web, 5 Optimasi dan pengembangan sarana dan prasarana pemasaran hasil perikanan hingga ke sentra-sentra konsumen untuk mendukung ketersediaan
ikan dan produk perikanan secara saniter dan higienis, 6 Penguatan dan pengembangan kelembagaan pemasaran hasil perikanan di pasar dalam negeri
dalam bentuk fasilitasi pertemuan dan pembinaan serta pembimbingan melalui kunjungan kerja maupun kunjungan lapangan, serta 7 Memperkuat data, analisa
dan sistem informasi pemasaran hasil perikanan di pasar dalam negeri melalui analisa komoditas perikanan utama, penyusunan Harga Patokan Ikan HPI
untuk penentuan besaran Pungutan Hasil Perikanan PHP, pengembangan data dan
informasi melalui
penerbitan Warta
Pasar Ikan
cetak dan
elektronik, diseminasi harga ikan di radio dan pertemuan petugas informasi pasar.
IX. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN
9.1. Kesimpulan
1. Berdasarkan data Susenas tahun 2008, dapat dikatakan bahwa sebagian
besar penduduk Indonesia di berbagai wilayah lebih banyak mengkonsumsi ikan segar daripada ikan awetan maupun udang.
Konsumsi ikan segar tertinggi adalah wilayah Sulawesi dan Maluku, terendah di Pulau Jawa, baik
di perkotaan maupun perdesaan. Tingkat konsumsi ikan segar dan udang segar di perkotaan
secara umum lebih tinggi daripada di perdesaan, sebaliknya tingkat konsumsi ikan awetan di perdesaan lebih tinggi daripada
di perkotaan di semua wilayah, kecuali Maluku dan Papua.
Tingkat konsumsi udang awetan di perkotaan hampir sama dengan di perdesaan,
sedangkan di wilayah Maluku perdesaan dan perkotaan serta Papua perdesaan tingkat konsumsinya adalah nol.
2. Harga ikan segar di seluruh wilayah Indonesia relatif cukup seragam. Secara
rata-rata, harga ikan segar dan ikan awetan lebih tinggi dibandingkan dengan harga udang segar dan udang awetan.
Harga udang segar dan udang awetan terlihat tidak berbeda jauh, namun variasinya cukup tinggi.
Harga termahal adalah di wilayah Kalimantan Tengah, kemudian Kalimantan Selatan, Bangka Belitung dan Aceh, sedangkan harga terendah adalah di
wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Tengah dan Bali. 3.
Total pengeluaran penduduk Indonesia yang dialokasikan untuk konsumsi makanan sebesar 50.17 persen, hampir sama dengan yang dialokasikan
untuk konsumsi
bukan makanan
yaitu 49.83
persen; dari
alokasi pengeluaran untuk makanan tersebut 7.9 persen diantaranya dialokasikan
untuk konsumsi ikan. Alokasi anggaran untuk ikan di Indonesia paling
banyak digunakan untuk konsumsi ikan segar 55 persen dan ikan awetan 40 persen. Alokasi anggaran yang digunakan untuk konsumsi udang segar
hanya 4 persen, sedangkan untuk udang awetan hanya 1 persen. Pada
kelompok ikan segar, udanghewan air yang segar, dan udanghewan air awetan terlihat bahwa semakin tinggi tingkat pendapatan, semakin besar
pangsa pengeluaran untuk ketiga komoditas tersebut. Sedangkan pada
kelompok ikan
awetan terjadi
sebaliknya, semakin
besar tinggi tingkat
pendapatan semakin rendah pangsa pengeluarannya. 4.
Pendugaan model permintaan dengan model QUAIDS terlihat cukup baik. Dari
ketiga tahap
pendugaan, faktor
kuadratik semuanya
berpengaruh signifikan.
