Kemitraan antara Perum Perhutani dan Petani Vanili dalam Upaya Meningkatkan Pendapatan Petani

(1)

1

KEMITRAAN ANTARA PERUM PERHUTANI DENGAN PETANI VANILI DALAM UPAYA MENINGKATKAN PENDAPATAN PETANI : STUDI KASUS PENGELOLAAN

SUMBERDAYA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT DI DESA PADASARI, KECAMATAN CIMALAKA, KABUPATEN SUMEDANG

ERNA RACHMAWATI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

2

SURAT PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul :

KEMITRAAN ANTARA PERUM PERHUTANI DAN PETANI VANILI DALAM UPAYA MENINGKATKAN PENDAPATAN PETANI : STUDI KASUS PENGELOLAAN SUMBERDAYA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT DI DESA PADASARI, KECAMATAN CIMALAKA, KABUPATEN SUMEDANG

adalah hasil karya saya sendiri dengan bimbingan komisi pembimbing, kecuali dengan jelas ditunjukkan rujukannya. Tesis ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di Perguruan Tinggi lain. Semua sumber data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.

Bogor, Maret 2008

Erna Rachmawati NRP. A 545010011


(3)

3

ABSTRACT

ERNA RACHMAWATI. Partnership between Perum Perhutani and Vanilla Farmers in an Effort to Improve the Farmers Income : A Case Study of Community-Based Management of Forest Resources (CBFR) in the Sub-district of Padasari, District of Cimalaka, Regency

of Sumedang. (Under the supervision of Isang Gonarsyah as the head of supervisory

committee, and Yayah K. Wagiono as the member)

In 2001, a community-based management of forest resources (CBFR) partnership between Perum Perhutani and vanilla farmers has been implemented in the Sub-district of Padasari, district of Cimalaka, Regency of Sumedang. To date, however, still not all vanilla farmers are interested to join the partnership. The objectives of this study are to analyze socio-economic factors affecting “vanilla farmers” likelihood of joining the partnership, and to analyze the benefits of CBFR partnership for both vanilla farmers and Perum Perhutani. Methods of analysis used are logit model, institutional economic and cost-benefit analysis.

Results of the study shows that socio-economic factors affecting the likelihood of vanilla farmers joining CBFR partnership are age, formal education, number of productive family members, and land size (hectarage). Institutionally, the implementation of jurisdiction boundary and rules of representative are running well, but implementation of rights and duties by both parties are distorted. Overall, implementation of CBFR partnership has increased vanilla farmers income and better preserved forest environment indicated by a decrease in illegal logging.


(4)

4

RINGKASAN

ERNA RACHMAWATI. Kemitraan antara Perum Perhutani dengan Petani Vanili dalam Upaya Meningkatkan Pendapatan Petani : Studi Kasus Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat di Desa Padasari, Kecamatan Cimalaka, Kabupaten Sumedang. (Isang Gonarsyah sebagai Ketua dan Yayah K. Wagiono sebagai Anggota Komisi Pembimbing)

Dalam upaya meningkatkan pendapatan petani vanili dan sekaligus

mengamankan hutan dari illegal-logging, pada tahun 2001 Perum Perhutani melaksanakan

kemitraan Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) dengan petani vanili di desa Padasari, Kecamatan Cimalaka, Kabupaten Sumedang. Namun hingga saat ini belum semua petani vanili di desa itu tertarik untuk bergabung dengan kemitraan tersebut.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor sosial ekonomi yang mempengaruhi kemungkinan petani melakukan kemitraan, mengidentifikasi aspek kelembagaan kemitraan PHBM, dan menganalisis manfaat kemitraan bagi petani mitra dan Perum Perhutani.

Metode pengambilan sampel petani mitra dilakukan secara purposive yaitu pada

anggota Kelompok Tani Hutan Bagja Mulya yang berjumlah 25 orang. Sementara untuk

sampel petani non mitra dilakukan dengan menggunakan simple random sampling

sebanyak 25 orang. Metode analisis yang digunakan adalah analisis model logit, analisis kelembagaan, dan analisis manfaat kemitraan (manfaat teknis, ekonomi, dan sosial).

Berdasarkan hasil estimasi model logistic regression diketahui bahwa faktor-faktor

sosial ekonomi yang mempengaruhi kemungkinan petani melakukan kemitraan adalah umur petani, pendidikan formal petani, jumlah anggota keluarga produktif, dan luas lahan.

Variabel umur petani menunjukkan tanda negatif (-0.334) dan berpengaruh nyata pada taraf 10 persen. Ini berarti bahwa semakin tinggi (tua) umur petani vanili maka

kemungkinan untuk melakukan kemitraan menjadi semakin kecil. Sementara itu, nilai odds

ratio variabel umur sebesar 0.72 mengandung arti bahwa kemungkinan petani melakukan kemitraan 0.72 kali lebih besar pada petani berusia tua dibanding petani berusia muda.

Variabel pendidikan formal bertanda positif (0.471) dan berpengaruh nyata pada taraf 15 persen. Artinya, semakin tinggi pendidikan formal petani maka kemungkinan untuk

melakukan kemitraan menjadi semakin besar. Kondisi ini didukung oleh nilai odds ratio

variabel pendidikan formal yang menunjukkan angka 1.60. Ini berarti kemungkinan petani melakukan kemitraan 1.60 kali lebih besar pada petani yang pendidikan formalnya relatif tinggi rata 11 tahun) daripada petani yang pendidikan formalnya relatif rendah (rata-rata 6 tahun).

Koefisien estimasi variabel jumlah anggota keluarga produktif bertanda positif (0.436) dan berpengaruh nyata pada taraf 20 persen. Artinya, semakin tinggi/banyak jumlah anggota keluarga produktif maka kemungkinan untuk melakukan kemitraan menjadi


(5)

5

semakin besar. Nilai odds ratio variabel tersebut juga menunjukkan lebih besar dari 1

(satu) yaitu 1.55 yang berarti kemungkinan petani melakukan kemitraan 1.55 kali lebih besar pada petani yang memiliki jumlah anggota keluarga produktif banyak dibanding petani yang jumlah anggota keluarga produktifnya sedikit.

Variabel luas lahan memiliki koefisien estimasi bertanda negatif (-0.0008) dan berpengaruh nyata pada taraf 20 persen, yang berarti bahwa semakin luas lahan yang digunakan untuk usahatani vanili maka semakin kecil kemungkinan petani melakukan kemitraan. Sebaliknya dengan petani vanili yang luas lahannya sempit, kemungkinan

melakukan kemitraan cukup besar. Selanjutnya, nilai odds ratio variabel luas lahan

diketahui sebesar 1.00. Ini berarti bahwa kemungkinan petani vanili melakukan kemitraan 1 (satu) kali lebih besar pada petani vanili yang berluas lahan 0.25 Ha dibanding petani yang berluas lahan 0.30 Ha.

Secara kelembagaan, penerapan batas yuridiksi dan aturan representasi yang

dilakukan oleh Perum Perhutani dengan melibatkan petani mitra dan stakeholders sudah

dilaksanakan dengan baik, namun penerapan hak dan kewajiban oleh masing-masing pihak terdistorsi.

Manfaat teknis dan ekonomi dari kemitraan adalah tercapainya peningkatan pendapatan petani mitra. Hal ini ditunjukkan oleh produktivitas, mutu, dan harga jual vanili yang semakin meningkat. Selain itu nilai BC ratio sebesar 3.14 menunjukkan bahwa usahatani vanili petani mitra sangat menguntungkan dan layak untuk dilanjutkan. Manfaat sosial kemitraan ditunjukkan dengan terjadinya pelestarian lingkungan hutan. Disisi lain,

manfaat kemitraan bagi Perum Perhutani adalah terjadinya penurunan illegal logging.

Direkomendasikan agar Perum Perhutani dapat lebih meningkatkan upaya-upaya sosialisasi dan pembinaan yang berkelanjutan sehingga kemitraan PHBM dapat lebih meluas dan meningkat. Penelaahan secara lebih mendalam mengenai aspek sosial budaya dari kelembagaan kemitraan PHBM perlu kiranya dilakukan.


(6)

6

@ Hak Cipta milik IPB, tahun 2008 Hak Cipta dilindungi Undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.


(7)

7

KEMITRAAN ANTARA PERUM PERHUTANI DENGAN PETANI VANILI DALAM UPAYA MENINGKATKAN PENDAPATAN PETANI : STUDI KASUS PENGELOLAAN

SUMBERDAYA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT DI DESA PADASARI, KECAMATAN CIMALAKA, KABUPATEN SUMEDANG

ERNA RACHMAWATI

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(8)

8

Judul Tesis : Kemitraan antara Perum Perhutani dan Petani Vanili

dalam Upaya Meningkatkan Pendapatan Petani : Studi Kasus Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat di Desa Padasari, Kecamatan Cimalaka, Kabupaten Sumedang.

Nama Mahasiswa : Erna Rachmawati

Nomor pokok : A 545010011

Program Studi : Ilmu Ekonomi Pertanian

Menyetujui,

1. Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Isang Gonarsyah Ir. Yayah K. Wagiono, MEc. Ketua Anggota

Mengetahui,

2. Ketua Program Studi 3. Dekan Sekolah Pascasarjana Ilmu Ekonomi Pertanian

Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA. Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS.


(9)

9

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Ciamis, Jawa Barat tanggal 18 Oktober 1969 sebagai anak keempat dari empat bersaudara dari ayah bernama H.M. Syukur Suryatman (alm) dan ibu bernama Hj. R. Nunung Nuraini.

Penulis menamatkan pendidikan di SDN 18 Depok tahun 1982, SMPN 3 Depok tahun 1985, dan SMA Muhammadiyah Denpasar tahun 1988. Selanjutnya penulis diterima di Universitas Negeri Jember pada tahun yang sama dan memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian Jurusan Sosial Ekonomi tahun 1993.

Penulis menikah tahun 1994 dengan Saiful Arief dan telah dikaruniai tiga orang putra-putri yang bernama Octorine Ula Belladiena, Faris Mujaddid Akbar dan M. Fathi Ulumuddin. Sejak tahun 1997, penulis bekerja sebagai staf pengajar di Jurusan Sosial Ekonomi Fakultas Pertanian Universtas Padjadjaran Bandung. Tahun 2001 penulis mendapat Beasiswa BPPS dan berkesempatan untuk melanjutkan studi Program Magister Sains pada Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian, Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.


(10)

10

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan

rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini yang merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Tesis ini tersusun berkat arahan dan bimbingan dari Komisi Pembimbing, yaitu Prof. Dr. Ir. Isang Gonarsyah, selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Ir. Yayah K. Wagiono, MEc selaku anggota Komisi Pembimbing. Untuk itu, penulis mengucapkan banyak terima kasih yang tulus dan tiada terhingga. Kepada Penguji Luar Komisi yaitu Dr. Ir. Parulian Hutagaol MS, penulis juga mengucapkan banyak terima kasih atas bimbingan dan arahannya. Selanjutnya, kepada : (1) Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, (2) Pimpinan dan staf Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, khususnya Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian, serta (3) Pimpinan dan staf Universitas Padjadjaran Bandung khususnya Fakultas Pertanian jurusan Sosial Ekonomi Pertanian, penulis mengucapkan terima kasih atas kesempatan dan bantuan yang diberikan untuk mengikuti pendidikan di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Tidak lupa juga ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada lembaga/instansi yang telah membantu memperlancar penelitian penulis dengan data-data yang diberikan, khususnya kepada Pimpinan dan staf Perum Perhutani KPH Sumedang, Kepala Desa dan Perangkat Desa Padasari, para anggota Kelompok Tani Hutan Bagja Mulya yang telah bersedia menjadi responden, terutama kepada Bapak Entis Sutisna dan keluarga yang


(11)

11

telah banyak membantu penulis dalam memberikan data dan informasi yang diperlukan dalam penelitian ini. Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada rekan-rekan di Jurusan Sosial Ekonomi Fakultas Pertanian Unpad khususnya kepada rekan penulis yang telah banyak membantu dalam penyelesaian tesis ini yaitu Dr.Ir. Yosini Deliana MS, Ir. Tuti Karyani, MSP, Endah Djuwendah SP.MSi, dan Iwan Setiawan SP,MSi. Selanjutnya, kepada teman-teman dan keluarga besar Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian (EPN) 2001, khususnya teman-teman seperjuangan, Lusi, Fahriyah, Besse, Basith, dan Yuliarmi, penulis mengucapkan terima kasih atas kebersamaannya selama ini. Juga kepada semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu, terima kasih atas segala bantuan yang tak dapat terbalaskan, semoga Allah SWT selalu memberkati usaha dan pekerjaan kita semua.

