Pemasaran Vanili ANALISIS KEMITRAAN ANTARA PERUM PERHUTANI KPH SUMEDANG DENGAN PETANI VANILI

118

b. Pemasaran Vanili

Kegiatan pemasaran vanili pada kemitraan PHBM di Desa Padasari dilakukan secara bersama-sama antara petani mitra dengan kelompok taninya dan Perum Perhutani. Dalam hal ini, peran kelompok tani lebih besar dibanding dengan Perum Perhutani yang hanya bertindak sebagai pendamping. Kecilnya peran Perum Perhutani dalam kegiatan pemasaran vanili, merupakan kesepakatan bersama dalam rangka menumbuhkan kemandirian para petani mitra, sebagai mitra sejajar dengan Perum Perhutani. Dalam kemitraan PHBM, rata-rata produk vanili yang dijual adalah dalam bentuk basah. Ini dikarenakan sebagian anggota kelompok tani membutuhkan uang tunai dengan segera untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Selain itu, sebagian anggota kelompok tani yang lain ingin segera merasakan hasil yang mereka dapatkan selama mereka melakukan kemitraan. Dalam memasarkan vanili, petani peserta kemitraan PHBM melakukannya dengan cara lelang. Keputusan lelang ini diambil dikarenakan banyaknya permintaan vanili dari para eksportir yang datang ke lokasi penanaman vanili di kawasan hutan, sementara stok yang tersedia terbatas. Biasanya menjelang tiga bulan panen vanili, para pembeli exportir yang rata-rata berasal dari luar kota Sumedang yaitu dari Bandung, Jakarta, dan Jawa Timur bahkan pembeli dari Luar Negeri Jepang, Jerman, Swiss, Amerika, Filipina, Korea, Taiwan, Nepal, Nigeria datang langsung ke lokasi untuk melihat dan memesan vanili. Masing-masing eksportir kemudian menawarkan harga yang berbeda, sehingga harga sangat bervariasi. Oleh karena itu, agar tercapai harga kesepakatan, maka keputusan menggunakan cara lelang adalah yang dianggap paling tepat untuk mengatasi 119 persoalan tersebut. Banyaknya eksportir yang datang langsung ke lokasi, disebabkan tertarik dan mengetahui dengan pasti bahwa vanili yang dihasilkan oleh Kelompok Tani Hutan Bagjamulya di Desa Padasari memiliki kualitas yang sangat baik, sehingga harga jualnya dipastikan tinggi. Kedatangan para eksportir ke lokasi hutan milik Perum Perhutani tersebut berdasarkan informasi dari petani mitra yang menghubunginya melalui telepon, dan juga atas bantuan pihak Perum Perhutani yang mempromosikan vanili melalui kegiatan pameran maupun penyediaan ruang pamer showroom. Berdasarkan mudahnya informasi yang diterima dan banyaknya eksportir yang datang kelokasi penanaman vanili, maka dapat dikatakan struktur pasar vanili di Desa Padasari adalah Oligopoli. Hal ini didasarkan pada terdapatnya beberapa penjual yaitu tiga kelompok tani dan banyaknya pembeli eksportir yang datang. Jika produksi vanili tiga Kelompok Tani Hutan tersebut disatukan, maka struktur pasar berubah menjadi monopoli, di mana terdapat satu penjual dan banyak pembeli. Terlepas daripada itu, selama penelitian ini berlangsung tanaman vanili yang ditanam di lahan Perhutani telah mengalami panen tiga kali. Panen perdana yaitu pada tahun ke tiga dari penanaman tahun 2003 menghasilkan produksi 333.4 kg per Ha vanili