Larutkan 100 ml methanol, 100 ml asam asetat glasial dan 800 ml akuabides.
4. Prosedur SDS PAGE
Penentuan berat molekul dianalisis dengan metode Sodium Deodecyl Sulphate Polyacrilamide Gel Electrophoresis
SDS-PAGE Gordon 1983. Pengukuran berat molekul ini sesuai dengan teknik yang dilakukan oleh Laemmli
1970 dengan sistem discontinue menngunakan gel pemisah dengan konsentrasi 12 , gel pengumpul 4 , running buffer, larutan pewarna commasie brilliant
blue
dan larutan pemucat distaining solution. Pembuatan agar acrilamid dilakukan dengan bantuan dua lempeng kaca
yang berukuran 18x15.5 cm Pharmacia-Biotech
R
yang telah dibersihkan dengan alcohol 70, pada kedua sisi tepi bagian dalam diberi spacer, kedua lempeng
kaca dihimpitkan dan selanjutnya dijepit. Pada bagian atas lempeng kaca disisipkan sisir pembuat jalur dan kemudian diisi gel pemisah 12
poliakrilamid sampai 1 cm dibawah ujung sisir dengan bantuan mikropipet dan biarkan selama sekitar 30 menit kemudian diisi gel pengumpul 4 poliakrilamid
hingga mencapai permukaan lempeng kaca.
Sampel dilarutkan dengan larutan buffer sample perbandingan 1:1 dan campuran ini kemudian diinkubasi dalam penangas air 60
o
C selama 5 menit sebelum dimasukkan ke dalam sumur gel electrophoresis. Sebanyak 10 µl sample
dimasukkan ke dalam masing-masing sumur, kemudian perangkat electrophoresis dijalankan dengan arus 50 mA dengan voltase 100 V selama kurang lebih 3 jam.
Elektrophoresis berakhir apabila pewarna sample mencapai batas 0.5 cm dari bagian bawah gel. Setelah electrophoresis berakhir, gel diangkat dari lempeng
kaca dan direndam dalam larutan pewarna commasie brilliant blue Sigma
R
Chemical Co. selama 45 menit pada suhu ruang sambil diagitasi perlahan. Pewarna yang tidak terikat pada protein dihilangkan dengan merendam gel gel
pada larutan pemucat methanol dan asam asetat sehingga gel berwarna bening atau pita-pita protein yang telah terbentuk terlihat jelas.
Lampiran 14 Prosedur Uji Serum Netralisasi SN
1. Bahan
A. Penicillin 100.000 unit Satu flakon Penicillin Gibco 1 gr yang mengandung 1 juta unit .
Larutkan dengan akuabides dH
2
Osteril 10 ml. Kocok hingga larut. Simpan pada suhu 4
o
C. B. Streptomycin 100.000 unit
Satu flakon Streptomycin Gibco 1 gr yang mengandung 1 juta unit. Larutkan dengan aquabides dH
2
O steril 10 ml. Kocok hingga larut. Simpan pada suhu 4
o
C. C. Tripsin Versene EDTA ATV
a. Larutan A: NaCl Merck 8 gr
KCl BDH Prod.29594 0,4 gr GlucoseMerk Art. 8432 1,0 gr
VerseneEDTA Sigma E-67580,50 gr Tambahkan dH
2
O 500 ml, kemudian distirer sampai larut. b. Larutan B:
Trypsin Merck 0,5 gr, NaHCO
3
Merck Art. 6323 0,58 gr Tambahkan dH
2
O 500 ml, kemudian distirer sampai larut. Larutan A dicampur dengan larutan B, distirer sampai larut, kemudian
diautoclave pada suhu 121
o
C dengan tekanan 14 psi selama 15 menit dan disaring dengan filter 0,22 µm. ATV disimpan pada suhu -20
