Hal itu bisa terwujud dengan adanya illegal trade bahan-bahan destruktif, seperti potassium sianida atupun bahan pembuat bom ikan. Walaupun jenis
perdagangan tersebut illegal, tetapi polisi dan aparat pengawasan lainnya
“merestui”, secara ilegal juga tentunya. Kadang-kadang mereka ditangkap oleh
polisi. Perahu dan seisinya ditahan begitu juga nelayannya, tetapi dengan uang suap bribery si nelayan dan perahunya bebas. Pada waktu tertentu para nelayan
harus menyetor uang ke pihak keamanan corrupt police Zaelany, 2003
Kondisi hazard semacam itu, ditambah dengan jumlah pengawas terbatas dibandingkan jumlah nelayan pelakunya menyebabkan suburnya praktek
destruktif kenelayanan. Belum lagi kondisi prasarana yang buruk, misalnya hanya ada 1 atau 2 kapal kecil untuk mengawasi kawasan laut yang luas dengan
berpuluh-puluh jumlah pulaunya. Ketika satuan polisi mengejar nelayan dan berhasil mendekati, kesulitan lain muncul berupa ancaman dari nelayan untuk
meledakkan kapal polisi jika berani mendekat. Yang memprihatinkan lagi sumberdaya manusia dari instusi pengawasan sangatlah menyedihkan Hidayati,
2000. Jagawana Laut yang pernah saya temui di kawasan Taman Laut Nasional
Wakatobi di Provinsi Sulawesi Tenggara Zaelany dan Nawawi, 2002 bukanlah orang yang dididik untuk bidang kelautan. Mereka adalah pegawai-pegawai
Departemen Kehutanan dan banyak dari mereka adalah lulusan sekolah kehutanan atau sejenisnya yang tidak berhubungan dengan masalah laut. Bahkan untuk
berenang pun banyak yang belum bisa dan baru belajar karena tugas. Lebih memprihatinkan lagi mereka tidak dipersenjatai. “Senjata kami ya baju seragam
ini”. Mereka hanya punya baju seragam sebagai petugas. Kalau orang melawan dengan berbekal senjata, maka mereka tentu akan berpikir-pikir untuk
melanjutkan tindak pengawasan tersebut. Para petugas ini seringkali digertak akan dibom kalau terus mengejar para pelaku kenelayanan destruktif sebagaimana
yang dituturkan para petugas tersebut kepada kami Soetopo dan Sumono, 2002; Zaelany dan Nawawi, 2002 Sesungguhnyalah kapasitas kelembagaan
pengawasan yang buruk merupakan kunci pembuka jalan bagi berlangsungnya destructive fishing.
Begitulah akhirnya si nelayan menerapkan kenelayanan yang tidak ramah lingkungan. Dia menyadari bahwa perbuatannya tidak baik untuk kelestarian
lingkungan. Bila ditanya kadang-kadang dia berkilah bahwa laut akan segera pulih dari kerusakannya, dan ikan selalu ada sebagai rejeki dari Tuhan. Kalau sudah
kiamat baru ikan habis Pet-Soede dan Erdman, 1998. Dalam menjalankan kenelayanan destruktif ini risikonya bukanlah kecil.
Dia harus kucing-kucingan dengan petugas keamanan seperti Polisi, Polairud, dan Angkatan Laut. Kalau tertangkap dia harus membayar denda uang yang
jumlahnya cukup besar, atau memberikan uang suap bribery, dan kemungkinan lain adalah masuk penjara. Belum lagi risiko kecelakaan dalam menggunakan
teknologi yang tidak ramah lingkungan tersebut, misalnya bom ikan sudah meledak sebelum sempat dilemparkan sehingga tangannya putus atau tubuhnya
terbakar Zaelany, 2003.
Gambar 3 Rangkaian faktor penyebab nelayan melakukan praktek kenelayanan destruktif
Miskin Terlilit
hutang
Paksaan SaranaPrasarana
Pengawasan Kurang
Corrupt Police
Illegal trade bahan
destruktif
Ketergantungan kepada Pemilik
Modal Demand
Tinggi Aspirasi
Hidup Lebih Baik
Pendapatan rendah
Pendidikan rendah
Harga kebutuhan sehari-hari naik
terus
Konsumtif “Godaan”
dari Pembeli
Kompetitor meningkat
Alat tangkap
tidak produktif
Akses terhadap
SDL terbatas
Pungutan makin
tinggi
Destructive fishing
Biaya operasional
tinggi
2.9 Asumsi penelitian Asumsi pertama yang mendasari studi ini adalah bahwa nelayan melakukan