5. 1 Pengaruhnya terhadap para pengelola perikanan

Gambar 15 Implikasi perbedaan pendapat

7. 5. 1 Pengaruhnya terhadap para pengelola perikanan

Pengelolaan perikanan bertujuan agar nelayan dapat memperoleh hasil tangkapan secara berkesinambungan dan kondisi sumberdaya laut lestari. Obyek yang dikelola adalah manusianya atau masyarakat yang menjadi pengguna sumberdaya laut Nikijuluw, 2002. Perbedaan pendapat bisa terjadi bila terdapat pemahaman yang berbeda terhadap perilaku yang berdampak pada sumberdaya laut. Faktor pengetahuan yang kurang terhadap laut dan kegiatan di atasnya akan menimbulkan perbedaan pendapat. Pihak penegak hukum dan pengelola perikanan yang kurang pengetahuan tentang kegiatan laut akan dengan mudahnya melakukan stigmatisasi bahwa nelayan pengguna bom ikan perusak lingkungan dan serakah greedy. Interaksi yang muncul terhadap nelayan adalah negatif, artinya tidak bersahabat dan penuh stereotip yang menganggap nelayan serba jelek, seperti bodoh, membangkang, serakah, mau mudahnya mencari nafkah, merusak lingkungan, tidak peduli nasib anak cucu di kemudian hari, dan lain-lain. Respon dari nelayan tentunya juga akan cenderung menganggap pihak- pihak lain serba jelek juga, seperti pemerintah tidak memperhatikan nasib nelayan, Penegak Hukum Pemanfaat Perikanan Pengelola Perikanan Fenomena Nelayan Bom Ikan penegak hukum hanya mencari uang suap alias korupsi, pemerintah dan penegak hukum hanya memperkaya diri dengan memeras nelayan, dan lain-lain. Suasana yang kontradiktif ini tidak akan memungkinkan pengelolaan perikanan berjalan dengan baik. Peraturan-peraturan yang datang dari atas tidak akan diperhatikan dan tindakan-tindakan hukum yang tegas akan dijawab dengan sikap ’kucing-kucingan’, di depan penegak hukum bersikap patuh, begitu penegak hukum tidak ada mereka akan melanggar atau menggunakan teknologi destruktif untuk menangkap ikan. Sikap semacam ini akan mendorong perusakan lingkungan secara besar-besaran sebagaimana yang terjadi selama ini.

7.5.2 Pengaruhnya terhadap para penegak hukum

Profesional capability yang kurang pada penegak hukum dalam hal mengatasi fenomena penggunaan alat tangkap ikan destruktif. Kurang kapabilitas di sini dalam banyak hal, baik pada tingkat pengetahuan, sarana dan prasarana untuk pengawasan, dan dana. Penghasilan mereka yang rendah bahkan sebagian harus tinggal di pulau-pulau kecil jauh dari keluarga dan kesulitan dana untuk melakukan tugas pengawasan karena keterbatasan sarana dan prasarana yang tidak jarang menyebabkan mereka mengalami profesional liability tidak bisa menjalankan tugasnya. Penegakan hukum menjadi semakin sulit terwujud, tidak hanya karena sikap pemanfaat perikanan yang berani melanggar hukum, tetapi karena ulah para penegak hukum yang dicap para pemanfaat perikanan sebagai telah melakukan korupsi. Sementara itu sebagian penegak hukum bersikap bahwa sudah sewajarnya memungut uang dari para pengguna teknologi destruktif karena melanggar hukum. Selain itu, tindakan memungut uang denda ini lebih ringan dibandingkan menangkap mereka dan memasukkan ke penjara. Faktor sosialisasi peraturan dan undang-undang tentang perikanan yang sangat kurang kepada para pihak, baik kepada pemanfaat perikanan, pengelola perikanan bahkan juga ke penegak hukum. Nelayan tidak tahu apakah penggunaan teknologi perusak ini adalah pidana yang berarti harus masuk penjara, ataukah bukan pidana, hanya sanksi berupa denda. Penegak hukum juga selama ini hanya mendakwa nelayan dengan undang-undang pemilikan senjata api. Lemahnya sosialisasi hukum juga merupakan faktor penting yang menyebabkan maraknya destructive fishing. Usaha-usaha konservasi dengan membuat aturan-aturan pengelolaan baik pada tingkat desa maupun tingkat-tingkat di atasnya seringkali malah menimbulkan konflik antar nelayan yang bisa menimbulkan konflik berdarah. Sosialisasi yang kurang dan penegak hukum yang tidak wibawa menjadi masalah pokok.