o
C. D.MEM Minimum Eagle MediumGibco-Cat. No. 12100-061
Pembuatan MEM dengan cara menimbang MEM sebanyak 13,37 gr,
kemudian ditambahkan dH
2
O sebanyak 1000 ml. Stirer sampai larut kemudian diautoclave pada suhu 121
o
C dengan tekanan 14 psi selama 15 menit. MEM disimpan pada suhu 4
o
C. E.
Media Biakan Jaringan 5 liter Pembuatan media biakan jaringan 5 liter dengan cara membuat MEM
Gibco-Cat. No. 12100-061 5 liter, kemudian ditambahkan Penicillin 100 ribu unit 10 ml, Streptomycin 100 ribu unit 10 ml, NaHCO
3
Merck 5x3,7 gr dan Hepes Gibco-Cat. 11344-033 50 ml. Pembuatan dilakukan secara steril di dalam Biosafety Cabinet Level 2. Media biakan
jaringan disimpan pada suhu 4
o
C. F. Media Pemelihara Maintenance Medium = MM 100 ml
Pembuatan MM 100 ml dengan cara mencampur media biakan jaringan sebanyak 98 ml dan fetal bovine serum FBS 2 Gibco sebanyak 2 ml.
Pembuatan dilakukan secara steril di dalam Biosafety Cabinet Level 2. Media pemelihara disimpan pada suhu 4
o
C. G. Media Penumbuh Growth Medium = GM100 ml
Pembuatan GM 100 ml dengan cara mencampur media biakan jaringan sebanyak 95 ml dan fetal bovine serum FBS 5Gibco sebanyak 5 ml.
Pembuatan dilakukan secara steril di dalam Biosafety Cabinet Level 2. Media penumbuh disimpan pada suhu 4
o
C. H. NaHCO
3
5,6 Pembuatan NaHCO
3
5,6 dengan cara menimbang NaHCO
3
Merck Art. 6323 5,6 gr, kemudian ditambahkan dH
2
O 100 ml. Stirer sampai larut, kemudian diautoclave pada suhu 121
o
C dengan tekanan 14 psi selama 15 menit. NaHCO
3
disimpan pada suhu 4
o
C. I.
PBS
-
CaMg Pembuatan PBS
–
dengan cara menimbang NaCl Merck Art. 6404 8 gr, KCl BDH Prod. 29594 0,2 gr, Na
2
HPO
4
Merck Art. 6586 1,15 gr, Na
2
HPO
4
.2H
2
O Merck art. 6580 1,42 gr dan KH
2
PO
4
Merck Art. 4873 0,2 gr, kemudian ditambahkan 1000 ml dH
2
O. Stirer sampai larut, cek pH 7,2-7,4, kemudian diautoclave pada suhu 121
o
C dengan tekanan 14 psi selama 15 menit. PBS
-
disimpan pada suhu 4
o
C. J. Sel MDCK
2. Alat-alat:
A. Biosafety Cabinet Level II
B. Microplate 96 lubang untuk biakan jaringan
C. Tabung pengencer
D. Botol media
E. Botol sel tissue culture flask
F. Pipet
G. Tabung sentrifus
H. Mikropipet singlechannel pipette dan multichannel pipette + tips
I. Sentrifus
J. Inkubator 37
o
C dan 5 CO
2
3. Prosedur
A. Propagasi Biakan Jaringan Ginjal Anjing Madin Darby Canine Kidney MDCK
Biakan jaringan MDCK yang telah membentuk sel selapis monolayer pada tissue culture flask besar 75 cm
2
dipropagasi dengan cara membuang media pada biakan jaringan MDCK. Umumnya biakan jaringan MDCK sudah
membentuk sel selapis berumur 3 sampai 4 hari, kemudian di cuci dengan PBS
-
steril sebanyak 2 kali sebelum ditambahkan 1,5 ml Tripsin Versen EDTA ATV. Biakan jaringan MDCK diinkubasikan pada suhu 37
o
C selama 3-5 menit sambil sesekali digoyang dan dilanjutkan dengan pipeting yaitu dengan menghisap dan
menyemburkan secara hati-hati suspensi tersebut menggunakan pipet 5 ml steril sehingga sel-selnya lepas. Sel-sel yang lepas akan terlihat jelas dibawah
mikroskop, selanjutnya ditambahkan media penumbuh GM sebanyak 10 ml dan dimasukkan kedalam tabung sentrifus 50 ml, disentrifus dengan kecepatan 750 g
selama 10 menit. Supernatan dibuang dan pelet ditambahkan 40 ml media penumbuh GM dan dimasukkan kedalam 2 tissue culture flask besar 75 cm
2
masing-masing 20 ml, kemudian diinkubasikan pada suhu 37
o
C
.
