai mitra sejajar Sumarhani, 2004. Berkaitan dengan itu, sebagai upaya melibatkan masyarakat sekitar hutan dalam pengelolaan hutan, pada tahun 1978 telah diadakan Kongres Kehutanan Sedunia VIII di Jakarta dengan tema Forest for People. Pada kongres tersebut terdapat tiga masalah pokok yang mendapat perhatian, yaitu konservasi sumberdaya alam, penyediaan kayu bakar, dan pembangunan kehutanan masyarakat. Gagasan forest for people yang dimaksud tersebut bukan hanya sekedar menyediakan hasil hutan bagi masyarakat atau melibatkan masyarakat dalam pengelolaan hutan, melainkan juga menempatkan masyarakat sebagai aktor utama dalam setiap tahapan pengelolaan hutan negara maupun milik. 75 Upaya-upaya pengelolaan hutan dengan melibatkan masyarakat sekitar hutan sebenarnya telah dirintis oleh Perum Perhutani sejak tahun 1972 melalui berbagai program Sumarhani, 2004, antara lain : 1. Program Prosperity Approach periode tahun 1972 sd 1982. Program ini bertujuan untuk mengembalikan potensi dan fungsi hutan, sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan mengikutsertakan masyarakat dalam pembangunan kehutanan. 2. Program Pembangunan Masyarakat Desa Hutan PMDH periode tahun 1982 sd 1986. Progam ini bertujuan untuk meningkatkan peran serta masyarakat dalam pembangunan sumberdaya hutan, di mana masyarakat diperlakukan sebagai subyek dalam upaya peningkatan kesejahteraannya. 3. Program Perhutanan Sosial periode tahun 1986 sd 1995, di mana sistem perencanaan bersifat kombinasi yaitu bottom up Masyarakat Desa Hutan dan top down Perhutani. Keterlibatan masyarakat mengelola hutan dalam program ini, hanya sebatas terlibat aktif dalam tahapan-tahapan kegiatan tertentu, bukan sebagai pelaku utama seperti halnya pada program hutan kemasyarakatan. Adapun sistem penanaman menggunakan pola wanatani agroforestry selama daur dengan pemberian bantuan sarana produksi tanaman semusim. Selain perbaikan pola tanam, juga dilakukan pembinaan Kelompok Tani Hutan dan usaha produktif di luar kawasan hutan. Pengembangan usaha produktif di luar kawasan hutan meupakan kelanjutan dari program PMDH. Selanjutnya pengembangan usaha produkif ini lebih dikembangkan lagi melalui Usaha Kecil dan Koperasi USKOP. 76 4. Program Pembangunan Masyarakat Desa Hutan Terpadu PMDHT periode tahun 1995 sd 1999, dilaksanakan secara terpadu dengan Pemerintah Daerah dengan maksud untuk menanggulangi masalah-masalah kerawanan sosial-ekonomi masyarakat desa hutan. Sesuai dengan tuntutan reformasi pada tahun 1998, Program Pembangunan Masyarakat Desa Hutan Terpadu dianggap masih belum mampu memberdayakan kesadaran masyarakat dalam kelestarian hutan dan peningkatan ekonomi rakyat secara mandiri. Selain itu adanya kritikanmasukan dari berbagai kalangan terkait, maka Program Pembangunan Masyarakat Desa Hutan Terpadu mengalami penyempurnaan menjadi Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat PHBM.

6.2. Konsep Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat