memudahkan kami untuk mewawancarai baik nelayan maupun para pejabat tersebut.
Pelaksanaan wawancara dengan pendekatan kualitatif berupa indepth interview dengan informan-informan kunci dari masing-masing stakeholder yang
instrumental di tingkat kotamadya, seperti Bappeda, Dinas Kelautan dan Perikanan, Angkatan Laut, Kepolisian, Polairud, Polisi Pelabuhan, Polisi Sektor,
Petugas Keamanan lainnya, hakim perkara destructive fishing, Petugas TPI, pengusaha perikanan dan LSM . Adapun di tingkat kecamatan mewawancarai
aparatur seperti Camat, Pengusaha Perikanan, dan petugas TPI. Sedangkan wawancara mendalam di tingkat desa dilakukan pada informan
kunci termasuk tokoh formal, seperti Kepala Desa dan aparat desa lainnya, kepala kampung, bidan desa, guru; tokoh informal seperti tokoh agama, tokoh pemuda
dan karang taruna, tokoh nelayan, pengurus PKK dan kelompok nelayan, Koperasi Nelayan, pengusaha perikanan seperti bos, ponggawa, pedagang
pengumpul ikan, koordinator dan anak buah kapal, nelayan pengebom, nelayan potas, nelayan bubu, pengambil karang, pemilik warung dan lain-lain.
3.5 Data yang diperlukan
Adapun data yang diperlukan bisa dibagi dalam beberapa kelompok besar : 1 data fisik Pulau Barrang Lompo dan perairannya, serta perubahannya; 2 data
sosial ekonomi penduduk pulau itu, 3 perspektif dari para nelayan pengguna teknologi perusak, penegak hukum dan pengelola perikanan.
Data fisik Pulau Barrang Lompo meliputi 1 kondisi tanah, air tanah, kondisi perairan sekitarnya, cuaca, curah hujan, 2 fasilitas fisik : seperti masjid,
toko, warung, perumahan, marine station Unhas, lapangan sepak bola, sumur, kuburan, sekolah, pos Polair, 3 tanaman, hewan piaraan, 4 jenis ikan dan
hewan laut lainnya. Data sosial Pulau Barrang Lompo meliputi : 1 profil masyarakat pulau itu
termasuk kependudukan, ketenagakerjaan dan pemerintahan, 2 identifikasi kekerabatan dan kelompok-kelompok sosial yang ada, 3 lembaga-lembaga sosial-
ekonomi yang ada, 4 kegiatan-kegiatan ekonomi yang ada, 5 kelompok- kelompok usaha kenelayanan, 6 interaksi dengan masyarakat luar, 7 pemilikan
barang, 8 kegiatan sehari-hari Data perspektif para stakeholder meliputi : 1 identifikasi pengetahuan
mereka tentang fenomena nelayan pengguna teknologi perusak, 2 memahami pola tindakan para stakeholder, yang tentunya termasuk aspirasi mereka, 3 profil
para stakeholder, 4 neraca hubungan antara nelayan dengan stakeholder yang lainnya.
3.6 Cara pengumpulan data
Semula akan dilakukan survey dengan dengan berbekal sejumlah kuesioner Form A,B,C,D sebagai metode kuantitatif yang akan dikombinasikan
dengan metode kualitatif berupa focus group discussion FGD, metode sejarah dan indepth interview. Survey tentang pengetahuan lokal dan pola tindakan
nelayan pengguna teknologi destruktif ini semula akan dilakukan dengan mengumpulkan data kuantitatif yang berkaitan dengan : 1 keadaan rumah tangga,
terutama yang berkaitan dengan keterangan anggota rumah tangga, pendapatan dan pengeluaran, dan pemilikan dan penguasaan asset rumah tangga, dan
2pengetahuan dan sikap individu mengenai eksploitasi sumber daya laut. Survei dilakukan pada sejumlah kepala keluarga ditentukan di lapang jumlahnya.