B.Propagasi Isolat Lokal AI
Isolat AI disimpan pada suhu -70
o
C, kemudian ditumbuhkan kembali pada biakan jaringan MDCK.
Isolat lokal AI diperbanyak dalam biakan jaringan MDCK yang ditumbuhkan pada tissue culture flask kecil 25 cm
2
. Media biakan jaringan MDCK yang telah membentuk jaringan selapis, dibuang secara aseptis
menggunakan pipet 5 ml steril, kemudian dengan menggunakan pipet single channel
1000 µl ditambahkan 300 µl isolat yang telah mengalami beku-cair sebanyak 3 kali dan diinkubasikan dalam inkubator pada suhu 37
o
C selama 1 jam sebelum ditambahkan media pemelihara MM. Sel tersebut diamati selama
5 sampai 7 hari untuk melihat ada tidaknya CPE cytopathogenik effect, apabila CPE mencapai 80-90, maka sel dan cairan dipanen untuk kemudian dilakukan
uji kandungan virus.
C. Uji Kandungan Virus
Inokulum yang akan dititrasi dibeku-cairkan terlebih dahulu sebanyak 3 kali, kemudian disentrifus dengan kecepatan 750 g selama 10 menit. Supernatan
dikoleksi untuk selanjutnya diuji kandungan virusnya. Uji kandungan virus mengunakan microplate 96 lubang steril dengan
dasar datar. Supernatan diencerkan sepuluh kali secara serial dengan pengencer media pemelihara MM dari 10
-1
sampai 10
-8
pada tabung 10 ml steril. Dengan menggunakan pipet single channel 100 µl sebanyak 50 µl per lubang dimasukkan
dari masing-masing pengenceran sebanyak 4 lubang. Kontrol positif virus 10
o
dan kontrol negatif sel yang tidak diinokulasi dibuat sebagai pembanding dan disertakan pada lempeng mikrotiter yang sama. Sebanyak 100 µl biakan jaringan
MDCK dalam media penumbuh dengan konsentrasi sel 2x10
5
per ml dimasukkan pada masing-masing lubang dengan meggunakan pipet multichannel 50µl-300 µl,
selanjutnya diinkubasikan pada inkubator 37
o
C yang mengandung 5 CO
2
. Pengamatan akan terjadinya CPE dilakukan setiap hari selama 5 sampai 7 hari.
Hasil yang diperoleh dihitung dengan metoda Reed Munch 1938.
Contoh Penghitungan Titrasi Kandungan Virus Metoda Reed Munch 1938
Pengenceran Virus
CPE positif
Kumulatif yg terinfeksi
CPE + Kumulatif yg
tdk terinfeksi
CPE - Perbandingan
Kumulatif Presentasi
Kumulatif 10
-1
55 12 1212 100
10
-2
45 7 1
78 87,5
10
-3
25 3 4
37 43.0
10
-4
15 1 8
19 11.1
10
-5
05 13
013 00
Rumus TCID
50
Tissue Culture Infective Dose: PD
Proportionate Distance = Diatas 50 - 50 = 87,5 - 50 = 37,5 = 0,86
Diatas 50 - Dibawah 50 87,5 - 43 43,5 → TCID
50
= 50 + PD = 2 + 0,86 = 2,86 TCID
50
= 10
-2,86
D. Prosedur kerja uji serum netralisasi dengan biakan jaringan
Pada lubang pertama dengan menggunakan pipet single channel 100 µl dimasukkan 25 µl serum. Pada semua lubang dimasukkan pengencer Phospate Buffer
Saline PBS, kemudian dilakukan pengenceran secara seri kelipatan dua sampai lubang
11, lubang 12 sebagai kontrol sel darah merah. Virus AI H5N1 yang telah diencerkan hingga konsentrasi 200 TCID
50
sebanyak 25 µl dimasukkan pada semua lubang dengan menggunakan pipet multichannel 5 µl-50 µl. Campuran tersebut diinkubasikan pada
inkubator dengan suhu 37
o
C dengan 5 CO
2
selama 30 menit, kemudian dengan menggunakan pipet multichannel 5 µl-50 µl ditambahkan sel MDCK sebanyak 100 µl
pada semua lubang dan selanjutnya diinkubasikan pada inkubator dengan suhu 37
o
C dengan 5 CO
2
7 hari. Terbentuknya CPE menunjukkan bahwa serum tersebut tidak mengandung antibodi terhadap virus AI, sedangkan apabila tidak terjadi CPE, maka
serum tersebut mengandung antibodi terhadap virus AI. Banyaknya antibodi dalam serum dinyatakan dalam titer yang dihitung sampai pengenceran keberapa terjadinya
CPE.
