FGD juga dilakukan secara intensif pada pertemuan para pihak di Paotere yang dihadiri oleh para Punggawa Pa’es, penegak hukum dan aparat pemerintah. Hal
yang sama juga dilakukan FGD di pengadilan negeri Makassar dengan para hakim yang pernah mengadili perkara nelayan pengguna teknologi destruktif dan pada
saat pembentukan koperasi Ata Matuna di marine station Unhas.
3. Wawancara semistruktural diterapkan untuk mengumpulkan data-data
dengan diawali menyusun topik-topik yang akan menjadi panduan dalam wawancara guidance quesioner. Dari topik-topik yang fleksibel itu disusunlah
pertanyaan-pertanyaan yang sifatnya tidak kaku, bisa berubah tergantung situasi pada waktu wawancara. Misalnya untuk memperoleh informasi tentang
pandangan masing-masing stakeholder terhadap fenomena nelayan pengguna teknologi perusak, maka disusunlah sejumlah topik besar : 1 pengetahuan mereka
tentang sejarah kenelayanan yang menggunakan teknologi perusak di Pulau Barrang Lompo dan Provinsi Sulawesi Selatan pada umumnya, 2 perdagangan
ilegal material teknologi destruktif, 3 praktek penggunaan teknologi perusak, 4 hukum dan pengawasan, 5 solusi. Dari topik-topik besar itu disusunlah sejumlah
pertanyaan yang sifatnya fleksibel tergantung situasi lapang.
4. Pendekatan ethnoscience diterapkan untuk memahami perspektif lokal
dengan menerapkan interview etnografi untuk memperoleh sejumlah taksonomi pengetahuan lokal, khususnya tentang strategi adaptasi, etika kelautan dan
pengetahuan kelautan, yang tentu saja sifatnya folk knowledge bentuknya bisa berbeda dengan scientific knowledge D’Andrade, 1995; Goodall 2000; Putra,
1997; Spradley, 1979. Dengan menggunakan metode ini akan dipahami need dan concern serta pengetahuan lokal dari komunitas di Pulau Barrang Lompo.
Adapun jumlah informannya tidak dibatasi, akan tetapi sebanyak mungkin dengan memprioritaskan sejumlah key informants.
Metode etnosain yang kami ambil dari disiplin Antropologi akan bermanfaat untuk menyusun sejumlah taksonomi pengetahuan yang ada pada
nelayan dan kelompok masyarakat lain di pulau tempat kami melakukan riset ini
kajian multistakeholder. Caranya adalah dengan menerapkan interview
etnografi untuk memperoleh pemahaman emic nelayan-nelayan dan kelompok masyarakat lain perspektif lokal tentang lingkungan sekitar mereka, khususnya
lingkungan kehidupan laut. Asumsi yang dipakai disini adalah lingkungan fisik yang kita lihat sehari-hari akan dipahami berbeda antara satu orang dengan orang
lainnya perceived environment. Pemahaman yang berbeda tersebut akan menuntun seseorang untuk bersikap dan berperilaku yang berbeda dari orang lain
pada lingkungan yang sama. Pemahaman yang berupa pengetahuan seseorang tentang lingkungan
sekitarnya akan menjadi obyek yang akan dicari dalam menerapkan metode ini. Pengetahuan-pengetahuan lokal yang apabila sudah diperoleh akan disusun dalam
bentuk taksonomi-taksonomi pola ideal. Walaupun pengetahuan tersebut bukan merupakan satu-satunya motivasi seseorang untuk berperilaku tertentu, namun
dengan memahami pengetahuan lokal tersebut akan membantu kita memahami bagaimana seandainya kita berada di komunitas tersebut harus berperilaku apa
yang “tepat”. Jenis-jenis pengetahuan lokal yang hendak dicari diantaranya adalah
seperti kategori stock assessment, spesies target, jenis teknologi, rute pencarian ikan, pola umum pembagian kawasan laut menurut tata guna lahan tradisional,
kalender pencarian ikan, kategori nelayan-nelayan lain competitors,interaksi dengan stakeholder lain dan lain-lain. Selama ini kita memakai kategori
berdasarkan perspektif kita atau pemerintah ethic dan seringkali melupakan bahwa komunitas lokal juga memiliki sistem pengetahuan tersendiri tentang
lingkungannya. Bahkan untuk kelautan, pengetahuan yang kita miliki seringkali terbatas seperti ketepatan data stock asssessment. Kalau kita mempunyai data
perspektif lokal tentang stock assessment mungkin akan sangat membantu dalam penyusunan policy.