Pemilihan responden dilakukan secara beraturan dari blok sensus di desa ini bisa berdasar RWRT, berdasar kelompok kenelayanan, kelompok pengguna jenis
teknologi tertentu, dll. Responden untuk pertanyaan rumah tangga adalah kepala rumah tangga, tetapi jika KK berhalangan maka diganti oleh anggota rumah
tangga yang dapat mewakili KK. Sedangkan untuk pertanyaan individu, responden dipilih secara acak dari anggota rumah tangga dewasa berumur 15
tahun ke atas dan ada di tempat pada saat wawancara. Kenyataan di lapang menunjukkan resiko yang besar apabila memaksakan
penerapan metode survey dan juga kemungkinan hasilnya yang bias. Setelah berkonsultasi dengan para dosen pembimbing supervisor dan menimbang-
nimbang keberlanjutan riset ini, maka metode survey dibatalkan, walaupun
kuesioner-kuesioner yang sudah dibuat tetap menjadi acuan kami dalam penelitian ini.
Akhirnya, metode kualitatiflah yang dipilih untuk riset ini. Format studi etnografi diterapkan dengan tujuan untuk memahami kondisi pulau dan
masyarakatnya secara detil. Beberapa alat bantu digunakan seperti peta, decision trees, bagan alir, kalender aktivitas, tabulasi adat serta pemanfaatan wawancara
semistruktural dan observasi. Dalam penerapannya metode ini didukung oleh sejumlah metode lain, yakni focus group discussion FGD, Ethnoscience, metode
sejarah. Desain risetnya bersifat iteratif. Artinya, tiap informasi baru merupakan input
untuk langkah perencanaan riset berikutnya. Tahap awal dari riset adalah memahami semua informasi yang ada yang berkaitan dengan topik riset ini
literatur, laporan riset, peta, berita-berita di koran tentang destructive fishing, dan interview dengan beberapa pihak yang berkompeten tentang topik riset.
Kemudian disusunlah suatu guidance questionaire dengan isu-isu yang jelas. Isu riset adalah item-item yang akan dikembangkan dalam fieldwork.
Dalam tahap pertama ini yakni tahap pemahaman desa village induction,
teknik yang digunakan adalah focus group interview kajian bersama, indepth interview dengan sejumlah key informants, dan observasi langsung pada
fenomena dan indikator-indikator yang diidentifikasi penting. Beberapa hal yang akan dicari informasinya adalah : asal usul desa, asal usul penduduk, perubahan
ekologis, kegiatan sehari-hari di desa livelihood dan adat istiadat, kependudukan dan ketenagakerjaan, pemerintahan dan program pembangunan yang ada, fasilitas
umum, pendidikan, dan lain-lain. Pada tahap ini beberapa alat bantu seperti pembuatan peta dan transek, sejumlah flowcharts, hierarchy dan tabulasi data –
akan digunakan.
Tahap kedua, setelah memahami situasi umum desa, pertanyaaan-
pertanyaan dari topik-topik yang sudah diidentifikasi akan diobservasi lebih detil dan lebih kritis. Dalam tahapan ini, semi struktur interview memegang peranan
penting. Kami tidak akan mempersiapkan suatu daftar pertanyaan yang detil, tetapi dengan suatu daftar dari topik-topik dan subtopik yang siap untuk
dikembangkan. Dengan demikian maka metode pengumpulan data ini tidak kaku,
tetapi memadai untuk keperluan riset dan analisis lebih lanjut. Dalam tahap ini akan digunakan beberapa metode bantu supporting method, yaitu metode sejarah,
studi kasus, etnosain. Juga beberapa alat bantu akan dimanfaatkan seperti penyusunan taksonomi pengetahuan lokal, decision trees, flowcharts, glossary,
dan lain-lain. Responden yang menjadi sample dari riset ini tentu saja bukan hanya nelayan pengguna teknologi destruktif, akan tetapi juga kelompok nelayan
lain. Isu tentang sumberdayanya dan kelestariannya, isu kondisi usaha-usaha kelautan, isu keberlanjutan usaha, isu sosial budaya, merupakan beberapa isu
utama yang dipelajari di lapang. Beberapa cara yang diterapkan adalah sebagai berikut :
1. Observasi lapangan ditujukan untuk mendapatkan gambaran yang utuh dan
pemahaman yang lebih komprehensif mengenai keadaan desa dan masyarakat di daerah penelitian, terutama yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya laut.
