Provinsi Gorontalo dan Sulawesi Barat pada tahun 2009 masuk sebagai sepuluh provinsi dengan laju tertinggi yang sebelumnya sebagai lima provinsi
dengan laju terendah. Kedua provinsi ini merupakan provinsi baru yang banyak melakukan pembangunan infrastruktur, sehingga pada tahap awal pembangunan
memiliki perkembangan kegiatan perekonomian yang cukup pesat dibandingkan provinsi lain. Perkembangan laju pertumbuhan di setiap provinsi selama periode
penelitian tahun 2005-2009 dapat dilihat pada Lampiran 1. Apabila berdasarkan nilai selisih pertumbuhannya, maka provinsi
Lampung dan Nusa Tenggara Barat NTB termasuk ke dalam sepuluh provinsi dengan selisih pertumbuhan terbesar selama tahun 2005-2009. Provinsi NAD,
Riau, Sulawesi Utara, Gorontalo, Maluku, Papua, Kalimantan Selatan, dan Daerah Istimewa Yogyakarta DIY yang pada periode 2005-2006 masuk sebagai sepuluh
provinsi dengan selisih pertumbuhan terbesar, selanjutnya justru masuk sebagai lima provinsi dengan selisih pertumbuhan terendah. Berkebalikan dengan provinsi
Kalimantan Tengah, Papua Barat, Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Barat yang justru berpindah sebagai sepuluh provinsi dengan selisih pertumbuhan tertinggi
pada periode 2007-2008 dan 2008-2009, dimana dua diantaranya sebagai provinsi baru. Perkembangan selisih pertumbuhan selama tahun 2005-2006, tahun 2006-
2007, tahun 2007-2008 dan tahun 2008-2009 dapat dilihat pada Lampiran 2. Perbandingan laju pertumbuhan tahun 2009 terhadap tahun 2005 di setiap
provinsi, memberikan gambaran bahwa 14 provinsi memiliki selisih pertumbuhan positif dan 19 provinsi lainnya memiliki selisih pertumbuhan negatif Gambar 9.
Empat belas provinsi yang dimaksud, empat diantaranya merupakan provinsi baru yaitu Gorontalo, Sulawesi Barat, Maluku Utara dan Bangka Belitung, dan satu
provinsi dalam rangka pemulihan kondisi perekonomian karena bencana alam dan konflik internal, yaitu NAD. Sedangkan provinsi Riau, Kepulauan Riau,
Kalimantan Timur, Papua dan DIY merupakan lima provinsi dengan selisih pertumbuhan terendah selama tahun 2005-2009. Provinsi Riau dan Kalimantan
Timur keduanya memiliki PDRB yang hampir setengahnya disumbang dari sektor minyak dan gas. Harga minyak selama periode 2005-2009 sering mengalami
kenaikan yang tentunya berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi kedua provinsi tersebut. Capital outflow terjadi di Kepulauan Riau, sedangkan kontraksi
yang besar di sektor pertambangan dan penggalian sebagai faktor penggerak pertumbuhan terjadi di Papua. Permasalahan inflasi dan pengangguran menjadi
permasalahan utama di DIY BI, 2005-2009.
Gambar 9. Selisih laju pertumbuhan tahun 2005 dan 2009 menurut Provinsi
4.2 Distribusi Pendapatan
Sebagaimana telah dijelaskan dalam bab tinjauan pustaka, salah satu ukuran yang sering digunakan untuk mengukur distribusi pendapatan adalah
Indeks gini Gini Ratio. Perubahan distribusi pendapatan yang senantiasa menyertai pembangunan ekonomi, dapat digambarkan melalui perubahan angka
Indeks gini. Timmer 2004 dan Oshima dalam Suparno 2010 menggunakan pengelompokkan ketidakmerataan distribusi pendapatan menjadi tiga berdasarkan
angka Indeks gini, yaitu: 1. Ketidakmerataan rendah apabila angka Indeks gini lebih kecil dari 0,3.
2. Ketidakmerataan sedang apabila angka Indeks gini terletak antara 0,3 – 0,4. 3. Ketidakmerataan tinggi apabila angka Indeks gini lebih besar dari 0,4.
Nilai rata-rata Indeks gini di tingkat provinsi di Indonesia selama tahun 2005-2009 menunjukkan ketidakmerataan sedang dengan kecenderungan untuk
meningkat selama periode tersebut. Standar deviasi Indeks gini menunjukkan adanya penurunan selama tahun 2005-2009. Nilai rata-rata dan standar deviasi ini
mengindikasikan bahwa ketidakmerataan tingkat provinsi di Indonesia semakin tinggi Tabel 4.
