Dekomposisi Kemiskinan PRO POOR GROWTH

persen dan 1,79 persen. Tekanan krisis global, kenaikan harga BBM dan inflasi diduga turut memengaruhi kondisi tersebut. Keadaan mulai membaik pada periode 2008-2009, dimana pertumbuhan pendapatan maupun redistribusinya memiliki efek menurunkan kemiskinan, dengan net effect sebesar 1,73 persen. Konsolidasi program pengentasan kemiskinan berbasis masyarakat yang dilaksanakan sejak tahun 2007, secara bertahap mengintegrasikan program-program pengentasan kemiskinan lintas sektoral sehingga program tersebut lebih efektif. Integrasi tersebut lebih melibatkan partisipasi masyarakat, memiliki efektifitas yang lebih dalam pengentasan kemiskinan. Proses redistribudi pendapatan yang masih menghambat efek pertumbuhan dalam mengurangi kemiskinan di awal pelaksanaan integrasi program, akan tetapi pada periode akhir RPJM 2005-2009 mengalami perbaikan dengan memberikan efek dalam mengurangi kemiskinan. Dekomposisi Kemiskinan Tingkat Provinsi Periode 2005-2006 Pembahasan dekomposisi kemiskinan pada periode ini dan periode 2006- 2007, hanya membahas efek pertumbuhan dan efek distribusi di 30 provinsi saja. Susenas tahun 2005 dan 2006 tidak dilaksanakan di NAD, Sulawesi Barat dan Papua Barat sehingga tidak dimasukkan dalam pembahasan. Pada periode ini, pertumbuhan pendapatan maupun distribusinya di sebagian besar provinsi memberikan dampak pada peningkatan kemiskinan. Hanya provinsi Kepulauan Riau dari 30 provinsi yang pertumbuhan pendapatan dan distribusinya memiliki efek dalam mengurangi kemiskinan. Meskipun peningkatan harga BBM dan harga bahan pokok khususnya beras terjadi dalam kurun 2005-2006, inflasi di Kepulauan Riau berjalan cukup stabil, demikian juga dengan indikator perekonomian lainnya seperti pertumbuhan dan investasi BI, 2005-2006. Pertumbuhan pendapatan memiliki dampak dalam mengurangi kemiskinan di provinsi Kalimantan Timur, Maluku dan Maluku Utara. Sedangkan redistribusi pendapatan yang memberikan efek dalam mengurangi kemiskinan terjadi di 12 provinsi yang sebagian besar berada di luar Jawa. Pulau Jawa sebagai pusat kegiatan perekonomian di Indonesia merasakan dampak negatif yang lebih besar dari peningkatan harga BBM dan harga beras selama tahun 2005-2006. Berbagai program pengentasan kemiskinan sebagai upaya redistribusi pendapatan memberikan efek yang lebih baik di daerah luar pulau Jawa. Berdasarkan net effect, hanya 4 provinsi yang mengalami penurunan kemiskinan yaitu Kepulauan Riau, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, dan Papua. Peningkatan output di sektor pertambangan dan penggalian menjadi penggerak pertumbuhan di Kalimantan Barat, Kalimantan Timur dan Papua, sedangkan investasi menjadi penggerak pertumbuhan di Kepulauan Riau setidaknya berpengaruh terhadap pengentasan kemiskinan BI, 2005-2006. Efek pertumbuhan dan efek distribusi periode 2005-2006 di setiap provinsi dapat dilihat pada Lampiran 13. Dekomposisi Kemiskinan Tingkat Provinsi Periode 2006-2007 Peningkatan pendapatan pada periode 2006-2007 ini secara nasional memiliki efek dalam mengurangi kemiskinan sebesar 4,89 persen. Akan tetapi redistribusi pendapatan yang tidak berjalan sebagaimana mestinya mengurangi efek pertumbuhan terhadap kemiskinan, sehingga efek total net effect mengurangi kemiskinan hanya sebesar 2,71 persen. Hampir setengah