2. Focus group discussion FGD- Diskusi kelompok terfokus dengan nelayan di
tingkat pulau untuk menyusun tabel perspektif, neraca hubungan para pihak dan tabel solusi masalah. FGD dalam kajian kompatibilitas ini guna memperoleh
perspektif dasar mereka tentang lingkungan. Semula direncanakan akan diselenggarakan dengan sejumlah responden yang terpilih akan dibagi-bagi dalam
beberapa kelompok. Situasi lapangan yang tidak memungkinkan penelitian ini dilakukan secara formal, maka FGD dilakukan secara informal dengan menemui
kelompok-kelompok orang yang sedang berkumpul. Kemudian akan diajukan pertanyaan-pertanyaan yang sama. Misalnya untuk mencari perspektif dari apa
yang mereka anggap problem kehidupan, problem lingkungan dan lain-lain. Contoh pertanyaan adalah sebagai berikut :
1 menurut bapak ibu apa problem kenelayanan di daerah ini ? 2 Susunlah problem tersebut dari yang paling penting
3 Bagaimana cara mengatasinya ? 4 Apa saja peraturan adat kebiasaan yang menguntungkan untuk
mengatasi masalah tersebut dan yang tidak mendukung untuk mengatasi masalah tersebut ?
FGD juga dilakukan secara intensif pada pertemuan para pihak di Paotere yang dihadiri oleh para Punggawa Pa’es, penegak hukum dan aparat pemerintah. Hal
yang sama juga dilakukan FGD di pengadilan negeri Makassar dengan para hakim yang pernah mengadili perkara nelayan pengguna teknologi destruktif dan pada
saat pembentukan koperasi Ata Matuna di marine station Unhas.
3. Wawancara semistruktural diterapkan untuk mengumpulkan data-data
dengan diawali menyusun topik-topik yang akan menjadi panduan dalam wawancara guidance quesioner. Dari topik-topik yang fleksibel itu disusunlah
pertanyaan-pertanyaan yang sifatnya tidak kaku, bisa berubah tergantung situasi pada waktu wawancara. Misalnya untuk memperoleh informasi tentang
pandangan masing-masing stakeholder terhadap fenomena nelayan pengguna teknologi perusak, maka disusunlah sejumlah topik besar : 1 pengetahuan mereka
tentang sejarah kenelayanan yang menggunakan teknologi perusak di Pulau Barrang Lompo dan Provinsi Sulawesi Selatan pada umumnya, 2 perdagangan
ilegal material teknologi destruktif, 3 praktek penggunaan teknologi perusak, 4 hukum dan pengawasan, 5 solusi. Dari topik-topik besar itu disusunlah sejumlah
pertanyaan yang sifatnya fleksibel tergantung situasi lapang.
4. Pendekatan ethnoscience diterapkan untuk memahami perspektif lokal
dengan menerapkan interview etnografi untuk memperoleh sejumlah taksonomi pengetahuan lokal, khususnya tentang strategi adaptasi, etika kelautan dan
pengetahuan kelautan, yang tentu saja sifatnya folk knowledge bentuknya bisa berbeda dengan scientific knowledge D’Andrade, 1995; Goodall 2000; Putra,
1997; Spradley, 1979. Dengan menggunakan metode ini akan dipahami need dan concern serta pengetahuan lokal dari komunitas di Pulau Barrang Lompo.
Adapun jumlah informannya tidak dibatasi, akan tetapi sebanyak mungkin dengan memprioritaskan sejumlah key informants.
