Perumusan masalah Kerangka berpikir

Etika di sini bermakna dua, yakni sebagai kumpulan pengetahuan nilai perbuatan manusia dan predikat untuk membedakan dengan perbuatan lain Budimanta dan Rudito, 2003. Isi dari etika akan berbeda antara satu komunitas dengan kebudayaannya sendiri dengan komunitas lainnya dengan kebudayaannya yang lain. Salah satu contoh adalah masalah pengeboman di Bali yang menewaskan lebih dari seratus orang pada suatu klab malam. Pada satu sisi, pengeboman tersebut melanggar etika karena mengambil nyawa orang lain, tetapi pada sisi lain tidak melanggar etika karena dianggap klab tersebut aktivitas tidak baik orang bermabuk-mabukan, narkoba, zinah. Pertentangan kedua nilai yang berbeda ini sangat dipengaruhi oleh lingkungan yang sedang mendominasi pada ruang dan waktu, sehingga dapat dikatakan bahwa pembicaraan etika merupakan pembicaraan prinsip-prinsip pembenaran. Isi etika pada dasarnya akan dipengaruhi oleh adanya persepsi manusia terhadap lingkungannya dan menjadi bagian dalam sistem persepsi yang ada yang merupakan simbol-simbol penyaringan dari pra tindakan untuk menjadi suatu tindakan Budimanta dan Rudito, 2003. Dengan memahami pengetahuan lokal kita akan memahami etika lingkungan yang melatarbelakangi suatu tindakan. Selain itu, sangat penting pula dilakukannya penelitian tentang hubungan kerja di masyarakat nelayan, yang dimulai dengan memahami pengetahuan lokal nelayan destructive fishing dan pola tindakannya. Setelah memahami pengetahuan lokal nelayan, khususnya tentang variabel-variabel kelautan dan interaksinya dengan para pihak, lalu memahami pola tindakannya untuk menyusun format pemanfaatan sumber daya perikanan berkelanjutan.

1.3 Perumusan masalah

Studi ini akan mengeksplorasi kemungkinan perubahan perilaku nelayan pengguna teknologi destruktif di Pulau Barrang Lompo menjadi nelayan yang menerapkan prinsip-prinsip perikanan berkelanjutan, dengan cara mengidentifikasi mengapa praktek penggunaan bom ikan ini berlangsung bertahun-tahun dan mencoba menyusun strategi pemberdayaan untuk memungkinkan terjadinya perubahan tersebut.

1.4 Kerangka berpikir

Kalangan teoritisi sumberdaya alam berpendapat bahwa orang akan cenderung mengeksploitasi secara berlebihan terhadap sumberdaya alam yang bisa diperbaharui renewable resources, ketika mereka kekurangan informasi yang dapat dipercaya tentang sumberdaya tersebut, kekurangan informasi tentang masa depan sumberdaya tersebut dan kekurangan informasi tentang siapa-siapa saja yang memanfaatkan sumberdaya tersebut. Ostrom 1990 1 mengemukakan pendapatnya tentang hal itu, sebagai berikut : “Appropriators who are uncertain whether or not there will be sufficient food to survive the year will discount future returns heavily when traded off against increasing the probability of survival during the current year. Similarly, if a CPR can be destroyed by the actions of others, no matter what local appropriators do, even those who have constrained their harvesting from a CPR for many years will begin to heavily discount future returns, as contrasted with present returns.” Bahkan jika mereka mempertimbangkan implikasi jangka panjang dari tindakan mereka umumnya jarang, orang akan berusaha untuk mengeksploitasi lebih sumberdaya ketika mereka yakin bahwa usaha untuk memelihara sumberdaya atau setidaknya mengurangi tingkat eksploitasi akan tidak ada timbal baliknya. Ketidakpastian hasil merupakan sifat dari usaha kenelayanan, yakni kesulitan mereka untuk memprediksi berapa banyak ikan yang berarti berapa banyak penghasilan akan diperoleh hari ini. Hal itu memberikan pendorong insentif kuat bagi mereka untuk menangkap ikan sebanyak mungkin, karena mungkin di lain waktu kompetitor yang lain akan mengambil ikan-ikan tersebut. Ketidakpastian ini uncertainty merupakan insentif yang mendorong mereka untuk berinvestasi dalam