Tabel 4 menunjukkan perkembangan ukuran statistik deskriptif dari Indeks gini tahun 2005-2009. Ketimpangan pendapatan di tingkat provinsi di Indonesia
sangat beragam, meskipun nilai maksimum menunjukkan ketidakmerataan yang tinggi, tetapi secara rata-rata menunjukkan ketidakmerataan sedang. Pada tahun
2006, nilai rata-rata Indeks gini menurun dibanding tahun sebelumnya dan termasuk dalam ketidakmerataan rendah. Akan tetapi standar deviasi yang
meningkat menunjukkan sebaran Indeks gini yang semakin beragam antar provinsi. Tahun 2007 nilai rata-rata Indeks gini meningkat menjadi 0,331 dengan
standar deviasi yang semakin kecil, mengindikasikan ketimpangan di tingkat provinsi yang semakin tinggi. Tahun 2008 mengalami sedikit perbaikan dibanding
sebelumnya, dengan penurunan nilai rata-rata Indeks gini yang disertai dengan penurunan standar deviasi, yang menunjukkan bahwa ketimpangan di tingkat
provinsi sedikit berkurang. Akan tetapi kondisi ini kembali memburuk di tahun 2009 dengan peningkatan nilai rata-rata Indeks gini dan standar deviasinya.
Tabel 4. Ukuran Statistik Deskriptif Indeks gini di Indonesia tahun 2005-2009 2005
2006 2007
2008 2009
Rata-rata 0.301455
0.292535 0.330939
0.32 0.331818
Standar Deviasi 0.086441
0.102313 0.032561
0.02894 0.03206
Minimum 0.26
0.21 0.26
0.26 0.27
Maksimum 0.415
0.39 0.41
0.4 0.39
Berdasarkan urutan nilai Indeks gini, provinsi Kalimantan Tengah, NAD, Bangka Belitung dan Kepulauan Riau masuk sebagai sepuluh provinsi dengan
Indeks gini terendah selama tahun 2005-2009. Sedangkan provinsi Papua dan DIY sebagai provinsi yang selalu berada di lima provinsi dengan Indeks gini
terbesar, memiliki ketimpangan paling tinggi dibandingkan lainnya. Output sektor pertambangan dan penggalian yang menopang perekonomian provinsi Papua lebih
banyak dirasakan oleh sebagian kecil penduduk diduga berakibat pada meningkatnya ketimpangan. Meningkatnya harga BBM dan bahan pokok tahun
2005-2006, meningkatnya pengangguran tahun 2006-2007, gempa tahun 2006 yang berakibat pada rusaknya infratsruktur serta berbagai sarana dan prasarana
tempat usaha, serta inflasi akibat krisis global tahun 2008 berdampak pada meningkatnya ketimpangan pendapatan di DIY BI, 2005-2009. Pertumbuhan
ekonomi yang relatif rendah selama tahun 2005-2009 belum mampu
meningkatkan penyerapan tenaga kerja, sehingga berakibat pada meningkatnya pengangguran dan lemahnya kemampuan penduduk khususnya penduduk miskin
untuk meningkatkan kesejahteraannya yang selanjutnya meningkatkan
ketimpangan pendapatan di provinsi DIY. Provinsi Sulawesi Tengah, Maluku Utara, Papua Barat dan Kalimantan
Timur memiliki ketimpangan yang memburuk, yang pada tahun 2005 dan 2007 termasuk sebagai sepuluh provinsi dengan nilai Indeks gini terendah, dan pada
periode berikutnya masuk sebagai lima provinsi dengan nilai Indeks gini tertinggi. Inflasi yang berada di atas angka nasional dan menurunnya daya beli masyarakat,
pertumbuhan tenaga kerja yang melebihi pertumbuhan kesempatan kerja di Sulawesi Tengah, serta pertumbuhan negatif di sektor pertambangan dan
penggalian di Kalimantan Timur, merupakan tekanan terhadap peningkatan kesejahteraan penduduk miskin yang pada akhirnya berdampak terhadap
peningkatan distribusi pendapatan BI, 2005-2009. Berkebalikan dengan provinsi Sulawesi Tenggara, NTB dan Gorontalo justru berpindah dari posisi lima provinsi
dengan Indeks gini tertinggi, yang berarti terjadi perbaikan ketidakmerataan. Meskipun inflasi juga terjadi di ketiga provinsi, tetapi dampaknya tertutupi oleh
peningkatan konsumsi pemerintah dan investasi yang setidaknya berdampak pada peningkatan pendapatan melalui penciptaan lapangan pekerjaan BI, 2005-2009.
Perkembangan Indeks gini di setiap provinsi selama periode penelitian tahun 2005-2009 dapat dilihat pada Lampiran 3.
Perubahan distribusi pendapatan dapat dilihat dari perubahan nilai Indeks gini, dengan nilai yang positif maupun negatif. Perubahan positif berarti terjadi
peningkatan ketidakmerataan atau distribusi yang semakin timpang, perubahan negatif sebaliknya terjadi penurunan ketidakmerataan. Berdasarkan selisih nilai
Indeks gininya, provinsi NAD, Kalimantan Tengah, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara dan Papua Barat sebagai provinsi hasil pemekaran dari provinsi Papua,
mempunyai selisih yang semakin besar. Provinsi-provinsi tersebut pada tahun 2005-2006 dan 2006-2007 memiliki selisih Indeks gini negatif, tetapi pada
periode berikutnya memiliki selisih Indeks gini positif. Berkebalikan dengan provinsi Kepulauan Riau, Sulawesi Barat, Maluku, Maluku Utara, dan Papua.
Kepulauan Riau, Maluku dan Maluku Utara pada tahun 2005-2006 memiliki