Metode etnosain yang kami ambil dari disiplin Antropologi akan bermanfaat untuk menyusun sejumlah taksonomi pengetahuan yang ada pada
nelayan dan kelompok masyarakat lain di pulau tempat kami melakukan riset ini
kajian multistakeholder. Caranya adalah dengan menerapkan interview
etnografi untuk memperoleh pemahaman emic nelayan-nelayan dan kelompok masyarakat lain perspektif lokal tentang lingkungan sekitar mereka, khususnya
lingkungan kehidupan laut. Asumsi yang dipakai disini adalah lingkungan fisik yang kita lihat sehari-hari akan dipahami berbeda antara satu orang dengan orang
lainnya perceived environment. Pemahaman yang berbeda tersebut akan menuntun seseorang untuk bersikap dan berperilaku yang berbeda dari orang lain
pada lingkungan yang sama. Pemahaman yang berupa pengetahuan seseorang tentang lingkungan
sekitarnya akan menjadi obyek yang akan dicari dalam menerapkan metode ini. Pengetahuan-pengetahuan lokal yang apabila sudah diperoleh akan disusun dalam
bentuk taksonomi-taksonomi pola ideal. Walaupun pengetahuan tersebut bukan merupakan satu-satunya motivasi seseorang untuk berperilaku tertentu, namun
dengan memahami pengetahuan lokal tersebut akan membantu kita memahami bagaimana seandainya kita berada di komunitas tersebut harus berperilaku apa
yang “tepat”. Jenis-jenis pengetahuan lokal yang hendak dicari diantaranya adalah
seperti kategori stock assessment, spesies target, jenis teknologi, rute pencarian ikan, pola umum pembagian kawasan laut menurut tata guna lahan tradisional,
kalender pencarian ikan, kategori nelayan-nelayan lain competitors,interaksi dengan stakeholder lain dan lain-lain. Selama ini kita memakai kategori
berdasarkan perspektif kita atau pemerintah ethic dan seringkali melupakan bahwa komunitas lokal juga memiliki sistem pengetahuan tersendiri tentang
lingkungannya. Bahkan untuk kelautan, pengetahuan yang kita miliki seringkali terbatas seperti ketepatan data stock asssessment. Kalau kita mempunyai data
perspektif lokal tentang stock assessment mungkin akan sangat membantu dalam penyusunan policy.
Analisis data untuk menyimpulkan perspektif stakeholder mengikuti langkah-langkah pendekatan Etnosain, sbb.: 1 memberikan pertanyaan-
pertanyaan deskriptif, 2 membuat analisis domain atas jawaban-jawaban responden, 3 mengajukan pertanyaan-pertanyaan terstruktur, 4 membuat analisis
taksonomi berdasarkan jawaban, 5 kemudian mengajukan pertanyaan-pertanyaan kontras, 6 membuat analisis komponensial, 7 membagi atas tema-tema kultural
jawaban responden
Contoh penggunaan etnosains terhadap informasi di lapang Contoh 1 : Hasil FGD dari penelitian di Pulau Barrang Lompo
Peneliti : Apa benar bom ikan itu merusak laut ? Kok polisi maupun pemerintah selalu
bilang sulit mengatasi pelanggaran ini ? Bngy : ”menyetop pemboman dalam sehari saja bisa” stop barang-barang itu
seperti lopis dan pupuk. Pemerintah ternyata membuka terus gudang pupuk dan kepolisian membiarkan terus lopis keluar.
Rn
: Kalau orang ngebom, akan datang ikan-ikan untuk makan ikan-ikan
kecil yang mati, yang berarti akan makin banyak ikan sehingga orang lain dari pulau terdekat bilang ambil-ambil saja, sebaliknya potasa akan menyebabkan
karang dan tanaman serta makanan ikan mati bahkan juga anak-anak ikan, warna karang jadi putih sehingga seringkali orang yang melakukan potasa akan dikejar-
kejar dengn parang. Contohnya kemaren, beberapa nelayan PBL marah karena perairan di sekitar Barang Caddi dan Bonetambung dipenuhi dengan potasa. Potas
bagi mereka jahat sekali Catatan : hasil dari FGD ini di cross-check ke sejumlah penduduk lainnya.