Lampiran 15 Prosedur Pembuatan Antigen AI
1. Bahan :
- Telur Ayam Berembrio TAB Specific Pathogen Free SPF umur 10 hari
- Isolat lokal AI - PBS + PSK
- Virus AI tipe A strain H5N1 - Sel darah merah SDM ayam SPF 3 dan 1
2. Alat-alat :
- Safety Cabinet
- Inkubator - Sentrifuse dingin
- Tabung sentrifus -
Tabung eppendorf
- Rak Telur -
Micropippete dan fintip
- Stirer dan magnetic stirer. -
Disposible syringe -
Microplate 96 well -
Pipet Aid 3.
Prosedur :
Telur ayam berembrio TAB umur 10 hari diinokulasikan dengan 0,1 ml isolat lokal AI. Telur diinkubasikan dalam inkubator 37
o
C selama 3-5 hari. Panen cairan allantois dilakukan secara steril dan dikumpulkan pada tabung
sentrifus. Selanjutnya dilakukan uji HA cepat dengan cara mencampur 1 bagian
cairan alantois dan 1 bagian SDM 3 , apabila terjadi aglutinasi maka cairan alantois tersebut disentrifus dengan kecepatan 5000 rpm selama 30 menit.
Koleksi supernatan dan dilakukan uji HA cepat kembali dan diukur titernya dengan uji HA.
Proses inaktifasi dilakukan dengan cara supernatan tersebut ditambahkkan dengan 0,2 formalin kemudian distirer pada suhu 4
o
C selama 1 malam. Selanjutnya dilakukan titrasi antigen dengan uji HA. Supernatan didistribusikan
sebanyak 1-2 ml pada tabung eppendorf dan simpan pada suhu -20
o
C kemudian pada suhu -70
o
C.
ABSTRACT
KETUT KARUNI NYANAKUMARI NATIH. The Preparation of Candidate Vaccine Avian Influenza H5N1 Using The Principle of Anti-idiotype Antibody. Under direction
of RETNO D. SOEJOEDONO, I. WAYAN T. WIBAWAN, and FACHRIYAN H. PASARIBU
Avian Influenza AI represent one of the greatest concerns for public health that has emerged from the animal reservoir in recent time. The aim of this research was to
prepare candidate vaccine AI H5N1 using the principle of anti-idiotype antibody. A polyclonal antibody was collected from guinea pigs which had been immunized with
inactivated AI vaccine H5N1 Legok strain. Antibody of H5N1 AI in serum was detected using an Agar Gel Precipitation Test
and Hemmaglutination Inhibition Test. The highest titre of antibody was obtained one week after the third immunization. Serum of guinea
pigs which contain IgG was purified using the montage antibody purification kit spin column with prosep A media Millipore. The AI H5N1 IgG concentration was 8 mgml.