Hal ini menunjukkan bahwa respon pengeluaran panganikan terhadap perubahan pengeluaran pangan tidak linear. Nilai dugaan koefisien
sistem permintaan ikan ikan segar, udanghewan air lain yang segar, ikan awetan,
dan udanghewan
air lain
yang diawetkan
dari tahap
ketiga menunjukkan bahwa semua peubah berpengaruh signifikan terhadap fungsi
permintaan kelompok ikan dengan nilai koefisien determinasi sistem 67.3. Permintaan ikan segar, udanghewan air lain yang segar dan udang awetan
di perkotaan lebih besar daripada di perdesaan dugaan koefisien bertanda positif,
sedangkan permintaan
udanghewan air
lain yang
diawetkan sebaliknya. Peubah jumlah anggota rumah tangga juga berpengaruh positif,
demikian pula dengan dummy wilayah kepulauan semua bertanda positif. 5.
Nilai elastisitas pengeluaran ikan terhadap total pengeluaran pangan untuk semua kelompok pendapatan lebih besar dari dari satu elastis dengan
kisaran 1.7
sampai 3.9;
nilainya semakin
kecil dengan
semakin meningkatnya pendapatan.
Elastisitas pengeluaran kelompok ikan segar bernilai 0.4 sampai 0.5 menunjukkan bahwa ikan segar merupakan barang
kebutuhan neccesity goods bagi rumahtangga di Indonesia. Elastisitas
udang segar, ikan awetan dan udang awetan berkisar dari 1.1 sampai 2.9 menunjukkan bahwa ketiga kelompok ikan tersebut dikategorikan sebagai
barang mewah bagi penduduk Indonesia. 6.
Pada uncompensated own-price elasticity, kelompok ikan segar mempunyai nilai
elastisitas berkisar
dari -0.3
sampai -0.9;
menunjukkan bahwa
komoditas ikan segar tidak elastis terhadap perubahan harga. Udanghewan air lain yang diawetkan nilai elastisitasnya adalah -1 yang artinya bahwa
perubahan harga dalam persentase tertentu akan diikuti oleh perubahan jumlah yang diminta dalam persentase yang sama
dengan arah yang berlawanan. Pada compensated own-price elasticity, kelompok ikan awetan
mempunyai nilai elastisitas yang kurang dari satu, yang menunjukkan bahwa ikan awetan tidak responsif terhadap perubahan harga.
7. Nilai
elastisitas harga
silang menunjukkan
bahwa pada
kelompok pendapatan rendah, ikan segar dan udang awetan bersifat substitusi; ikan
segar dan udang segar bersifat komplemen, demikian juga dengan udang awetan dan ikan awetan.
Pada golongan menengah ke atas secara umum terlihat bahwa diantara komoditas ikan segar, udang segar, ikan awetan, dan
udang awetan tidak saling berkaitan, namun ikan segar dan udang segar
bersifat substitusi. 8.
Total produksi sektor perikanan tahun 2008 sebesar 69.53 kilogramkapita sangat berkecukupan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi dalam negeri
yang hanya sebesar 28 kilogramkapita, namun terlihat bahwa produksi tersebut tidak merata di setiap propinsi di Indonesia. Wilayah Maluku,
Papua, Sulawesi Tenggara, NTT, Kep. Riau dan Bangka Belitung sangat berlebihan, sementara wilayah Pulau Jawa kekurangan.
9. Nilai proyeksi permintaan berdasarkan kondisi riil dengan laju pertumbuhan
pendapatan 5 persen dan laju pertumbuhan harga 3 persen menghasilkan persentase kesalahan relatif MAPE, akar kuadrat tengah galat RMSE dan
persentase akar kuadrat tengah galat RMSPE yang paling kecil, yaitu sekitar 1.24 persen, 0.50 dan 1.82 persen. Pada skenario ini terlihat tingkat
konsumsi ikan per kapita penduduk Indonesia akan mengalami kenaikan dengan laju rata-rata sekitar 4.3 persen per tahun. Jika hasil proyeksi ini
dikaitkan dikaitkan dengan program pemerintah yang mentargetkan
tingkat konsumsi ikan sebesar 38 kgkapita pada tahun 2014 tampaknya hal tersebut belum dapat dicapai, karena nilai proyeksi berdasarkan skenario
ini adalah 36.3 kgkapita. Dengan asumsi elastisitas harga dan pendapatan tetap, maka target tingkat konsumsi ikan sebesar 38 kgkapita pada tahun
2014 dapat dicapai dengan upaya menekan laju pertumbuhan harga menjadi sebesar 2 persen per tahun.