Hal Persepsi Nelayan
Menghentikan bom ikan Mudah
Apa merusak SDL ? Tidak merusak SDL
Indikator tidak merusak Setelah ngebom, justru
datang ikan-ikan Teknologi yang paling
destruktif Potasa potasium sianida
Sumber : hasil fieldwork penulis, 2005 3.7 Cara masuk ke masyarakat
Proses masuk ke masyarakat dengan mengerjakan beberapa hal penting. Pertama, ’pendekatan keluarga’, yaitu kita harus punya keluarga yang tinggal di
pulau tersebut atau punya ’keluarga angkat’ yang masyarakat identikan kita sebagai bagian dari keluarga tersebut. Pendekatan keluarga ini merupakan cara
paling efektif agar bisa diterima masyarakat dan masyarakat bersedia memberikan informasi-informasi rahasia kepada kita. Hal ini nampaknya cara utama dan
prasyarat utama apabila kita ingin memperoleh informasi-informasi yang dirahasiakan penduduk di provinsi Sulawesi Selatan. Tanpa cara pertama ini
rasanya mustahil kita bisa memperoleh informasi-informasi yang dibutuhkan untuk kelengkapan penelitian kita.
Kedua, pemberian ’barang perkenalan’. Cara ini biasa digunakan orang untuk masuk ke dalam masyarakat yang terasing, misalnya suku-suku di Irian
Jaya, bisa digunakan garam dan tembakau sebagai ’barang perkenalan’.
Pemberian foto merupakan cara untuk cepat mengakrabkan diri kita dengan penduduk Pulau barrang Lompo. Foto yang dimaksud adalah foto-foto
pendudukresponden yang kita buat. Dengan menggunakan kamera digital memudahkan saya membuat foto-foto informan dan memberikan hasilnya kepada
mereka. Cara ini ternyata efektif dalam menciptakan keakraban kita dengan mereka.
Ketiga, ikut aktif dalam kegiatan kemasyarakatan, misalnya mengurus pernikahan, acara tujuh belasan, panitia pembentukan koperasi Ata Matua dan
lain-lain. Menjadi panitia merupakan salah satu cara agar kita identik sebagai bagian dari masyarakat.
Sebenarnya ada satu cara lagi yang cukup penting untuk dilakukan, yakni ’main kartu’, suatu permainan yang menjadi kegemaran penduduk pulau itu
bahkan menjadi kegemaran penduduk provinsi Sulawesi Selatan pada umumnya. Hal ini tidak saya lakukan karena keterbatasan keterampilan dalam bermain kartu.
3.8 Tahap awal riset
Validitas sungguh masalah dalam riset ini, apalagi pola riset yang saya lakukan betul-betul ’participation observation’ ala antropolog. Awalnya saya
masih berharap bisa menggunakan kuesioner wawancara struktural. Tapi, setelah di kota Makassar bertemu dengan beberapa narasumber, seperti ahli-ahli di Pusat
Studi Terumbu Karang Unhas, misal Pak Jamaluddin Jompa, Bu Audi, Pak Syaiful,dll juga dengan 2 antropolog kelautan Unhas yang terkemuka Pak Niel
dan Pak Munsi Lampe, dengan beberapa orang dinas kelautan dan Perikanan Kodya Makassar, diskusi dengan DR Satoko Hamamoto dari Jepang yang juga
melakukan riset di pulau yang sama bahkan ketemu di pulau, serta informasi yang saya peroleh dari sekretaris Camat Ujung Tanah dan kantor Gubernur Sulsel
maka terbayang sudah betapa susahnya memperoleh ‘rapport’ yang baik dari masyarakat pulau itu. Informasi yang paling mengganggu adalah kabar
tertangkapnya pedagang bahan pembuat bom asal pulau tersebut : Daeng Nyarrang, dan Haji Nuhung, serta nelayan pengguna bom Daeng Sampe kelak
ketika sudah berhari-hari di pulau tahulah saya bahwa pedagang illegal bahan
pembuat bom antar pulau yang posisinya berada di atas semua tersangka, yakni Haji Rustam, berhasil lolos walaupun sudah diincar semenjak lama.