AI H5N1 IgG, was then cut with a pepsin enzym to obtain Fab
2
; it was called Ab
1
. The
concentration of IgG and Fab
2
and purity of IgG were determined by UV spectrophotometer and showed that Ab
1
concentration was 1 mgml. Molecular weight was established by Sodium Dedocyl Sulphate-Poly Acrilamide Gel Electrophoresis.
Production of Ab
2
was done by inoculation of rabbits with Ab
1
. The first immunization with 500 µg of Ab
1
in Complete Freund Adjuvant was applied subcutaneously. The immunization was repeated with the same dose in Incomplete Freund Adjuvant at 1
week intervals. One week after the second dose of immunization, the rabbit’s serum was harvested and IgG was purified using the montage antibody purification kit spin
column with prosep A media Millipore. The rabbit IgG, called Ab
2
, was an anti- idiotype antibody against AI. Identification of Ab
2
was determined by Agar Gel Precipitation Test. A precipitation line appeared between Ab
1
and Ab
2
and a partial identity reaction appeared between Ab
2
and the AI H5N1 antigen. The results of immunogenecity test indicated that Ab
2
has a possibility to be an antigen for protection against AI virus H5N1 infection.
Keywords: avian influenza, immunoglobulin G, anti-idiotype antibody
RINGKASAN
KETUT KARUNI NYANAKUMARI NATIH. Preparasi Kandidat Vaksin Avian Influenza
Menggunakan Prinsip Antibodi Anti-idiotipe. Dibimbing oleh RETNO D.
SOEJOEDONO, I. WAYAN T. WIBAWAN, dan FACHRIYAN H. PASARIBU Penyakit flu burung atau Avian Influenza adalah penyakit zoonosa yang sangat
fatal. Penyakit ini menginfeksi saluran pernapasan unggas dan juga mamalia. Penyakit ini disebabkan oleh virus influenza tipe A famili Orthomyxoviridae dengan galur
bervariasi antigen 16 hemaglutinin dan 9 neuraminidase. Penyakit Avian Influenza termasuk daftar list A dalam Office International Des Epizooties dan merupakan
penyakit eksotik karena sebelumnya tidak pernah ditemukan di Indonesia.
Direktur Jenderal Peternakan pada tanggal 25 Januari 2004 dan diperkuat dengan Surat Keputusan Menteri Pertanian Republik Indonesia nomor 96KPTSPP.62022004
tanggal 3 Pebruari 2004, menetapkan bahwa Indonesia telah terjangkit wabah penyakit Avian Influenza
pada unggas yang disebabkan oleh virus influenza tipe A subtipe H5N1. Vaksinasi merupakan salah satu upaya pemerintah Indonesia dalam penanganan
Avian Influenza . Vaksinasi diyakini sebagai salah satu cara untuk mengurangi kasus
klinis penyakit Avian Influenza dan secara langsung mengurangi kontaminasi lingkungan oleh virus Avian Influenza. Tujuan penelitian ini adalah untuk menyiapkan kandidat
vaksin Avian Influenza H5N1 menggunakan prinsip antibodi anti-idiotipe.
Penelitian diawali dengan pembuatan antibodi poliklonal yang dikoleksi dari marmut yang telah diimunisasi dengan vaksin Avian Influenza H5N1 inaktif strain Legok.
Keberadaan antibodi AI H5N1 di dalam serum marmut diperiksa dengan uji Agar Gel Presipitasi dan diukur titernya dengan uji hambatan hemaglutinasi. Titer antibodi
tertinggi diperoleh seminggu setelah imunisasi ke tiga dengan Geometric Mean Titer 1351.12
.