9.2. Implikasi Kebijakan
1. Besarnya peranan ikan dalam pemenuhan kebutuhan protein hewani di
Indonesia dengan distribusi yang tidak merata
mengindikasikan bahwa intervensi
kebijakan di
bidang perikanan
tetap diperlukan.
Kebijakan tersebut
adalah kebijakan
yang berhubungan
dengan pemasaran,
pengembangan saranaprasarana, dan regulasi pemasaran. Tujuannya
antara lain adalah untuk memudahkan konsumen dan pelaku usaha dalam mendapatkan
produk perikanan
yang terjamin
kualitas, kuantitas
dan kontinuitasnya.
2. Mengingat konsumsi ikan penduduk Indonesia didominasi oleh konsumsi
ikan segar
sedangkan berdasarkan
nilai elastisitas
diketahui bahwa
komoditas ikan
segar tersebut
tidak elastis
terhadap harga
maupun pendapatan, maka kebijakan untuk meningkatkan konsumsi ikan yang perlu
dilakukan adalah
kebijakan sosialisasi
dan peningkatan
pengetahuan tentang pentingnya mengkonsumsi ikan melalui penyuluhan, pendidikan,
dan iklan layanan masyarakat seperti yang selama ini dilakukan melalui program Gemarikan.
3. Untuk mencapai target peningkatan konsumsi ikan pada tahun 2014 sebesar
38 kgkapita, maka upaya menekan laju pertumbuhan harga menjadi
sebesar 2 persen per tahun akan lebih baik dibandingkan dengan upaya memacu pertumbuhan pendapatan menjadi 6 persen per tahun.
9.3. Saran untuk Penelitian Lanjutan
1. Penelitian selanjutnya mengenai pola konsumsi dan analisis permintaan
ikan dapat dilakukan dengan data yang terbaru sehingga dapat mengungkap fakta yang lebih aktual dan menangkap perubahan pola konsumsi dan
permintaan ikan di wilayah Indonesia secara lebih jelas. 2.
Penelitian yang akan datang dapat mengunakan model analisis yang lebih komprehensif
dengan mempertimbangkan
rumahtangga nelayan
yang bertindak sebagai produsen sekaligus konsumen.
3. Penelitian
lanjutan juga
dapat dilakukan
dengan penggolongan
produk perikanan, wilayah, maupun kelompok pendapatan yang berbeda, serta
memasukkan peubah
jumlah anggota
rumahtangga dengan
mempertimbangkan komposisi umur, jenis kelamin, dan tingkat pendidikan pada
model permintaan
sehingga akan
memperkaya analisis
terutama dikaitkan dengan upaya pemenuhan konsumsi protein hewani asal ikan.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, N. M. R., A. G. Roslan, and
P. Dwisetia. 1994.
An Almost Ideal Demand System Analysis of Fresh Fish in Semarang, Indonesia. Journal
of International Food and Agribusiness Marketing, 63:19-28. Departemen Kelautan dan Perikanan.
2007. Zat Gizi
Daging, Ikan, Telur. http:www.dkp.go.id
. [12 Juli 2007] Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap.
2009. Statistik Perikanan Tangkap
Indonesia. Departemen Kelautan dan Perikanan.
Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap, Jakarta.
Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya. 2009.
Statistik Perikanan Budidaya Indonesia.
Departemen Kelautan dan Perikanan. Direktorat Jenderal
Perikanan Budidaya, Jakarta. Direktorat
Jenderal Pengolahan
dan Pemasaran
Hasil Perikanan.