tenaga kerja dan teknologi yang diharapkan akan mengurangi resiko dan ketidakpastian. Salah satu contoh bentuk investasi tersebut adalah penggunaan teknologi destruktif unfriendly technology, destructive technology yang ditengarai merusak ekosistem laut. 1 Saya kehilangan copy buku tersebut, sehingga tidak dicantumkan dalam daftar pustaka Perbaikan lingkungan yang sudah rusak di masa lalu dengan banyak melakukan kajian-kajian yang bersifat fisik-biologis ataupun ekonomi. Namun beberapa tahun terakhir ini orang sudah mulai memperhatikan dimensi manusia atau aspek sosial budaya dalam kerusakan lingkungan tersebut dan upaya perbaikannya. Perhatian terhadap dimensi manusia di sini tidak pelak lagi berupa memahami kebudayaan. Menurut Goodenough 1964 2 kebudayaan adalah : ”...whatever it is one has to know or believe in order to operate in a manner acceptable to its members, and do so in any role that they accept for any one of themselves. Culture, being what people have to learn as distinct from their biological heritage must consist of the end product of learning knowledge…”. Kebudayaan di sini berarti memaparkan sistem pengetahuan yang ada pada suatu kelompok atau masyarakat. Oleh karena sangat banyaknya pengetahuan- pengetahuan tersebut, maka biasanya orang akan membatasi diri pada bidang tertentu saja dari sistem pengetahuan lokal itu. Pendekatan yang dipakai oleh para ahli ilmu sosial dalam memahami pengetahuan lokal ini adalah dengan mencoba mengungkapkan berbagai macam klasifikasi yang ada pada suatu kebudayaan. Klasifikasi ini penting bagi manusia sebab dengan cara ini dia berhasil menciptakan keteraturan order atas situasi di sekelilingnya dan bisa mewujudkan perilaku yang adaptif. Melalui sistem klasifikasi inilah kita kemudian akan dapat memahami berbagai tingkah laku warga suatu masyarakat yang kita amati. Memahami disini berarti kita dapat menjelaskan hubungan antara tindakan satu dengan yang lain, serta hubungan kausalitas yang ada di situ. Dalam kaitannya dengan perusakan lingkungan laut, perlu dikaji pengetahuan lokal yang berkaitan dengan strategi adaptasi dan pengetahuan lokal yang berkaitan dengan ekosistem laut. Kajian pengetahuan lokal, apalagi dengan format studi etnografis, seringkali mengesankan sebagai potret sesaat synchronic. Contoh aktual adalah penggambaran kebudayaan-kebudayaan di Indonesia oleh Koentjaraningrat 1985. Untuk mengatasi kesan ini, diuraikan pula dinamika ekologi maupun ketenagakerjaan yang ada di masyarakat Pulau Barrang Lompo, sehingga terlihat 2 Saya kehilangan copy buku itu, sehingga tidak dicantumkan dalam daftar pustaka paparan perubahan-perubahan lingkungan maupun perubahan sosial yang terjadi pada masyarakat di pulau itu dyachronic. Paparan perubahan sosio ekologi diuraikan bersamaan dengan menguraikan aspek-aspek ketenagakerjaan dan uraian tersebut terdapat pada Bab 4, 5 dan 6. Banyak ahli mencermati kasus-kasus perusakan lingkungan dengan memperhatikan strategi adaptasi dari komunitas yang menggunakan sumberdaya lingkungan tersebut, diantaranya J.W.Bennet yang dikutip oleh Whitten dan Whitten 1972. Menurutnya strategi adaptasi adalah pola-pola yang dibentuk oleh berbagai penyesuaian yang direncanakan oleh manusia untuk mendapatkan serta menggunakan sumberdaya-sumberdaya dan untuk memecahkan masalah yang langsung mereka hadapi. Penyesuaian disini barangkali akan lebih tepat bila diartikan sebagai kegiatan atau tindakan, atau mungkin usaha. Dari konsep strategi adaptasi lingkungan di atas setidaknya tercakup dua proses usaha, yakni proses produksi dan proses penjualan. Proses produksi adalah suatu proses menghasilkan sesuatu yang dalam hal kenelayanan berarti usaha penangkapan ikan. Di masa lalu ikan tersebut mungkin diperjualbelikan dengan cara penukaran exchange. Di masa sekarang nelayan cenderung menjual ikannya dengan tujuan memperoleh