42
jumlah benih, total produksi, harga output gabah, dan curahan tenaga kerja luar keluarga mempengaruhi peluang petani melakukan kemitraan. Adapun manfaat hubungan
kemitraan bagi petani diketahui dari sisi penerimaannya, di mana dengan bermitra petani penangkar benih lebih efisien dalam pengelolaan usahataninya. Hal ini ditunjukkan dari
nilai RC atas biaya total petani mitra yang lebih tinggi dibanding petani non mitra.
2.3.3. Penelitian Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat
Penelitian Sumarhani 2004 di BKPH Banjarsari KPH Ciamis menunjukkan bahwa kegiatan rehabilitasi hutan melalui kemitraan sistem Pengelolaan Sumberdaya Hutan
Bersama Masyarakat, dengan lahan garapan seluas 0.25 ha, petani mendapat tambahan pendapatan keluarga dari hasil tanaman semusim seluruhnya dan dari hasil panen kayu
sengon yang ditanam diantara tanaman pokok jati. Sementara kegiatan Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat di RPH Cineam KPH Tasikmalaya, pendapatan
bersih yang diperoleh petani dari panen pertama kapulaga basah melalui pemanfaatan lahan di bawah tegakan jati adalah sebesar Rp 600 000 ha.
Selanjutnya, Murniati 2004 melakukan penelitian tentang aspek teknis dan lingkungan, aspek sosial-ekonomi dan budaya, serta aspek kelembagaan dari kemitraan
sistem Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat di berbagai daerah. Secara teknis dan lingkungan, adanya kegiatan reboisasi partisipatif di Sanggau, Kalimantan
Barat, telah mengurangi gangguan kebakaran hutan dan mengurangi praktek ladang berpindah. Sementara secara rehabilitasi zona rehabilitasi TNMB, sepenuhnya dapat
mengakomodasikan kondisi sosial dan budaya masyarakat Jawa dan Madura dalam hal obat-obatan tradisional. Ini terlihat dari pemilihan jenis tanaman obat-obatan dan
43
pengembangan usaha wanafarma melalui pelatihan di bidang kesehatan dan obat-obatan. Rehabilitasi zona rehabilitasi TNMB secara kemitraan dengan masyarakat setempat telah
berhasil memberikan kontribusi pendapatan sebesar 49.22 terhadap total pendapatan keluarga peserta. Secara kelembagaan, diperoleh hasil bahwa kegiatan pendampingan
telah mampu mengembangkan dan memperkuat organisasi masyarakat. Namun, dikarenakan pendampingan ini umumnya dilaksanakan bersamaan dengan pelaksanaan
fisik tanam menanam, sehingga partisipasi dan peran masyarakat peserta terutama dalam proses perencanaan kegiatan masih rendah. Jika masyarakat dilibatkan dan diajak diskusi
dalam perencanaan kegiatan, usulan dari masyarakat masih jarang dijadikan keputusandilaksanakan.
Berdasarkan uraian beberapa hasil penelitian terdahulu, penelitian penulis mengenai aspek kelembagaan kemitraan Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama
Masyarakat dengan menggunakan analisis aspek kelembagaan menurut Schmid serta faktor-faktor sosial ekonomi yang mempengaruhi petani melakukan kemitraan dengan
menggunakan analisis model logit, masih belum ada yang melakukan. Oleh karena itu, penulis berharap hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai kajian atau bahan referensi
dalam rangka pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya ilmu tentang kemitraan.
44
III. KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS