Perilaku Para Pihak Dalam Kegiatan Penangkapan Ikan Di Pulau Barrang Lompo (Makassar) dan Transformasi Menuju Perikanan Berkelanjutan

(1)

PERILAKU PARA PIHAK DALAM KEGIATAN

PENANGKAPAN IKAN DI PULAU BARRANG LOMPO

(MAKASSAR) DAN TRANSFORMASI MENUJU

PERIKANAN BERKELANJUTAN

ANDY AHMAD ZAELANY

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2007


(2)

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi dengan judul ” Perilaku Para Pihak dalam Kegiatan Penangkapan Ikan di Pulau Barrang Lompo (Makassar) dan Transformasi menuju Perikanan Berkelanjutan” adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, September 2007

Andy Ahmad Zaelany NRP C 561020134


(3)

dan JOHN HALUAN.

Abstrak

Penggunaan bom dalam kegiatan penangkapan ikan merupakan ciri utama aktivitas kenelayanan destruktif di Pulau Barang Lompo. Para pelaku penangkapan ikan tersebut mempunyai sejumlah alasan, yaitu alasan memilih bom sebagai ‘alat’ penangkap ikan, alasan memilih daerah penangkapan ikan, alasan untuk tetap melakukan kegiatan penangkapan ikan secara ilegal, alasan menyuap petugas, dan alasan menjual ikan hanya kepada seorang pembeli saja (monopsoni).

Ada tiga tingkat penyebab kenelayanan destruktif marak dilakukan oleh sebagian besar kalangan masyarakat setempat. Penyebab tingkat pertama terdiri dari kemiskinan, referensi yang dimiliki pelaku, konsumtivisme, cultural burden/pride, dan budaya agresif. Penyebab tingkat kedua berkenaan dengan interaksi antar kelompok stakeholders yang terkait dengan aktivitas kenelayanan di Pulau Barrang Lompo, yaitu interaksi antara pelaku penangkap ikan (yaitu nelayan) dengan punggawa pulau, interaksi antara punggawa pulau dengan punggawa darat dan punggawa lelang, dan interaksi antara nelayan dan para penegak hukum melalui punggawa pulau. Berbagai jenis interaksi ini dimulai dari penggunaan bom dalam proses penangkapan ikan sebagai alat pembunuh ikan dan berakhir dengan menempatkan nelayan sebagai pihak yang paling dieksploitasi. Selanjutnya, penyebab tingkat ketiga berkaitan dengan tidak adanya pemahaman yang sama (common understanding), terutama tentang kategori teknologi penangkapan ikan, kategori kerusakan sumber daya laut, kategori pelanggaran hukum dan solusi untuk menghentikan kegiatan kenelayanan destruktif.

Upaya untuk merubah praktek kenelayanan destruktif menjadi kenelayanan yang menerapkan prinsip-prinsip keberlanjutan melalui penguatan sejumlah faktor kunci, yaitu pendidikan lingkungan, penegakan hukum, insentif untuk menghentikan kegiatan kenelayanan destruktif, dan mata pencaharian alternatif. Selain itu, pendekat personal yang intensif diperlukan sebagai prasyarat kelancaran penerapan berbagai program untuk perubahan tersebut.

Kata kunci:

Kenelayanan destruktif, interaksi antar pelaku, bom ikan, punggawa, Barrang Lompo.


(4)

JOHN HALUAN.

Abstract

Use of fish bombs is the main characteristic of destructive fishing carried out by fishermen from Barrang Lompo. They have a number of reasons, i.e., reasons to choose the bombs as fishing tools, reasons to select certain fishing areas, reasons to continue practicing illegal fishing, reasons to bribe law enforcers, and reasons to sell their fish to a single buyer (monopsony).

There are three levels of factors promoting destructive fishing continuously being practiced by most community members of the Pulau Barrang Lompo. The first level factors are related to issues of poverty, available references, consumerism, cultural burden/pride, and aggressive behavior. The second level factors are related with interaction among stakeholders of fishing activities conducted by fishermen from Barrang Lompo Island; these are interaction between the fishermen and punggawa pulau, interaction between punggawa pulau and both punggawa darat and punggawa lelang, and interaction between the fishermen and law enforcers through punggawa pulau. These interactions are started from the use of bomb in fishing activities as fish killing device, and eventually end up as the fishermen being the most exploited group. Finally, the third level factors are related to absence of common understanding in terminologies of fishing technique categories, environmental damages categories, law violation categories, and strategies to stop destructive fishing conducted by local community.

Efforts to transform current fishing practices from destructive to sustainable fishing include some key actions, such as environmental education, law enforcement, incentives to stop destructive fishing, and alternative likelihood or income generation. It is important to apply intensive personal approach as a condition in implementing the transformation if such effort or programs.

Key words:


(5)

PENANGKAPAN IKAN DI PULAU BARRANG LOMPO

(MAKASSAR) DAN TRANSFORMASI MENUJU

PERIKANAN BERKELANJUTAN

ANDY AHMAD ZAELANY

Disertasi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2007


(6)

Penguji pada Ujian Tertutup (28 April 2007) : 1. Dr.Ir. Rilus Kinseng, M.Sc.

Penguji pada Ujian Terbuka (6 Juni 2007) : 1. Dr. Masyhuri, MS 2. Dr.Ir. Arif Satria, M.Sc.


(7)

@

Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2007 Hak cipta dilindungi Undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,

penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau


(8)

Judul Disertasi : Perilaku para pihak dalam kegiatan penangkapan ikan di Pulau Barrang Lompo (Makassar) dan transformasi menuju perikanan berkelanjutan

Nama Mahasiswa : Andy Ahmad Zaelany

NRP : C 561020134

Program Studi : Teknologi Kelautan Disetujui, Komisi Pembimbing

Dr. Ir. M. Fedi A.Sondita, M.Sc. Ketua

Prof. Dr. Ir. John Haluan, M.Sc. Dr.Tommy H. Purwaka, SH,LLM Anggota Anggota

Diketahui,

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Teknologi Kelautan,

Prof. Dr. Ir. John Haluan, M.Sc Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS


(9)

literatur dan buku-buku teks tentang konservasi dan kenelayanan yang saya bawa menemani penelitian ini. Pendapat-pendapat selama ini yang saya dengar tentang nelayan yang merusak sumber daya laut, saya buang jauh-jauh dengan perasaan campur aduk. Ini bagaikan kutukan bagi seorang peneliti, kutukan bagi seorang ilmuwan, ...sungguh sangat menyakitkan !

Semenjak lama saya sudah mendengar tentang nelayan sebagai kambing hitam (scape goat) kerusakan sumber daya laut. Benar bahwa merekalah pelaku kenelayanan destruktif. Mereka yang menggunakan bom ikan dan menyemprotkan potassium sianida untuk menangkap ikan dengan tujuan memperolah hasil banyak dalam waktu singkat. Dalam kenyataannya, hanya sebagian kecil keuntungan saja yang mengalir kepada nelayan-nelayan ini dengan menghadapi risiko yang begitu besar, seperti : selalu dibayangi perasaan was-was kuatir tertangkap petugas keamanan, masuk penjara berbulan-bulan yang berarti anak istrinya terlantar, kemungkinan terkena ledakan bom itu sendiri yang berarti cacat bahkan mungkin merenggut nyawanya.

Oknum dari para pihak lain yang terlibat dalam penangkapan ikan justru memperoleh keuntungan sebesar-besarnya dan risiko sekecil-kecilnya. Para pemilik modal yang membangun relasi kerja dengan nelayan melalui hutang (debt working relationship) dengan ketentuan pembelian ikan hasil tangkapan nelayan secara monopsonistis dengan harga yang ditentukan oleh pemilik modal. Oknum yang mempunyai wewenang dalam pengamanan sumber daya laut memanfaatkan nelayan dengan menjalin relasi kerja semu (pseudo working relationship). Oknum itu mengamankan perdagangan ilegal material bom ikan dan mengamankan operasi penangkapan ikan, tentunya dengan imbalan memperoleh ”uang jasa”. Kedua relasi kerja yang cenderung eksploitatif ini bertemu dengan sejumlah faktor sosial budaya yang ada pada masyarakat (kultur agresif/tidak pro-lingkungan, kemiskinan, referensi perilaku, konsumtivisme, cultural burden/pride) memungkinkan berlangsungnya terus kenelayanan destruktif di kalangan masyarakat Pulau Barrang Lompo. Disertasi ini akan mengkaji faktor-faktor penyebabnya dan mencari solusi awal untuk mengurangi tekanan kenelayanan destruktif di Pulau Barrang Lompo.


(10)

rahmatNya saya dapat menyelesaikan disertasi ini sebagai tahap akhir yang harus lewati sebagai mahasiswa doktoral. Banyak kesulitan yang harus dilalui dalam menyelesaikannya. Problem utama adalah mengatur irama kerja mencari nafkah dan konsentrasi menyelesaikan disertasi ini. Belum lagi problem serta kegiatan kekerabatan, keluarga dan lingkungan sosial tidak jarang menyebabkan tertundanya pekerjaan ini.

Besar rasa terima kasih saya kepada para pembimbing, Dr. Ir. M.Fedi A. Sondita, M.Sc., Dr. Tommy Hendra Purwaka, SH, LLM dan Prof. Dr. John Haluan, M.Sc. yang dengan sabar dan tekun telah banyak memperluas wawasan kami, sehingga disertasi ini bisa terwujud. Begitu juga dengan staf administrasi di sekretariat TKL, baik yang berada di kampus Baranangsiang maupun yang berada di kampus Darmaga yang dengan tulus selalu siap memberikan informasi. Tidak lupa pula rasa terima kasih kami sampaikan kepada Dr Rilus Kinseng, M.Sc. atas kesediaannya sebagai penguji luar komisi pada ujian tertutup tanggal 28 April 2007, serta kepada Dr.Masyhuri,MS dan Dr.Arief Satria,M.Sc. atas kesediaannya sebagai penguji luar komisi pada ujian terbuka tanggal 6 Juni 2007. Rasa terima kasih yang sedalam-dalamnya disampaikan kepada para responden di Pulau Barrang Lompo maupun di Makassar yang telah memberikan begitu banyak informasi untuk kelengkapan disertasi ini. Tanpa sikap bersahabat mereka terhadap penulis, niscaya disertasi ini tidak akan terwujud.

Bantuan finansial dari adinda Dr Indra Bastian pada saat-saat kritis keuangan, sehingga memungkinkan keberlanjutan sekolah kami; kepadanyalah rasa terima kasih sepenuh-penuhnya diperuntukkan. Ungkapan terima kasih tak terhingga kami haturkan kepada almarhum ayahanda dan almarhum ayah mertua, ibunda dan ibu mertua serta seluruh keluarga atas segala doa dan kasih sayang. Tentu tanpa kerelaan, doa dan kasih sayang isteri kami, Dr. Ir. Leti Sundawati, M.Sc. dan ananda Faris Azhar Zaelany yang juga merelakan berkurangnya hari-hari bercanda bersama dan bepergian bersama kami, sulitlah kami untuk sampai pada akhir pendidikan S 3 ini; kepada keduanya rasa terima kasih mendalam kami sampaikan.

Bogor, September 2007 Andy Ahmad Zaelany


(11)

1962 Kamis siang hari sebagai anak ketiga dari pasangan almarhum Ir.Burhan Saarin dan Endah Nirwana, B.A. Pendidikan Sarjana Muda (B.A.) dan Sarjana (Drs.) ditempuh di Jurusan Antropologi, Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, lulus pada tahun 1989.

Pada tahun 1993 penulis diterima pada program LEAD (Leadership Environment and Development) dengan beasiswa dari Rockefeller Foundation yang merupakan pendidikan setingkat master non-gelar. Pada pendidikan ini kami mendalami masalah sustainable development, dan mengikuti pula beberapa sesi internasional, diantaranya ke Thailand dan ke Zimbabwe. Di Zimbabwe kami melakukan survey singkat di Nyangga tentang :”Kemiskinan, kerusakan lingkungan dan potensi solusinya”. Tahun 1995 penulis menyelesaikan pendidikan ini.

Tahun 1997 sampai dengan tahun 2001 penulis melanjutkan studi di Universitas Georg August, Goettingen, Jerman dan meraih gelar Magister Artium (M.A.) pada bidang Etnologi (dengan minor Rural Development). Di tengah-tengah studi, yakni pada tahun 1999 penulis menghadiri World Conference of Science di Budapest, Hungaria, sebagai peserta dari Indonesia, dengan dukungan dana dari Rockefeller Foundation.