dari keseluruhan provinsi yang dianalisa memiliki efek total dalam mengurangi kemiskinan dengan besaran yang lebih kecil dari efek pertumbuhan. Meskipun demikian, kondisi ini secara keseluruhan lebih baik dari periode sebelumnya baik dari sisi efek pertumbuhan pendapatan maupun efek distribusinya. Berbagai upaya pemerintah dalam mengurangi kemiskinan mulai menampakkan hasil, meskipun belum sepenuhnya terjadi di seluruh provinsi di Indonesia. Pada periode ini tahun 2007 konsolidasi berbagai program pengentasan kemiskinan antar sektor juga mulai terintegrasi, dengan meneruskan program sebelumnya secara lebih terintegrasi sehingga lebih tepat dalam mengurangi kemiskinan. Kepulauan Riau masih memiliki pencapaian yang bagus hingga periode ini, dimana baik pertumbuhan maupun distribusi pendapatan memiliki efek dalam mengurangi kemiskinan. Investasi yang semakin tinggi di Kepulauan Riau dengan ditetapkannya Batam, Bintan dan Karimun sebagai kawasan Free Trade Zone FTZ serta laju inflasi yang cukup stabil diduga berpengaruh terhadap pertumbuhan dan distribusi pendapatan dalam mengentaskan kemiskinan. Provinsi Sulawesi Utara mengalami perbaikan pada pertumbuhan pendapatannya yang memiliki efek dalam mengurangi kemiskinan. Peningkatan kinerja sektor pertanian dan bangunan yag padat karya diduga berpengaruh didalamnya BI, 2006-2007. Provinsi Sulawesi Tengah dan Gorontalo bahkan mengalami perbaikan di kedua sisi yang semula memiliki efek yang positif dalam meningkatkan kemiskinan, maka pada periode ini memiliki efek yang negatif. Peningkatan investasi di Gorontalo dan peningkatan kinerja sektor pertambangan dan penggalian di Sulawesi Tengah setidaknya berpengaruh terhadap pengentasan kemiskinan BI, 2006-2007. Sedangkan provinsi Maluku mencapai perbaikan distribusi pendapatan sehingga baik pertumbuhan pendapatan maupun distribusinya memiliki efek dalam mengurangi kemiskinan. Provinsi Sumatera Barat, Jambi, DIY, NTB, Kalimantan Timur dan Maluku Utara memiliki pertumbuhan pendapatan yang berpotensi dalam meningkatkan kemiskinan. Sedangkan redistribusi pendapatan yang memiliki efek dalam menurunkan kemiskinan tidak mampu meng-off set efek pertumbuhan, sehingga masih memiliki net effect positif dalam meningkatkan kemiskinan. Bahkan di provinsi Sumatera Barat, redistribusi pendapatan juga memiliki efek dalam meningkatkan kemiskinan. Peningkatan kinerja sektor pertanian sebagai penggerak perekonomian Sumatera Barat yang diikuti oleh peningkatan kinerja di seluruh sektor, serta gempa yang melanda beberapa daerah pada awal 2007, baik langsung maupun tak langsung berpengaruh terhadap distribusi pendapatan BI, 2006-2007. Hanya di provinsi NTB redistribusi mampu meng-off set efek pertumbuhan sehingga memiliki net effect yang mengurangi kemiskinan. Penurunan yang sempat dialami sektor pertambangan dan penggalian serta peningkatan kinerja sektor pertanian yang keduanya sebagai penggerak perekonomian NTB diduga sebagai penyebabnya BI, 2006-2007. Efek pertumbuhan dan efek distribusi periode 2006-2007 di setiap provinsi dapat dilihat pada Lampiran 14. Dekomposisi Kemiskinan Tingkat Provinsi Periode 2007-2008 Pembahasan dekomposisi kemiskinan pada periode ini dan periode 2008- 2009, telah membahas efek pertumbuhan dan efek distribusi di 33 provinsi di Indonesia termasuk provinsi NAD, Sulawesi Barat