Terima kasih banyak dan penghargaan yang tidak terhingga penulis sampaikan kepada ayahanda H.M. Syukur Suryatman (alm) dan Ibunda Hj. R. Nunung Nuraini atas segala jasa dalam membesarkan dan mendidik penulis, berkat doa restu serta dorongan semangatnya penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Rasa terima kasih dan penghargaan yang sama penulis sampaikan juga kepada ayahanda M. Noekhin dan Ibunda Kunasih atas segala doa restunya. Khusus untuk suami dan ananda Bella, Faris, dan Addin, terima kasih yang tak terhingga atas segala pengorbanan, kesabaran, cinta, dan doa yang telah diberikan selama ini. Akhirnya dengan segala kekurangan dan keterbatasan yang ada, mudah-mudahan tesis ini dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang memerlukan.

Bogor, Maret 2008


(12)

12

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL... iii

DAFTAR GAMBAR... iv

DAFTAR LAMPIRAN... v

I. PENDAHULUAN... 1

1.1. Latar Belakang... 1

1.2. Perumusan Masalah... 7

1.3. Tujuan Penelitian... 11

1.4. Kegunaan Penelitian... 11

1.5. Ruang Lingkup Penelitian... 12

II. TINJAUAN PUSTAKA... 13

2.1. Konsep Kemitraan... 13

2.2. Profil Komoditi Vanili Indonesia... 17

2.3. Hasil Penelitian Terdahulu... 22

III. KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS... 28

3.1. Kerangka Pemikiran... 28

3.2. Hipotesis... 43

IV. METODE PENELITIAN... 45

4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian... 45

4.2. Metode Pengambilan Sampel... 45

4.3. Jenis dan Sumber Data... 46

4.4. Metode Analisis... 46

V. GAMBARAN UMUM PERUM PERHUTANI... 51

5.1. Profil Perum Perhutani... 51


(13)

13

VI. GAMBARAN UMUM PENGELOLAAN SUMBERDAYA HUTAN

BERSAMA MASYARAKAT... 57

6.1. Sejarah Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat... 57

6.2. Konsep Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat... 60

6.3. Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat di Desa Padasari... 62

6.4. Prosedur Kemitraan Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat di Desa Padasari... 65

VII. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN... 70

7.1. Profil Desa Padasari... 70

7.2. Profil Kelompok Tani Hutan Bagjamulya... 75

7.3. Karakteristik Petani Responden... 80

VIII. ANALISIS KEMITRAAN ANTARA PERUM PERHUTANI KPH SUMEDANG DENGAN PETANI VANILI... 84

8.1. Analisis Faktor-faktor Sosial Ekonomi yang Mempengaruhi Kemungkinan Petani Melakukan Kemitraan... 84

8.2. Analisis Identifikasi Aspek Kelembagaan Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat... 89

8.3. Analisis Manfaat Kemitraan / Keuntungan Kemitraan... 107

IX. KESIMPULAN DAN SARAN... 117

9.1. Kesimpulan... 117

9.2. Saran... 118

DAFTAR PUSTAKA... 119


(14)

14

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Volume dan Nilai Ekspor Vanili Indonesia Tahun 2000–2006... 2

2. Volume dan Nilai Impor Vanili Indonesia Tahun 2000–2006... 3

3. Luas Areal, Produksi, dan Produktivitas Vanili Indonesia Tahun 2000–2006... 4

4. Wilayah Kerja KPH Sumedang per SKPH Tahun 2005... 55

5. Luas Hutan RPH di Kawasan BKPH Tampomas Tahun 2005... 56

6. Komposisi Penduduk Desa Padasari Berdasarkan Kelompok Umur Tahun 2006... 72

7. Komposisi Penduduk Desa Padasari Berdasarkan Tingkat Pendidikan Tahun 2006... 74

8. Karakteristik Faktor Sosial Petani Responden di Desa Padasari Tahun 2006.... 81

9. Karakteristik Faktor Ekonomi Petani Responden di Desa Padasari Tahun 2006... 82

10. Faktor-faktor Sosial Ekonomi yang Mempengaruhi Kemungkinan Petani Melakukan Kemitraan di Desa Padasari... 85

11. Hak dan Kewajiban Perum Perhutani dan Petani Mitra dalam Kegiatan Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat... 94

12. Jumlah Produksi dan Harga Jual Vanili di Desa Padasari Tahun 2003-2006... 104

13. Rata-rata Biaya dan Jumlah Produksi Vanili per Hektar Petani Mitra Tahun 2003-2006... 108

14. Analisis Pendapatan Petani Mitra di Desa Padasari Tahun 2003-2006... 112

15. Asumsi-asumsi Keuntungan Usahatani Vanili per Hektar Petani Mitra di Desa Padasari... 113

16. Kegiatan Pencurian Kayu di RPH Tanjungkerta BKPH Tampomas Tahun 2005-2006... 116


(15)

15

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Diagram Alur Kerangka Berfikir Analisis Kemitraan Antara Perum

Perhutani dengan Petani Vanili di Desa Padasari... 44


(16)

16

DAFTAR LAMPIRAN

No. Halaman

1. Denah Desa Padasari... 124

2. Perhitungan Rasio Jenis Kelamin (sex ratio) dan Man Land Ratio

(MLR) pada Penduduk di Desa Padasari... 125 3. Luas KPH Sumedang, Tahun 2005... 126 4. Data Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kemungkinan Petani Melakukan

Kemitraan... 127

5. Hasil Perhitungan Model Logit Faktor-faktor Sosial Ekonomi yang Mempengaruhi Petani Melakukan Kemitraan... 129 6. Hasil Analisis Pendapatan Usahatani Vanili pada Kemitraan Pengelolaan

Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat... 130 7. Hasil Analisis Finansial Usahatani Vanili Anggota KTH Bagjamulya... 131 8. Tanaman Vanili sedang Berbunga dan Berbuah... 132 9. Lokasi Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat di Desa


(17)

17

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Perkebunan sebagai salah satu subsektor pertanian, mempunyai peranan penting dalam meningkatkan pertumbuhan perekonomian nasional. Baik sebagai sumber penghasil devisa negara, penghasil bahan baku untuk industri dan kesempatan kerja maupun sebagai sumber mata pencaharian sementara penduduk Indonesia.

Selain itu, subsektor perkebunan juga mempunyai keunggulan komparatif dalam beberapa komoditas di pasar dunia yang sementara belum dimanfaatkan secara optimal hingga kini. Pengalaman selama krisis ekonomi, terutama pada tahun-tahun awal (1997-1998) ketangguhan subsektor perkebunan selalu menunjukkan pertumbuhan bernilai positif.

Di antara berbagai komoditas perkebunan non tradisional, vanili merupakan komoditas ekspor yang mempunyai nilai ekonomi cukup tinggi dan telah mempunyai nama cukup baik di pasaran internasional. Ekspor vanili Indonesia yang ditujukan ke beberapa negara seperti Amerika Serikat, Jerman, dan Hongkong sebagian besar adalah dalam

bentuk vanili utuh (vanilla whole) dan dalam bentuk lain (other vanilla) ke negara China,

Malaysia, dan Amerika Serikat (Tampubolon, 2004).

Perkembangan ekspor vanili Indonesia dalam beberapa tahun terakhir (2000-2006) menunjukkan kecenderungan yang fluktuatif. Meskipun demikian sebagai komoditi non tradisional, vanili tetap mampu memberikan kontribusi yang tinggi bagi pertumbuhan perekonomian Indonesia. Perkembangan ekspor vanili Indonesia selama tahun 2000-2006 selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 1.


(18)

18

Tabel 1. Volume dan Nilai Ekspor Vanili Indonesia Tahun 2000 – 2006

Tahun Ekspor

Volume (Ton) Nilai (000 US$)

2000 350 8 503

2001 468 19 309

2002 3 599 19 160

2003 6 363 19 275

2004 741 16 502

2005 278 5 347

2006 499 5 892

Sumber : Departemen Pertanian, 2006.

Tabel 1 memperlihatkan pada tahun 2000-2003 volume dan nilai ekspor vanili Indonesia mengalami peningkatan. Peningkatan ini terjadi karena tingginya permintaan vanili dunia akibat semakin luasnya pemanfaatan vanili. Di pusat konsumsi vanili seperti negara Amerika Serikat, Kanada, Perancis, dan Jerman, vanili tidak hanya digunakan sebagai bahan standar untuk mengubah aroma pada industri pangan, namun telah meluas ke industri parfum, pembuatan susu, permen, dan es “cream”. Sementara itu, menurunnya volume dan nilai ekspor vanili Indonesia pada tahun 2004-2005 disebabkan oleh mutu vanili asal Indonesia yang tidak sesuai dengan standar internasional. Dampak dari penolakan ini menyebabkan vanili menumpuk hampir di seluruh daerah sentra vanili di Indonesia sehingga mengakibatkan kerugian bagi sebagian besar petani vanili.

Terlepas dari fluktuatifnya ekspor vanili tersebut, tingginya permintaan vanili dunia yang mencapai 2 500 ton memberikan peluang dan kesempatan besar bagi Indonesia untuk meningkatkan ekspor. Selama ini sebagai produsen vanili terbesar ke dua setelah negara Madagaskar, Indonesia baru bisa memasok 25 – 30 persen dari kebutuhan pasar dunia.


(19)

19

Di pasar domestik, permintaan vanili sebagai bahan campuran makanan-jadi, meningkat mencapai 26 persen dari seluruh produksi rempah-rempah seiring dengan meningkatnya makanan olahan yang rata-rata mencapai 41.01 persen per tahun (Tombe,

et al, 2002). Untuk memenuhi permintaan vanili (bentuk serbuk) di pasar domestik, Indonesia masih melakukan impor. Ini dilakukan karena Indonesia belum memiliki industri vanillin, baik vanillin alami maupun vanillin sintetis. Lebih lengkap mengenai data impor vanili Indonesia tahun 2000 - 2006 dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Volume dan Nilai Impor Vanili Indonesia Tahun 2000 – 2006

Tahun Impor

Volume (Ton) Nilai (000 US$)

2000 58 766

2001 230 868

2002 1 514 1 346

2003 116 3 732

2004 8.5* 837*

2005 155 636

2006 55.8 282

Sumber : Departemen Pertanian, 2006.

Keterangan : * sampai Juli 2004

Tingginya kebutuhan / permintaan vanili baik dari pasar internasional maupun pasar domestik memberikan prospek yang cerah dan peluang yang besar bagi perkembangan vanili Indonesia. Selain itu harga vanili yang cukup tinggi juga sangat besar pengaruhnya terhadap perluasan komoditas vanili di Indonesia. Seperti yang terjadi pada bulan Maret – April 2004, harga yang diterima petani untuk buah vanili basah berkisar Rp 250 000 – Rp 600 000 per kg dengan kualitas yang tidak ditentukan. Sementara harga buah vanili kering berkisar Rp 1 800 000 – Rp 2 500 000 per kg (Suwandi dan Sudibyanto, 2004). Hal ini membuka kesempatan bagi para petani vanili


(20)

20

untuk terus meningkatkan produksi vanili. Seperti diketahui, produksi vanili Indonesia selama enam tahun terakhir cenderung fluktuatif. Perkembangan produksi vanili nasional selama enam tahun terakhir disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Luas Areal, Produksi, dan Produktivitas Vanili Indonesia Tahun 2000 – 2006 Tahun Luas Areal (ha) Produksi

(ton)

Produktivitas (ton / ha)

2000 14 692 1 681 0.11

2001 14 749 2 918 0.20

2002 15 922 2 731 0.17

2003 15 653 1 656 0.11

2004 24 251 2 252 0.09

2005 25 486 2 366 0.09

2006 25 429 2 584 0.10

Sumber : Departemen Pertanian, 2006.