‘Rapport’ atau kepercayaan bahwa saya dalam bahasa mereka : 1 bukanlah mata-mata pemerintah atau mata-mata polisi, 2 bukanlah akan
menyetop usaha kenelayanan mereka yang menggunakan bahan terlarang. Karena sesungguhnyalah ada pihak yang paling dikhawatirkan oleh nelayan, yakni
wartawan dan peneliti. Mereka sungguh khawatir kalau tiba-tiba wajah atau nama mereka terpampang di TV atau di koran-koran. Beberapa pengalaman mereka :
1 beberapa tahun yll ada orang Jepang katanya dari universitas, Pak Daud diberi uang dan perlengkapan menyelam, kemudian dibuat filmnyavideo ketika dia
melakukan pengeboman, katanya hanya untuk keperluan universitas, tidak akan disiarkan ke koran atau majalah apalagi TV janjinya. Sepulang orang itu, tidak
lama kemudian ada cerita tentang pengeboman di Pulau Barrang Lompo di TV kalau tidak salah di RCTI dengan gambar utama Pak Daud. Habislah dia
dimarahin orang sepulau. Selama satu bulan orang pulau tidak berani lagi pergi ke laut, takut ditangkap polisi, 2 sering ada wartawan dulu ke pulau, sepulangnya
ada beritanya di koran dan tidak lama kemudian polisi aktif menangkapi mereka atau meminta uang, 3 setelah banyak pelatihan-pelatihan di mess Unhas di pulau
ini khususnya yang dilakukan oleh Forum Mitra Bahari dan sebuah LSM Lemsa, banyak orang yang ditangkapi dan diperketat penggunaan bom ikan itu. Apalagi
menjelang riset ini dilakukan ada penangkapan besar-besaran sebagaimana telah disebutkan di atas.
Beberapa kelemahan riset ini adalah : 1 sewaktu mengurus perijinan menyebutkan dengan gamblang dalam judul ......destructive fishing..... ini
sungguh membuat mereka langsung menutup diri dan memproteksi diri, dan jaringan informasi mereka cepat dan bagus, saya belum sampai di pulau sudah
sampai informasi bahwa akan datang peneliti kenelayanan destruktif. Pada awalnya situasi ini menyebabkan saya frustrasi, tapi tertolong dengan banyaknya
kegiatan pernikahan dan tujuh belas agustus-an yang berhari-hari. Saya berperan aktif sebagai panitia, termasuk mengetik undangan, memotret, menghadiri rapat-
rapatnya, mengikuti pelatihan kesenian, dll.; selain itu, melewati beberapa tokoh masyarakat saya jelaskan bahwa tujuan riset saya bukanlah yang utama tentang
bom dan bius, tapi tentang cara berpikir mereka dalam melakukan usaha kenelayanan dan mencari upaya untuk pemberdayaan mereka. Itulah sebabnya, di
waktu yang akan datang sebaiknya pihak IPB bersedia memberi surat pengantar riset dengan judul dan mungkin juga sebagian isinya dirubah, apabila judul dan
sebagian isinya berkaitan dengan hal-hal yang sensitif bagi masyarakat ; dan 2 keterbatasan dana yang menyebabkan keterbatasan waktu riset. Satoko melakukan
riset untuk penyusunan disertasi doktornya selama 2 tahun 8 bulan. Lebih dari 6 bulan dia tidak melakukan kegiatan apapun kecuali bergaul dan mengenal orang-
orang yang tinggal di pulau.. Setelah itu barulah melakukan riset. 3 mestinya waktu mengurus surat ijin riset juga ditujukan kepada pihak
keamanan polisi, TNI-AL, dll. agar ketika ikut kapal nelayan untuk melakukan pengeboman, kita aman-aman saja, khususnya bila tertangkap polisi, 4 mestinya
juga melakukan riset-riset singkat ke beberapa pulau lain sekitarnya, karena berdasarkan informasi banyak orang, variasi fenomena pulau-pulau lain beserta
karakteristik penduduknya dalam kaitan dengan destructive fishing.
3.9 Proses riset