7.5.3 Pengaruhnya terhadap para pemanfaat perikanan

Profesional responsibility tidak berjalan baik, khususnya pada penegak hukum dan pengelola perikanan. Justru sebaliknya, para pemanfaat perikanan memiliki profesional responsibility yang memadai. Mereka melakukan pekerjaan dengan sebaik mungkin untuk memperoleh hasil yang terbaik. Ada faktor eksternal yang menyebabkan para pemanfaat perikanan kukuh untuk melangsungkan pekerjaan nelayan bom ikan. Faktor eksternalnya ada beberapa : 1 kebijakan pemerintah yang berorientasi ke darat, sehingga tidak pernah bersungguh-sungguh mengatasi masalah ini; 2 kebijakan pemerintah yang bersifat ’tebang-pilih’, berusaha menghentikan nelayan pengguna teknologi destruktif, tetapi memberi ijin kepada perusahaan ikan hias dan pengambilan karang untuk akuarium ada 2 perusahaan di PBL, serta membiarkan kapal-kapal besar yang dikatakan nelayan sebagai kapal-kapal asing yang juga menggunakan teknologi destruktif social injustice ; 3 tidak memberikan alternatif yang jelas kepada para pemanfaat perikanan kalau usaha kenelayanan tersebut dihentikan. Sikap penegak hukum dan pengelola perikanan yang digambarkan oleh para pemanfaat perikanan sebagai ’terlibat aktif’ dalam perdagangan ilegal material bom maupun penangkapan ikan dengan cara destruktif telah melunturkan kepercayaan masyarakat terhadap hukum. Hukum tidak ada lagi wibawanya dalam pandangan mereka. Hukum bisa dibeli dengan uang. Keperluan mencari nafkah bagi keluarga menjadi pedoman yang paling penting. Apalagi didukung oleh kultur yang berprinsip bahwa merupakan ’siri ’ bagi mereka bila tidak berhasil dalam mencari nafkah untuk menghidupi keluarga menimbulkan malu yang amat dalam. Itulah sebabnya mereka mati-matian dalam usaha ekonominya. Dalam pengetahuan mereka yang dilatarbelakangi budaya Bugis-Makassar, penggunaan bom ikan hanya sekedar melanggar hukum, tetapi kegiatan yang melanggar itu terbukti bermanfaat untuk kehidupan keluarga mereka. Kesalahan ini justru masih digolongkan di bawah kategori orang yang minum miras atau pergi ke pelacuran yang diklasifikasikan sebagai kenakalan yang menghambur- hamburkan uang. Barulah disebut kejahatan apabila seseorang sudah melakukan pencurian. Bila hal ini terjadi di dalam operasi penangkapan ikan, orang tersebut akan segera dikeluarkan dari kelompok kerja kapal tersebut. Kategori tertinggi adalah mengganggu perempuan yang merupakan kejahatan yang tidak bisa dimaafkan Siri’na pacce dan seringkali harus ditebus dengan nyawa Moein, 1994. Tertinggi mengganggu perempuan Perbuatan tidak baik Kejahatan mencuri Kenakalan Miras, ke pelacuran Pelanggaran kerja nelayan bom ikan ringan Gambar 16 Tingkatan perbuatan tidak baik Tidak mengherankan bila sampai sekarang usaha kenelayanan dengan menggunakan teknologi destruktif ini berjalan terus. Para pemanfaat perikanan tidak punya pilihan di tengah-tengah krisis ekonomi, harga kebutuhan sehari meningkat, biaya operasi penangkapan ikan melambung, harga ikan yang relatif rendah, maka penggunaan teknologi perusak menjadi pilihan. Bila kondisi open access resources ini berjalan terus akan menyebabkan apa yang dikatakan oleh Garret Hardin 1968 sebagai ’tragedy of the common’.