Tabel 3 memperlihatkan produksi vanili yang cenderung fluktuatif selama tahun 2000 - 2006. Salah satu penyebab terjadinya fluktuasi produksi vanili ini adalah adanya penyakit busuk batang yang menyerang tanaman vanili. Serangan penyakit busuk batang ini mengakibatkan penurunan produktivitas vanili dan menimbulkan kerugian yang sangat besar bagi para petani vanili di seluruh Indonesia.

Terkait dengan fluktuatifnya produksi vanili nasional maka upaya-upaya yang lebih diarahkan pada peningkatan produksi khususnya pengendalian terpadu dan penyediaan bibit tahan terhadap penyakit busuk batang perlu dilakukan. Dalam hal pencegahan maupun pengendalian penyakit busuk batang dapat dilakukan dengan menerapkan cara budidaya vanili yang benar, mulai dari penyiapan bibit, penanaman, pemeliharaan, dan cara panen (Ruhnayat, 2004). Sementara dalam hal penyediaan bibit tahan terhadap penyakit busuk batang, Balai Penelitian Tanaman Tropis (Balittro) telah menghasilkan bibit


(21)

21

mikroorganisme yang dapat menginduksi ketahanan tanaman. Efektifitas FoNP menghasilkan bibit yang bebas penyakit busuk batang lebih baik dibandingkan dengan fungisida (Bun, 2004). Ditemukannya bibit vanili bebas fusarium ini, diharapkan dapat meningkatkan produksi / produktivitas vanili.

Di sisi lain, keberhasilan dalam mengembangkan tanaman vanili tidak hanya dicerminkan oleh peningkatan produksi / produktivitas vanili saja ataupun devisa yang diperoleh negara, namun dalam dimensi yang lebih luas keberhasilan tersebut harus dilihat dari peningkatan pendapatan dan kesejahteraan para petaninya. Oleh karena itu, terkait dengan berbagai upaya peningkatan pendapatan petani vanili, maka upaya kerjasama dengan perusahaan yang berskala besar merupakan salah satu upaya petani vanili untuk mencapai tujuan tersebut. Dalam hal ini kerjasama antar subsektor pertanian, yaitu subsektor perkebunan yaitu tanaman vanili dengan subsektor kehutanan (agroforestri) mempunyai peluang yang baik untuk dikembangkan.

Salah satu konsep agroforestri yang saat ini sedang dikembangkan adalah

Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masayarakat (PHBM) yang merupakan salah satu kebijakan pengelolaan sumberdaya hutan yang dikeluarkan oleh Perum Perhutani

berdasarkan konsep Community Based Forest Management. Melalui Surat Keputusan

Ketua Dewan Pengawas Perum Perhutani No 136/KPTS/DIR/2001 tentang Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat ditetapkan bahwa sistem pengelolaan dilaksanakan bersama antara Perum Perhutani selaku pihak pengelola kawasan hutan dan masyarakat desa hutan serta pihak-pihak yang berkepentingan terhadap pengelolaan


(22)

22

Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat ini (selanjutnya disingkat PHBM) merupakan paradigma baru pembangunan kehutanan yang bertumpu pada kepentingan masyarakat melalui pendekatan partisipatif. Dalam hal ini masyarakat diposisikan sebagai pelaku utama pembangunan kehutanan yang tidak lagi hanya berorientasi pada hasil kayu tetapi pada keseluruhan sumberdaya hutan.

Salah satu daerah pengembangan agroforestri di Provinsi Jawa Barat adalah

Kabupaten Sumedang. Kabupaten Sumedang memiliki hutan yang cukup luas, yaitu

sebesar 37.5 persen dari luas daerah keseluruhan yang terdiri atas hutan negara (44.473

km2) dan hutan rakyat (13.718 km2). Dengan adanya luas hutan yang cukup besar, secara

tidak langsung mendukung kondisi kehidupan pertanian di Kabupaten Sumedang karena resapan air yang diberikan oleh hutan cukup memadai untuk mengairi masalah pertanian.

Salah satu dari 56 desa yang berada di sekitar kawasan hutan yang tersebar di seluruh Kecamatan di Kabupaten Sumedang yang telah melaksanakan kegiatan sosialisasi PHBM adalah Desa Padasari, Kecamatan Cimalaka. Terpilihnya Desa Padasari menjadi salah satu daerah sosialisasi PHBM dikarenakan letak daerahnya yang berada di bawah kaki gunung Tampomas dan berada di sekitar kawasan hutan yang dikelola oleh Perum Perhutani KPH Sumedang yaitu BKPH Tampomas.

Di Desa Padasari, kegiatan PHBM ini dilaksanakan bersama antara Perum Perhutani Unit III KPH Sumedang selaku pihak pengelola kawasan hutan, masyarakat desa hutan yaitu Kelompok Tani Hutan Bagjamulya, dan pihak-pihak yang berkepentingan

terhadap pengelolaan sumberdaya hutan (stakeholders).

Kemitraan PHBM di Desa Padasari ini dilatarbelakangi oleh adanya kebutuhan yang saling mengisi antara Kelompok Tani Hutan Bagjamulya dan Perum Perhutani, di


(23)

23

mana Kelompok Tani membutuhkan lahan dan modal untuk kegiatan usahatani vanili, sementara Perum Perhutani membutuhkan tenaga untuk mengelola dan mengamankan hutan. Kegiatan yang saling mengisi antara petani vanili dan Perum Perhutani melalui

kemitraan PHBM ini diharapkan dapat menumbuhkembangkan sense of belonging petani

vanili khususnya anggota Kelompok Tani Hutan Bagjamulya dalam memfungsikan dan memanfaatkan sumberdaya hutan sekaligus juga dapat mengupayakan peningkatan pendapatan petani melalui usahatani vanili.

Sebagai implementasi PHBM di Desa Padasari, pada tahun 2001 telah dilakukan penanaman vanili di bawah tegakan pinus merkusii dengan seluas 6 ha yang berlokasi di petak 11a RPH Tanjungkerta BKPH Tampomas. Selanjutnya pada tahun 2002 penanaman vanili diperluas menjadi 30.25 ha dengan areal tambahan di tiga petak (10b, c, dan 13 c) (Perhutani, 2005). Diperluasnya areal penanaman vanili tersebut, membuktikan bahwa pengusahaan vanili dengan sistem tumpang sari telah memberikan hasil yang baik, sehingga diharapkan dapat menghasilkan produksi/produktivitas yang lebih tinggi yang pada akhirnya dapat meningkatkan pendapatan petani vanili.

1.2. Perumusan Masalah

Konsep kemitraan diharapkan dapat menjadi salah satu solusi untuk mengatasi ketimpangan ekonomi usaha skala besar (perusahaan) dengan usaha skala kecil (petani). Adanya kebutuhan yang saling mengisi memungkinkan terciptanya harmonisasi dalam kemitraan yang pada akhirnya akan menguntungkan kedua belah pihak. Demikian halnya dengan kemitraan PHBM di Desa Padasari yang dilakukan oleh petani vanili yang tergabung dalam Kelompok Tani Hutan Bagjamulya dengan Perum Perhutani, didasari


(24)

24

oleh adanya kebutuhan dari masing–masing pihak, di mana petani memerlukan tambahan lahan dan modal untuk mengusahakan tanaman vanili sementara Perum Perhutani memerlukan sumberdaya manusia (petani vanili) sebagai tenaga kerja yang dapat digunakan untuk membantu mengelola hutan. Dengan demikian, diharapkan kemitraan PHBM di Desa Padasari ini dapat memberikan keuntungan bagi kedua belah pihak, khususnya bagi para petani vanili.

Sebagai suatu inovasi yang membawa perubahan ke arah yang lebih baik, kemitraan PHBM di Desa Padasari mempunyai kelebihan dan daya tarik yang tinggi bagi masyarakat sekitar. Selain sebagai kemitraan lintas subsektor antara perkebunan (kebun vanili milik rakyat) dan kehutanan (hutan milik Perum Perhutani), kelebihan lain dari kemitraan PHBM adalah adanya sistem bagi hasil yang jarang dijumpai pada bentuk kemitraan lain. Adanya kelebihan dari kemitraan tersebut diharapkan menjadi daya tarik bagi para petani vanili sehingga petani bersedia menjadi anggota. Namun, pada kenyataannya hanya sebagian kecil petani vanili yang tertarik dan sebagian besar tidak tertarik dengan kemitraan PHBM. Bagi petani vanili yang tertarik pada kemitraan, besar kemungkinan akan mengambil keputusan untuk melakukan kemitraan sedangkan petani vanili yang tidak tertarik kemungkinan besar tidak akan melakukan kemitraan. Dugaan ini sangat beralasan karena dalam proses adopsi inovasi seorang petani setelah melewati tahap penaruhan minat / ketertarikan maka kemungkinan untuk menerapkan / melakukan suatu inovasi menjadi sangat besar (Kartasapoetra, 1994). Begitu juga sebaliknya.

Terkait dengan itu, adanya ketertarikan petani terhadap kemitraan yang selanjutnya mengambil keputusan untuk melakukan kemitraan pada dasarnya merupakan hasil dari pemahaman dan pola pikir petani yang dipengaruhi oleh faktor sosial dan


(25)

25

ekonomi. Faktor sosial petani itu meliputi umur, pendidikan, pengalaman berusahatani, jumlah anggota keluarga, status sosial, status penguasaan lahan, informasi teknologi yang meliputi frekuensi penyuluhan dan kontak lembaga. Sementara faktor ekonomi yang mempengaruhi pengambilan keputusan petani adalah luas lahan, jumlah tenaga kerja, pendapatan, status lahan, keanggotaan dalam kelompok tani, resiko, tersedianya kredit, serta kelembagaan. Berdasarkan uraian tersebut maka menjadi jelas bahwa faktor-faktor sosial ekonomi dapat mempengaruhi kemungkinan petani vanili untuk melakukan kemitraan PHBM. Oleh karenanya, faktor-faktor sosial ekonomi petani vanili di Desa Padasari menjadi penting untuk diketahui lebih lanjut, khususnya mengenai faktor sosial ekonomi apa saja yang paling dominan dan berapa besar pengaruhnya terhadap petani di dalam melakukan kemitraan PHBM.

Selanjutnya, kemitraan sebagai strategi bisnis yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih dalam rangka meraih keuntungan bersama (Hafsah, 2000), maka keberhasilan kemitraan sangat ditentukan oleh adanya kepatuhan di antara yang bermitra dalam menjalankan etika bisnis kemitraan. Sehubungan dengan itu, dalam melaksanakan kemitraan PHBM di Desa Padasari kepatuhan antara petani vanili yang tergabung dalam Kelompok Tani Hutan Bagjamulya dengan Perum Perhutani dalam menjalankan etika bisnis kemitraan sudah seharusnya dilakukan. Hal ini dikarenakan sebagai suatu kelembagaan, kemitraan PHBM tidak dapat dipisahkan dari aspek fungsional dan struktural yang mendasari eksistensi kemitraan tersebut. Ini berarti kemitraan tersebut mencakup seperangkat peraturan, perjanjian, dan kesepakatan yang diterapkan dan harus ditaati oleh masing-masing pihak pelaku.