Pemurnian Imunoglobulin G serum marmut dilakukan dengan montage antibody purification kit spin column with prosep A media
. Konsentrasi Imunoglobulin G Avian Influenza
H5N1 diukur dengan spektrofotometer ultra violet sebesar 8 mgml. Imunoglobulin G AI H5N1 kemudian dipotong dengan enzim pepsin sehingga diperoleh
Fab
2
selanjutnya disebut Ab
1
. Konsentrasi Fab
2
ditentukan dengan spektrofotometer ultra violet dan diperoleh konsentrasi Ab
1
sebesar 1 mgml, sedangkan berat molekulnya ditentukan dengan Sodium Dedocyl Sulphate-Poly Acrilamide Gel Electrophoresis
sebesar 110 kDa. Produksi antibodi anti-idiotipe dilakukan dengan menginokulasi Ab
1
pada kelinci. Imunisasi pertama dengan dosis 500 µg dilarutkan dalam Freund’s Adjuvant
komplit yang diaplikasikan secara subkutan. Imunisasi diulang dengan dosis yang sama dicampur dalam Freund’s Adjuvant inkomplit dengan interval 1 minggu. Setiap minggu
setelah imunisasi kedua, serum kelinci dikoleksi dan diidentifikasi dengan uji Agar Gel Presipitasi. Serum kelinci dipanen dan pemurnian Imunoglobulin G kelinci dilakukan
dengan montage antibody purification kit spin column with prosep A media. Konsentrasi Ab
2
ditentukan dengan spektrofotometer ultra violet dan diperoleh konsentrasi Ab
2
sebesar 8 mgml, sedangkan berat molekulnya ditentukan dengan Sodium Dedocyl Sulphate-Poly Acrilamide Gel Electrophoresis
sebesar 150 kDa.
Imunoglobulin G kelinci selanjutnya disebut Ab
2
adalah antibodi anti-idiotipe terhadap Avian Influenza H5N1. Identifikasi Ab
2
dilakukan dengan uji Agar Gel Presipitasi. Garis presipitasi terbentuk antara Ab
1
dan Ab
2
dan terbentuk reaksi identitas parsial antara Ab
2
dan antigen AI H5N1. Selanjutnya dilakukan uji imunogenesitas pada ayam SPF dengan 4 kelompok yaitu kelompok kontrol, kelompok Imunoglobulin G
kelinci kontrol, kelompok antibodi anti-idiotipe dan kelompok vaksin AI H5N1. Pengambilan darah ayam dilakukan setiap minggu selama 4 minggu. Keberadaan titer
antibodi diukur dengan uji hambatan hemaglutinasi dan uji serum netralisasi in vitro terhadap beberapa isolat lokal.
Pengukuran titer antibodi dengan uji hambatan hemaglutinasi menunjukkan bahwa walaupun titer antibodi anti-idiotipe lebih rendah dibandingkan dengan titer
vaksin AI H5N1 tapi bersifat protektif baik terhadap antigen AI H5N1 strain Legok 2003, antigen AI H5N1 IPB 2007, antigen AI H5N1 IPB 2008, dan antigen AI
H5N1 IPB 2009. Secara statistik antara perlakuan Ab
2
dengan vaksin AI H5N1 tidak ditemukan perbedaan yang nyata sehingga antibodi-anti-idiotipe prospektif sebagai
kandidat vaksin AI. Pengukuran titer antibodi dengan uji serum netralisasi menunjukkan bahwa
walaupun titer antibodi anti-idiotipe lebih rendah dibandingkan dengan titer vaksin AI H5N1 tapi bersifat protektif terhadap antigen AI H5N1 strain Legok 2003 dan antigen
AI H5N1 IPB 2005, tetapi tidak protektif terhadap AGooseBojonggentengIPB2-
RS2006. Secara statistik antara perlakuan Ab
2
dengan vaksin AI H5N1 tidak ditemukan perbedaan yang nyata terhadap isolat AI H5N1 strain Legok 2003 dan isolat AI H5N1
IPB 2005 sehingga antibodi-anti-idiotipe prospektif sebagai kandidat vaksin AI. Hasil penelitian ini mengindikasikan adanya peluang Ab
2
sebagai antigen dalam pencegahan infeksi virus Avian Influenza H5N1.
Kata kunci: avian influenza, imunoglobulin G, antibodi anti-idiotipe
I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penyakit flu burung atau Avian Influenza AI adalah penyakit zoonosa yang sangat fatal. Penyakit ini menginfeksi saluran pernapasan unggas dan juga mamalia.