Tahun 2002 kesempatan untuk melanjutkan studi ke tingkat doktoral diperoleh penulis dengan terdaftarnya sebagai mahasiswa S -3 pada Sekolah Pascasarjana program studi Teknologi Kelautan (TKL) Institut Pertanian Bogor dengan subprogram studinya “Perencanaan Pembangunan Kelautan dan Perikanan”.

Kini penulis masih bekerja pada Pusat Penelitian Kependudukan, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang ditekuninya semenjak tahun 1991 dan terlibat dalam kegiatan-kegiatan COREMAP (Coral Reef and Rehabilitation Management Project). Sebelumnya penulis pernah bekerja sebagai wartawan harian Suara Merdeka (1989-1990) dan staf peneliti KEPAS (Kelompok Penelitian Agroekosistem) pada tahun 1986 -1987.


(12)

DAFTAR GAMBAR ... v

DAFTAR FOTO...vi

DAFTAR LAMPIRAN...vii

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang... 1

1.2 Identifikasi masalah ... 2

1.3 Perumusan masalah... 3

1.4 Kerangka berpikir ... 4

1.5 Tujuan ... 10

1.6 Manfaat penelitian ... 11

1.7 Ruang lingkup... 12

1.8 Definisi operasional ... 13

1.9 Alur penulisan... 14

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengantar ... 16

2.2 Metodologi... 18

2.3 Perikanan berkelanjutan...18

2.4 Etika lingkungan ... 23

2.5 Relasi patron-klien dan eksploitasi sosial ... 25

2.6 Modal sosial dan pascastrukturalis ... 27

2.7 Enterpreneurship... 28

2.8 Pembahasan... 29

2.9 Asumsi penelitian ... 34

3 METODOLOGI 3.1 Pengantar... 35

3.2 Format studi etnografi... 36

3.3 Alasan pemilihan area... 39

3.4 Waktu dan tempat ... 41

3.5 Data yang diperlukan ... 42

3.6 Cara pengumpulan data... 43

3.7 Cara masuk ke masyarakat... 48

3.8 Tahap awal riset ... 49

3.9 Proses riset ... 51

3.10 Analisis data... 53

3.11 Cara pembahasan hasil analisis... 54

4 KEADAAN UMUM LINGKUNGAN FISIK DAN SOSIAL 4.1 Pengantar... 56

4.2 Metodologi... 56


(13)

4.3.1 Lingkungan fisik ... 57

4.3.1.1 Lokasi... 57

4.3.1.2 Asal usul nama pulau ... 60

4.3.1.3 Pola pemukiman ... 62

4.3.1.4 Kondisi perairan... 64

4.3.1.5 Perubahan lingkungan fisik ... 66

4.3.2 Lingkungan sosial dan perubahannya... 68

4.3.2.1 Asal usul penduduk... 68

4.3.2.2 Pemerintahan ... 74

4.3.2.3 Stratifikasi sosial... 76

4.3.2.4 Perubahan sosial ... 78

4.4 Pembahasan... 78

5 PELAKU KEGIATAN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN DI PULAU BARRANG LOMPO: MULAI DARI PENANGKAPAN IKAN HINGGA KEGIATAN PENDUKUNG KEBERHASILAN OPERASI PENANGKAPAN IKAN 5.1 Pengantar ... 82

5.2 Metodologi ... 83

5.3 Hasil Penelitian ... 84

5.3.1 Nelayan Pa’es ... 84

5.3.1.1 Wilayah dollar – wilayah rupiah... 88

5.3.1.2 Lokasi penangkapan ikan... 89

5.3.1.3 Sejarah bom ikan... 92

5.3.1.4 Perdagangan bahan bom ikan ... 93

5.3.1.5 Teknik penggunaan bom... 96

5.3.1.6 Ikan target dan penjualannya ... 99

5.3.1.7 Ritual kenelayanan... 100

5.3.1.8 Tabu dalam aktivitas Pa’es ... 105

5.3.1.9 Semangat kenelayanan... 107

5.3.2 Pa’Taripang... 109

5.3.3 Pekerjaan lain... 114

5.3.3.1 Pa’dagang... 114

5.3.3.2 Toko, warung, gadde ... 117

5.3.3.3 Pabalolang... 117

5.4 Pembahasan... 118

6 INTERAKSI EKSPLOITATIF ANTAR STAKEHOLDER KEGIATAN PENANGKAPAN IKAN 6.1 Pengantar ... 125

6.2 Metodologi... 125

6.3 Hasil Penelitian ... 126

6.3.1 Profil stakeholder... 126

6.3.1.1 Pemanfaat perikanan... 126

6.3.1.2 Pengelola perikanan ... 128

6.3.1.3 Penegak hukum... 129


(14)

6.3.3 Identifikasi nelayan terhadap dirinya maupun pihak lain ... 133

6.4 Pembahasan... 137

7 PERTEMUAN PAOTERE : PERBEDAAN PENDAPAT TIGA STAKEHOLDER TERHADAP PEKERJAAN NELAYAN PA’ES 7.1 Pengantar ... 140

7.2 Metodologi... 141

7.3 Hasil Penelitian: pertemuan para pihak di Paotere ... 142

7.4 Analisis ... 152

7.4.1 Pendapat pengelola perikanan... 153

7.4.2 Pendapat penegak hukum ... 155

7.4.3 Pendapat pemanfaat perikanan ... 156

7.5 Pembahasan... 158

7.5.1 Pengaruhnya terhadap para pengelola perikanan... 159

7.5.2 Pengaruhnya terhadap para penegak hukum... 160

7.5.3 Pengaruhnya terhadap para pemanfaat erikanan... 161

7.5.4 Perlunya common understanding... 163

8 OPSI PENANGANAN KENELAYANAN DESTRUKTIF DI PULAU BARRANG LOMPO, MAKASSAR 8.1 Pengantar ... 165

8.2 Metodologi... 168

8.2.1 Pengumpulan data... 170

8.2.2 Jenis metode yang diterapkan ... 171

8.3 Hasil kajian ... 172

8.4 Pendekatan untuk perubahan perilaku ... 179

8.5 Perilaku kunci untuk perubahan... 180

8.6 Skenario perubahan... 185

8.7 Pembahasan... 187

9 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 9.1 Kesimpulan ... 192

9.2 Rekomendasi... 196

DAFTAR PUSTAKA ... 199


(15)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Rangkaian Proses penelitian perilaku para pihak dalam kegiatan

penangkapan ikan... 36

2 Episode dinamika perikanan menurut hasil tangkapan dan lama operasi penangkapan ikan sejak tahun 1985 hingga sekarang di Pulau Barang Lompo, Makassar, Sulawesi Selatan... 68

3 Istilah kerja berdasarkan jenis kelamin di kalangan masyarakat Pulau Barrang Lompo, Makassar, Sulawesi Selatan ... 119

4 Neraca interaksi antara Nelayan dengan Punggawa Pulau dan Penegak Hukum dalam kegiatan perikanan di Pulau Barrang Lompo, Makassar, Sulawesi Selatan ... 131

5 Neraca interaksi antara Punggawa Pulau dengan Punggawa Darat dan Punggawa Lelang ... 132

6 Rumusan nelayan tentang karakteristik wirausahawan, bidang koperasi kenelayanan dan peran koperasi dalam perdagangan komoditi perikanan ... 134

7 Pendapat para nelayan, pengelola perikanan dan penegak hukum terhadap sejumlah isu yang berkaitan dengan pekerjaan nelayan bom ikan ... 153

8 Jenis intervensi dan contohnya ... 169

9 Karakter program Departemen Kelautan dan Perikanan ... 170

10 Kerangka wawancara untuk solusi... 171

11 Distorsi input program Departemen Kelautan dan Perikanan ... 173

12 Perilaku Kunci nelayan Pulau Barrang Lompo dan implikasinya ... 180


(16)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Alur berpikir penelitian perubahan perilaku nelayan menjadi pelaku perikanan

yang berkelanjutan ... 9

2 Transformasi perubahan perilaku dari kenelayanan destruktif menjadi kenelayanan berkelanjutan ... 17

3 Rangkaian faktor penyebab nelayan melakukan praktek kenelayanan destruktif ... 33

4 Ragam pendekatan pengumpulan data dan keobyektifan yang Dihasilkan (Spradley, 1979) ... 38

5 Klasifikasi makanan menurut masyarakat Pulau Barrang Lompo, Makassar ... 54

6 Posisi Pulau Barrang Lompo, Makassar, Sulawesi Selatan... 57

7 Peta Pulau Barrang Lompo, Makassar, Sulawesi Selatan... 63

8 Peta Pulau Barrang Lompo dan perairannya ... 65

9 Kegiatan pemanfaatan sumber daya ikan dan kegiatan- kegiatan pendukungnya ... 82

10 Kategori teman menurut nelayan Pulau Barrang Lompo ... 87

11 Bagan alir strategi usaha Pa’es di Pulau Barrang Lompo, Makassar, Sulawesi Selatan ... 91

12 Aliran material bom dan modal kegiatan kenelayanan mulai dari strata utama di Pare-pare hingga ke nelayan Pa’es di Pulau Barrang Lompo ... 95

13 Kategori jenis ikan di laut menurut nelayan Pulau Barrang Lompo, Makassar, Sulawesi Selatan ... 100

14 Aliran ikan dan uang dari nelayan Pa’es ke oknum polisi dan para Punggawa ... 130

15 Implikasi perbedaan pendapat... 159

16 Tingkatan perbuatan tidak baik... 162

17 Faktor penyebab DF... 167

18 Isu DF dan intervensi yang diperlukan ... 176

19 Tahapan penyusunan perubahan perilaku ... 179

20 Faktor kunci positif untuk mengubah praktek destructive fishing menjadi sustainable fishing dan solusi awal yang perlu dilakukan ... 189


(17)

DAFTAR FOTO

Halaman

1 Kapal polisi dengan latar belakang tanah reklamasi... 81

2 Ritual kelahiran anak dengan menaruh pedang di dekat bayi sebagai simbol keberanian dan agresivitas ... 121

3 Kapal pengangkut nelayan Pa’es ke daerah penangkapan ikan... 121

4 Perahu Lepa-lepa pemburu ikan ... 122

5 Bom ikan dan material utamanya ... 122

6 Ikan hasil tangkapan dengan menggunakan bom ikan ... 123

7 Dua dukun laut (Sanro) sedang memantrai Parappo... 123


(18)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1 Glossary...205 2Analisis etnosain terhadap percakapan informan...209 3 Program Departemen Kelautan dan Perikanan...211 4 Operasi pencegahan pelaku pemboman dan pembiusan ikan di Selat Makassar...222


(19)

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

Pola perikanan rakyat untuk survival dalam kompetisi dengan berbagai nelayan asing maupun domestik bisa melalui perubahan teknologi, perubahan jenis ikan sasaran dan perubahan pada manajemen usaha. Perubahan tersebut dilakukan untuk menghadapi berbagai tantangan, seperti hadirnya para kompetitor yang memiliki teknologi yang tinggi, berubahnya permintaan pasar terhadap jenis ikan tertentu, perubahan harga pasar hasil laut, lingkungan eksternal yang tidak menguntungkan nelayan. Upaya untuk survival ini seringkali mengabaikan pandangan konservasi dan meningkatkan konflik dengan kelompok nelayan lain. Kelestarian ekosistem laut pun akhirnya menjadi terancam.

Sebenarnya semenjak lama penduduk yang tinggal di dekat pantai “berhubungan”dengan laut dalam kondisi yang kurang lebih harmonis, walaupun mereka telah melakukan juga eksploitasi terhadapnya. Dalam beberapa waktu terakhir ini, melalui introduksi teknologi baru dan demand yang gencar terhadap hasil laut, menyebabkan ekosistem laut menjadi obyek perusakan yang serius.