(26)

26

Terkait dengan hal tersebut, sebagai lembaga yang terdiri dari dua pihak yang berbeda skala usaha maka besar kemungkinan dalam pelaksanaan kemitraan PHBM pun dapat terjadi konflik / permasalahan karena masing-masing pihak akan memaksimumkan kepuasannya. Selama ini seperti diketahui, banyak kemitraan yang sudah tidak berjalan lagi dikarenakan hubungan yang dilakukan antara perusahaan mitra dan petani mitra hanya sebatas hubungan majikan dan buruh, di mana perusahaan mitra memandang kemitraan tersebut sekedar belas kasihan dan sekedar memenuhi himbauan pemerintah, sementara petani mitra memandang perusahaan cenderung memanfaatkan mereka dan tidak tulus membantu. Oleh karena itu, adanya aturan main yang jelas, dalam hal ini adanya hak dan kewajiban masing-masing pihak yang harus dilaksanakan, diharapkan dapat meminimumkan kemungkinan konflik yang terjadi dalam kemitraan. Dengan demikian, berdasarkan uraian di atas maka penting untuk diketahui sejauhmana aspek kelembagaan dari kemitraan PHBM ini, ditinjau dari aspek batas kewenangan, aspek pelaksanaan hak dan kewajiban, dan aspek aturan representasi.

Selanjutnya, sebagai suatu inovasi yang membawa perubahan ke arah yang lebih baik, maka dapat dikatakan bahwa kemitraan dapat memberikan manfaat / keuntungan bagi para anggotanya. Adanya manfaat dalam kemitraan ini dapat menjadi motivasi dan dorongan bagi para anggotanya untuk terus meningkatkan partisipasinya dalam kemitraan. Sebaliknya jika kemitraan itu tidak memberikan manfaat / keuntungan maka besar kemungkinan para anggotanya tidak bersedia melanjutkan kemitraan. Sehubungan dengan itu, mengingat kemitraan PHBM sebagai suatu inovasi dan sejak 2001 sampai sekarang masih tetap berjalan, maka menarik untuk dikaji bagaimana hubungan kemitraan


(27)

27

yang telah dijalin selama ini, apakah telah memberikan manfaat / keuntungan bagi kedua belah fihak yang bermitra khususnya pada petani mitra.

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan uraian latar belakang dan perumusan masalah, penelitian ini bertujuan untuk :

1. Menganalisis faktor-faktor sosial ekonomi yang mempengaruhi kemungkinan petani vanili melakukan kemitraan PHBM.

2. Mengidentifikasi aspek kelembagaan dari kemitraan PHBM.

3. Menganalisis manfaat / keuntungan dari kemitraan PHBM bagi petani mitra dan Perum Perhutani.

1.4. Kegunaan Penelitian

Adapun kegunaan dari penelitian ini adalah :

1. Sebagai bahan informasi dan pertimbangan bagi pemerintah dan instansi terkait dalam menyusun kebijakan, khususnya kebijakan mengenai pelaksanaan kemitraan PHBM dalam upaya pengembangan komoditas vanili.

2. Sebagai bahan masukan dan evaluasi bagi Perum Perhutani untuk terus

meningkatkan hubungan kerjasama yang baik dengan petani vanili dalam kegiatan kemitraan PHBM.

3. Sebagai bahan masukan bagi kelompok tani untuk lebih meningkatkan keterlibatannya dalam seluruh kegiatan PHBM dalam upaya meningkatkan kesejahteraan anggotanya.


(28)

28

4. Sebagai bahan referensi maupun informasi bagi peneliti dalam melakukan penelitian lebih lanjut untuk pengembangan komoditas vanili, juga bagi pihak terkait dalam rangka pengembangan kemitraan.

1.5. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian

Bertitik tolak pada permasalahan dan tujuan penelitian, ruang lingkup dan keterbatasan penelitian ini adalah :

1. Komoditas vanili yang diteliti dalam penelitian ini adalah vanili basah. Mutu vanili yang diteliti ditentukan secara agregat, yaitu mutu nomor 1 (satu).

2. Analisis kemitraan dibatasi hanya pada hubungan kemitraan antara petani vanili dan Perum Perhutani, tidak menganalisis struktur dan manajemen Perum Perhutani secara keseluruhan.


(29)

29

II. TINJAUAN MENGENAI KONSEP DAN PUSTAKA

2.1. Konsep Kemitraan

Secara harfiah kemitraan diartikan sebagai suatu strategi bisnis yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih dalam jangka waktu tertentu untuk meraih keuntungan bersama dengan prinsip saling membutuhkan dan saling membesarkan (Hafsah, 2000).

Adapun definisi kemitraan secara resmi diatur dalam Undang-Undang Usaha Kecil No 9 Tahun 1995. Pasal 1 ayat 8 Undang-Undang Usaha Kecil menyatakan bahwa kemitraan merupakan kerjasama antara usaha kecil dengan usaha menengah atau besar dengan memperhatikan prinsip saling memerlukan, saling memperkuat, dan saling menguntungkan. Sementara berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 940/Kpts/OT.210/10/97 yang dimaksud dengan kemitraan usaha pertanian adalah kerjasama usaha antara perusahaan mitra dengan kelompok mitra di bidang usaha pertanian.

Adapun pola-pola kemitraan yang banyak dilaksanakan oleh beberapa kemitraan usaha pertanian di Indonesia (Direktorat Pengembangan Usaha Departemen Pertanian, 2002) meliputi :

1. Inti-Plasma

Merupakan hubungan kemitraan antara perusahaan mitra dengan kelompok mitra. Perusahaan mitra bertindak sebagai inti dan kelompok mitra bertindak sebagai plasma. Dalam hal ini, perusahaan mitra mempunyai kewajiban : (1) berperan sebagai perusahaan inti, (2) menampung hasil produksi, (3) membeli hasil produksi, (4) memberi bimbingan teknis dan pembinaan manajemen kepada kelompok mitra, (5)


(30)

30

memberikan pelayanan kepada kelompok mitra berupa permodalan/kredit, sarana produksi, dan teknologi, (6) mempunyai usaha budidaya pertanian/memproduksi kebutuhan perusahaan, dan (7) menyediakan lahan. Sementara kewajiban kelompok mitra : (1) berperan sebagai plasma, (2) mengelola seluruh usaha budidaya sampai dengan panen, (3) menjual hasil produksi kepada perusahaan mitra, (4) memenuhi kebutuhan perusahaan sesuai dengan persyaratan yang telah disepakati. Keunggulan dari pola ini adalah : (1) kedua belah pihak saling mempunyai ketergantungan dan sama-sama memperoleh keuntungan, (2) terciptanya peningkatan usaha, dan (3) dapat mendorong perkembangan ekonomi. Namun, dikarenakan belum adanya kontrak kemitraan yang menjamin hak dan kewajiban komoditas plasma, kelemahan pola ini menyebabkan perusahaan inti mempermainkan harga komoditi plasma. 2. Subkontrak

Merupakan hubungan kemitraan antara perusahaan mitra dengan kelompok mitra. Kelompok mitra dalam hal ini memproduksi komponen yang diperlukan oleh perusahaan mitra sebagai bagian dari produksinya. Tugas perusahaan mitra dalam pola subkontrak, meliputi : (1) menampung dan membeli komponen produksi perusahaan yang dihasilkan oleh kelompok mitra, (2) menyediakan bahan baku / modal kerja, dan (3) melakukan kontrol kualitas produksi. Sementara tugas kelompok mitra adalah : (1) memproduksi kebutuhan yang diperlukan perusahaan mitra sebagai komponen produksinya, (2) menyediakan tenaga kerja, dan (3) membuat kontrak bersama yang mencantumkan volume, harga, dan waktu. Pola subkontrak ini sangat kondusif bagi terciptanya alih teknologi, modal, keterampilan, dan produktivitas serta terjaminnya pemasaran produk pada kelompok mitra. Namun sisi kelemahannya


(31)

31

tampak dari hubungan yang terjalin semakin lama cenderung mengisolasi produsen kecil dan mengarah pada monopoli atau monopsoni.

3. Dagang Umum

Salah satu pola kemitraan di mana perusahaan mitra berfungsi memasarkan hasil produksi kelompok mitranya atau kelompok mitra memasok kebutuhan yang diperlukan perusahaan mitra. Keuntungan pola ini adalah pihak kelompok mitra tidak perlu bersusah payah dalam memasarkan hasil produksnya sampai ke konsumen. Sementara kelemahannya terletak pada harga dan volume produk yang sering ditentukan secara sepihak oleh perusahaan mitra sehingga merugikan kelompok mitra. 4. Keagenan

Pola keagenan merupakan hubungan kemitraan di mana kelompok mitra diberi hak khusus untuk memasarkan barang atau jasa usaha perusahaan mitra. Sementara perusahaan mitra bertanggung jawab atas mutu dan volume produk. Keuntungan pola ini bagi kelompok mitra bersumber dari komisi yang diberikan perusahaan mitra sesuai dengan kesepakatan. Namun disisi lain pola ini memiliki kelemahan dikarenakan kelompok mitra dapat menetapkan harga produk secara sepihak. Selain itu kelompok mitra tidak dapat memenuhi target dikarenakan pemasaran produknya terbatas pada beberapa mitra usaha saja.

5. Kerjasama Operasional Agribisnis (KOA)

Dalam pola ini perusahaan mitra menyediakan biaya, modal, manajemen dan pengadaan sarana produksi untuk mengusahakan atau membudidayakan suatu komoditi pertanian, sedangkan kelompok mitra menyediakan lahan, sarana, dan


(32)

32

tenaga kerja. Keunggulan pola ini hampir sama dengan pola inti-plasma, namun dalam pola ini lebih menekankan pada bentuk bagi hasil.

6. Waralaba

Merupakan pola hubungan antara kelompok mitra dengan perusahaan mitra, di mana perusahaan mitra memberikan hak lisensi, merek dagang, saluran distribusi perusahaannya kepada kelompok mitra usahanya sebagai penerima waralaba. Kelebihan pola ini, kedua belah pihak sama-sama mendapatkan keuntungan sesuai dengan hak dan kewajibannya. Keuntungan tersebut dapat berupa adanya alternatif sumber dana, penghematan modal, dan efisiensi. Selain itu pola ini membuka kesempatan kerja yang luas. Kelemahannya, bila salah satu pihak ingkar dalam menepati kesepakatan sehingga terjadi perselisihan. Selain itu, pola ini menyebabkan ketergantungan yang sangat besar dari perusahaan terwaralaba terhadap perusahaan pewaralaba dalam hal teknis dan aturan atau petunjuk yang mengikat. Sebaliknya perusahaan pewaralaba tidak mampu secara bebas mengontrol atau mengendalikan perusahaan terwaralaba terutama dalam hal jumlah penjualan.

7. Pola Kemitraan (Penyertaan) Saham

Dalam pola kemitraan ini, terdapat penyertaan modal (equity) antara usaha kecil

dengan usaha menengah atau besar. Penyertaan modal usaha kecil dimulai sekurang-kurangnya 20 % dari seluruh modal saham perusahaan yang baru dibentuk dan ditingkatkan secara bertahap sesuai kesepakatan kedua belah pihak.


(33)

33

Salah satu alasan ekonomi dari hubungan kerjasama kemitraan adalah akan tercipta perusahaan yang berskala besar, sehingga perusahaan akan lebih efisien dan lebih kompetitif daripada skala kecil (Oktaviani dan Daryanto, 2001).

Sementara tujuan yang ingin dicapai dalam pelaksanaan kemitraan, adalah (1) meningkatkan pendapatan usaha kecil dan masyarakat, (2) meningkatkan perolehan nilai tambah bagi pelaku kemitraan, (3) meningkatkan pemerataan dan pemberdayaan masyarakat dan usaha kecil, (4) meningkatkan pertumbuhan ekonomi pedesaan, wilayah dan nasional, (5) memperluas kesempatan kerja, dan (6) meningkatkan ketahanan ekonomi nasional (Hafsah, 2000).