Penyebab penyakit ini adalah virus influenza tipe A termasuk dalam famili Orthomyxoviridae
ICTV 2006. Virus ini mempunyai galur bervariasi yaitu 16 antigen hemaglutinin HA dan 9 neuraminidase NA Fouchier 2005. Penyakit AI termasuk
daftar list A dalam Office International Des Epizooties OIE OIE 2008 dan merupakan penyakit eksotik karena sebelumnya tidak pernah ditemukan di Indonesia.
Wabah AI H5N1 mulai terjadi pada tahun 1997 di Hongkong kemudian menyebar ke Korea Selatan, Jepang, Thailand, Filipina, Korea Utara, Kamboja, Siberia, Romania,
dan Turki. Virus ini bersifat sangat patogen dan zoonosis karena dapat menginfeksi unggas dan manusia Swayne 2004. Virus influenza berbentuk pleiomorfik yaitu filamen
atau sferoid bola dengan diameter 80-120 nm Harris et al. 2006. Kasus AI H5N1 di Indonesia pertama kali dilaporkan pada bulan Agustus 2003,
menyerang beberapa peternakan ayam ras komersial di Jawa Barat dan Jawa Tengah. Direktur Jenderal Peternakan pada tanggal 25 Januari 2004 dan dengan Surat Keputusan
Menteri Pertanian Republik Indonesia Nomor 96KPTSPP.62022004 tanggal 3 Pebruari 2004 tentang Pernyataan Berjangkitnya Wabah Penyakit Hewan Menular
Influenza pada Unggas Avian Influenza dibeberapa provinsi di wilayah Indonesia,
sebagaimana telah diubah terakhir dengan Keputusan Menteri Pertanian Nomor: 393KptsPD.62072007, menetapkan bahwa Indonesia telah terjangkit wabah penyakit
AI pada unggas yang disebabkan oleh virus influenza tipe A subtipe H5N1 yang tergolong Highly Pathogenic Avian Influenza Ditjennak 2008. Kasus ini kemudian
meluas keberbagai daerah di Indonesia dan telah menyerang berbagai jenis unggas. Virus AI sudah terjadi secara endemis pada perunggasan di Indonesia khususnya di Jawa,
Sumatera, Bali dan Sulawesi Songserm et al. 2006; FAO 2009. Daerah tertular virus AI H5N1 sudah mencapai 31 provinsi dari 33 provinsi yang ada di Indonesia. Avian
Influenza masih menjadi penyakit zoonosa yang penting karena wabah AI di Indonesia
sudah banyak menelan korban jiwa manusia. Departemen Kesehatan Republik Indonesia melaporkan bahwa jumlah penderita flu burung pada manusia sampai Desember 2009
sebanyak 161 orang diantaranya meninggal dunia sebanyak 134 orang tingkat kematian 81.71 FAO 2009; WHO 2009. Pola penularan virus ini pada manusia belum
diketahui dengan pasti. Keadaan ini mengkhawatirkan akan terjadinya pandemi AI.
Pemerintah Indonesia melakukan upaya penanganan AI berupa 9 sembilan langkah strategis dalam rangka pengendalian wabah AI tersebut Salah satunya adalah
vaksinasi Ditjennak 2008. Vaksinasi diyakini sebagai salah satu cara untuk mengurangi kasus klinis penyakit AI dan secara langsung mengurangi kontaminasi lingkungan oleh
virus AI Naipospos 2004 dan sejak tahun 2004 Indonesia sudah menggunakan 400 juta
dosis vaksin AI Bouma et al. 2009.