uang. Uang yang diperoleh akan bermanfaat bagi nelayan untuk membeli barang-barang kebutuhan hidup mereka. Menurut Vayda dan McCay 1975 proses adaptasi sebagai suatu bentuk respon terhadap perubahan sosial maupun fisik bersifat temporer, sehingga bentuk strategi adaptasi juga bersifat temporer. Adapun pengetahuan tentang ekosistem laut di sini perlu dipahami beda antara folk knowledge dan scientific knowledge. Klasifikasi tentang ekosistem laut sebagaimana yang dipahami oleh masyarakat mungkin saja akan berbeda dengan klasifikasi sebagaimana yang dipahami oleh kaum akademisi, misalnya ketidaklengkapan spesies dalam suatu klasifikasi pada folk knowledge atau perbedaan teknis membuat klasifikasinya. Jenis-jenis pengetahuan lokal yang hendak dicari diantaranya adalah seperti kategori stock assessment, spesies target, jenis teknologi, rute pencarian ikan, pola umum pembagian kawasan laut menurut tata guna lahan tradisional, kalender pencarian ikan, kategori nelayan-nelayan lain competitors, klasifikasi hubungan dengan para pihak dan lain-lain. Oleh karena kajian ini berorientasi multistakeholder, maka perspektif pihak lain juga menjadi bagian penting dari studi ini, tidak hanya sekedar mengamati pengetahuan lokal dan tindakan nelayan. Pendekatan ‘pascastrukturalis dalam masalah pelarangan bom ikan ini menjadi acuan kami. Sesungguhnya pembentukan Daerah Perlindungan Laut, pelarangan penggunaan bom ikan, Penentuan Taman Laut bisa ditelaah dengan pendekatan ’pascastrukturalis’, yaitu melihat kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh pemerintah ataupun lembaga lain berakibat termarjinalisasinya komunitas lokal Forsyth, 2003. Artinya, kebijakan itu dibuat dengan tanpa mempertimbangkan kesejahteraan masyarakat lokal. Pendekatan pasca-strukturalis memang relatif baru. Beberapa buku dan jurnal dalam ekologi-politik sudah mulai banyak menggunakan pendekatan ini. Orang melirik pendekatan itu karena kenyataan banyak program pelestarian lingkungan di dunia ketiga tidak semata berhadapan dengan masalah degradasi lingkungan, tetapi juga marjinalisasi masyarakat lokal. Hal ini terjadi karena adanya asumsi bahwa kemiskinan sebagai akar persoalan lingkungan. Dalam perspektif ini mitos bahwa orang miskin merupakan perusak lingkungan telah dianggap kurang memadai. Prinsip yang baru bahwa sebenarnya masyarakat lokal pun punya adaptasi lingkungan yang dengan caranya sendiri melakukan perbaikan terhadap degradasi lingkungan tentang apa yang disebut local wisdom, the second round of common property. Pemikiran yang mulai dibangun dalam perspektif ini adalah bahwa secara umum si kaya akan menggunakan lebih banyak sumberdaya dan berdampak jauh lebih besar dibandingkan si miskin Forsyth, 2003. Berangkat dari pemikiran ini, eksploitasi sosial di masyarakat nelayan menjadi sangat penting untuk dikaji. Contoh kasus program pengelolaan kawasan konservasi, taman nasional, daerah perlindungan laut, dan pelarangan penggunaan bom ikan yang seringkali menyebabkan konflik sosial karena kontraproduktif dengan upaya kesejahteraan masyarakat lokal. Pemahaman terhadap modal sosial yang dimiliki masyarakat sangat penting dalam rangka mencari solusi atas masalah yang ada. Komunitas nelayan Pa’es bertahun-tahun merupakan suatu masyarakat yang berada dalam kondisi selalu menyimpan rahasia, karena pekerjaannya ilegal dan melanggar hukum. Di kalangan pemerhati modal sosial komunitas semacam ini dikenal sebagai bond group, dengan ciri khas utama adalah rendahnya trust terhadap orang luar sebagaimana yang diungkapkan oleh Portes 1998. Pendekatan yang dilakukan dalam rangka mencari solusi untuk menghentikan destructive fishing, seharusnyalah dilakukan dengan ’ramah’, bukan dengan sikap- sikap yang destruktif sekedar menjelek-jelekkan dan menyalah-nyalahkan nelayan. Modal sosial yang dipunyai masyarakat seperti