Kini, banyak orang berpendapat bahwa penyebab utama kerusakan ekosistem laut adalah manusia (anthropogenic impact). Perilaku manusia yang berdampak buruk terhadap ekosistem laut misalnya melalui over exploitation terhadap hasil laut, penggunaan teknologi yang merusak terumbu karang (potassium cyanide, bom ikan, bagan tancap, racun, bubu, muro ami dan lain-lain), penebangan pohon di daratan secara besar-besaran, polusi industri, dan mismanajemen dari kegiatan penambangan telah merusak terumbu karang dan mematikan anak-anak ikan, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Penelitian yang berkaitan dengan kerusakan ekosistem laut dari segi ekonomi, dan ekologi - biologi sudah banyak. Adapun penelitian yang secara khusus mengkaji faktor manusia masih sedikit, diantaranya adalah dari Tim Coremap (sejak tahun 1996; lihat Lampe, ed. 1996 dan Lampe, 1997), Tim Wallacea (2001), Tim Wotro (1997), beberapa buah hasil riset dari LIPI (sejak awal 1990-an) serta beberapa universitas yang ada program studi perikanan dan kelautan (misalnya IPB, Undip, Unhas, Unpatti), dan beberapa LSM (DFW- tahun 2003, P3M – tahun 1995 ke atas, dan lain-lain) berupa laporan-laporan kegiatan.


(20)

Dari beberapa hasil penelitian yang mengkaji dimensi manusia pun, umumnya kajian hanya menekankan sisi regulatif (peraturan, perundang-undangan). Sisi normatif (ideologi, kepercayaan, dll) dan sisi kognitif (pengetahuan lokal) kurang digali secara sungguh-sungguh. Apalagi penelitian yang menganalisis interaksi eksploitatif antara nelayan dengan para pihak lainnya sangat sering dihindari atau tidak tersentuh. Selain problema kemampuan analisis peneliti, diduga kekuatiran untuk memasuki fenomena tersebut masih menghambat kebebasan berpikir peneliti.

1.2 Identifikasi masalah

Sekarang ini para nelayan sering menjadi kambing hitam (scape goat) pelbagai kerusakan lingkungan laut dan pesisir, khususnya terhadap kerusakan terumbu karang dan makin langkanya jenis-jenis ikan tertentu. Fenomena tentang nelayan pengguna teknologi perusak semakin sering terdengar beritanya di berbagai media massa, namun penelitian yang holistic terhadap fenomena ini sangat terbatas. Orang tidak mengetahui siapa-siapa nelayan yang melakukan hal tersebut, mengapa mereka melakukan, bagaimana cara mereka melakukan, kelembagaan macam apa yang ada pada usaha kenelayanan destruktif itu, stakeholder apa saja yang terlibat pada kegiatan kenelayanan destruktif ini dan lain-lain hal yang masih gelap bagi banyak pihak.

Sudah banyak usaha dilakukan oleh pemerintah, organisasi masyarakat maupun swasta berupa pemberdayaan masyarakat, penyuluhan serta usaha-usaha konservasi pesisir dan laut dalam rangka meredam usaha kenelayanan destruktif ini. Akan tetapi kerusakan sumber daya laut dan usaha kenelayanan itu terus berlangsung. Usaha yang bersifat regulatif, seperti peraturan dan perundangan pelarangan penggunaan teknologi destruktif, penyelenggaraan taman laut nasional, pengawasan dan penyitaan teknologi destruktif dalam berbagai operasi keamanan sering dilangsungkan. Upaya-upaya tersebut sampai hari ini belum lagi menunjukkan hasil yang menggembirakan. Sementara itu aspek pengetahuan lokal (cognitive), yang di dalamnya termasuk etika lingkungan dan interaksi eksploitatif, kurang mendapat perhatian dalam upaya-upaya kelestarian lingkungan laut.


(21)

Etika di sini bermakna dua, yakni sebagai kumpulan pengetahuan nilai perbuatan manusia dan predikat untuk membedakan dengan perbuatan lain (Budimanta dan Rudito, 2003). Isi dari etika akan berbeda antara satu komunitas dengan kebudayaannya sendiri dengan komunitas lainnya dengan kebudayaannya yang lain. Salah satu contoh adalah masalah pengeboman di Bali yang menewaskan lebih dari seratus orang pada suatu klab malam. Pada satu sisi, pengeboman tersebut melanggar etika karena mengambil nyawa orang lain, tetapi pada sisi lain tidak melanggar etika karena dianggap klab tersebut aktivitas tidak baik (orang bermabuk-mabukan, narkoba, zinah). Pertentangan kedua nilai yang berbeda ini sangat dipengaruhi oleh lingkungan yang sedang mendominasi pada ruang dan waktu, sehingga dapat dikatakan bahwa pembicaraan etika merupakan pembicaraan prinsip-prinsip pembenaran. Isi etika pada dasarnya akan dipengaruhi oleh adanya persepsi manusia terhadap lingkungannya dan menjadi bagian dalam sistem persepsi yang ada yang merupakan simbol-simbol penyaringan dari pra tindakan untuk menjadi suatu tindakan (Budimanta dan Rudito, 2003). Dengan memahami pengetahuan lokal kita akan memahami etika lingkungan yang melatarbelakangi suatu tindakan.

Selain itu, sangat penting pula dilakukannya penelitian tentang hubungan kerja di masyarakat nelayan, yang dimulai dengan memahami pengetahuan lokal nelayan destructive fishing dan pola tindakannya. Setelah memahami pengetahuan lokal nelayan, khususnya tentang variabel-variabel kelautan dan interaksinya dengan para pihak, lalu memahami pola tindakannya untuk menyusun format pemanfaatan sumber daya perikanan berkelanjutan.

1.3 Perumusan masalah

Studi ini akan mengeksplorasi kemungkinan perubahan perilaku nelayan pengguna teknologi destruktif di Pulau Barrang Lompo menjadi nelayan yang menerapkan prinsip-prinsip perikanan berkelanjutan, dengan cara mengidentifikasi mengapa praktek penggunaan bom ikan ini berlangsung bertahun-tahun dan mencoba menyusun strategi pemberdayaan untuk memungkinkan terjadinya perubahan tersebut.


(22)

1.4 Kerangka berpikir

Kalangan teoritisi sumberdaya alam berpendapat bahwa orang akan cenderung mengeksploitasi secara berlebihan terhadap sumberdaya alam yang bisa diperbaharui (renewable resources), ketika mereka kekurangan informasi yang dapat dipercaya tentang sumberdaya tersebut, kekurangan informasi tentang masa depan sumberdaya tersebut dan kekurangan informasi tentang siapa-siapa saja yang memanfaatkan sumberdaya tersebut. Ostrom (1990) 1 mengemukakan pendapatnya tentang hal itu, sebagai berikut :

“Appropriators who are uncertain whether or not there will be sufficient food to survive the year will discount future returns heavily when traded off against increasing the probability of survival during the current year. Similarly, if a CPR can be destroyed by the actions of others, no matter what local appropriators do, even those who have constrained their harvesting from a CPR for many years will begin to heavily discount future returns, as contrasted with present returns.”

Bahkan jika mereka mempertimbangkan implikasi jangka panjang dari tindakan mereka (umumnya jarang), orang akan berusaha untuk mengeksploitasi lebih sumberdaya ketika mereka yakin bahwa usaha untuk memelihara sumberdaya atau setidaknya mengurangi tingkat eksploitasi akan tidak ada timbal baliknya.

Ketidakpastian hasil merupakan sifat dari usaha kenelayanan, yakni kesulitan mereka untuk memprediksi berapa banyak ikan (yang berarti berapa banyak penghasilan) akan diperoleh hari ini. Hal itu memberikan pendorong (insentif) kuat bagi mereka untuk menangkap ikan sebanyak mungkin, karena mungkin di lain waktu kompetitor yang lain akan mengambil ikan-ikan tersebut. Ketidakpastian ini (uncertainty) merupakan insentif yang mendorong mereka untuk berinvestasi dalam tenaga kerja dan teknologi yang diharapkan akan mengurangi resiko dan ketidakpastian. Salah satu contoh bentuk investasi tersebut adalah penggunaan teknologi destruktif (unfriendly technology, destructive technology) yang ditengarai merusak ekosistem laut.

1


(23)

Perbaikan lingkungan yang sudah rusak di masa lalu dengan banyak melakukan kajian-kajian yang bersifat fisik-biologis ataupun ekonomi. Namun beberapa tahun terakhir ini orang sudah mulai memperhatikan dimensi manusia atau aspek sosial budaya dalam kerusakan lingkungan tersebut dan upaya perbaikannya. Perhatian terhadap dimensi manusia di sini tidak pelak lagi berupa memahami kebudayaan. Menurut Goodenough (1964)2 kebudayaan adalah :

”...whatever it is one has to know or believe in order to operate in a manner acceptable to its members, and do so in any role that they accept for any one of themselves. Culture, being what people have to learn as distinct from their biological heritage must consist of the end product of learning knowledge…”.

Kebudayaan di sini berarti memaparkan sistem pengetahuan yang ada pada suatu kelompok atau masyarakat. Oleh karena sangat banyaknya pengetahuan-pengetahuan tersebut, maka biasanya orang akan membatasi diri pada bidang tertentu saja dari sistem pengetahuan lokal itu.

Pendekatan yang dipakai oleh para ahli ilmu sosial dalam memahami pengetahuan lokal ini adalah dengan mencoba mengungkapkan berbagai macam klasifikasi yang ada pada suatu kebudayaan. Klasifikasi ini penting bagi manusia sebab dengan cara ini dia berhasil menciptakan keteraturan (order) atas situasi di sekelilingnya dan bisa mewujudkan perilaku yang adaptif. Melalui sistem klasifikasi inilah kita kemudian akan dapat memahami berbagai tingkah laku warga suatu masyarakat yang kita amati. Memahami disini berarti kita dapat menjelaskan hubungan antara tindakan satu dengan yang lain, serta hubungan kausalitas yang ada di situ. Dalam kaitannya dengan perusakan lingkungan laut, perlu dikaji pengetahuan lokal yang berkaitan dengan strategi adaptasi dan pengetahuan lokal yang berkaitan dengan ekosistem laut.

Kajian pengetahuan lokal, apalagi dengan format studi etnografis, seringkali mengesankan sebagai potret sesaat (synchronic). Contoh aktual adalah penggambaran kebudayaan-kebudayaan di Indonesia oleh Koentjaraningrat (1985). Untuk mengatasi kesan ini, diuraikan pula dinamika ekologi maupun ketenagakerjaan yang ada di masyarakat Pulau Barrang Lompo, sehingga terlihat

2


(24)

paparan perubahan-perubahan lingkungan maupun perubahan sosial yang terjadi pada masyarakat di pulau itu (dyachronic). Paparan perubahan sosio ekologi diuraikan bersamaan dengan menguraikan aspek-aspek ketenagakerjaan dan uraian tersebut terdapat pada Bab 4, 5 dan 6.

Banyak ahli mencermati kasus-kasus perusakan lingkungan dengan memperhatikan strategi adaptasi dari komunitas yang menggunakan sumberdaya lingkungan tersebut, diantaranya J.W.Bennet yang dikutip oleh Whitten dan Whitten (1972). Menurutnya strategi adaptasi adalah pola-pola yang dibentuk oleh berbagai penyesuaian yang direncanakan oleh manusia untuk mendapatkan serta menggunakan sumberdaya-sumberdaya dan untuk memecahkan masalah yang langsung mereka hadapi. Penyesuaian disini barangkali akan lebih tepat bila diartikan sebagai kegiatan atau tindakan, atau mungkin usaha.

Dari konsep strategi adaptasi lingkungan di atas setidaknya tercakup dua proses usaha, yakni proses produksi dan proses penjualan. Proses produksi adalah suatu proses menghasilkan sesuatu yang dalam hal kenelayanan berarti usaha penangkapan ikan. Di masa lalu ikan tersebut mungkin diperjualbelikan dengan cara penukaran (exchange). Di masa sekarang nelayan cenderung menjual ikannya dengan tujuan memperoleh uang. Uang yang diperoleh akan bermanfaat bagi nelayan untuk membeli barang-barang kebutuhan hidup mereka. Menurut Vayda dan McCay (1975) proses adaptasi sebagai suatu bentuk respon terhadap perubahan sosial maupun fisik bersifat temporer, sehingga bentuk strategi adaptasi juga bersifat temporer.

Adapun pengetahuan tentang ekosistem laut di sini perlu dipahami beda antara folk knowledge dan scientific knowledge. Klasifikasi tentang ekosistem laut sebagaimana yang dipahami oleh masyarakat mungkin saja akan berbeda dengan klasifikasi sebagaimana yang dipahami oleh kaum akademisi, misalnya ketidaklengkapan spesies dalam suatu klasifikasi pada folk knowledge atau perbedaan teknis membuat klasifikasinya.