7.5.4 Perlunya common understanding

Berbagai pertemuan telah berlangsung antar para pihak, hanya saja perbedaan pendapat terus berlangsung sehingga pertemuan-pertemuan selalu tidak memberikan solusi yang konkrit sebagaimana pertemuan di Paotere. Perbedaan pendapat telah menyebabkan seseorang menyusun stereotip terhadap pihak lain, dan hal ini menyebabkan keengganan masing-masing pihak untuk mencari solusi yang sifatnya kompromis lost – lost solution. Perbedaan pendapat terjadi karena : 1 ketidakpahaman terhadap kerja kenelayanan bom ikan, 2 Sudut pandang yang berbeda, dan 3 kepentingan yang berbeda. Ketidakpahaman terjadi karena kurangnya pengalaman empiris dari aparat pemerintah pengelola perikanan maupun aparat keamanan penegak hukum tentang kenelayanan bom ikan ini. Umumnya kedua pihak ini bekerja di belakang meja arm-chair bureaucrat, kekurangpengetahuan tentang teknologi kenelayanan serta kurangnya pengetahuan kelautan, dan adanya keterbatasan untuk terjun ke masyarakat, seperti karena masalah protokuler dan masalah dana. Sudut pandang yang dipakai pun berbeda. Penegak hukum berdasarkan UU dan instruksi, melihat masalah ini dari sudut keamanan. Sedangkan pengelola perikanan melihatnya dari sisi ’anggapan umum’ bahwa penggunaan bom ikan merusak lingkungan tanpa pernah melihat langsung. Kebijakan populer adalah melarang tanpa memperhitungkan masalah kesejahteraan masyarakat. Kedua, kepentingan yang berbeda diantara ketiga aktor tersebut. Pemanfaat perikanan melihatnya sebagai alat tangkap yang efisien dan terbukti mampu meningkatkan kesejahteraan mereka. Sementara penegak hukum mempunyai kepentingan keamanan dan penertiban hukum dan pengelola perikanan berorientasi pada pelaksanaan kebijakan dari atas. Di balik perbedaan semua itu, penegak hukum memperoleh keuntungan ”cuma-cuma” dari adanya usaha tangkap ikan dengan bom. Penegak hukum memperoleh uang dan ikan dari pemanfaat perikanan. Pengelola perikanan tentu saja sering terbantukan dengan dana-dana sponsor khususnya dari punggawa pa’es pada saat melakukan kegiatan seperti acara 17-an, pembangunan kantor, pelaksanaan program-program lain bahkan sampai kegiatan yang bersifat personal. Upaya mengubah praktek destructive fishing dari nelayan pengguna bom ikan menjadi sustainable fishing dapat dilakukan melalui program community- based management yang umum dilakukan Crawford et al., 2000; Nikijuluw, 2002, seperti penetapan daerah perlindungan laut, pengembangan kegiatan produktif yang ramah lingkungan serta penguatan kelembagaan yang memberi kesempatan para stakeholder untuk berperan secara fair. Prasyarat yang harus dipenuhi terlebih dahulu sebelum menjalankan program-program tersebut adalah para stakeholder harus memiliki persepsi yang sama common understanding tentang jenis alat penangkap ikan, kerusakan sumberdaya alam laut, jenis pelanggaran, dan pemecahan masalah solusi sebagaimana yang telah dikemukakan pada Tabel 7 di atas. Upaya atau program-program untuk mengurangi tekanan kenelayanan destruktif ini akan dibahas selengkapnya pada bab berikutnya, baik berupa program-program pemberdayaan yang sudah pernah diterapkan sebelumnya, kelemahan-kelemahannya dan upaya yang mungkin dilakukan pada komunitas nelayan di pulau ini. 8 OPSI PENANGANAN KENELAYANAN DESTRUKTIF DI PULAU BARRANG LOMPO, MAKASSAR 8.1 Pengantar Tentang