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hubungan bisnis yang terjadi dalam kemitraan harus mampu menghasilkan integrasi bisnis yang saling berkaitan dan menjamin terciptanya keseimbangan, keselarasan, keterpaduan yang dilandasi saling menguntungkan, saling membutuhkan dan saling membesarkan. Disamping itu, kemitraan harus mengandung konsekuensi peningkatan nilai lebih pada semua elemen mulai dari pengadaan sarana produksi, usahatani, pengolahan hasil, distribusi dan pemasaran. Dengan kata lain, kemitraan seharusnya mengandung makna kerjasama sinergi yang menghasilkan nilai tambah.

2.2. Profil Komoditi Vanili Indonesia

Tanaman vanili merupakan warga dari famili Orchidaceae (anggrek-anggrekan),

terdiri atas 700 genus dan 20 000 species. Terdapat 110 jenis vanili yang tersebar di

daerah tropis, tetapi yang bernilai ekonomis baru tiga jenis, yaitu Vanilla planifolia


(34)

34

Tanaman vanili telah dikenal di Indonesia sejak tahun 1819. Dekade 60-an tanaman vanili telah berkembang pesat mulai dari daerah Jawa Barat lalu menyebar ke Jawa Tengah dan Jawa Timur. Meskipun produksi vanili Indonesia saat itu masih rendah,

namun di pasaran dunia, vanili Indonesia sudah dikenal dan sering disebut sebagai “java

vanilla beans”. Salah satu keunggulan vanili Indonesia adalah kadar vanillin yang lebih tinggi dibandingkan dengan vanili dari negara-negara lain, yaitu 2.75 persen. Selain itu jenis vanili yang ditanam di Indonesia merupakan jenis yang paling disukai di pasaran

dunia yaitu Vanilla planifolia Andrews.

Pengusahaan vanili di Indonesia sebagian besar dilakukan dalam bentuk perkebunan rakyat dan sisanya dalam perkebunan swasta. Sampai saat ini, daerah pengembangan vanili di Indonesia meliputi Sumatera, Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Kalimantan, Sulawesi dan Maluku. Daerah sentra produksinya adalah Sumatera Utara, Lampung, Jawa Barat, Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, dan Sulawesi Selatan.

Dalam pengusahaannya, tanaman vanili ini sangat sesuai ditanam pada ketinggian 400 - 600 m dpl, memerlukan naungan sebagai peneduh, dan tidak menyukai lingkungan yang lembab. Tekstur tanah lempung berpasir, dengan pH 6 – 7, struktur gembur, berhumus, dan drainase yang baik. Iklim yang optimal dengan curah hujan antara 1 500 – 2 000 mm/tahun, temperatur 24 – 26 derajat Celsius, dengan jumlah hari hujan 80 – 178 dan adanya 2 – 3 bulan kering. Untuk mendapatkan hasil vanili yang baik diperlukan persyaratan, yakni adanya musim kemarau yang tegas lebih kurang 3 bulan, adanya naungan dengan intensitas matahari 30 - 50 persen, dan ketersediaan air cukup sehingga peralatan selalu lembab (Hadisutrisno, 2005).


(35)

35

Tanaman vanili mulai berbunga setelah 2 – 3 tahun dan berbuah setiap tahun sampai umur 10 – 12 tahun. Karena tanaman ini yakni penyerbukan secara alami tidak

dapat berlangsung dengan baik, untuk itu harus dibantu oleh manusia (hand pollinating)

atau dengan bantuan hewan seperti burung atau lebah. Buah vanili dapat dipetik dalam waktu 8 – 9 bulan setelah penyerbukan, dengan produksi per pohon 0.5 – 2 kg buah basah.

Produk-produk vanili Indonesia yang diekspor kebanyakan masih dalam bentuk polong kering. Polong panili kering ini dapat diolah lebih lanjut menjadi ekstrak oleoresin yang penggunaannya di luar negeri cukup banyak. Ekspor vanili dalam bentuk oleoresin lebih menguntungkan karena tidak memerlukan tempat yang besar untuk mengemas dan nilai jualnya lebih tinggi. Keuntungan lain bentuk oleoresin dibandingkan dengan bentuk aslinya sebagai berikut (Ruhnayat (2004) :

1. Bebas dari kontaminasi mikroorganisme.

2. Mempunyai tingkat aroma yang lebih kuat dibandingkan dengan bahan aslinya. 3. Lebih mudah dalam proses pencampuran dalam pengolahan makanan.

Permasalahan dalam pengusahaan vanili di Indonesia adalah produktivitas dan mutu yang masih rendah. Produktivitas dipengaruhi antara lain oleh tingkat kesesuaian lingkungan tumbuh, teknik budidaya, varietas, dan serangan penyakit. Di berbagai daerah, serangan penyakit busuk batang menjadi faktor utama penyebab rendahnya produktivitas vanili. Namun, serangan penyakit tersebut dapat dicegah sedini mungkin apabila diterapkan cara budidaya yang benar mulai dari penyiapan bibit, penanaman, pemeliharaan dan cara panen (Ruhnayat, 2004). Dengan menerapkan cara budidaya yang


(36)

36

benar diharapkan tanaman vanili dapat berproduksi secara baik tanpa kendala yang berarti.

Sementara itu, mutu vanili umumnya dipengaruhi oleh umur panen, jumlah buah per tandan, dan proses pengolahan setelah panen. Dalam hal ini, masih banyaknya petani yang melakukan panen (petik) buah muda dan terbatasnya pengetahuan petani dalam melakukan pengolahan vanili secara benar menjadi faktor utama penyebab rendahnya mutu vanili di berbagai daerah di Indonesia.

Adapun faktor-faktor yang mendorong petani vanili melakukan petik muda (Mauludi, 1992 dalam Rachmawati, 1993), antara lain disebabkan oleh :

1. Kebutuhan hidup yang harus dipenuhi secara kontinyu.

2. Terjadinya pencurian sehingga untuk menghindarinya petani cenderung merasa lebih aman apabila memetiknya lebih awal.

3. Adanya para pedagang pengumpul yang masih mau dan bersedia membeli vanili muda tanpa memperhatikan mutu.

Buah vanili yang dipetik muda akan menghasilkan grade / mutu non standard yang harganya sangat rendah, sehingga pendapatan yang diperoleh petani akan menjadi rendah pula. Berbeda dengan buah vanili yang dipetik tepat waktu, pendapatan yang diterima petani dapat mencapai 18 kali lipat lebih tinggi dibandingkan dengan buah vanili yang dipetik muda (Trubus, 1991 dalam Rachmawati, 1993).

Di sisi lain, untuk mengatasi terbatasnya pengetahuan petani dalam melakukan pengolahan vanili secara benar maka peran kelompok tani menjadi sangat penting sebagai media dalam memberikan penyuluhan dan bimbingan tentang pengolahan vanili yang


(37)

37

benar sesuai dengan syarat-syarat yang telah ditentukan, sehingga pada akhirnya para petani mampu menghasilkan mutu vanili yang lebih baik.

Berkaitan dengan aspek produksi (dalam hal ini produktivitas dan mutu vanili), aspek pemasaran pun merupakan hal penting dalam pengembangan vanili di Indonesia. Hal ini dikarenakan meningkatnya produksi tidak akan mempunyai arti jika tidak dapat dipasarkan dengan baik dan memperoleh harga yang tinggi (Kartasapoetra, 1986). Berkaitan dengan aspek pemasaran vanili, diketahui lembaga pemasaran yang terlibat dalam pemasaran vanili terdiri dari pedagang pengumpul (tingkat desa, tingkat kabupaten, kecamatan atau antar pulau) dan eksportir. Secara umum saluran pemasaran vanili di Indonesia adalah (Rismunandar dan Sukma, 2004) :

1. Petani pengumpul pengolah eksportir, 2. Petani pengumpul dan pengolah eksportir, 3. Petani pengumpul pengolah dan eksportir, 4. Petani dan pengolah eksportir,

5. Petani pengolah dan eksportir, dan 6. Petani sekaligus pengolah dan eksportir.

Bervariasinya jalur pemasaran vanili tersebut disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya adalah faktor geografis, akses transportasi, dan volume penjualan (Suwandi dan Sudibyanto, 2004). Sejalan dengan itu, studi yang dilakukan Mauludi (1994) menunjukkan bahwa petani yang langsung menjual produk vanilinya kepada eksportir akan menerima harga yang lebih tinggi dibandingkan hanya menjualnya ke pedagang perantara atau pedagang pengumpul. Selain itu, pasar vanili pada tingkat pedagang besar ternyata kurang bersaing/kurang efisien dan cenderung oligopsonistik.


(38)

38

2.3. Hasil Penelitian Terdahulu 2.3.1. Penelitian Tanaman Vanili

Penelitian mengenai pendapatan petani dan pemasaran vanili di Kabupaten

Banyuwangi dilakukan oleh Rachmawati (1993). Dengan menggunakan analisis B/C Ratio dan R/C Ratio, diketahui bahwa pada lahan sedang (0.5 Ha – 2 Ha) usaha tani vanili lebih layak / menguntungkan dari pada di lahan sempit (0.1 Ha – 0.49). Hal ini menunjukkan bahwa pendapatan petani dari usaha tani vanili di lahan sedang lebih tinggi. Di sisi lain, diketahui bahwa saluran pemasaran II merupakan saluran pemasaran yang lebih efisien. Hal ini terlihat dari rantai pemasaran yang lebih pendek dan jumlah marjin pemasaran yang nilainya lebih kecil dari pada saluran pemasaran I.

Mauludi (1994) menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi efisiensi pemasaran vanili di Propinsi Bali. Dengan menggunakan analisis marjin pemasaran dan regresi linear berganda dengan pendugaan kuadrat terkecil biasa (OLS) diperoleh hasil bahwa marjin pemasaran vanili di Propinsi Bali dipengaruhi secara bersama-sama oleh harga beli, volume penjualan, biaya angkutan, dan biaya susut. Namun secara parsial keempat faktor tersebut memberikan peranan/pengaruh yang berbeda pada masing-masing tingkat pedagang. Selanjutnya, dengan menggunakan analisis korelasi harga diketahui bahwa pasar vanili pada tingkat pedagang besar ternyata kurang bersaing/kurang efisien (cenderung oligopsonistik).

Penelitian tentang faktor produksi pada usaha tani vanili dengan menggunakan model Cobb Douglas dilakukan oleh Slameto dan Asnawi (1997) di Desa Jabung, Lampung Tengah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa produksi vanili di daerah Jabung, Lampung Tengah dapat ditingkatkan dengan menambah luas lahan dan frekuensi


(39)

39

pemangkasan pohon penegak. Penambahan areal satu persen akan meningkatkan produksi sebesar 2.4241 persen sedangkan penambahan satu persen pemangkasan

pohon penegak produksi akan meningkat sebesar 0.7061 persen, ceteris paribus.

Selanjutnya Malian, Rachman, dan Djulin (2004) melakukan penelitian mengenai permintaan ekspor dan daya saing vanili di Provinsi Sulawesi Utara dengan menggunakan

model analisis permintaan dan integrasi pasar serta Policy Analysis Matrix (PAM). Hasil

penelitian menunjukkan bahwa komoditas ekspor vanili Indonesia bersifat subsitusi terhadap vanili dari Madagaskar dan Komoro di pasar Amerika Serikat, sementara integrasi harga antara harga di tingkat petani dengan harga ditingkat eksportir sangat lemah dan bersifat asimetrik. Hasil analisis daya saing menunjukkan bahwa secara umum petani vanili memiliki keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif dengan nilai DRCR dan PCR lebih kecil dari satu. Meskipun keragaan produksi dan produktivitas vanili masih tergolong rendah, namun peluang pengembangan komoditas masih terbuka. Dalam hal ini instrumen kebijakan insentif terhadap harga input sangat diperlukan.