Jenis-jenis pengetahuan lokal yang hendak dicari diantaranya adalah seperti kategori stock assessment, spesies target, jenis teknologi, rute pencarian ikan, pola umum pembagian kawasan laut menurut tata guna lahan tradisional,


(25)

kalender pencarian ikan, kategori nelayan-nelayan lain (competitors), klasifikasi hubungan dengan para pihak dan lain-lain.

Oleh karena kajian ini berorientasi multistakeholder, maka perspektif pihak lain juga menjadi bagian penting dari studi ini, tidak hanya sekedar mengamati pengetahuan lokal dan tindakan nelayan. Pendekatan ‘pascastrukturalis dalam masalah pelarangan bom ikan ini menjadi acuan kami. Sesungguhnya pembentukan Daerah Perlindungan Laut, pelarangan penggunaan bom ikan, Penentuan Taman Laut bisa ditelaah dengan pendekatan ’pascastrukturalis’, yaitu melihat kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh pemerintah ataupun lembaga lain berakibat termarjinalisasinya komunitas lokal (Forsyth, 2003). Artinya, kebijakan itu dibuat dengan tanpa mempertimbangkan kesejahteraan masyarakat lokal.

Pendekatan pasca-strukturalis memang relatif baru. Beberapa buku dan jurnal dalam ekologi-politik sudah mulai banyak menggunakan pendekatan ini. Orang melirik pendekatan itu karena kenyataan banyak program pelestarian lingkungan di dunia ketiga tidak semata berhadapan dengan masalah degradasi lingkungan, tetapi juga marjinalisasi masyarakat lokal. Hal ini terjadi karena adanya asumsi bahwa kemiskinan sebagai akar persoalan lingkungan.

Dalam perspektif ini mitos bahwa orang miskin merupakan perusak lingkungan telah dianggap kurang memadai. Prinsip yang baru bahwa sebenarnya masyarakat lokal pun punya adaptasi lingkungan yang dengan caranya sendiri melakukan perbaikan terhadap degradasi lingkungan (tentang apa yang disebut local wisdom, the second round of common property). Pemikiran yang mulai dibangun dalam perspektif ini adalah bahwa secara umum 'si kaya akan menggunakan lebih banyak sumberdaya dan berdampak jauh lebih besar dibandingkan si miskin' (Forsyth, 2003). Berangkat dari pemikiran ini, eksploitasi sosial di masyarakat nelayan menjadi sangat penting untuk dikaji.

Contoh kasus program pengelolaan kawasan konservasi, taman nasional, daerah perlindungan laut, dan pelarangan penggunaan bom ikan yang seringkali menyebabkan konflik sosial karena kontraproduktif dengan upaya kesejahteraan masyarakat lokal.


(26)

Pemahaman terhadap modal sosial yang dimiliki masyarakat sangat penting dalam rangka mencari solusi atas masalah yang ada. Komunitas nelayan Pa’es bertahun-tahun merupakan suatu masyarakat yang berada dalam kondisi selalu menyimpan rahasia, karena pekerjaannya ilegal dan melanggar hukum. Di kalangan pemerhati modal sosial komunitas semacam ini dikenal sebagai bond group, dengan ciri khas utama adalah rendahnya trust terhadap orang luar sebagaimana yang diungkapkan oleh Portes (1998).

Pendekatan yang dilakukan dalam rangka mencari solusi untuk menghentikan destructive fishing, seharusnyalah dilakukan dengan ’ramah’, bukan dengan sikap-sikap yang destruktif sekedar menjelek-jelekkan dan menyalah-nyalahkan nelayan. Modal sosial yang dipunyai masyarakat seperti Punggawa, etos kerja yang tinggi, solidaritas kuat, dan lain-lain bisa dimanfaatkan dalam rangka menghentikan penggunaan bom ikan sebagai alat tangkap.

Selama ini program konservasi yang menyebabkan marjinalisasi masyarakat lokal tersebut bersifat sentralistik. Sudah saatnya dalam era otonomi daerah ini masyarakat lokal diberi ruang yang cukup untuk partisipasi. Perlindungan terhadap masyarakat lokal, serta hadirnya organisasi rakyat yang kuat sangat diperlukan. Perlindungan dapat dilakukan melalui mekanisme reformasi hukum pengelolaan sumberdaya alam, penguatan institusi lokal (capacity building), maupun rekonstruksi ilmu pengetahuan transdisipliner yang berbeda dengan multi maupun interdisipiliner-- yang dapat menjadi dasar bagi kebijakan sumberdaya alam yang lebih adil. Sehingga tidak saja keramahan ekologis yang tercipta, tetapi juga keramahan sosial.

Selama ini ‘pendekatan moral’ yang banyak dipakai dengan menggunakan mitologi, adat-istiadat, etika lingkungan, peraturan pemerintah dll; pendekatan ‘rasional’ masih kurang dikembangkan untuk upaya-upaya peningkatan kesejahteraan penduduk. Sepatutnya kedua pendekatan tersebut dipakai dalam bentuk saling melengkapi (complement).


(27)

Gambar 1 Alur berpikir penelitian perubahan perilaku nelayan menjadi pelaku perikanan yang berkelanjutan

Catatan : DF = destructive fishing, NDF = non-destructive fishing Permintaan

pasar

Antisipasi nelayan

pola tindakan (DF)

Perubahan DF ke NDF Pengetahuan lokal :

• etika lingkungan • strategi adaptasi • pengetahuan

kelautan

Interaksi eksploitasi stakeholder yang lain (fasilitasi)

Saran/strategi transformasi

• cara pandang

multistakeholder

• insentif

• resiko

• modal sosial

Mata pencaharian alternatif

Penegakan hukum


(28)

Tindakan nelayan, baik untuk melakukan kenelayanan destruktif maupun kenelayanan yang berkelanjutan, ditentukan oleh 4 faktor kunci (Gambar 1). Faktor pertama merupakan pendorong eksternal nelayan melakukan tindakan, yaitu cara pandang para stakeholder lain terhadapnya, insentif yang merangsang nelayan untuk melakukan tindakan, tingkat risiko atau konsekuensi yang akan diterima nelayan atas tindakannya, dan modal sosial yang merupakan perangkat atau tatanan yang melandasi tindakan nelayan. Faktor-faktor lainnya adalah mata pencaharian alternatif, penegakan hukum, dan pendidikan lingkungan. Jika keempat faktor kunci ini bersifat lemah, nelayan dan berbagai pihak lain akan mendukung berlangsungnya kenelayanan destruktif. Faktor kunci disebut lemah jika:

(1) cara pandang para pihak yang tidak mempedulikan lingkungan laut (rakus), dukungan komunitasnya untuk melakukan kenelayanan destruktif, risiko rendah dalam menerapkannya dan lemahnya modal sosial,

(2) kurang atau tiadanya matapencaharian alternatif yang penghasilannya memadai atau sama dengan hasil kenelayanan destruktif (termasuk juga tiadanya teknologi alternatif yang ramah lingkungan),

(3) lemahnya pengawasan dan buruknya proses hukum,

(4) sempitnya pengetahuan kelautan dan kelestarian lingkungan.

Di sisi lain, dalam kehidupannya, nelayan melakukan antisipasi, misalnya terhadap permintaan pasar. Antisipasi tersebut berbasiskan pengetahuan lokal yang dimilikinya. Antisipasi ini terwujud biasanya dengan dukungan sejumlah pihak lain yang memberikan fasilitas, baik permodalan, biaya operasi, pengadaan peralatan, hingga jaringan pemasaran ikan yang ditangkap nelayan di tengah laut. Dengan demikian, praktek kenelayanan yang destruktif menjadi semakin langgeng jika keempat faktor kunci di atas bersifat lemah.

1.5 Tujuan

Penelitian ini memiliki dua tujuan utama yakni :

1. Mengidentifikasi sebab-sebab mengapa nelayan Pulau Barrang Lompo melakukan praktek destructive fishing dengan alat tangkap bom ikan bertahun-tahun lamanya.


(29)

2. Menyusun strategi pemberdayaan untuk mengubah praktek destructive fishing menjadi sustainable fishing .

1.6 Manfaat penelitian

Manfaat teoritis dari studi ini adalah proses pemahaman terhadap perilaku komunitas nelayan yang menggunakan teknologi bom ikan sebagai alat tangkap dari sisi emic. Selama ini banyak studi memahami perilaku komunitas nelayan yang ditelitinya dari sisi etic, yakni penilaian, pendapat dan cara berpikir dari masyarakat di luar komunitas tersebut. Kebalikannya, studi ini sangat menekankan bagaimana masyarakat mengungkapkan sendiri dengan cara, tutur kata dan tindakannya apa-apa yang dipikirkan, dirasakan dan diharapkannya terutama yang berkaitan dengan fenomena destructive fishing. Pendekatan ethnoscience intensif digunakan untuk memperoleh informasi, pendapat dan data lain yang sifatnya emic tersebut.

Adapun manfaat utama dari penelitian dan penulisan disertasi ini secara praktis akan merupakan suatu kontribusi akademis untuk mengisi hasil studi tentang masalah destructive fishing (DF) di Indonesia yang masih sangat terbatas, khususnya kajian di Pulau Barrang Lompo yang bahkan dari kalangan akademisi Universitas Hasanuddin Makassar, belum ada satupun yang melakukan kajian DF secara cukup lengkap di pulau ini. Kajian yang pernah dilakukan dengan kasus pulau ini adalah untuk program aksi yakni yang dilakukan oleh tim Coremap (1996) dan tim DFW (2004), dengan pola kajian dengan waktu kunjungan yang sangat singkat, tidak mendetil serta banyak hal yang harus dipertanyakan kebenarannya dan hanya mencakup nelayan bom ikan yang bekerja individual bukan nelayan Pa’es yang pergi jauh dengan jumlah awak kapal yang banyak. Selain itu, sejauh pengetahuan penulis, sangat jarang penelitian dengan topik destructive fishing, yang mencakup juga para penegak hukum (polisi dan hakim) sebagai pihak-pihak yang diwawancarai secara mendetil untuk diperoleh pendapatnya dan pemahaman tentang kerja nelayan bom ikan.


(30)

1.7 Ruang lingkup

Studi ini awalnya memusatkan perhatian pada perilaku nelayan Pa’es di Pulau Barrang Lompo. Kajian etnografi dari komunitas pulau ini mencermati kondisi sosio budaya yang menjadi sendi-sendi dasar mengapa praktek destructive fishing dilakukan oleh orang-orang di pulau tersebut.

Ternyata untuk memahami perilaku nelayan dalam kaitannya dengan praktek penggunaan bom ikan sebagai alat tangkap, tidaklah cukup hanya berkutat di pulau saja, akan tetapi untuk kelengkapan studi ini harus diperoleh juga pemahaman perilaku dari stakeholder lain, yakni dari pihak pengelola perikanan dan penegak hukum. Implikasinya, area penelitian tidak hanya terbatas pada pulau tersebut, tetapi juga kota Makassar khususnya.

Pada proses studi ini dipahami bahwa hubungan kerja merupakan hal penting juga dari fenomena yang hendak diteliti. Perilaku semata tidaklah cukup untuk menggali solusi dari permasalahan penelitian ini. Hubungan kerja eksploitatif tampak dari ungkapan atau kalimat-kalimat para nelayan maupun stakeholder lainnya.

Selain itu, dari berbagai interview yang dilakukan terlihat adanya perbedaan pendapat antar stakeholder yang menyebabkan sulitnya memperoleh solusi untuk menghentikan praktek penggunaan bom ikan sebagai alat tangkap.

Oleh karena itu ruang lingkup penelitian ini adalah sebagai berikut : 1) pengetahuan lokal nelayan pengguna teknologi destruktif yang dipusatkan

pada strategi adaptasi (peta kognitif produksi dan penjualan/distribusi), etika lingkungan kelautan (dilihat dari tabu, ritual, doa, ajian, hukum adat, konsep territorial, konsep genealogi,dll) dan pengetahuan tentang ekosistem kelautan dan kehidupan di laut (taksonomi). Pengetahuan lokal itu merupakan pra tindakan yang menjadi pendorong munculnya pola tindakan tertentu.