Analisis data untuk menyimpulkan perspektif stakeholder mengikuti langkah-langkah pendekatan Etnosain, sbb.: 1 memberikan pertanyaan-
pertanyaan deskriptif, 2 membuat analisis domain atas jawaban-jawaban responden, 3 mengajukan pertanyaan-pertanyaan terstruktur, 4 membuat analisis
taksonomi berdasarkan jawaban, 5 kemudian mengajukan pertanyaan-pertanyaan kontras, 6 membuat analisis komponensial, 7 membagi atas tema-tema kultural
jawaban responden
Contoh penggunaan etnosains terhadap informasi di lapang Contoh 1 : Hasil FGD dari penelitian di Pulau Barrang Lompo
Peneliti : Apa benar bom ikan itu merusak laut ? Kok polisi maupun pemerintah selalu
bilang sulit mengatasi pelanggaran ini ? Bngy : ”menyetop pemboman dalam sehari saja bisa” stop barang-barang itu
seperti lopis dan pupuk. Pemerintah ternyata membuka terus gudang pupuk dan kepolisian membiarkan terus lopis keluar.
Rn
: Kalau orang ngebom, akan datang ikan-ikan untuk makan ikan-ikan
kecil yang mati, yang berarti akan makin banyak ikan sehingga orang lain dari pulau terdekat bilang ambil-ambil saja, sebaliknya potasa akan menyebabkan
karang dan tanaman serta makanan ikan mati bahkan juga anak-anak ikan, warna karang jadi putih sehingga seringkali orang yang melakukan potasa akan dikejar-
kejar dengn parang. Contohnya kemaren, beberapa nelayan PBL marah karena perairan di sekitar Barang Caddi dan Bonetambung dipenuhi dengan potasa. Potas
bagi mereka jahat sekali Catatan : hasil dari FGD ini di cross-check ke sejumlah penduduk lainnya.
Hal Persepsi Nelayan
Menghentikan bom ikan Mudah
Apa merusak SDL ? Tidak merusak SDL
Indikator tidak merusak Setelah ngebom, justru
datang ikan-ikan Teknologi yang paling
destruktif Potasa potasium sianida
Sumber : hasil fieldwork penulis, 2005 3.7 Cara masuk ke masyarakat
Proses masuk ke masyarakat dengan mengerjakan beberapa hal penting. Pertama, ’pendekatan keluarga’, yaitu kita harus punya keluarga yang tinggal di
pulau tersebut atau punya ’keluarga angkat’ yang masyarakat identikan kita sebagai bagian dari keluarga tersebut. Pendekatan keluarga ini merupakan cara
paling efektif agar bisa diterima masyarakat dan masyarakat bersedia memberikan informasi-informasi rahasia kepada kita. Hal ini nampaknya cara utama dan
prasyarat utama apabila kita ingin memperoleh informasi-informasi yang dirahasiakan penduduk di provinsi Sulawesi Selatan. Tanpa cara pertama ini
rasanya mustahil kita bisa memperoleh informasi-informasi yang dibutuhkan untuk kelengkapan penelitian kita.
Kedua, pemberian ’barang perkenalan’. Cara ini biasa digunakan orang untuk masuk ke dalam masyarakat yang terasing, misalnya suku-suku di Irian
Jaya, bisa digunakan garam dan tembakau sebagai ’barang perkenalan’.
Pemberian foto merupakan cara untuk cepat mengakrabkan diri kita dengan penduduk Pulau barrang Lompo. Foto yang dimaksud adalah foto-foto
pendudukresponden yang kita buat. Dengan menggunakan kamera digital memudahkan saya membuat foto-foto informan dan memberikan hasilnya kepada
mereka. Cara ini ternyata efektif dalam menciptakan keakraban kita dengan mereka.
Ketiga, ikut aktif dalam kegiatan kemasyarakatan, misalnya mengurus pernikahan, acara tujuh belasan, panitia pembentukan koperasi Ata Matua dan
lain-lain. Menjadi panitia merupakan salah satu cara agar kita identik sebagai bagian dari masyarakat.
Sebenarnya ada satu cara lagi yang cukup penting untuk dilakukan, yakni ’main kartu’, suatu permainan yang menjadi kegemaran penduduk pulau itu
bahkan menjadi kegemaran penduduk provinsi Sulawesi Selatan pada umumnya. Hal ini tidak saya lakukan karena keterbatasan keterampilan dalam bermain kartu.
3.8 Tahap awal riset