basah. Selanjutnya panen kedua yaitu pada tahun keempat penanaman tahun 2004 menghasilkan 833.5 kg per Ha vanili basah. Pada kedua tahun tersebut, produksi rata-rata pohon yaitu 0.2 dan 0.5 kg buah basah. Harga penjualan vanili basah yang disepakati oleh Kelompok Tani adalah Rp 30 000 per kg harga terendah dan Rp 300 000 per kg harga tertinggi. Selanjutnya, pada tahun 2005 dengan produksi rata-rata pohon sebesar 0.7 kg didapatkan hasil sebesar 1 167 kg per Ha vanili basah, di mana pada tahun tersebut harga jual vanili mengalami penurunan, yaitu Rp 15 000 per kg harga terendah sampai 120 Rp 30 000 per kg harga tertinggi. Sementara pada tahun 2006 produksi yang diperoleh sebesar 1 667 kg per Ha dengan harga jual antara Rp 30 000 – Rp 200 000. Lebih jelas mengenai jumlah produksi dan harga jual vanili basah pada Kelompok Tani Bagjamulya pada tahun 2003-2006, dapat dilihat pada Tabel 12. Tabel 12. Jumlah Produksi dan Harga Jual Vanili di Desa Padasari, Tahun 2003-2006 No. Tahun Rata-rata Produksi per Pohon Jumlah Produksi Kg Harga Jual Vanili Basah Rpkg 1. 2003 0.20 333.4 30 000 - 300 000 2. 2004 0.50 833.5 30 000 - 300 000 3. 2005 0.70 1 167 15 000 - 30 000 4. 2006 1.00 1 667 30 000 - 200 000 Sumber : Data Primer diolah, 2006. Ket : Menurut Rismunandar dan Sukma 2002 : Vanili tidak berdasarkan mutu tertentu Harga jual vanili tahun 2005 yang lebih rendah dari harga jual vanili pada panen perdana dan kedua disebabkan oleh melimpahnya produk-produk vanili dipasaran. Tidak hanya di Desa Padasari, produk vanili yang berlimpah ini terjadi juga secara nasional, sehingga harga vanili nasional menjadi rendah. Hal ini disebabkan oleh faktor ketidakjujuran dari beberapa oknum eksportir yang ingin meraih keuntungan yang lebih besar dari hasil penjualan vanili. Ketidakjujuran dalam pemasaran vanili tersebut antara lain melakukan penyuntikan air raksa dan memasukkan paku-paku ke dalam buah vanili sehingga buah menjadi lebih berat. Kenyataan ini berakibat fatal pada perkembangan pemasaran vanili selanjutnya, di mana pihak pembeli di Luar Negeri tidak bersedia menerima vanili asal Indonesia. Khusus di Desa Padasari, selain dikarenakan ulah beberapa oknum eksportir yang tidak jujur, penurunan harga vanili juga disebabkan oleh kerusakan tanaman vanili akibat cuaca yang tidak baik dan akibat tanaman vanili yang sering terinjak-injak. Seperti 121 diketahui, lahan kawasan hutan tempat penanaman vanili seringkali menjadi tempat studi banding dengan daerah-daerah lain sehingga sering dikunjungi oleh berbagai pihak. Selain itu, terdapatnya air terjun dan sumber mata air menyebabkan lahan Perhutani tersebut sering dijadikan wana wisata, sekaligus sebagai ajang camping ground. Dalam pemasaran vanili dengan cara lelang ini pembayarannya dilakukan adalah dengan cara tunai. Petani mitra dalam hal ini setelah memperoleh pendapatan dari hasil penjualan vanili, langsung dipotong untuk bagi hasil dengan Perum Perhutani. Pemotongan bagi hasil ini bersifat fleksibel di mana awal bagi hasil pemotongan sebesar 42.5 persen, dan selanjutnya proporsi bagi hasil bisa berubah.