2) Pola tindakan nelayan dimaksudkan sebagai dorongan-dorongan atau motivasi dari dalam diri si nelayan untuk memenuhi kebutuhan atau tanggapan (respon) terhadap rangsangan-rangsangan dari luar yang berasal dari lingkungan (Budimanta dan Rudito, 2003) Tentu dalam kaitan dengan


(31)

topik penelitian ini diartikan sebagai serangkaian tindakan nelayan yang dilakukan dalam usahanya untuk memperoleh hasil maksimal dari usaha kenelayanannya, khususnya tindakan terhadap laut. Pola tindakan nelayan pengguna teknologi destruktif memang tidaklah semata hanya didorong oleh pengetahuan lokal akan tetapi juga berbagai stimuli dari lingkungan masyarakatnya. Oleh sebab itu dipelajari juga bagaimana cara pandang masyarakat / multistakeholder dengan berbagai kepentingan yang ada. Para pihak lain tersebut adalah pihak pengelola perikanan dan penegak hukum. Pola tindakan dipahami dari proses penangkapan ikan hingga distribusinya, interaksi dengan berbagai stakeholder lainnya, sikap terhadap kebijakan pemerintah, dan lain-lain.

3) Selanjutnya dianalisis sejauh mana pengetahuan lokal dan pola tindakan itu (yang termasuk interaksinya dengan berbagai pihak) merupakan sebab-sebab eksisnya kerja kenelayanan bom ikan.

1.8 Definisi operasional

Ada beberapa istilah yang akan menjadi pusat perhatian dari penelitian ini. Agar tidak menimbulkan multiinterpretasi, di bawah ini kami sampaikan batasan-batasan istilah tersebut yang akan digunakan dalam riset maupun penulisan disertasi.

Destructive fishing (kenelayanan destruktif) adalah usaha-usaha kenelayanan yang menggunakan teknologi tangkap yang destruktif, seperti bom, potas, racun, jaring muro ami dan lain-lain yang dianggap merusak lingkungan atau ekosistem laut dan juga membahayakan manusia.

Sustainable fishing merupakan usaha-usaha kenelayanan yang memperhatikan kelestarian alam dan keselamatan manusia. Usaha kenelayanan ini tidak hanya mempertimbangkan faktor produksi, akan tetapi memperhatikan pula stabilitas produksi dalam jangka panjang serta keberlanjutan usaha ini. Indikator yang dilihat tidak hanya semata kelestarian ekosistem laut, tetapi juga sisi peningkatan ekonomi nelayan dan lingkungan sosial budayanya. Indikator besar selengkapnya ialah : ekologi, ekonomi, sosial, teknologi dan etika.


(32)

Pengetahuan lokal ialah pengetahuan-pengetahuan yang dimiliki penduduk untuk menginterpretasikan lingkungan sekitarnya guna memenuhi kebutuhan hidupnya. Dalam penelitian ini akan dikaji pengetahuan-pengetahuan yang terangkum dalam strategi adaptasi, etika lingkungan laut dan pengetahuan-pengetahuan tentang kehidupan di laut dan ekosistem lautnya.

Pola tindakan nelayan dimaksudkan sebagai dorongan-dorongan atau motivasi dari dalam diri si nelayan untuk memenuhi kebutuhan atau tanggapan (respon) terhadap rangsangan-rangsangan dari luar yang berasal dari lingkungan (Budimanta dan Rudito, 2003). Tentu dalam kaitan dengan topik penelitian ini diartikan sebagai serangkaian tindakan nelayan yang dilakukan dalam usahanya untuk memperoleh hasil maksimal dari usaha kenelayanannya, khususnya tindakan terhadap laut. Dalam penelitian kali ini akan dikaji pola tindakan yang berkaitan dengan : 1) pengelolaan dan pola perubahan pesisir serta laut, 2) alasan penggunaaan teknologi destruktif, 3) kepentingan nelayan terhadap ekosistem laut, baik ekonomi, sosial maupun ekologi 4) faktor-faktor eksternal yang mempengaruhi pola tindakan (interaksi dengan stakeholder lainnya), 5) faktor internal yang berasal dari masyarakatnya/sosial budaya yang mempengaruhi pola tindakan.

1.9 Alur penulisan

Disertasi ini terdiri dari sembilan bab yang disusun sesuai dengan alur pikir penelitian (Gambar 1). Bab 1 merupakan pendahuluan yang di dalamnya terdapat latar belakang penelitian ini, rumusan masalah, manfaat dan tujuan, kerangka berpikir. Bab 2 merupakan tinjauan pustaka yang menjadi dasar acuan penulis dalam upaya memahami fenomena perikanan tangkap di Pulau Barrang Lompo. Bab tersebut diakhiri dengan dua asumsi yang mendasari penelitian ini dilakukan. Bab 3 merupakan metodologi umum dari disertasi ini. Disebut metodologi umum disertasi karena sebagai metode untuk keseluruhan penulisan disertasi,dan pada tiap bab akan diuraikan tersendiri metodologi yang digunakan dalam memperoleh data yang diperlukan khusus untuk menyusun tulisan pada bab tersebut.


(33)

Bab 4 dipaparkan tentang lingkungan dan perubahannya yang tentu secara langsung maupun tidak langsung akan mempengaruhi perilaku nelayan. Uraian detil etnografis tentang nelayan pengguna bom ikan di daerah penelitian terdapat pada Bab 5. Selain uraian tentang sistem kenelayanan, juga diuraikan pekerjaan-pekerjaan lain dan kondisi sosial ekologis daerah penelitian. Bab ini juga merupakan paparan dari tingkat pertama faktor-faktor penyebab berlangsungnya destructive fishing bertahun-tahun pada komunitas nelayan di area penelitian.

Interaksi eksploitatif para pihak lain terhadap nelayan digambarkan pada Bab 6 dan merupakan tingkat kedua dari faktor-faktor penyebab kenelayanan destruktif berlangsung terus di Pulau Barrang Lompo. Pada bab ini dituliskan hasil FGD pada saat pendirian koperasi Ata Matuna. Topik pertanyaan dibicarakan sehari sebelum pertemuan oleh peneliti dengan moderator, yakni Pak Darwin. Saat rapat pendirian koperasi, pak Darwin yang melakukan FGD terhadap para peserta dengan panduan topik-topik pertanyaan dari kami.

Bab 7 yang berintikan hasil pertemuan para penegak hukum, pengelola perikanan dengan para nelayan yang menggunakan bom ikan bertempat di kantor kasubdit Pengawasan DKP kotamadya, yakni di Paotere. Pertemuan tersebut dimoderatori oleh Pak Baddu sebagai kepala kantor itu. Beberapa hari sebelumnya, penulis menemui beliau, mendiskusikan rencana pertemuan tersebut, dan menitipkan sejumlah topik untuk didiskusikan dengan para peserta. FGD tidak dilakukan oleh peneliti, tetapi topik pertanyaan dititipkan kepada moderator.

Pada Bab 8 dipaparkan solusi yang mungkin bisa diupayakan untuk perubahan dari kenelayanan destruktif menjadi bentuk kenelayanan yang bertanggung jawab. Sebelumnya diuraikan juga program-program pemberdayaan yang dilakukan oleh Departemen Kelautan dan Perikanan dan tabulasi upaya-upaya yang pernah dilakukan untuk menghentikan kenelayanan destruktif di Pulau Barrang Lompo. Terakhir, Bab 9 berisikan kesimpulan dan rekomendasi .


(34)

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengantar

Kajian usaha kenelayanan sampai kini masih terlalu berorientasi fisik biologis dan kurang memberikan perhatian yang memadai pada aspek manusianya. Cukup banyak studi yang detil tentang teknologi tangkap dan biota laut. Salah satu diantaranya adalah studi tentang destructive fishing.(Mackinnon, 1997; Makolewaka, 1997) Usaha penangkapan ikan dengan melakukan teknologi yang destruktif sudah semenjak lama menarik perhatian para akademisi, namun sayangnya hanya berkutat pada aspek teknologinya dan biota-biota laut yang terkena dampaknya. Studi yang membahas dimensi manusia pelakunya secara detil masih sangat sedikit, padahal akibat yang ditimbulkan bisa ribuan kali lipat dibandingkan dampak dari ulah alam (Derraik, 2000).

Sustainable fishing adalah format usaha kenelayanan yang diharapkan berlangsung di kalangan nelayan maupun para stakeholder lainnya. Oleh karena berbagai faktor nelayan terdorong untuk melakukan destructive fishing. Di sini muncul pertanyaan, apakah para nelayan tidak punya rasa bersalah ketika melakukan hal tersebut ? apakah para nelayan tidak sadar atau tidak tahu bahwa hal tersebut akan menyebabkan mereka menemui kesulitan di masa depan ? Bagaimana dengan etika lingkungan mereka ? (Johani, 1997)

Dalam khasanah teori antropologi, ada kumpulan teori etno-pekerjaan (arbeit ethnologie) (Roessler, 2000) sebagai suatu pisau analisis yang menunjukkan kenapa orang atau komunitas tertentu memilih melakukan pekerjaan tertentu dan enggan memilih pekerjaan yang lain. Bagaimana dan kenapa nelayan melakukan destructive fishing dan tidak memilih sustainable fishing, sistem nilai macam apa yang melatarbelakanginya bisa dianalisis melalui teori ini.

Umumnya orang memperhitungkan faktor leader dalam usaha kenelayanan karena perannya yang sentral dalam banyak aspek usaha kenelayanan. Para akademisi melihat tumbuh suburnya relasi patron-client dalam usaha ekonomi di Provinsi Sulawesi Selatan (Pelras, 2000). Bentuk relasi tersebut dianggap sudah merupakan format budaya yang tidak bisa tidak berlangsung dalam usaha kenelayanan. Ada dua bentuk analisis patron klien, yakni yang


(35)

dipengaruhi marxisme yang sangat menekankan masalah eksploitasi dari patron dan non-marxisme yang lebih cenderung mengungkap resiprositas.

Dengan memahami kondisi yang melingkupi masyarakat nelayan tersebut, kita bisa mencoba mencari alternatif pekerjaan dengan menggunakan alat bantu psikologi sosial, yakni mencari alternatif pekerjaan yang sesuai dengan kepribadian mereka. Tentu saja dalam hal ini harus diperhitungkan faktor SDM khususnya pendidikan dan ketrampilan mereka serta lingkungan yang ada, yakni laut dan sedikit daratan.

Bab ini bertujuan untuk memaparkan pendekatan teoritis dalam melihat fenomena destructive fishing. Adapun alur penulisannya mengikuti alur sebagaimana terdapat dalam bagan di bawah ini.

Gambar 2 Transformasi perubahan perilaku dari kenelayanan destruktif menjadi kenelayanan berkelanjutan

Faktor utama penyebab kenelayanan destruktif (DF) yang selama ini dirinci sebagai : kemiskinan, kurang pengetahuan dan tamak (tidak peduli). Berbagai pihak menginginkannya agar bisa dirubah menjadi perikanan yang berkelanjutan (SF) dengan ciri-ciri : efisien, efektif, pemerataan dan stabilitas. Perubahan perilaku nelayan yang menjadi fokus disertasi ini melalui studi literatur

Penyebab kenelayanan destruktif : -miskin -kurang pengetahuan -tamak/tidak peduli

Ciri

kenelayanan berkelanjutan: -efisien -efektif -pemerataan -stabilitas

Enterpre-neurship

Patron klien

Etika lingkungan


(36)

bisa diupayakan melalui empat aspek, yakni : enterpreneurship, patron-klien, etika lingkungan dan modal sosial. DF yang berpengaruh positif terhadap enterpreneurship akan diproses untuk positif juga terhadap SF. DF yang berpengaruh negatif terhadap Patron klien akan diubah menjadi positif yang mendukung SF. Kenelayanan destruktif yang berpengaruh negatif terhadap etika lingkungan akan ditransformasikan supaya menjadi pro lingkungan. Begitu juga, pengaruh DF yang negatif terhadap modal sosial akan diupayakan melalui serangkaian pemberdayaan untuk menjadi positif dan mendukung SF, bahkan menjadikan nelayan lokal sebagai pihak yang mempromosikan kenelayanan berkelanjutan.