Penelitian vanili selanjutnya yaitu mengenai penawaran ekspor vanili Indonesia dilakukan oleh Ilham, Suhartini, dan Sinaga (2004). Dengan menggunakan pendekatan ekonometrik dengan metode 2SLS, disimpulkan bahwa : (1) luas tanam menghasilkan dipengaruhi oleh upah tenaga kerja secara negatif, dalam jangka pendek belum responsif terhadap perubahan tingkat upah tetapi dalam jangka panjang menjadi responsif, (2) produktivitas vanili dipengaruhi secara positif oleh harga vanili domestik namun tidak responsif terhadap perubahan harga, (3) ekspor vanili Indonesia ke Jerman dan Amerika Serikat dipengaruhi oleh ekspor tahun sebelumnya, (4) transmisi harga ekspor ke harga


(40)

40

yang diterima petani sangat lemah sementara transmisi harga dunia ke harga ekspor cukup erat.

2.3.2. Penelitian Kelembagaan / Kemitraan

Penelitian kelembagaan tataniaga Bahan Olah Karet Rakyat (Bokar) dilakukan

oleh Haris (1999) di pusat-pusat produksi karet rakyat di wilayah Propinsi Sumatera Selatan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa berdasarkan aspek kelembagaan diketahui bahwa penegakkan hak dan kewajiban pelaku transaksi sebagaimana tertuang dalam kontrak kerjasama pada kelembagaan kemitraan, cenderung lemah. Diduga hal ini disebabkan oleh tidak sejajarnya posisi rebut tawar pihak-pihak yang bermitra. Pada umumnya petani mengkaitkan keikutsertaan pada kelembagaan kemitraan dengan program pengembalian kredit kebun serta beban moral sebagai petani peserta proyek yang telah mendapat bantuan pemerintah dalam pengembangan kebun karetnya.

Sementara itu, dengan menggunakan model multinominal logit diketahui bahwa kondisi

sosial ekonomi petani yaitu berupa pendidikan non formal dan jumlah pendapatan keluarga secara positif mempengaruhi peluang petani dalam mengikuti kemitraan.

Warning dan Key (2000) melakukan penelitian tentang dampak dari program

kemitraan di Senegal. Dengan menggunakan pendekatan deskriptif biaya (cost),

penerimaan (revenue), dan pengeluaran (expenditure), diketahui bahwa secara signifikan

kemitraan dapat meningkatkan pendapatan petani dan menyebabkan meningkatnya taraf hidup masyarakat bahkan berdampak ganda terhadap tenaga kerja, peningkatan infra struktur, pertumbuhan ekonomi wilayah, dan peningkatan teknologi usahatani.

Selanjutnya, dengan menggunakan modelbinominal probit, hasil penelitian menunjukkan


(41)

41

kemitraan. Banyaknya peralatan pertanian menyebabkan produktivitas meningkat sehingga kemampuan petani membayar pinjaman meningkat.

Penelitian kemitraan yang lain yaitu mengenai usahatani kontrak pada agribisnis sayuran serta peranannya dalam optimasi penggunaan faktor produksi dilakukan oleh Sulistyowati (2003). Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari segi aspek kelembagaan terlihat bahwa wewenang pihak mitra lebih dominan dibanding posisi petani, selain itu dalam pelaksanaan kemitraan terjadi beberapa penyimpangan, baik yang dilakukan oleh perusahaan mitra maupun petani mitra meskipun hak dan kewajiban masing-masing pihak sudah diatur dalam kontrak. Disisi lain, pelaksanaan usahatani kontrak ternyata berperanan dalam meningkatkan efisiensi alokatif pendapatan dan R/C usahatani, namun belum berperan dalam meningkatkan produktivitas lahan.

Selanjutnya Romano (2004) melakukan penelitian tentang faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kinerja kemitraan pada agribisnis jagung, kentang dan jeruk di Propinsi Sumatera Utara. Dengan menggunakan analisis SWOT diketahui bahwa keunggulan mitra utama meliputi pengolahan, kemampuan menyediakan sarana dan prasarana produksi, pengendalian mutu, dan jaringan pasar. Kelemahan mitra utama meliputi fluktuasi suplai dalam kuantitas dan harga. Sementara dari sisi petani jagung, kentang dan jeruk, diketahui keunggulan petani meliputi ketersediaan lahan dan tenaga kerja keluarga. Sedangkan, kelemahan petani yaitu dalam pengadaan modal dan keterjaminan pasar produk.

Puspitawati (2004) melakukan penelitian tentang kemitraan antara Perum Pertani dengan petani penangkar benih padi di Kabupaten Karawang dengan menggunakan


(42)

42

jumlah benih, total produksi, harga output (gabah), dan curahan tenaga kerja luar keluarga mempengaruhi peluang petani melakukan kemitraan. Adapun manfaat hubungan kemitraan bagi petani diketahui dari sisi penerimaannya, di mana dengan bermitra petani penangkar benih lebih efisien dalam pengelolaan usahataninya. Hal ini ditunjukkan dari nilai R/C atas biaya total petani mitra yang lebih tinggi dibanding petani non mitra.

2.3.3. Penelitian Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat

Penelitian Sumarhani (2004) di BKPH Banjarsari KPH Ciamis menunjukkan bahwa kegiatan rehabilitasi hutan melalui kemitraan sistem Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat, dengan lahan garapan seluas 0.25 ha, petani mendapat tambahan pendapatan keluarga dari hasil tanaman semusim seluruhnya dan dari hasil panen kayu sengon yang ditanam diantara tanaman pokok jati. Sementara kegiatan Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat di RPH Cineam KPH Tasikmalaya, pendapatan bersih yang diperoleh petani dari panen pertama kapulaga basah melalui pemanfaatan lahan di bawah tegakan jati adalah sebesar Rp 600 000 / ha.

Selanjutnya, Murniati (2004) melakukan penelitian tentang aspek teknis dan lingkungan, aspek sosial-ekonomi dan budaya, serta aspek kelembagaan dari kemitraan sistem Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat di berbagai daerah. Secara teknis dan lingkungan, adanya kegiatan reboisasi partisipatif di Sanggau, Kalimantan Barat, telah mengurangi gangguan kebakaran hutan dan mengurangi praktek ladang berpindah. Sementara secara rehabilitasi zona rehabilitasi TNMB, sepenuhnya dapat mengakomodasikan kondisi sosial dan budaya masyarakat Jawa dan Madura dalam hal obat-obatan tradisional. Ini terlihat dari pemilihan jenis tanaman obat-obatan dan


(43)

43

pengembangan usaha wanafarma melalui pelatihan di bidang kesehatan dan obat-obatan. Rehabilitasi zona rehabilitasi TNMB secara kemitraan dengan masyarakat setempat telah berhasil memberikan kontribusi pendapatan sebesar 49.22 % terhadap total pendapatan keluarga peserta. Secara kelembagaan, diperoleh hasil bahwa kegiatan pendampingan telah mampu mengembangkan dan memperkuat organisasi masyarakat. Namun, dikarenakan pendampingan ini umumnya dilaksanakan bersamaan dengan pelaksanaan fisik tanam menanam, sehingga partisipasi dan peran masyarakat peserta terutama dalam proses perencanaan kegiatan masih rendah. Jika masyarakat dilibatkan dan diajak diskusi dalam perencanaan kegiatan, usulan dari masyarakat masih jarang dijadikan keputusan/dilaksanakan.

Berdasarkan uraian beberapa hasil penelitian terdahulu, penelitian penulis mengenai aspek kelembagaan kemitraan Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat dengan menggunakan analisis aspek kelembagaan menurut Schmid serta faktor-faktor sosial ekonomi yang mempengaruhi petani melakukan kemitraan dengan menggunakan analisis model logit, masih belum ada yang melakukan. Oleh karena itu, penulis berharap hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai kajian atau bahan referensi dalam rangka pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya ilmu tentang kemitraan.


(44)

44

III. KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

3.1. Kerangka Pemikiran

Pembangunan seringkali didefinisikan sebagai pertumbuhan dan perubahan. Oleh karena itu, pembangunan pertanian yang berhasil dapat diartikan kalau terjadi pertumbuhan sektor pertanian yang tinggi dan sekaligus terjadi perubahan masyarakat tani dari yang kurang baik menjadi lebih baik (Soekartawi, 1996).

Salah satu upaya pembangunan yang menghendaki perubahan masyarakat tani

ke arah yang lebih baik adalah pembangunan di bidang agroforestri. Di saat petani

mengalami krisis lahan dan penggunaan lahan tidak sesuai dengan peruntukannya maka melakukan pembangunan atau kegiatan di bidang agroforestri merupakan alternatif yang tepat bagi para petani dalam upaya meningkatkan pendapatan petani / penduduk miskin dengan cara memanfaatkan sumberdaya yang tersedia (lahan) yang berada di kawasan hutan.

Agroforestri itu sendiri didefinisikan oleh International Council for Research in

Agroforestry sebagai suatu sistem pengelolaan lahan dengan berasaskan kelestarian yang meningkatkan hasil lahan secara keseluruhan, mengombinasikan produksi tanaman dan tanaman hutan dan/atau hewan secara bersamaan atau berurutan pada unit lahan yang sama dan menerapkan cara-cara pengelolaan yang sesuai dengan kebudayaan setempat (King dan Chandler (1978) dalam Hairiah, K. dkk, (2003)).

Sementara menurut Lundgren dan Rainters (1982) dalam Hairiah, K. dkk, (2003) agroforestri adalah istilah kolektif untuk sistem-sistem dan teknologi-teknologi penggunaan lahan yang secara terencana dilaksanakan pada suatu unit lahan dengan


(45)

45

mengombinasikan tumbuhan berkayu (pohon, perdu, palem, bambu dll) dengan tanaman pertanian dan/atau hewan (ternak) dan/atau ikan yang dilakukan pada waktu yang bersamaan atau bergiliran sehingga terbentuk interaksi ekologis dan ekonomis antar berbagai komponen yang ada.

Berdasarkan definisi tersebut agroforestri memiliki unsur-unsur : 1. Penggunaan lahan atau sistem penggunaan lahan oleh manusia.

2. Penetapan teknologi.

3. Komponen tanaman semusim, tanaman tahunan dan/atau ternak atau hewan. 4. Waktu bisa bersamaan atau bergiliran dalam suatu periode tertentu.

5 Ada interaksi ekologi , sosial, dan ekonomi.

Sebagai suatu sistem atau teknologi penggunaan lahan, pengembangan

agroforestri antara lain bertujuan : (1) Pemanfaatan lahan secara optimal yang ditujukan

kepada produksi hasil tanaman berupa kayu dan non kayu secara berurutan dan/atau bersamaan, (2) Pembangunan hutan secara multifungsi dengan melibatkan peran serta masyarakat secara aktif, (3) Meningkatkan pendapatan petani/penduduk miskin dengan memanfaatkan sumberdaya yang tersedia dan meningkatnya kepedulian masyarakat terhadap upaya peningkatan kesejahteraan keluarga miskin dilingkungannya guna mendukung proses pemantapan ketahanan pangan masyarakat, (4) Terbinanya kualitas daya dukung lingkungan bagi kepentingan masyarakat luas (Lundgren dan Rainters (1982) dalam Hairiah, K. dkk, 2003).

Beberapa keunggulan agroforestri jika dibandingkan dengan sistem penggunaan lahan lainnya yaitu dalam hal :


(46)

46

1. Produktivitas. Beberapa penelitian membuktikan bahwa produk total sistem campuran dalam agroforestri jauh lebih tinggi dibandingkan pada monokultur. Adanya tanaman campuran memberikan keuntungan karena kegagalan satu komponen/jenis tanaman akan dapat ditutup oleh keberhasilan komponen/jenis tanaman lainnya.