Punggawa, etos kerja yang tinggi, solidaritas kuat, dan lain-lain bisa dimanfaatkan dalam rangka menghentikan penggunaan bom ikan sebagai alat tangkap. Selama ini program konservasi yang menyebabkan marjinalisasi masyarakat lokal tersebut bersifat sentralistik. Sudah saatnya dalam era otonomi daerah ini masyarakat lokal diberi ruang yang cukup untuk partisipasi. Perlindungan terhadap masyarakat lokal, serta hadirnya organisasi rakyat yang kuat sangat diperlukan. Perlindungan dapat dilakukan melalui mekanisme reformasi hukum pengelolaan sumberdaya alam, penguatan institusi lokal capacity building, maupun rekonstruksi ilmu pengetahuan transdisipliner yang berbeda dengan multi maupun interdisipiliner-- yang dapat menjadi dasar bagi kebijakan sumberdaya alam yang lebih adil. Sehingga tidak saja keramahan ekologis yang tercipta, tetapi juga keramahan sosial. Selama ini ‘pendekatan moral’ yang banyak dipakai dengan menggunakan mitologi, adat-istiadat, etika lingkungan, peraturan pemerintah dll; pendekatan ‘rasional’ masih kurang dikembangkan untuk upaya-upaya peningkatan kesejahteraan penduduk. Sepatutnya kedua pendekatan tersebut dipakai dalam bentuk saling melengkapi complement. Gambar 1 Alur berpikir penelitian perubahan perilaku nelayan menjadi pelaku perikanan yang berkelanjutan Catatan : DF = destructive fishing, NDF = non-destructive fishing Permintaan pasar Antisipasi nelayan pola tindakan DF Perubahan DF ke NDF Pengetahuan lokal : • etika lingkungan • strategi adaptasi • pengetahuan kelautan Interaksi eksploitasi stakeholder yang lain fasilitasi Saranstrategi transformasi • cara pandang multistakeholder • insentif • resiko • modal sosial Mata pencaharian alternatif Penegakan hukum Pendidikan lingkungan Tindakan nelayan, baik untuk melakukan kenelayanan destruktif maupun kenelayanan yang berkelanjutan, ditentukan oleh 4 faktor kunci Gambar 1. Faktor pertama merupakan pendorong eksternal nelayan melakukan tindakan, yaitu cara pandang para stakeholder lain terhadapnya, insentif yang merangsang nelayan untuk melakukan tindakan, tingkat risiko atau konsekuensi yang akan diterima nelayan atas tindakannya, dan modal sosial yang merupakan perangkat atau tatanan yang melandasi tindakan nelayan. Faktor-faktor lainnya adalah mata pencaharian alternatif, penegakan hukum, dan pendidikan lingkungan. Jika keempat faktor kunci ini bersifat lemah, nelayan dan berbagai pihak lain akan mendukung berlangsungnya kenelayanan destruktif. Faktor kunci disebut lemah jika: 1 cara pandang para pihak yang tidak mempedulikan lingkungan laut rakus, dukungan komunitasnya untuk melakukan kenelayanan destruktif, risiko rendah dalam menerapkannya dan lemahnya modal sosial, 2 kurang atau tiadanya matapencaharian alternatif yang penghasilannya memadai atau sama dengan hasil kenelayanan destruktif termasuk juga tiadanya teknologi alternatif yang ramah lingkungan, 3 lemahnya pengawasan dan buruknya proses hukum, 4 sempitnya pengetahuan kelautan dan kelestarian lingkungan. Di sisi lain, dalam kehidupannya, nelayan melakukan antisipasi, misalnya terhadap permintaan pasar. Antisipasi tersebut berbasiskan pengetahuan lokal yang dimilikinya. Antisipasi ini terwujud biasanya dengan dukungan sejumlah pihak lain yang memberikan fasilitas, baik permodalan, biaya operasi, pengadaan peralatan, hingga jaringan pemasaran ikan yang ditangkap nelayan di tengah laut. Dengan demikian, praktek kenelayanan yang destruktif menjadi semakin langgeng jika keempat faktor kunci di atas bersifat lemah. 1.5 Tujuan Penelitian ini memiliki dua tujuan utama yakni : 1. Mengidentifikasi sebab-sebab mengapa nelayan Pulau Barrang Lompo melakukan praktek destructive fishing dengan alat tangkap bom ikan bertahun- tahun lamanya. 2. Menyusun strategi pemberdayaan untuk mengubah praktek destructive fishing menjadi sustainable fishing .

1.6 Manfaat penelitian