2.2 Metodologi

Metode utama yang digunakan untuk menyelesaikan Bab 2 ini adalah ’studi literatur’, dengan memanfaatkan literatur pribadi, literatur dari perpustakaan dan lembaga penelitian Universitas Hasanuddin, literatur dari beberapa perpustakaan yang ada di lingkungan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB, perpustakaan IPB (LSI), dan beberapa artikel yang diperoleh melalui penelusuran internet.

Buku-buku maupun berbagai artikel tersebut kami pilah-pilah berdasarkan topik-topik yang diperlukan dalam disertasi ini, yaitu : perikanan berkelanjutan, etika lingkungan, patron-client dan eksploitasi sosial, modal sosial dan pendekatan pasca strukturalis, serta enterpreneurship.

2.3 Perikanan berkelanjutan

Menurut Martasuganda (2002) yang dimaksud dengan teknologi penangkapan ikan yang berwawasan lingkungan adalah upaya sadar dan berencana dalam menggunakan alat tangkap yang dipergunakan untuk mengelola sumberdaya secara bijaksana dalam pembangunan yang berkesinambungan untuk meningkatkan mutu hidup tanpa mempengaruhi atau mengganggu dari lingkungan hidup. Jadi disini persoalannya bukan hanya method sesuatu alat tangkap akan tetapi juga manner dari teknologi tersebut dipergunakan (Brandt, 1984).


(37)

Salah satu contoh yang dikemukakannya adalah berkaitan dengan penggunaan alat tangkap jaring insang (gillnet), maka ada beberapa kriteria penting yang harus dipenuhi :

1) Mengutamakan keselamatan di atas segalanya, baik pada waktu operasi maupun dalam hal menangani hasil tangkapan

2) Melakukan seleksi terhadap ikan yang akan dijadikan target tangkapan atau ikan yang layak tangkap baik dari jenis maupun ukuran dengan cara membuat desain dan konstruksi alat yang disesuaikan dengan jenis ukuran dari habitat perairan yang akan dijadikan target tangkapan dengan demikian diharapkan bisa meminimumkan hasil tangkapan sampingan yang tidak diinginkan

3) Melepaskan kembali habitat perairan yang masih belum layak tangkap dan habitat perairan yang dilindungi

4) Pengoperasian jaring insang di suatu kawasan perairan yang dioperasikan pada siang hari harus dilengkapi dengan pelampung tanda yang dilengkapi dengan bendera atau bendera dan radar reflector (pemantul gelombang radar), sedangkan baik di perairan umum untuk yang dioperasikan pada malam hari, pelampung tanda sebaikny dilengkapi dengn pelampung cahaya (light buoy) atau pelampung cahaya dan radar reflector yang tujuannya agar kapal yang akan lewat bisa menghindari alat yang sedang dipasang.

5) Tidak memakai mesh size yang dilarang (berdasarkan SK Menteri Pertanian No. 607/KPB/UM/9/1976 butir 3, ukuran mata jarring di bawah 25 mm dengan toleransi 5 % dilarang untuk dipergunakan).

6) Tidak melakukan kegiatan usaha penangkapan di perairan atau di daerah penangkapan ikan yang sudah dinyatakan overexploited, di kawasan konservasi yang dilarang, di daerah perairan yang telah dinyatakan tercemar dengan logam berat dan di kawasan perairan lainnya yang dinyatakan terlarang.

7) Tidak melakukan pencemaran lingkungan (memasukkan mahluk hidup, zat energi dan atau komponen lain ke dalam lingkungan) yang akan mengakibatkan berubahnya tatanan lingkungan, sehingga kualitas lingkungan


(38)

turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan menjadi kurang atau tidak dapat berfungsi lagi sesuai dengan peruntukannya. Sebagai contoh, tidak membuang alat tangkap (jaring bekas atau potongan-potongan jaring) atau benda lain (bahan bakar bekas pakai seperti oli, bensin, bahan kimia dan benda lainnya).

8) Apabila karena sesuatu sebab jaring insang tertinggal atu hilang di perairan, sebaiknya diusahakan untuk dicari agar tidak menimbulkan atau terjadinya Ghost Fishing yang akan berdampak terhadap potensi sumberdaya yang ada. 9) Sesekali mengadakan kegiatan back fish campaign baik di perairan umum

maupun di perairan pantai, untuk menanamkan arti pentingnya memelihara lingkungan yang harus diperlihara

Selain aturan-aturan yang telah disebutkan di atas, untuk terselenggaranya usaha penangkapan yang berwawasan lingkungan berjalan secara berkesinambungan, sebaiknya Pemerintah atau pihak pembuat kebijakan dalam usaha perikanan memberlakukan aturan-aturan sebagai berikut :

1) Mengadakan penutupan daerah penangkapan yang tercemar dengan logam berat sampai daerah penangkapan terbebas dari pencemaran

2) Mengadakan penutupan daerah penangkapan pada waktu suatu jenis ikan atau hewan air mengadakan reproduksi di suatu perairan

3) Memberlakukan batasan waktu untuk daerah penangkapan sampai potensi yang ada pulih kembali

4) Mengadakan restocking dengan cara membudidayakan dan penangkaran Monintja (2000) menyatakan bahwa kriteria untuk teknologi penangkapan ikan ramah lingkungan (TPIRL) adalah :

1) Selektivitas tinggi

2) Tidak destruktif terhadap habitat

3) Tidak membahayakan nelayan (operator) 4) Menghasilkan ikan bermutu baik


(39)

6) Minimum hasil tangkapan yang terbuang

7) Dampak minimum terhadap keanekaragaman sumberdaya hayati 8) Tidak menangkap spesies yang dilindungi atau terancam punah 9) Diterima secara sosial

Lebih lanjut, kriteria untuk kegiatan penangkapan ikan berkelanjutan menurut Monintja (2000) ialah :

1) Menerapkan TPIRL seperti diantaranya tidak menangkap ikan yang dilindungi dan seharusnya kegiatan penangkapan ikan tersebut adalah legal

2) Jumlah hasil tangkapan tidak melebihi TAC (jumlah tangkapan yang diperbolehkan)

3) Menguntungkan

4) Investasi rendah / hemat modal

5) Penggunaan bahan bakar minyak rendah

6) Memenuhi ketentuan hukum dan perundang-undangan yang berlaku

Beberapa pasal Code of Conduct for Responsible Fisheries yang berkaitan dengan masalah penggunaan teknologi tangkap destruktif ini tertuang dalam artikel 8. Adapun artikel 7 dan 10 menegaskan tentang pentingnya pengelolaan perikanan berkelanjutan .

Article 7 : Fisheries Management

7.1.1. Negara-negara dan semua pihak yang terlibat dalam pengelolaan perikanan, melalui suatu kerangka kebijakan hukum dan kelembagaan yang tepat, harus mengadopsi langkah konservasi jangka panjang dan pemanfaatan sumber daya perikanan yang berkelanjutan. Langkah-langkah konservasi dan pengelolaan, baik pada tingkat lokal, nasional, subregional atau regional, harus didasarkan pada bukti terbaik yang tersedia dan dirancang untuk menjamin kelestarian jangka panjang SDP pada tingkat yang dapat mendukung pencapaian tujuan dari


(40)

pemanfaatan yang optimum, dan mempertahankan ketersediaannya untuk generasi kini dan mendatang; pertimbangan-pertimbangan jangka pendek tidak boleh mengabaikan tujuan ini.

7.1.8. Negara-negara harus mengambil langkah untuk mencegah atau menghapus penangkapan ikan yang melebihi kapasitas dan harus menjamin bahwa tingkat upaya penangkapan adalah sepadan dengn pemanfaatan sumberdaya ikan yang lestari sebagai suatu cara menjamin keefektifan langkah konservasi dan pengelolaan.

7.6.6. Pada saat memutuskan mengenai pemanfaatan, konservasi dan pengelolaan sumberdaya perikanan, pengakuan yang sepatutnya harus diberikan sessuai dengan hukum dan peraturan perundangan nasional kepada praktek tradisional, kebutuhn dan kepentingan penduduk asli serta komunitas nelayan setempat yang sangat tergantun kepada SDP untuk matapencaharian mereka.

7.6.7 Dalam mengevaluasi alternatif langkah konservsi dan pengelolaan, hemat biaya dan dampak sosialnya harus dipertimbangkan.

7.6.9.Negara-negara harus mengambil langkah yang tepat untuk meminimumkan limbah, ikan buangan, hasil tangkapan oleh alat tangkap yang hilang atau ditelantarkan, hasil tangkapan bukan spesies target (baik ikan maupun bukan), dan dampak negatif terhadap spesies terkait atau dependent species khususnya spesies yang terancam punah. Jika perlu langkah tersebut bisa mencakup langkah teknis yang berkaitan dengan ukuran ikan, ukuran mata jaring atau alat tangkap, ikan buangan, musim dan kawasan tertutup serta zona yang dicadangkan untuk perikanan terpilih, khususnya perikanan artisanal. Langkah tersebut harus diberlakukan, jika perlu, untuk melindungi juvenile dan induk pemijah. Negara dan organisasi dan tatanan pengelolaan perikanan, sejauh bisa dipraktekkan, harus menggalakkan pengembangan dan penggunaan alat tangkap dan teknik-teknik yang selektif, aman lingkungan dan hemat biaya

Article 8 : Fishing Operations

8.1.1. Negara-negara harus menjamin bahwa hanya operasi penangkapan ikan yang diizinkan oleh Negara tersebut dilakukan di dalam perairan yurisdiksi


(41)

Negara tersebut dan bahwa operasi penangkapan itu dilaksanakan dengan cara yang bertanggungjawab

8.4.2. Negara-negara harus melarang praktek penangkapan ikan dengan bahan peledak dan racun serta penangkapan ikan yang merusak lainnya.

Article 10 : Integration of Fisheries into Coastal Area Management

10.1.1. Negara-negara harus menjamin suatu kerangka kebijakan, hukum dan kelembagaan yang tepat, diadopsi untuk mencapai pemanfaatan sumberdaya yang lestari dan terpadu dengan memperhatikan kerentanan ekosistem pesisir dan sifat terbatasnya sumberdaya alamnya serta keperluan komunitas pesisir

10.1.3. Negara-negara harus mengembangkan kerangka kelembagaan dan hukum seperlunya dalam rangka menetapkan pemanfaatan yang mungkin menyangkut sumberdaya pesisir dan mengatur akses ke sumberdaya tersebut dengan memperhatikan hak nelayan pesisir dan praktek turun temurun yang serasi dengan pembangunan yang berkelanjutan.

2.4 Etika lingkungan

Di kalangan ilmuwan sosial ada 2 kelompok pendapat, yang pertama adalah kelompok yang percaya bahwa masyarakat cenderung akan menjaga lingkungan, setidaknya dalam melakukan eksploitasi sumberdaya akan memperhitungkan kondisi equilibrium, yakni tidak akan merusak lingkungan melebihi kebutuhan yang diperlukan saja, dan dengan kecenderungan akan memelihara lingkungan. Asumsinya, orang tidak akan merusak lingkungan, karena kalau lingkungan rusak, orang akan menghadapi masalah yang besar. Sebaliknya, kelompok kedua berpendapat bahwa masyarakat bisa saja merusak lingkungan habis-habisan (Bonny, 1978).

Ostrom (1990) sebagai salah satu ilmuwan yang mengikuti pendapat kedua ini menyebutkan bahwa adanya kekurangan informasi akan sumberdaya yang ada, kondisi sumberdaya, dan siapa saja yang mengeksploitasi sumberdaya tersebut, menyebabkan nelayan cenderung habis-habisan mengeksploitasi laut.

Pet-Soede dan Erdmann (1998) dari hasil risetnya di provinsi Sulawesi Selatan menyebutkan bahwa nelayan di daerah itu umumnya beranggapan bahwa


(42)

ikan tidak pernah habis, akan selalu ada ikan di laut sampai hari Kiamat datang. Tentang hasil penangkapan ikan banyak sedikitnya tergantung nasib (takdir). Cara berpikir semacam ini telah menyebabkan nelayan mengeksploitasi sumberdaya laut habis-habisan.

