Dari beberapa hasil penelitian yang mengkaji dimensi manusia pun, umumnya kajian hanya menekankan sisi regulatif peraturan, perundang-
undangan. Sisi normatif ideologi, kepercayaan, dll dan sisi kognitif pengetahuan lokal kurang digali secara sungguh-sungguh. Apalagi penelitian
yang menganalisis interaksi eksploitatif antara nelayan dengan para pihak lainnya sangat sering dihindari atau tidak tersentuh. Selain problema kemampuan analisis
peneliti, diduga kekuatiran untuk memasuki fenomena tersebut masih menghambat kebebasan berpikir peneliti.
1.2 Identifikasi masalah
Sekarang ini para nelayan sering menjadi kambing hitam scape goat pelbagai kerusakan lingkungan laut dan pesisir, khususnya terhadap kerusakan
terumbu karang dan makin langkanya jenis-jenis ikan tertentu. Fenomena tentang nelayan pengguna teknologi perusak semakin sering terdengar beritanya di
berbagai media massa, namun penelitian yang holistic terhadap fenomena ini sangat terbatas. Orang tidak mengetahui siapa-siapa nelayan yang melakukan hal
tersebut, mengapa mereka melakukan, bagaimana cara mereka melakukan, kelembagaan macam apa yang ada pada usaha kenelayanan destruktif itu,
stakeholder apa saja yang terlibat pada kegiatan kenelayanan destruktif ini dan lain-lain hal yang masih gelap bagi banyak pihak.
Sudah banyak usaha dilakukan oleh pemerintah, organisasi masyarakat maupun swasta berupa pemberdayaan masyarakat, penyuluhan serta usaha-usaha
konservasi pesisir dan laut dalam rangka meredam usaha kenelayanan destruktif ini. Akan tetapi kerusakan sumber daya laut dan usaha kenelayanan itu terus
berlangsung. Usaha yang bersifat regulatif, seperti peraturan dan perundangan pelarangan penggunaan teknologi destruktif, penyelenggaraan taman laut
nasional, pengawasan dan penyitaan teknologi destruktif dalam berbagai operasi keamanan sering dilangsungkan. Upaya-upaya tersebut sampai hari ini belum lagi
menunjukkan hasil yang menggembirakan. Sementara itu aspek pengetahuan lokal cognitive, yang di dalamnya termasuk etika lingkungan dan interaksi
eksploitatif, kurang mendapat perhatian dalam upaya-upaya kelestarian lingkungan laut.
Etika di sini bermakna dua, yakni sebagai kumpulan pengetahuan nilai perbuatan manusia dan predikat untuk membedakan dengan perbuatan lain
Budimanta dan Rudito, 2003. Isi dari etika akan berbeda antara satu komunitas dengan kebudayaannya sendiri dengan komunitas lainnya dengan kebudayaannya
yang lain. Salah satu contoh adalah masalah pengeboman di Bali yang menewaskan lebih dari seratus orang pada suatu klab malam. Pada satu sisi,
pengeboman tersebut melanggar etika karena mengambil nyawa orang lain, tetapi pada sisi lain tidak melanggar etika karena dianggap klab tersebut aktivitas tidak
baik orang bermabuk-mabukan, narkoba, zinah. Pertentangan kedua nilai yang berbeda ini sangat dipengaruhi oleh lingkungan yang sedang mendominasi pada
ruang dan waktu, sehingga dapat dikatakan bahwa pembicaraan etika merupakan pembicaraan prinsip-prinsip pembenaran. Isi etika pada dasarnya akan
dipengaruhi oleh adanya persepsi manusia terhadap lingkungannya dan menjadi bagian dalam sistem persepsi yang ada yang merupakan simbol-simbol
penyaringan dari pra tindakan untuk menjadi suatu tindakan Budimanta dan Rudito, 2003. Dengan memahami pengetahuan lokal kita akan memahami etika
lingkungan yang melatarbelakangi suatu tindakan. Selain itu, sangat penting pula dilakukannya penelitian tentang hubungan
kerja di masyarakat nelayan, yang dimulai dengan memahami pengetahuan lokal nelayan destructive fishing dan pola tindakannya. Setelah memahami pengetahuan
lokal nelayan, khususnya tentang variabel-variabel kelautan dan interaksinya dengan para pihak, lalu memahami pola tindakannya untuk menyusun format
pemanfaatan sumber daya perikanan berkelanjutan.
1.3 Perumusan masalah