dan Papua Barat yang sebelumnya tidak dimasukkan dalam pembahasan. Efek pertumbuhan pendapatan dalam mengurangi kemiskinan pada periode ini, terhambat oleh efek distribusi yang meningkatkan kemiskinan. Akan tetapi efek distribusi ini jauh lebih kecil dalam meningkatkan kemiskinan dibandingkan sebelumnya, sehingga net effect mengindikasikan penurunan kemiskinan. Hampir setengah dari seluruh provinsi di Indonesia, distribusi pendapatan memiliki efek dalam meningkatkan kemiskinan. Bahkan berdasarkan net effect dari keseluruhan provinsi, terdapat 2 provinsi yang menunjukkan peningkatan kemiskinan yaitu Kepulauan Riau dan Papua Barat. Kedua provinsi baru hasil pemekaran wilayah ini memiliki pertumbuhan pendapatan yang meningkatkan kemiskinan. Inflasi dan pelarian modal keluar capital outflow yang cukup besar terjadi di Kepulauan Riau pada tahun 2008. Sedangkan inflasi yang tinggi di Papua Barat menjadi penyebab tingginya kemiskinan meskipun sektor perekonomian menjadi penggerak perekonomiannya. Meskipun demikian, pengintegrasian program pengentasan kemiskinan menunjukkan hasil yang lebih baik dari sebelumnya. Provinsi Sumatera Barat, Riau, Sumatera Selatan, Jawa Tengah, Banten, NTT, Sulawesi Selatan, Gorontalo, dan Maluku Utara memiliki efek pertumbuhan dan efek distribusi dalam mengurangi kemiskinan. Temuan penting bahwa provinsi yang pada periode 2006-2007 telah memiliki efek yang bagus dalam mengurangi kemiskinan baik dari pertumbuhan maupun distribusinya, ternyata tidak menjamin akan mencapai hal yang sama pada periode ini. Walaupun secara jumlah, provinsi yang memiliki efek pertumbuhan dan efek distribusi dalam mengurangi kemiskinan lebih banyak pada periode ini, akan tetapi provinsi tersebut berbeda dengan periode sebelumnya. Hal ini mengindikasikan program pengentasan kemiskinan tersebut masih ada yang kurang tepat dalam pelaksanaannya, seperti belum memasukkan karakteristik daerah dalam penerapannya. Efek pertumbuhan dan efek distribusi periode 2007-2008 di setiap provinsi dapat dilihat pada Lampiran 15. Dekomposisi Kemiskinan Tingkat Provinsi Periode 2008-2009 Pada periode ini, baik pertumbuhan pandapatan maupun redistribusinya secara nasional memiliki efek dalam mengurangi kemiskinan. Net effect di seluruh provinsi menunjukkan adanya pengurangan kemiskinan. Meskipun pertumbuhan pendapatan menunjukkan efek dalam meningkatkan kemiskinan, akan tetapi efek ini mampu di- off set oleh redistribusi yang berjalan dengan baik sehingga memiliki net effect mengurangi kemiskinan. Provinsi Jambi, Bengkulu, Sumatera Selatan, Lampung, Kepulauan Riau, DKI Jakarta, Jawa Timur, Kalimantan Tengah, Sulawesi Selatan, Gorontalo, Sulawesi Barat, Maluku dan Papua memiliki pertumbuhan yang berdampak pada peningkatan kemiskinan. Tetapi redistribusi berjalan dengan baik sehingga memiliki net effect mengurangi kemiskinan. Sebaliknya Papua Barat, Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Utara memiliki pertumbuhan yang berdampak pada pengurangan kemiskinan. Meskipun redistribusi berjalan kurang baik, akan tetapi efek dalam meningkatkan kemiskinan masih lebih kecil dibandingkan efek pertumbuhan dalam mengurangi kemiskinan, sehingga masih memiliki net effect mengurangi kemiskinan. Efek pertumbuhan dan efek distribusi periode 2008-2009 di setiap provinsi dapat dilihat pada Lampiran 16.