apa yang menjadi faktor-faktor penyebab berlangsungnya destructive fishing bertahun-tahun di kalangan masyarakat Pulau Barrang Lompo telah dibahas pada bab 5, bab 6 dan bab 7 dideskripsikan dalam Gambar 17 di bawah. Pada bab 4 telah diuraikan faktor-faktor penyebab berlangsung kenelayanan destruktif pada tingkat pertama, yakni kultur agresif, kemiskinan, konsumtivisme, cultural proud – cultural burden. Faktor penyebab tingkat kedua diuraikan pada bab 6 tentang interaksi yang eksploitatif dari stakeholder lain terhadap nelayan. Sedangkan faktor penyebab ketiga mengapa kenelayanan destruktif eksis bertahun-tahun di Pulau Barrang Lompo adalah karena perbedaan pandangan tentang pekerjaan nelayan pengguna bom ikan itu, khususnya menyangkut kategori teknologi tangkap, jenis pelanggaran, kerusakan lingkungan laut, dan tentang solusi yang telah dipaparkan pada Bab 7. Praktek destructive fishing telah lama berlangsung di Indonesia, dengan masyarakat Pulau Barrang Lompo merupakan salah satu contoh kasusnya, paling tidak setelah mereka mempelajari penggunaan peledak bom untuk menangkap ikan dari tentara Jepang pada tahun 1940-an lihat Lampe, 1997; Pet-Soede dan Erdmann, 1998. Masalah ini semakin memprihatinkan sehingga beberapa proyek khusus dilakukan untuk mengurangi destructive fishing. Sejalan krisis ekonomi yang berkepanjangan, praktek DF berlangsung terus sehingga dampak buruk terhadap lingkungan diperkirakan semakin meningkat lihat Burke et al, 2002. Upaya mengatasi praktek kenelayanan destruktif bisa dilakukan dengan menerapkan sejumlah strategi pemberdayaan masyarakat yang cocok untuk situasi yang ada. Pemberdayaan masyarakat adalah salah satu program yang umum diterapkan sebagai pilihan dalam pembangunan secara lengkap dalam arti menjadikan masyarakat sebagai pelaku pembangunan, bukan semata-mata obyek atau target pembangunan anthromorphism Bartle, 2005. Konsep pemberdayaan masyarakat memiliki konteks lebih mengutamakan kemampuan masyarakat dalam mengembangkan dan mendayagunakan potensi yang dimilikinya untuk menangani permasalahan yang dihadapinya. Potensi utama yang dimiliki mereka adalah pengetahuan, keterampilan, serta kultur yang dimilikinya. Oleh sebab itu, program pemberdayaan masyarakat banyak yang dimulai dengan kegiatan identifikasi potensi masyarakat Adi, 2003; Bartle, 2005. Salah satu kegiatan penting dalam program tersebut adalah mengidentifikasi wawasan dan peningkatan kapasitas melalui berbagai jenis kegiatan yang menambah wawasan, pengalaman, pengetahuan, dan keterampilan, dan sikap. Bab ini bertujuan membahas opsi penerapan sejumlah strategi pemberdayaan masyarakat untuk diterapkan dalam rangka menangani sejumlah isu yang terkait dengan praktek destructive fishing. Hasil kajian ini akan digunakan untuk menentukan strategi pengelolaan isu perikanan yang terjadi di Pulau Baranglompo, Sulawesi Selatan, seperti dijelaskan dalam Bab 4, Bab 5 dan Bab 6. Gambar 17 Faktor Penyebab DF Interaksi eksploitasi Tingkat pertama Fenomena DF Penggunaan teknologi destruktif Perdagangan ilegal material bom Debt working relationship Pseudo working relationship Kultur agresif Cultural proud- cultural burden Sustainable fishing Situasi Ketenagakerjaan Riil Tingkat kedua Beda pendapat multistakeholder Solusi?? konsumti visme kemiskinan Referensi perilaku Tingkat ketiga

8.2 Metodologi