Seringkali kepadatan penduduk atau jumlah penduduk yang meningkat pesat dijadikan alasan sebagai pemicu utama masyarakat melakukan eksploitasi habis-habisan. Sesungguhnya alasan itu masih sangat konvensional sekali. Ada setidaknya beberapa hal lain yang perlu dicermati. Tingkat pertama adalah ideological perspective dari pemerintah yang dominan dalam menentukan pola eksploitasi lingkungan. Perspektif yang dalam berbagai kasus mengatasi kearifan lokal serta mengabaikan need dan concern masyarakat lokal. Berbagai perencanaan pembangunan menjadi format dominan dalam eksploitasi lingkungan yang sayangnya tidak mengikutsertakan masyarakat, sehingga aspirasi lokal tidak tertampung.

Kebijakan pemerintah yang cenderung berorientasi pada pertumbuhan ekonomi yang cenderung berorientasi bagaimana ”menaklukkan alam” untuk kepentingan manusia. Policy semacam inilah seringkali menjadi sebab kerusakan ekologi di negara-negara sedang berkembang, termasuk Indonesia.

Tambahan lagi, kebijakan yang bersifat sektoral pada lembaga-lembaga pemerintah menjadi sebab tidak terintegrasinya pembangunan. Masing-masing lembaga mempunyai dan menjalankan kebijakannya sendiri-sendiri. Pola pembangunan yang bersifat sektoral ini cenderung mengabaikan kelestarian lingkungan.

Tingkat kedua yang perlu dicermati golongan-golongan masyarakat yang terlibat dalam usaha mereka masing-masing untuk menguasai sumber-sumber perekonomian negara. Kecenderungan berburu rente (rent-seeker) sebagaimana yang disinyalir banyak ahli tumbuh subur di Indonesia, sehingga korupsi merajalela. Korupsi mendorong orang untuk melakukan eksploitasi sumberdaya alam habis-habisan.

Tingkat ke tiga adalah penggunaan teknologi yang merusak. Penerapan teknologi memang sangat mendukung upaya peningkatan produksi di bidang perikanan. Akan tetapi ada kemungkinan besar bahwa kenaikan produksi ini tidak


(43)

akan lestari karena masukan-masukan teknologi ini dapat mengganggu ekosistem di lingkungan produksi, yang kemudian dapat menurunkan produksi (Soetrisno, 1982).

2.5 Relasi patron-klien dan eksploitasi sosial

Para ahli antropologi membedakan hubungan kekerabatan dengan hubungan patron-client. Hubungan kekerabatan bersifat ascribed. Artinya posisi seseorang dalam suatu jaringan kekerabatan diperoleh begitu saja, tanpa suatu usaha. Begitu lahir, seorang individu langsung masuk ke dalam suatu unit dan jaringan kekerabatan tertentu, yang menurut kebudayaan yang berlaku di situ memberinya seperangkat hak-hak dan kewajiban tertentu terhadap individu-individu tertentu pula. Mereka yang berada dalam suatu unit kekerabatan yang sama diharapkan bersedia saling membantu. Bilamana seseorang meminta bantuan pada kerabatnya, bantuan diharapkan akan diberikan secara sukarela, dan disitu kerabat yang dibantu tidak perlu merasa terbebani oleh kewajiban untuk membalas bantuan tersebut. Bantuan yang diberikan juga tidak membuat pihak penerima menjadi lebih rendah daripada pemberi, karena hal itu sudah dianggap hal lumrah, sebagai akibat wajar adanya relasi kekerabatan antar mereka. Sebaliknya jika kerabat yang dimintai bantuan menolak membantu dia justru akan terkena sanksi tertentu. Ini berbeda dengan ciri-ciri hubungan patron-client (Putra, 1996).

Unsur penting dalam hubungan patron-client adalah timbal balik (reciprocity), dan hal ini diatur oleh norma yang berbeda dengan norma dalam hubungan kekerabatan. Kalau norma-norma yang mengatur interaksi antar kerabat boleh dikatakan berbeda antara satu kebudayaan satu dengan kebudayaan lainnya, maka norma yang mengatur hubungan timbal balik ini (reciprocity) dapat dikatakan universal sifatnya. Dua norma pokok didalamnya adalah : (1) orang seharusnya membantu mereka yang telah menolongnya, dan (2) jangan menyakiti mereka yang telah menolongnya (Gouldner, 1960). Meskipun norma-norma ini menurut sebagian ahli bersifat universal, hal itu tidak lantas berarti bahwa hubungan timbal balik tersebut tidak dipengaruhi oleh kondisi yang melingkupinya. Rasa wajib untuk membalas suatu pemberian yang muncul pada


(44)

diri seseorang, sedikit banyak tergantung pada nilai atau arti pemberian tersebut baginya, dan hal ini dipengaruhi lagi oleh berbagai faktor lainnya.

Perbedaan kedua adalah bahwa hubungan patron-client ini tidak diperoleh begitu saja oleh seorang individu, tetapi harus dibangun. Bila seseorang ingin mempunyai relasi semacam ini dengan pihak lain maka dia perlu memberikan sesuatu terlebih dahulu, dan jika pihak lain bersedia, maka pemberian tersebut akan dibalas. Perhitungan untung rugi biasanya tampak nyata dalam relasi ini. Unsur sukarela untuk menjalin hubungan patronase, yang tidak terdapat dalam hubungan kekerabatan, terlihat disini, dan merupakan elemen penting dalam hubungan tersebut.

Adapun definisi tentang apa itu sebenarnya hubungan patron klien banyak ahli yang berselisih pendapat. Diantara pendapat itu yang mengemuka adalah pendapat dari :

James Scott (1972) :

“… a special case of dyadic (two person) ties, involving a largely instrumental friendship in which an individual of higher socio-economic status (patron) uses his own influence and resources to provide protection as benefits for both, for a person of a lower status (client) who for his part reciprocates by offering general support and assistance, including personal services, to their patron” .

James Scott melihat bahwa hubungan tersebut bisa terbentuk karena adanya ketimpangan yang menyolok dalam penguasaan atas kekayaan, status dan kekuasaan, mengingat hal ini dianggap sah oleh mereka yang terlibat di dalamnya. Selain itu, tidak adanya pranata yang menjamin keamanan individu, baik yang menyangkut status ataupun kekayaannya. Juga, tidak dapat diandalkannya ikatan kekerabatan saja sebagai sarana satu-satunya mencari perlindungan serta memajukan diri.

Tentang karakter dari hubungan tersebut juga banyak selisih pendapat. Salah satu pendapat yang bisa dikemukakan disini adalah dari Noel (1990):

“The two partners to the patron-client contract, however, no longer exchange equivalent goods and services. The offerings of the patron are more immediately tangible. He provides economic aid and protection against both


(45)

the legal and illegal exaction of authority. The client in turn, pays back in more intangible assets. These are, first, demonstrations of esteem”.

Karakter yang menonjol dari hubungan ini adalah loyalitas yang sangat tinggi dari klien kepada patronnya dalam banyak hal, tidak hanya dalam hal yang bersifat ekonomi semata, tetapi juga mencakup perlindungan terhadap patron dari penyelidikan polisi misalnya, menjaga nama baik patron dan lain-lain.

Pola hubungan seperti ini menciptakan peluang baik yang positif maupun yang negatif. Korupsi, penggalangan massa, perdagangan ilegal, gotong royong membangun kampung, dan lain-lain merupakan bentuk-bentuk peluang dari adanya pola hubungan itu.

Hubungan kerja yang eksploitatif juga terbentuk dari relasi patron klien tersebut. Praktek penggunaan bom ikan yang didahului dengan adanya perdagangan ilegal material bom ikan boleh jadi merupakan salah satu contoh peluang yang tercipta dari pola hubungan ini.

2.6 Modal sosial dan pendekatan pascastrukturalis

Pemahaman terhadap modal sosial yang dipunyai masyarakat sangat penting dalam rangka mencari solusi atas masalah yang ada. Modal sosial disini adalah potensi-potensi sosial budaya yang dimiliki suatu masyarakat untuk mengatasi masalah-masalah yang ada. Pendekatan pasca strukturalis sangat menekankan pentingnya modal sosial ini untuk berbagai masalah yang dihadapi oleh komunitas tertentu, seperti masalah penghentian kenelayanan destruktif di Pulau barrang Lompo.

Komunitas nelayan Pa’es bertahun-tahun merupakan suatu masyarakat yang berada dalam kondisi selalu menyimpan rahasia, karena pekerjaannya ilegal dan melanggar hukum. Di kalangan pemerhati modal sosial komunitas semacam ini dikenal sebagai bond group, dengan ciri khas utama adalah rendahnya trust terhadap orang luar (Portes, 1998).

Pendekatan yang dilakukan dalam rangka mencari solusi untuk menghentikan destructive fishing, seharusnyalah dilakukan dengan ’ramah’, bukan dengan sikap-sikap yang destruktif sekedar menjelek-jelekkan dan menyalah-nyalahkan nelayan. Modal sosial yang dipunyai masyarakat seperti Punggawa, etos kerja


(46)

yang tinggi, solidaritas kuat, dan lain-lain bisa dimanfaatkan dalam rangka menghentikan penggunaan bom ikan sebagai alat tangkap.

2.7 Enterpreneurship

Pekerjaan nelayan mempunyai karakter yang berbeda dari petani misalnya. Karakter utama pekerjaan nelayan adalah ’mencari ikan untuk dijual’. Sifat ini mengembangkan kecenderungan untuk berjiwa entrepreneurship. Menurut Mc Clelland (dalam Gilmer, 1984) seorang enterpreneur adalah seorang yang menerapkan kemampuannya untuk mengatur, menguasai alat-alat produksi dan menghasilkan hasil yang berlebihan yang selanjutnya dijual atau ditukarkan dan memperoleh pendapatan dari usahanya tersebut.

Seorang nelayan memenuhi syarat tiga dasar motif sosial yang menonjol yang menyebabkan dia berpotensi untuk menjadi enterpreneurship sebagaimana yang dikemukakan McClelland (dalam Gilmer 1984) yakni : motif untuk berprestasi, motif untuk berafiliasi (menjalin persahabatan) dan motif untuk berkuasa (Gilmer, 1984).

Oleh karena itu, apabila pemerintah atau lembaga tertentu hendak melakukan alih pekerjaan pada suatu komunitas nelayan, maka hendaklah diarahkan kepada pengembangan enterpreneurshipnya, selain itu tentu juga diperhatikan tingkat pendidikan komunitas nelayan itu. Pekerjaan sebagai pedagang ikan, pedagang teripang, penjual souvenir, mengembangkan usaha-usaha pariwisata, pedagang kelontong, merupakan contoh-contoh bidang pekerjaan yang bisa diupayakan untuk nelayan yang mempunyai tingkat pendidikan rata-rata rendah.

2.8 Pembahasan

Pohon Problema yang menyebabkan melakukan destructive fishing bisa dilihat pada Gambar 2 halaman 33 . Ada variasi yang signifikan antara satu komunitas dengan komunitas yang lain bila dicari masalah yang menyebabkan si nelayan melangsungkan kenelayanan destruktif, namun secara umum kira-kira sebagaimana yang terpampang dalam Gambar 2 di halaman 33.


(1)

oknum penegak hukum dan juga keuntungan-keuntungan bagi oknum pengelola perikanan. Perdagangan ilegal dimungkinkan terjadi karena oknum pengelola perikanan maupun oknum penegak hukum berperilaku yang bertentangan dengan prinsip-prinsip profesi yang seharusnya dijalankan. Selain itu, harus dilakukan tindakan tegas terhadap kapal-kapal besar yang melakukan penangkapan ikan secara ilegal dan atau kapal-kapal besar yang juga menggunakan teknologi destruktif.

Tahap Awareness : Bersamaan dengan adanya kebijakan dari pusat tersebut, maka dilakukanlah upaya-upaya peningkatan pengetahuan penduduk lokal, khususnya yang berkaitan dengan kelautan dan kerusakan lingkungan laut, misalnya dengan menyelenggarakan penyuluhan, memasukkan pelajaran kelautan sebagai muatan lokal pada tingkat SD, SMP dan SMA. Lebih cepat apabila didirikan Sekolah Menengah Perikanan atau Sekolah Tinggi Perikanan di pulau ini. Melalui sekolah tersebut bisa dikembangkan perubahan perilaku. Ruang-ruang marine station milik Unhas bisa dimanfaatkan sebagai ruang sekolah tersebut.