5.2 Poverty Growth Equivalent Rate PEGR

Sebagaimana telah dijelaskan pada bab metodologi, PEGR merupakan suatu metode penghitungan yang tidak hanya mampu menjelaskan pengaruh pertumbuhan ekonomi saja, tetapi juga derajat manfaat pertumbuhan ekonomi yang diperoleh penduduk miskin dari proses pertumbuhan tersebut. PEGR bernilai negatif disebut pertumbuhan ekonomi tergolong anti pro poor growth yang berarti manfaat pertumbuhan ekonomi hanya dinikmati oleh penduduk tidak miskin. Nilai PEGR positif tapi lebih rendah dari pertumbuhan ekonomi aktual disebut pertumbuhan ekonomi tergolong belum pro poor growth yang berarti manfaat pertumbuhan ekonomi juga dinikmati penduduk miskin namun manfaat yang diterima penduduk miskin lebih sedikit dibanding manfaat yang diterima penduduk tidak miskin. Nilai PEGR lebih besar dari tingkat pertumbuhan aktual pendapatan riil disebut pertumbuhan ekonomi tergolong pro poor growth yang berarti penduduk miskin memperoleh manfaat pertumbuhan lebih banyak dibanding penduduk tidak miskin. Berdasarkan data Susenas Panel Konsumsi tahun 2005 hingga 2009, secara umum pertumbuhan ekonomi periode 2005-2006 tergolong anti pro poor growth. Pertumbuhan ekonomi hanya dinikmati oleh penduduk tidak miskin saja dan penduduk miskin tidak memiliki kesempatan untuk memperbaiki kesejahteraannya supaya keluar dari kondisi miskin. Nilai PEGR periode 2006-2007 menunjukkan pencapaian pertumbuhan ekonomi yang memberikan manfaat bagi penduduk miskin meskipun tidak sebesar manfaat yang diterima oleh penduduk tidak miskin. Sedangkan nilai PEGR periode 2007-2008 dan 2008-2009 menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi telah pro poor growth yang berarti penduduk miskin menerima manfaat pertumbuhan yang lebih banyak dibandingkan penduduk yang tidak miskin. Gambar 12. Nilai PEGR dan Growth Nasional Periode 2005-2006 hingga 2008-2009 Fenomena pencapaian pembangunan selama RPJM 2005-2009 yang terefleksi dalam nilai PEGR tersebut, menunjukkan bahwa program pengentasan kemiskinan lebih optimal dalam pelaksanaannya daripada sebelumnya. Konsolidasi program pengentasan kemiskinan dilaksanakan bertahap sejak tahun 2007, dimana tahun 2007 hanya meneruskan program yang sudah berjalan secara lebih terkoordinasi. Tahun 2008 konsolidasi tidak hanya mengintegrasikan program yang sudah ada, akan tetapi juga program pengentasan kemiskinan yang lain di berbagai kementrianlembaga. Selain itu memberikan kesempatan yang lebih kepada masyarakat untuk ikut berpartisipasi dalam kegiatan pembangunan. Misalnya cakupan wilayah dalam PNPM Mandiri yang semakin luas menunjukkan jangkauan program tersebut juga lebih tepat sasaran, dimana tahun 2007 mencakup 2827 kecamatan, tahun 2008 mencakup 3800 kecamatan dan tahun 2009 mencakup seluruh kecamatan sebanyak 5263 kecamatan. PEGR Tingkat Provinsi Periode 2005-2006 Seperti halnya ketika menganalisa dekomposisi kemiskinan Shapley, maka dalam analisa nilai PEGR ini hanya memasukkan 30 provinsi pada periode 2005- 2006 dan 2006-2007 karena keterbatasan data. Provinsi tersebut tidak termasuk NAD, Sulawesi Barat dan Papua Barat. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, bahwa pertumbuhan ekonomi periode ini termasuk anti pro poor growth yang juga terjadi di hampir keseluruhan provinsi, kecuali Kepulauan Riau, Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur. Ketiga provinsi tersebut memiliki nilai PEGR positif dan melebihi nilai pertumbuhan aktualnya sehingga bersifat pro poor growth yang berarti penduduk miskin mendapatkan manfaat pertumbuhan yang lebih daripada penduduk tidak miskin. Dekomposisi kemiskinan dari ketiga provinsi ini menunjukkan nilai net effect yang negatif, yang berarti memiliki dampak dalam mengurangi kemiskinan. Kepulauan Riau memiliki pertumbuhan yang mampu mengurangi kemiskinan sekaligus proses redistribusi yang berjalan dengan baik, sehingga memperkuat dampak pertumbuhan tersebut dalam mengentaskan kemiskinan. Peningkatan investasi yang diikuti bertambahnya lapangan kerja diduga berpengaruh terhadap manfaat pertumbuhan bagi penduduk miskin BI, 2005-2006. Redistribusi pendapatan di Kalimantan Barat berjalan dengan baik sehingga mampu meng-off set efek pertumbuhan, sehingga net