Vaksin AI yang digunakan di Indonesia saat ini adalah vaksin AI yang telah diinaktifkan Pembuatan vaksin AI umumnya dilakukan dengan menyuntikkan virus pada
telur ayam berembrio TAB OIE 2008 atau dibiakkan pada kultur jaringan sel dengan menggunakan sel primer Chicken Embrio Fibroblast CEF atau sel lestari Madin Darby
Canine Kidney MDCK. Virus AI ditumbuhkan pada TAB yang tidak mengandung
virus atau patogen apapun yang dikenal dengan istilah Specific Pathogen Free SPF. Virus AI juga dapat ditumbuhkan sel MDCK karena virus influenza sangat mudah
bereplikasi pada sel tersebut sehingga dapat digunakan untuk produksi vaksin influenza Liu et al. 2009. Virus AI yang telah ditumbuhkan selanjutnya diinaktifkan dengan
bahan kimia beta-propiolakton untuk dijadikan vaksin OIE 2008. Kendalanya vaksin dibuat dari virus yang virulen, maka ada kemungkinan masih terdapat vaksin yang dapat
menimbulkan kasus penyakit dan juga membahayakan pekerja laboratorium yang memproduksinya.
Pengembangan terhadap vaksin yang aman, efektif dan protektif sangat diperlukan saat ini. Vaksin antibodi anti-idiotipe merupakan solusi terhadap pembuatan
vaksin dari virus yang virulen. Vaksin antibodi anti-idiotipe adalah vaksin yang dibuat atas dasar adanya daerah pengenalan antigen oleh antibodi. Pengenalan antigen dengan
antibodi dapat menghasilkan imunitas spesifik untuk mencapai tujuan imunisasi. Hewan yang disuntik dengan suatu antigen, maka respon imun akan terjadi pada tubuh hewan
tersebut. Respon humoral yang terjadi akan menghasilkan antibodi Ab
1
yang
mengekspresikan beberapa kumpulan idiotipe di daerah variable yang akan dikenali oleh epitop dari antigen yang disuntikkan. Antibodi Ab
1
bila disuntikkan kepada hewan lain, maka kumpulan atau populasi antibodi yang mengenalinya disebut antibodi anti-idiotipe
Ab
2
Vizcaino 2004. Penggunaan vaksin antibodi anti-idiotipe
sebagai vaksin alternatif untuk penyakit- penyakit yang disebabkan oleh agen infeksius yang ganas, berbahaya dan sulit dibiakkan.
Vaksin antibodi anti-idiotipe juga tidak mengandung resiko adanya agen infeksius yang dapat menimbulkan penyakit pada hewan yang divaksinasi. Antibodi anti-idiotipe dapat
diproduksi dalam jumlah banyak dengan biaya produksi yang lebih murah. Antibodi anti-idiotipe yang hanya bereaksi terhadap epitop tunggal agen infeksius mampu
memberikan perlindungan protektif terhadap antigen yang memiliki banyak epitop, selain itu antibodi anti-idiotipe juga mampu meniru sifat antigenik sehingga dapat digunakan
sebagai imunogen yang dapat menimbulkan respon spesifik terhadap agen infeksius Lin Zhou 1995.
1.2 Rumusan Permasalahan
Penyakit Avian Influenza merupakan penyakit yang menyebabkan kerugian ekonomi yang cukup besar karena dapat menyebabkan kematian massal berbagai macam
galur unggas sampai mencapai angka kematian mortalitas 100 dalam waktu relatif singkat dan dapat menular pada hewan lain juga manusia zoonosis.
Pemerintah Indonesia mencanangkan sembilan langkah strategis dalam rangka pengendalian dan pemberantasan penyakit AI. Sembilan langkah strategis tersebut
meliputi 1 penerapan biosekuriti secara ketat, 2 depopulasi selektif di daerah tertular, 3 vaksinasi, 4 pengendalian lalu lintas ternak unggas, 5 surveilans dan penelusuran,
6 peningkatan kesadaran masyarakat public awarness, 7 pengisian kembali restocking unggas, 8 stamping out di daerah tertular baru, dan 9 monitoring,
pelaporan dan evaluasi Ditjennak 2008. Vaksinasi telah digunakan sebagai cara pengendalian penyakit AI pada unggas
bersama-sama dengan tindakan lain secara paralel, seperti peningkatan tindakan biosekuriti yang lebih ketat, pengendalian lalu lintas ternak, surveilan dan monitoring,
restrukturisasi peternakan serta pembuatan dan penegakkan aturan regulasi yang dibuat