2. Diversitas. Pengkombinasian dua komponen atau lebih pada sistem agroforestri menghasilkan diversitas yang tinggi. Dari segi ekonomi dapat mengurangi resiko kerugian akibat fluktuasi harga pasar, sementara dari segi ekologi dapat menghindarkan kegagalan fatal pemanen sebagaimana dapat terjadi pada budidaya

tunggal (monokultur).

3. Kemandirian. Diversifikasi yang tinggi dalam agroforestri diharapkan mampu memenuhi kebutuhan pokok masyarakat dan petani kecil, sekaligus melepaskannya dari ketergantungan terhadap produk-produk luar. Kemandirian sistem untuk berfungsi akan lebih baik dalam arti tidak memerlukan banyak input dari luar (al pupuk,

pestisida) dengan diversitas yang lebih tinggi daripada sistem monokultur.

4. Stabilitas. Praktek agroforestri yang memiliki diversitas dan produktivitas yang optimal mampu memberikan hasil yang seimbang sepanjang pengusahaan lahan sehingga dapat menjamin stabilitas (dan kesinambungan) pendapatan petani.

Salah satu desa yang telah mengembangkan kegiatan agroforestri adalah Desa Padasari Kecamatan Cimalaka Kabupaten Sumedang. Desa ini memiliki potensi besar dalam perkebunan vanili (milik rakyat/petani) dan hutan (milik Perum Perhutani). Adapun kegiatan agroforestri yang kini sedang dilaksanakan di Desa Padasari adalah Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat (PHBM).


(47)

47

PHBM berdasarkan Ketentuan Umum Keputusan Ketua Dewan Pengawas Perum

Perhutani No.136/KPTS/DIR/2001, merupakan suatu sistem pengelolaan sumberdaya hutan yang dilakukan bersama oleh Perum Perhutani dan masyarakat desa atau Perum

Perhutani dan masyarakat desa dengan pihak yang berkepentingan (stakeholders) dengan

jiwa berbagi, sehingga kepentingan bersama untuk mencapai keberlanjutan fungsi dan manfaat sumberdaya hutan dapat diwujudkan secara optimal dan proporsional.

Di Desa Padasari, terbentuknya PHBM dilatarbelakangi oleh adanya kebutuhan yang saling mengisi antara Kelompok Tani Hutan Bagjamulya dan Perum Perhutani, di mana Kelompok Tani membutuhkan tambahan lahan dan modal untuk kegiatan usahatani vanili, sementara Perum Perhutani membutuhkan tenaga untuk mengelola dan mengamankan hutan. Diharapkan kegiatan yang saling mengisi tersebut dapat

menumbuhkembangkan sense of belonging petani vanili khususnya anggota Kelompok

Tani Hutan Bagjamulya dalam memfungsikan dan memanfaatkan sumberdaya hutan sekaligus juga dalam mengupayakan peningkatan pendapatan petani melalui usahatani vanili.

Terkait dengan upayapeningkatan pendapatan petani maka kemitraan PHBM di

Desa Padasari pada dasarnya dapat dikatakan sebagai suatu inovasi. Definisi inovasi adalah suatu ide, informasi, dan praktek-praktek yang belum banyak diketahui, diterima, dan digunakan atau dilaksanakan oleh sekelompok warga masyarakat dalam suatu lokalitas tertentu untuk melaksanakan perubahan di bidang ekonomi, politik, dan sosial budaya demi terciptanya mutu hidup seluruh masyarakat yang bersangkutan (Mardikanto, 1993).


(48)

48

Ada empat faktor yang menjadi perhatian dan pertimbangan masyarakat/petani mengenai suatu inovasi, yaitu : (1) secara teknis memungkinkan, (2) secara ekonomi menguntungkan, (3) secara sosial memungkinkan, dan (4) sesuai dengan kebijakan pemerintah (Hernanto, 1989).

Proses penerapan inovasi itu sendiri akan melewati tahap demi tahap yang berbeda untuk setiap petani. Pada dasarnya proses penerapan inovasi petani meliputi lima

tahapan (Kartasapoetra, 1994) yaitu : (1) mengetahui dan menyadari (awareness), (2)

penaruhan minat (interesting), (3) Penilaian (evaluation), (4) melakukan percobaan (trial),

dan (5) penerapan inovasi (adoption).

Inovasi yang disampaikan kepada petani pada kenyataannya banyak mengalami kendala sehingga kecepatan menerapkan inovasi menunjukkan adanya perbedaan satu sama lain. Berdasarkan cepat lambatnya dalam penerapan inovasi, petani dapat

dikelompokkan atas lima kategori (Kartasapoetra, 1994) yaitu : (1) Innovator, kelompok

kosmopolit yang berani dan gemar dengan pembaharuan, (2) Early Adopter, penerap

inovasi lebih dini, (3). Early Majority, penerap inovasi awal, (4) Late Majority, penerap

inovasi yang lebih akhir, dan (5) Laggards, penolak inovasi. Selanjutnya, keputusan petani

terhadap inovasi memungkinkan petani untuk melanjutkan mengadopsi (continued

adoption) atau menghentikannya (discontinuance). Bisa saja petani yang menolak inovasi,

akan terus mencari informasi lebih lanjut dan terlambat mengadopsinya (later adoption)

atau tetap menolak (continued rejecttion) sesuai dengan informasi yang diterimanya.

Sehubungan dengan uraian tersebut, pada proses sosialisasi kemitraan PHBM di Desa Padasari terdapat petani yang tertarik dan mendukung kemitraan (kelompok


(49)

49

tidak tertarik dan tidak mendukung kemitraan (kelompok laggard). Bagi petani vanili yang

tertarik dan mendukung kemitraan menganggap bahwa kemitraan tersebut merupakan suatu inovasi dan mempunyai harapan dalam meningkatkan pendapatan, sehingga petani ini mempunyai kemungkinan besar melakukan kemitraan. Sementara petani vanili yang tidak tertarik dan tidak mendukung kemitraan mempunyai anggapan bahwa sangat berat jika harus melakukan kemitraan karena harus berperan aktif, baik dalam melakukan usahatani vanili maupun dalam mengelola dan mengamankan hutan. Oleh karenanya, para petani ini dapat dikatakan mempunyai kemungkinan untuk tidak melakukan kemitraan.

Terdapatnya perbedaan akan ketertarikan dan dukungan petani terhadap kemitraan PHBM menunjukkan terdapatnya keberagaman pemahaman dan pola berpikir dari para petani vanili yang disebabkan oleh faktor-faktor sosial ekonomi yang melingkupi petani itu. Adapun faktor-faktor sosial ekonomi yang diduga mempengaruhi kemungkinan petani melakukan kemitraan yaitu :

1. Umur petani

Umur petani diduga berpengaruh negatif, karena semakin tua umur seorang petani maka akan semakin sulit untuk menerima suatu perubahan atau cepat puas dengan keadaan yang telah dicapainya, sehingga semakin tua umur petani maka akan semakin kecil peluang petani untuk mengikuti kemitraan. Sebaliknya pada petani berusia muda justru cenderung responsif terhadap hal-hal yang baru karena ditunjang oleh keadaan fisik serta kemampuan yang lebih kokoh dibandingkan dengan petani berusia tua.


(50)

50

2. Pengalaman berusahatani

Semakin lama pengalaman petani dalam melakukan usahatani maka petani tersebut memiliki kemampuan dan keterampilan teknik produksi yang lebih baik, dan membaca peluang usaha. Selain itu, petani akan semakin berhati-hati menghitung kemungkinan resiko yang dihadapi. Dengan demikian, semakin lama pengalaman petani, maka akan semakin besar peluang petani untuk melakukan kemitraan.

3. Pendidikan formal

Petani yang memiliki pendidikan formal yang lebih tinggi cenderung lebih tanggap dan mau mencoba pembaharuan yang dianjurkan dalam rangka meningkatkan ekonomi keluarga. Oleh karena itu, pendidikan formal diduga berpengaruh positif terhadap peluang petani untuk melakukan kemitraan. Sebaliknya, petani yang berpendidikan rendah cenderung tidak responsif karena sulit dalam menafsirkan informasi yang diperoleh.

4. Jumlah anggota keluarga produktif

Jumlah anggota keluarga yang bekerja di bidang pertanian diduga berpengaruh positif terhadap peluang petani untuk melakukan kemitraan. Semakin banyak jumlah anggota keluarga yang bekerja di bidang pertanian maka semakin mudah suatu inovasi pertanian seperti kemitraan diterima dikalangan petani.

5. Luas lahan

Petani yang memiliki lahan usahatani yang sempit, cenderung tidak berani mengambil resiko, karena kemitraan itu sendiri pada dasarnya merupakan salah satu cara mengurangi resiko. Sebaliknya dengan petani yang berlahan luas, semakin luas lahan


(51)

51

yang digarap maka petani cenderung lebih berani mengambil resiko dan tidak mudah untuk melakukan kemitraan.

6. Harga komoditi

Harga komoditi diduga akan berpengaruh positif terhadap peluang petani dalam melakukan kemitraan. Semakin tinggi harga komoditi, maka semakin besar insentif petani untuk memilih bermitra dengan perusahaan karena dengan bermitra menawarkan perbaikan jumlah dan mutu produksi serta kepastian harga yang terjadi.

7. Jarak lahan

Jarak rumah petani ke lahan usahatani (hutan) diduga akan berhubungan negatif karena semakin jauh lahan usahatani (hutan) maka petani tidak terlalu intensif dalam mengelola usahataninya.

Untuk mengetahui berapa besar dan apa saja faktor-faktor sosial ekonomi yang mempengaruhi kemungkinan petani melakukan kemitraan digunakan model pilihan

kualitatif (models of qualitative choice).

Model pilihan kualitatif (models of qualitative choice), menurut Pindyck dan

Rubinfeld (1991), merupakan suatu model di mana variabel terikat (dependent variable) Y

melibatkan dua atau lebih pilihan kualitatif. Kemungkinan atau peluang yang terpilih adalah salah satu dari dua atau lebih pilihan yang tersedia.

Dalam model pilihan kualitatif dikenal model pilihan biner (binary choice model) di

mana individu-individu dihadapkan pada suatu pilihan di antara dua alternatif dan pilihan mereka tergantung pada karakteristik masing-masing individu tersebut. Satu atau lebih


(52)

52

variables (0,1). Selanjutnya Pindyck dan Rubinfeld (1991) menyatakan bahwa untuk

menjawab masalah-masalah yang sifatnya binary choice, dapat digunakan empat macam

model yaitu linear probability model, probit model,logit model, dan forecasting-goodness of

fit. Berkaitan dengan itu, penelitian ini menggunakan model logit dikarenakan model logit

yang didasari oleh fungsi peluang logistik kumulatif cukup memenuhi persyaratan di mana nilai peluangnya selalu berada pada kisaran (0 – 1), sehingga relatif mudah untuk diterapkan dalam penelitian.