2010. Laporan Tahunan. Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil
Perikanan. Kementrian Kelautan dan Perikanan, Jakarta. Ariani, M. dan G. S. Hardono.
2006. Pola Konsumsi Pangan Rumahtangga:
Sebelum dan Pasca Krisis Ekonomi. Prosiding
Seminar Nasional Pangan dan Gizi, Jakarta.
Ariani, M., D. Martianto., dan Y. Baliwati. 2006.
Situasi Ketahanan Pangan di Indonesia. Prosiding Semninar Nasional Pangan dan Gizi, Jakarta.
Asche, F., T. Bjorndal, and D.V. Gordon. 2005.
Demand Structure for Fish in Canada. SNF Working Paper. 3005. Bergen.
Banks, J., R. Blundell, and A. Lewbel. 1997.
Quadratic Engel Curve and Consumer Demand.
The Review of Economics and Statistics, 794: 527-539.
Badan Pusat Statistik. 2002.
Statistik Indonesia. Badan Pusat Statistik,
Jakarta. Camelia L.S., Retnaningsih, dan K. Roosita.
2002. Konsumsi Ikan dan Faktor
Yang Mempengaruhinya Pada Remaja di SMUN 9 Bandung. Media Gizi
dan Keluarga, 261: 106-113. Chen, W, S., I. Kimiko, T. Kiyoshi, and T. Yuki.
2003. Analysis of The Food
Consumption of
Japanese Households.
FAO Economic
and
Development Paper . Food and Agriculture Organization of The United Nations, Rome.
Daud, L. A.
1986. Kajian Sistem Permintaan Makanan Penting di Indonesia:
Suatu Penerapan Model AIDS dengan Data SUSENAS 1981. Tesis
Magister Sains. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor Daud, A. R. 2006. Fleksibilitas Permintaan Pangan Hewani di Indonesia. Tesis.
Magister Sains. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor Dahuri, R.
2004. Peran Pengembangan Kelautan dan Perikanan dalam
Mewujudkan Ketahanan
Pangan dan
Gizi. Prosiding
Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII. LIPI, Jakarta.
Deaton, A. and
J. Muellbauer. 1980.
An Almost Ideal Demand System. American Economic Review, 70:312-326.
Deaton, A. 1998. The Analysis of Household Surveys. John Hopkins University Press, London.
Delgado, C.L. and A. A. McKenna. 1997. Demand for Fish in Sub-Saharan
Africa: The Past and The Future. Naga. 203: 79-82. Delgado, C. L., N. Wada, M. W. Rosegrant, S. Meijer, and M. Ahmed.
2003. Outlook for Fish to 2020: Meeting Global Demand.
International Food Policy Research Institute, Washington, D. C.
Dewan Ketahanan Pangan. 2006. Kebijakan Umum Ketahanan Pangan 2006-
2009. Dewan Ketahanan Pangan RI, Jakarta. Dey, M.
M. 2000.
Analysis of Demand for Fish in Bangladesh. Journal of
Aquaculture Economics and Management, 412:63-81. Dey, M. M., Y. T. Garcia, P. Kumar, S. Piumsombun, M. S. Haque, L. Li, A.
Radam, A. Senaratne, N. T. Khiem, and S. Koeshendrajana.
2008. Demand for Fish in Asia: A Cross Country Analysis.
The Australian Journal of Agriculture and Resource Economics, 52: 321-338.
Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap. 2003.
Strategi Kebijakan Pemenuhan Protein
Ikan dalam
Mendukung Ketahanan
Pangan Nasional.
Departemen Kelautan dan Perikanan, Jakarta. Engel, J.F., R.D. Blackwell, and P.W. Miniard.
1994. Perilaku Konsumen.
Jilid Satu. Edisi Keenam. Bina Rupa Aksara, Jakarta.
Fousekis, P. and B.J. Revell. 2005. Retail Fish Demand in Great Britain and Its Fisheries
Management Implications.
Marine Resource
Economics, 19:495-510.