Tahap teknologi alternatif : pelarangan saja tidak ada manfaatnya kalau tidak diberikan teknologi alternatif yang memadai dalam memberikan hasil bagi si nelayan. Sekadar melarang saja tanpa memberikan bantuan dana, sungguh sangatlah sulit. Usaha kenelayanan membutuhkan modal yang luar biasa besar, berbeda dengan kerja di daratan yang relatif lebih sedikit modal (low capital). Selama ini semua pihak hanya melarang, tetapi tidak memberikan bantuan dana untuk membeli teknologi alternatif. Dalam membicarakan teknologi alternatif ini, seharusnyalah pihak-pihak seperti punggawa darat, punggawa laut dan pabalolang diikutsertakan, karena merekalah yang sesungguhnya mempunyai kekuatan riil di masyarakat, baik kekuatan kapital maupun kekuatan politik lokal. Pada tahap ini bisa dilakukan perubahan formasi sosial dengan memberi bantuan teknologi dan kapital kepada nelayan-nelayan potensial. Dengan demikian menghilangkan ketergantungan absolut kepada para punggawa selama ini.

Tahap income generating : nelayan yang terbiasa memperoleh banyak penghasilan dengan cepat tentu ingin memperoleh hasil yang sama walaupun ada perubahan teknologi. Pada tahap ini bisa dikenalkan berbagi macam jenis usaha


(2)

melalui kursus-kursus singkat, seperti membuat souvenir, menjahit, potong rambut, pedagang kelontong, memasak roti dan makanan, fotografi, sablon dan mencetak undangan, dan lain-lain. Peserta kursus bisa dipilih dari nelayan yang ingin pindah pekerjaan atau kepada anggota keluarga lain, seperti isteri dan anak remaja.

Tahap budidaya : perlunya dikembangkan usaha budidaya ikan, lola, kima, ikan-ikan komersial seperti ikan Sunu, kerang mutiara, dan lain-lain. Marine station milik Unhas beserta para dosen Unhas bisa berperan dalam hal ini sebagai agent of change. Kolam-kolam yang dimiliki oleh Unhas di pulau ini bisa didayagunakan sebagai percontohan budidaya, misalnya budidaya Kima yang harganya cukup tinggi.

8.7 Pembahasan

Perubahan orientasi kerja nelayan yang menggunakan teknologi tangkap destruktif ke nelayan yang menerapkan prinsip perikanan berkelanjutan berdasarkan literatur maupun hasil-hasil penelitian yang sudah ada bisa melalui : 1) tumbuhnya kesadaran sendiri, 2) melalui proses pendidikan, dan 3) melalui regulasi yang ketat dan sanksi yang keras.

Sehingga kini belum ada laporan contoh keberhasilan penghentian destructive fishing di Indonesia, oleh karena itu agak sulit mencari model pembanding. Cara yang terbaik sebenarnya adalah apabila tumbuh kesadaran sendiri untuk berubah. Contoh proses perubahan atas kesadaran sendiri dari pengguna teknologi destruktif menjadi nelayan yang menerapkan perikanan berkelanjutan adalah laporan penelitian dari kasus di Thailand. Penduduk lokal semenjak lama menggunakan teknologi destruktif sehingga lingkungan laut rusak. Tumbuh kesadaran di kalangan mereka sendiri dan mencoba mengorganisir diri untuk memperbaiki lingkungannya dengan melarang penggunaan teknologi destruktif dan menghalau nelayan luar yang menggunakan teknologi destruktif di perairan lokal. Bertahun-tahun kemudian sumberdaya di lingkungan perairan lokal menjadi lebih baik dan bisa diandalkan untuk memenuhi kebutuhan penduduk setempat (the second round of common property).


(3)

Regulasi yang ketat harus dibarengi dengan sanksi yang memberi efek jera. Problemanya penyusunan regulasi hingga kini masih dirasakan banyak pihak sebagai sisi lemah. Undang-undang no 21 tahun 2004 masih dipertanyakan banyak pihak untuk penerapannya. Peraturan pelaksanaannya pun belum selesai-selesai hingga kini. Selain itu, regulasi yang ketat juga memerlukan pengawasan yang ketat, yang selama ini dirasakan sebagai kendala besar bagi penggerak program di mana-mana. Dana untuk pengawasan yang kecil, aparat yang terbatas jumlahnya dan fasilitas yang minimal merupakan keluhan-keluhan yang sering didengar. Padahal inilah cara yang sebenarnya paling mungkin untuk jangka pendek, tetapi situasi di lapang justru menunjukkan inilah cara yang paling sulit diperoleh hasil yang memuaskan.

Kini banyak dilakukan orang adalah upaya-upaya melalui pendidikan. Intervensi-intervensi berupa awareness dan pemberdayaan dikembangkan untuk mencapai perubahan yang diharapkan. Kendala terbesar pada cara ini adalah program-program dijalankan tidak dengan menggerakkan partisipasi masyarakat secara utuh. Sikap-sikap penggerak masyarakat yang melihat komunitas lokal sebagai social amoeba sering dikritisi banyak pihak, sayangnya tidak ada perubahan. Selain itu, upaya ini dibutuhkan program-program jangka panjang yang menguras kesabaran dan dana dari penggerak program. Dalam jangka pendek sulit sekali diperoleh hasil yang jelas sebagai dampak dari program.

Dari ketiga cara proses untuk berubah ini sebenarnya cara yang pertama yang paling ideal, tetapi jarang diupayakan oleh berbagai pihak dengan sungguh-sungguh. Prasyarat tumbuhnya kesadaran sendiri untuk berubah bisa melalui modal sosial yang sudah dipunyai, misalnya melalui tokoh-tokoh informal yang dihormati.

Perubahan DF ke SF merupakan proses yang panjang dan membutuhkan kesungguhan para stakeholder untuk bersama-sama mengelola program-program. Program yang ada seharusnya bukan hanya bersifat rehabilitasi sumberdaya laut yang periodik, tetapi seharusnya sejumlah program jangka panjang dan berkesinambungan serta dilakukan oleh multistakeholder, dengan cara kemitraan (partnership). Kemitraan dimaksudkan sebagai pola interaksi multistakeholder yang saling menghargai dan saling membesarkan. Pemerintah, khususnya


(4)

Departemen Kelautan dan Perikanan berperan besar untuk menjadi fasilitator. Kemitraan ini dilakukan dengan mengikuti tahap-tahap yang telah disebutkan di atas.

Adapun untuk menyusun program-program untuk menghentikan kenelayanan destruktif, menurut pendapat kami, perlu kiranya ‘memperkuat’ 4 faktor kunci. Penerapan program-program tersebut harus berkesinambungan dan terancang dengan baik serta pendekatan penggerak program kepada masyarakat yang benevolent (ramah, bukan destruktif). Adapun faktor kunci dan solusi awalnya sebagaimana yang tertera pada Gambar 20.

Gambar 20 Faktor kunci positif untuk mengubah praktek destructive fishing menjadi sustainable fishing dan solusi awal yang perlu dilakukan

Penghentian kenelayanan destruktif ini diawali dengan menghentikan perdagangan ilegal material bom ikan. Selama ini upaya penghentian perdagangan ilegal material bom ikan hanya sampai strata ketiga (lihat Gambar 12 bab 5

Pendorong :

1. pandangan multistakeholder 2. insentif

3. risiko 4. modal sosial

Mata pencaharian alternatif

Penegakan hukum

Pendidikan lingkungan

1. Awareness terhadap para pihak 2. Program pemberdayaan

3. Pelaku dipenjara sebagai efek jera 4. pendekatan benevolent terhadap

punggawa.

5. Tersedianya alternatif teknologi yang ramah lingkungan

6. Pekerjaan alternatif

7. Tindakan koersif terhadap pelaku DF: nelayan, pedagang material bom dan ikan, kapal besar/asing yang melakukan DF

8. Mengendalikan pemasaran ikan: dilarang beli ikan hasil bom. Melanggar akan dikenai sanksi berat (market driven)

9. Melanjutkan dan mengembangkan program-program community based-management yang sudah berjalan


(5)

tentang aliran modal dan material bom ikan), yakni pedagang antar pulau dan Punggawa Pulau. Strata kedua (Punggawa Makassar, Punggawa Gallesong dan Punggawa Sinjai) dan strata pertama (Punggawa Pare-pare) sejauh informasi yang diperoleh di lapang, belum pernah ada tindakan yang sungguh-sungguh terhadap mereka.

Bila kebijakan ini dilakukan dengan sungguh-sungguh akan menurunkan drastis praktek destruktif dalam usaha kenelayanan dari masyarakat di pulau Barrang Lompo, sebagaimana telah terbukti terjadi pada periode penelitian ini. Ketika pemerintah dan aparat penegak hukum melakukan operasi besar-besaran memberantas praktek penggunaan alat tangkap ikan yang destruktif, dengan diantaranya menangkap para pedagang material bom ikan, maka suplai material untuk merakit bom ikan kepada nelayan menjadi sangat terbatas. Konsekuensinya sedikit sekali nelayan Pa’es yang melakukan usaha penangkapan ikannya dengan menggunakan bom.

Bersamaan dengan tindakan koersif di atas, sebaiknya dilakukan juga upaya-upaya penghentian praktek penggunaan bom ikan ini dengan datangnya para penggerak program yang bersikap santun dan ramah, dalam arti bersikap ‘mengajak’ (persuasif) masyarakat untuk berubah dari DF ke responsible fishing. Selama ini yang sering terjadi, para penggerak program menyuruh orang berhenti melakukan destructive fishing dengan sikap dan cara yang ‘destruktif’ (menyebut-nyebut kerja nelayan bom ikan sebagai suatu keburukan dan tidak bergaul dengan mereka), semestinya sikap yang ditampilkan para penggerak program adalah sikap yang bersahabat, ramah dan bergaul dengan penduduk (friendly and benevolence).

Selanjutnya, pembentukan daerah-daerah perlindungan sangat diperlukan karena perairan sudah rusak, sebagaimana hasil penelitian Pusat Studi Terumbu Karang Universitas Hasanuddin bahwa perairan di Kepulauan Spermonde sudah rusak total, sehingga hanyalah sekitar 37 % terumbu karang yang masih baik, apalagi perairan Pulau Barrang Lompo hanya sekitar 20 % terumbu karang yang masih baik. Dalam lingkup minor disusun daerah-daerah perlindungan (DPL) prioritas yang merupakan daerah-daerah ‘pengasuhan” (nursery). Penentuan dan format pengelolaan DPL seharusnya dilakukan berdasarkan kesepakatan


(6)

multistakeholder. DPL yang pernah diselenggarakan selama ini boleh dikatakan umumnya hanya bersifat sepihak, sehingga seringkali gagal di tengah jalan, sebagaimana kasus DPL untuk perairan 3 pulau : Pulau Bonetambung, Pulau Barrang Lompo dan Pulau Barrang Caddi. DPL diselenggarakan di tiga pulau ini juga berdasar keprihatinan terhadap kondisi perairan yang memburuk, sayangnya masyarakat tidak pernah diajak bicara, hanya berupa sosialisasi bahwa akan ada DPL. Rambu-rambu yang diletakkan mengelilingi DPL juga tidak dibicarakan dengan masyarakat, seperti apa bentuknya dan di mana ditaruhnya (dimana saja letak areal DPL). Usaha ini hanya berjalan sebentar saja, rambu-rambu yang menunjukkan keberadaan DPL hilang dalam waktu singkat.

Penyusunan rehabilitasi perairan ini seharusnya disusun dalam suatu kerangka kebijakan kelautan regional, tidak hanya perairan Kepulauan Spermonde, tetapi seharusnya disusun suatu kebijakan kelautan regional, misal perairan provinsi Sulawesi Selatan. Bahkan kebijakan kelautan regional yang lebih luas, misalnya dengan mengajak Provinsi Nusa Tenggara, provinsi Kalimantan Timur dan Provinsi Jawa Timur yang sekarang ini juga menjadi fishing ground bagi nelayan Pa’es. Rasionalnya, daerah-daerah penangkapan ikan yang rusak perairan harus diperbaiki secara serentak. Bila tidak kehancuran kondisi perairan suatu daerah segera terjadi.

Selanjutnya, pemanfaatan produktif ramah lingkungan yang ditekankan dengan penyediaan teknologi alternatif ramah lingkungan. Harga teknologi tangkap yang mahal membutuhkan bantuan finansial untuk pembeliannya. Bila dibebankan pada nelayan sendiri akan sangat sulit untuk terwujud.