Secara umum model logit dapat dirumuskan sebagai berikut (Pyndick dan Rubinfield, 1991) :

( )

1

1

1

1

− +

⎞ ⎛

=

=

+

=

⎟ ⎜

=

+

+

i

⎠ ⎝

i

i i i z α βX

P

F ( Z )

F (

α β

X )

e

e

... (1)

Dari persamaan (1) ini diperoleh :

1 − 1

⎛ ⎞ + = ⎜ ⎟ ⎜ ⎟ ⎝ ⎠ z i e P

i ...(2)

sehingga dengan membagi Pi dan kemudian dikurangi 1, diperoleh persamaan :

1 1 1 − =− =⎞ ⎛ − ⎞ ⎜ ⎟ ⎜ ⎟ ⎝ ⎠ ⎝ ⎠ i z i i i P e

P P ... (3)

dengan mendefinisikan ezi =1/ezi, maka diperoleh :

1 ⎛ ⎞ = ⎜ ⎟ ⎝ ⎠ i z i i P e

P ... (4)

sehingga : log 1 ⎛ ⎞ = − ⎝ ⎠ i i i P Z

P ... (5)


(53)

53

atau dari persamaan (1) diperoleh : log 1 i i i P Z P ⎛ ⎞ =

⎝ ⎠ i i

e X + +

=α β ... (6)

di mana :

Pi = Kemungkinan petani melakukan kemitraan ( P1=1, jika petani

melakukan kemitraan dan P2 = 0, jika petani tidak melakukan kemitraan)

1 - Pi = Kemungkinan petani tidak melakukan kemitraan

α = Intersep

β = Parameter peubah Xi

Xi = Vektor peubah bebas (i = 1, 2, 3, ..., n)

ei = Galat acak

Dalam metode regresi logistik, ukuran yang sering digunakan untuk melihat

hubungan antara peubah bebas dan peubah terikat adalah nilai odds ratio yang didapat

dari perhitungan eksponensial dari koefisien estimasi (bi) atau exp (bi). Nilai odds ratio

menunjukkan perbandingan peluang y = 1 (bila melakukan kemitraan) dengan y = 0 (bila tidak melakukan kemitraan).

Odds ratio = ( )

1 ( )

i i P X P X ⎡ ⎤ ⎢

⎣ ⎦ atau exp (bi) ...(7)

Selanjutnya, sebagai suatu kelembagaan, keberhasilan kemitraan PHBM di Desa Padasari sangat ditentukan oleh adanya kepatuhan / ketaatan dari pihak yang bermitra yaitu petani mitra dan Perum Perhutani dalam melaksanakan hak dan kewajiban, peraturan-peraturan serta perjanjian / kesepakatan lainnya. Oleh karena itu kajian mengenai kelembagaan kemitraan PHBM perlu dilakukan untuk melihat seberapa jauh tingkat keberhasilan kemitraan tersebut.

Kelembagaan itu sendiri secara umum mempunyai dua pengertian, yaitu kelembagaan sebagai organisasi dan sebagai aturan main. Kelembagaan sebagai suatu


(54)

54

organisasi adalah sebagai kumpulan orang-orang yang dengan sadar berusaha untuk memberikan sumbangsih mereka kearah pencapaian sesuatu tujuan umum (Winardi, 1989). Kelembagaan sebagai organisasi biasanya menunjuk pada lembaga-lembaga formal seperti departemen dalam pemerintahan, koperasi, bank, dan sebagainya. Sementara itu yang dimaksud dengan kelembagaan sebagai aturan main menurut Schmid (1972) dalam Pakpahan (1991) adalah suatu himpunan hubungan yang tertata diantara orang-orang dengan mendefinisikan hak-haknya, pengaruhnya terhadap hak orang lain,

privillage, dan tanggung jawab.

Sistem kelembagaan sangat penting dalam menunjang keberhasilan

pembangunan, yaitu dalam hal keterkaitan antara resource endowments, cultural

endowments, technology dan institutions, sehingga apabila satu atau lebih dari keempat faktor itu tidak tersedia atau tidak sesuai maka tujuan pencapaian kinerja akan tidak tercapai (Pakpahan, 1991).

Aspek kelembagaan sangat penting bukan saja dilihat dari segi ekonomi pertanian secara keseluruhan tetapi juga dari segi ekonomi pedesaan. Kehadiran kelembagaan dalam bidang pertanian dapat berperan dalam transformasi struktural yang mendukung pertumbuhan ekonomi di wilayah lembaga tersebut berada (Soekartawi, 1989).

Schmid (1987) seperti dikutip oleh Elieser (2000) menyatakan bahwa ada tiga hal pokok yang perlu diamati dalam kelembagaan, yaitu :

1. Aspek batas aturan/kewenangan (jurisdictional boundary)

Aspek batas aturan diperlukan untuk menentukan batas-batas wewenang dalam mengatur sumberdaya, dana dan tenaga dalam organisasi. Aturan juga dapat berperan dalam menentukan laju daripada pemanfaatan atau penggunaan sumberdaya sehingga


(55)

55

pada gilirannya akan menentukan sifat sustainability sumberdaya yang bersangkutan

dan pembagian manfaat bersih yang akan diperoleh masing-masing pihak.

2. Aspek fungsi/hak dan kewajiban (property right)

Aspek property right, yang paling penting adalah faktor kepemilikan terhadap

sumberdaya seperti lahan, hasil produksi, dan lain-lain. Hak kepemilikan yang lebih jelas

akan dapat menentukan besarnya bargaining power atau kekuatan tawar terhadap suatu

persoalan.

3. Aspek aturan pelaksanaan (rules of representation).

Aspek aturan representasi mempersoalkan tentang masalah atau sistem atau prosedur

mengenai suatu keputusan. Dalam proses ini bentuk partisipasi lebih banyak ditentukan oleh kebijakan organisasi dalam membagi beban dan manfaat/keuntungan terhadap anggota yang terlibat dalam organisasi tersebut. Dengan aturan main yang jelas, setiap peserta dapat berpartisipasi secara sukarela, kecuali bila ada tekanan dari pihak lain.

Dengan demikian berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa terdapatnya kewenangan, hak dan kewajiban, serta aturan pelaksanaan dalam suatu kelembagaan mencerminkan adanya aturan main dalam lembaga tersebut. Sampai seberapa jauh aturan main dalam PHBM dapat dilaksanakan oleh pihak-pihak yang bermitra, maka perlu diketahui bagaimana aspek kelembagaan dan implementasi PHBM yang dijalani selama ini. Penjelasan secara deskriptif kualitatif akan digunakan untuk menjawab permasalahan ini.

Kemudian, sebagai inovasi yang membawa perubahan ke arah yang lebih baik, kemitraan PHBM sudah barang tentu memberikan manfaat / keuntungan bagi kedua belah


(56)

56

yang melakukan kemitraan. Adanya manfaat / keuntungan dalam kemitraan ini dapat menjadi motivasi para anggotanya untuk terus meningkatkan partisipasi dalam melaksanakan kemitraan.

Manfaat atau benefit adalah barang dan jasa yang dapat meningkatkan

pendapatan petani atau perusahaan, atau menaikkan pendapatan nasional masyarakat

suatu negara (Gittinger, 1986). Sementara dalam arti lain, benefit adalah suatu manfaat

yang diperoleh dari suatu proyek / kemitraan, baik yang dapat dihitung atau dinilai dengan uang ataupun yang tidak dapat dinilai dengan uang baik secara langsung maupun tidak

langsung (Choliq dkk, 1999).

Adapun manfaat langsung dari suatu proyek / kemitraan (Kadariah dkk, 1999)

dapat berupa : (1) Kenaikan dalam output fisik atau kenaikan nilai output, yang disebabkan oleh adanya perbaikan kualitas, perubahan lokasi, perubahan dalam waktu penjualan, perubahan dalam bentuk (grading dan pengolahan), penurunan kerugian, dan sebagainya, (2) Penurunan biaya, dapat berupa keuntungan dari mekanisasi, penurunan biaya pengangkutan, penurunan atau penghindaran kerugian.

Sementara, manfaat lain yang dapat dicapai dari usaha kemitraan (Hafsah, 2000) yaitu :

1. Produktivitas. Bagi petani, kemitraan dapat meningkatkan produktivitas. Melalui kemitraan, petani dapat memperoleh tambahan input, kredit, dan penyuluhan dari perusahaan mitra.

2. Efisiensi. Perusahaan dapat mencapai efisiensi dengan menghemat tenaga dalam mencapai target tertentu dengan menggunakan tenaga kerja yang dimiliki oleh petani.


(1)

144

Keterangan :

Y : Kemitraan Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat, 1 = petani mitra;

0 = petani non mitra

X1 : Pengalaman petani (tahun)

X2 : Umur petani (tahun)

X3 : Pendidikan formal petani (tahun)

X4 : Jumlah anggota klg produktif (orang)

X5 : Luas lahan (Ha)


(2)

145

Lampiran 5. Hasil Perhitungan Model Logit Faktor-faktor Sosial Ekonomi yang

Mempengaruhi Petani Melakukan Kemitraan

Results for: Kemitraan.MTW

Binary Logistic Regression: Kemitraan versus Pengalaman; Umur; ...

Link Function: Logit

Response Information

Variable Value Count

Kemitraan 1 25 (Event) 0 25

Total 50

Logistic Regression Table

Odds 95% CI Predictor Coef SE Coef Z P Ratio Lower Upper Constant 14,0708 13,7014 1,03 0,304

Pengalaman 0,0980601 0,295670 0,33 0,740 1,10 0,62 1,97 Umur -0,333757 0,204216 -1,63 0,102 0,72 0,48 1,07 Pendidikan 0,470623 0,308002 1,53 0,127 1,60 0,88 2,93 Jum. Kel. 0,435992 0,340062 1,28 0,200 1,55 0,79 3,01 Luas Lahan -0,0008036 0,0006177 -1,30 0,193 1,00 1,00 1,00 Harga -0,0000013 0,0000091 -0,14 0,890 1,00 1,00 1,00

Log-Likelihood = -11,799

Test that all slopes are zero: G = 45,717, DF = 6, P-Value = 0,000

Goodness-of-Fit Tests

Method Chi-Square DF P Pearson 33,5530 43 0,849 Deviance 23,5980 43 0,993 Hosmer-Lemeshow 7,8843 8 0,445

Measures of Association:

(Between the Response Variable and Predicted Probabilities)

Pairs Number Percent Summary Measures

Concordant 603 96,5 Somers' D 0,93 Discordant 22 3,5 Goodman-Kruskal Gamma 0,93 Ties 0 0,0 Kendall's Tau-a 0,47 Total 625 100,0


(3)

146

Lampiran 6. Hasil Analisis Pendapatan Usahatani Vanili per Ha pada Kemitraan

Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat *

Keterangan

Umur Tanaman

TBM

TM

1 2 3 4 5 6

Inflow

Jumlah Panen (kg)

-

-

333.4

833.5

1 167

1667

Penerimaan (b)

-

-

16 670 000

41 675 000

58 350 000

83 350 000

Outflow

Investasi Awal

9 012 167

-

-

-

-

Pemeliharaan

Tanaman

2 455 000

2 615 000

2 615 000

2 160 000 1 760 000

1 760 000

Operasional Panen

-

-

100 000

150 000

200 000

200 000

Bagi Hasil ke

Perhutani

-

-

7 084 750

17 711 875

24 798 750

35 423 750

Managemen Fee

-

-

2 500 500

6 251 250

8 752 500

12 502 500

Total Biaya (a)

11 467 167

2 615 000 12 300 250

26 273 125

35 511 250

49 886 250

Laba Bersih (b-a)

- 11 467 167 - 2 615 000

4 369 750

15 401 875

22 838 750

33 463 750

*Keterangan :

1 Ha = 1 667 tanaman

Harga jual vanili = Rp 50 000


(4)

147

Lampiran 7. Hasil Analisis Finansial Usahatani Vanili KTH Bagjamulya

Tahun

Benefit (Rp)

Cost (Rp)

Net benefit

Df 15 %

NVP 15 %

1.

0

11 467 167

(11 467 167)

0.870

9 976 435

2.

0

2 615 000

(2 615 000)

0.756

1 976 940

3.

16 670 000

12 300 250

4 369 750

0.658

2 875 296

4.

41 675 000

26 273 125

15 401 875

0.572

8 809 873

5.

58 350 000

35 511 250

22 838 750

0.497

11 350 859

6.

83 350 000

49 886 250

33 463 750

0.432

14 456 340

Jumlah

200 045 000

138 053 042

61 991 958

25 538 993

NVP = 25 538 993

BC ratio = = = 3.14

NVP Positif

NVP Negatif

37 492 368

11 953 375


(5)

148


(6)

149

Lampiran 9. Lokasi Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat di Desa

Padasari