3. Pemantauan dan Evaluasi

Untuk pelaksanaan pemantauan proses kemitraan PHBM dilakukan oleh Perum Perhutani, Kelompok Tani Hutan, dan pihak yang berkepentingan stakeholders. Sementara evaluasi kemitraan PHBM dilakukan oleh Forum Komunikasi Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat pada tiap tingkatan sekurang-kurangnya enam bulan sekali, dengan sasaran : 1. Perkembangan kegiatan PHBM 2. Tingkat kesejahteraan Kelompok Tani Hutan 3. Tingkat kelestarian sumberdaya hutan 4. Peran dan tanggung jawab Perhutani, Kelompok Tani Hutan dan pihak yang berkepentingan dalam PHBM 5. Dampak program PHBM terhadap masyarakat dan lingkungannya Untuk pembiayaan kemitraan PHBM di dalam kawasan hutan, dibebankan pada anggaran Perum Perhutani Unit III Jabar dan dana lainnya yang sah. 122

4. Partisipasi Petani

Partisipasi aktif petani turut menunjang keberhasilan kemitraan. Keterlibatan langsung petani sangat diperlukan mulai perencanaan, pelaksanaan, dan keberlanjutannya dalam rangka mengidentifikasikan masalah dan pemecahannya. Dalam kemitraan PHBM ini, partisipasi petani mitra secara individu dalam proses pengambilan keputusan yang menyangkut aturan-aturan yang digunakan dalam kelembagaan, masih belum nampak jelas dan lebih banyak menerima dari aturan-aturan yang telah ditetapkan. Kegiatan kelompok hanya diwakili oleh pengurus kelompok. Akan tetapi dalam penentuan sikap yang menyangkut keterlibatan dan hasil yang akan diterima kelompok, perwakilan kelompok selalu bermusyawarah terlebih dahulu dengan seluruh anggota sehingga langkah-langkah yang diambil oleh perwakilan kelompok tersebut merupakan kebijakan yang telah disepakati bersama. Adapun pertemuan kelompok tani diadakan setiap tanggal lima setiap bulan.

5. Sanksi dan Perselisihan

Dalam hal penyelesaian perselisihan yang terjadi antara Perum Perhutani dan petani mitra dilakukan secara musyawarah dan kekeluargaan untuk mufakat. Namun jika secara musyawarah kekeluargaan untuk mufakat tidak tercapai maka kedua belah pihak sepakat untuk menyelesaikan lewat jalur hukum sesuai peraturan dan ketentuan yang berlaku. Seperti dalam hal menyelesaikan perselisihan yang terjadi antara Perum Perhutani dan petani mitra di mana terjadi salah seorang petani mitra memasarkan vanili sendiri tanpa melalui Kelompok Tani dan tanpa membagi hasil dengan Perum Perhutani, maka penyelesaiannya adalah dengan cara diberi peringatanteguran secara intern dari 123 kelompok tani agar tidak mengulangi perbuatannya. Selanjutnya, petani tersebut tetap diharuskan membayar bagi hasilnya yang telah ditetapkan pada waktu panen berikutnya, sehingga terjadi pengunduran waktu pelunasan yang lebih lama dari pada petani lainnya. Jika teguran intern kelompok tani tidak diindahkan, maka dalam hal ini baik Kelompok Tani maupun Perum Perhutani mengajukan penyelesaiannya lewat jalur hukum, di mana petani tersebut akan dicabut keanggotaannya dari Kelompok Tani maupun dari peserta kemitraan. Sementara, pada penyimpangan yang dilakukan oleh pihak Perum Perhutani dalam hal pembiayaan yang tidak ditepati, dalam hal ini petani mitra Kelompok Tani Hutan Bagjamulya akan mengajukan pengalihan biaya. Misalnya, biaya untuk penyerbukan yang seharusnya dibayarkan Perum Perhutani tetapi karena alasan tertentu Perum Perhutani tidak memberikan, maka untuk penggantiannya Perum Perhutani diharuskan membayar dua kali lipat untuk biaya lain, yaitu biaya pemanenan. Pengalihan biaya tersebut adalah berdasarkan kesepakatan bersama. 8.3. Analisis Manfaat Kemitraan Bagi Petani Mitra dan Perum Perhutani 8.3.1. Manfaat Kemitraan Bagi Petani Mitra Salah satu faktor yang menjadi pendorong petani mitra untuk aktif dan meningkatkan partisipasi dalam kemitraan adalah adanya manfaatkeuntungan yang ada dalam kemitraan tersebut. Adapun manfaat dari kemitraan PHBM bagi petani mitra meliputi manfaat teknis, ekonomi, dan sosial. 124

a. Manfaat Teknis