Konsumsi Produk Perikanan Analysis of demand for fish in indonesia a cross sectional study

perkotaan. Lebih lanjut, hal tersebut juga mengindikasikan semakin meningkatnya kesadaran masyarakat akan pentingnya pemenuhan konsumsi pangan hewani dalam susunan menu makanan. Perkembangan pangsa pengeluaran untuk produk perikanan dan peternakan pangan hewani menurut wilayah desa dan kota disajikan pada Tabel 13 berikut. Tabel 13. Perkembangan Pangsa Pengeluaran Produk Peternakan, Perikanan Terhadap Pengeluaran Pangan Hewani Menurut Wilayah Desa dan Kota Berdasarkan SUSENAS tahun 2002, 2005 dan 2008. Sumber: Susenas2002, Susenas 2005, Susenas 2008, Badan Pusat Statistik Berdasarkan tabel tersebut terlihat bahwa secara umum masyarakat perdesaan dengan keterbatasan anggaran lebih memberikan prioritas alokasi anggaran untuk produk perikanan, sedangkan masyarakat perkotaan memberikan prioritas untuk produk peternakan. Keadaan ini secara implisit mengindikasikan bahwa produk peternakan lebih superior dibandingkan produk perikanan. Kemampuan memasok sumber energi disamping dipengaruhi oleh jenis kandungan nutrien karbohidrat, protein, lemak juga dipengaruhi oleh intake yang dikonsumsi. Secara umum gambaran kontribusi jumlah intake sumber bahan pangan dapat dilihat pada tabel berikut. Wilayah Tahun Pengeluaran produk peternakan Pengeluaran produk perikanan Pengeluaran Pangan hewani Pengeluaran Pangan Total pengeluaran Rpkapbln Kota 2002 2005 2008 Desa 2002 2005 2008 6.9 5.7 11.8 5.0 5.2 7.5 4.5 6.0 7.4 6.1 8.2 8.5 11.4 11.7 19.2 11.1 13.4 16.0 52.8 46.9 45.0 66.6 58.8 58.7 273 294 406 432 496.000 152 784 221 413 283.912 Tabel 14. Perkembangan Konsumsi Rumah Tangga Menurut Kelompok Bahan Pangan Penduduk Indonesia, 2002-2007. Sumber: Badan Pusat Statistik 2008 Merujuk pada tabel di atas, terlihat bahwa tingkat konsumsi pangan hewani menempati urutan ketiga terbesar setelah padi-padian dan sayurbuah. Bila ditelusuri lebih jauh, dalam komposisi pangan hewani ikan mempunyai kontribusi terbesar dibandingkan sumber protein hewani lainnya, seperti terlihat pada tabel di bawah ini. Tabel 15. Perkembangan Konsumsi Kelompok Bahan Pangan Hewani Penduduk Indonesia, 2002-2007. Sumber: Badan Pusat Statistik 2008 Kategori Konsumsi bahan pangan gramkapitahari 2002 2003 2004 2005 2006 2007 Padi-padian 348.9 328.1 322.8 320.4 316.0 316.6 Umbi-umbian 49.6 48.8 64.2 60.0 50.8 53.0 Pangan hewani 79.2 85.9 84.6 87.6 81.2 90.8 Minyak dan lemak 22.8 21.9 21.9 22.5 22.1 23.0 Buahbiji beminyak 9.3 9.5 8.7 9.3 8.2 8.8 Kacang-kacangan 24.3 22.8 23.7 25.5 25.8 27.7 Gula 28.3 29.5 29.1 27.1 24.3 26.6 Sayur dan buah 204.6 219.6 208.3 226.1 204.7 251.7 Lain-lain 39.9 41.7 43.9 48.8 40.4 50.7 Kategori Konsumsi bahan pangan hewani gramkapitahari 2002 2003 2004 2005 2006 2007 Pangan hewani 79.2 85.9 84.6 87.6 81.2 90.8 Daging ruminansia 4.5 4.8 5.4 5.0 3.8 5.0 Daging unggas 9.9 11.5 11.0 11.1 8.8 12.1 Telur 15.2 14.9 15.8 16.8 15.9 18.6 Susu 3.5 3.4 3.5 3.9 4.1 6.1 Ikan 46.1 51.4 48.9 50.9 48.7 49.0 Persentase ikan terhadap pangan hewani 58.19 59.77 57.79 58.9 59.93 53.96 R at a- rat ak ons u m siprot ei n g rkap h ar i Kontribusi ikan pada volume konsumsi bahan pangan hewani pada kurun waktu 2002-2007 rata-rata sebesar 57.96 setiap tahun. Hal ini menunjukkan bahwa ikan merupakan sumber protein yang dominan bagi penduduk Indonesia Gambar 2. Namun demikian terdapat variasi antar spesies yang dikonsumsi. 10,00 8,00 6,00 4,00 2,00 0,00 1999 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 ikan 6,07 7,17 7,91 7,65 8,02 7,49 7,77 7,94 daging 1,33 2,26 2,62 2,54 2,61 1,95 2,62 2,64 telursusu 1,43 2,33 2,22 2,38 2,71 2,51 3,23 3,05 Tahun Gambar 2. Perkembangan Konsumsi Pangan Hewani Penduduk Indonesia Tahun 1999 – 2008 Badan Pusat Statistik, 2009. Golongan ikan mencakup ikan laut dan ikan air tawar, baik yang segar maupun olahan. Indonesia memiliki berbagai jenis ikan termasuk udang krustase dan moluska termasuk cumi-cumi, sotong dan kerang-kerangan yang sangat bervariasi antar daerah. Ekspor dan impor biasa dijumpai dalam bentuk yang berbeda-beda misalnya beku, dalam kaleng, asin, kering, asap, dan sebagainya. Sehubungan dengan itu, faktor konversi perlu diperhatikan. Angka konversi berat ikan basah ke berat ikan olahan untuk beberapa perlakuan dapat dilihat pada Lampiran 1, sedangkan bagian ikan yang dapat dimakan atau edible portion dari ikan dapat dilihat pada Lampiran 2. Secara agregat, konsumsi protein ikan sebesar 7.2 gramkapitahari, sedangkan dari produk peternakan hanya 4.6 gramkapitahari Ditjen Perikanan Tangkap, 2003. Sebagian besar konsumsi protein ikan tersebut diperoleh dari ikan segar sekitar 78 dari total ikan. Berdasarkan data SUSENAS tahun 2002, konsumsi ikan segar tertinggi terdapat di wilayah penghasil ikan seperti Kalimantan, Sulawesi, Maluku, NAD dan Sumut. Semakin tinggi kelompok pendapatan, semakin tinggi konsumsi ikan segar. Sedangkan produk peternakan banyak dikonsumsi oleh rumahtangga di Pulau Jawa. Menurut komposisi zat gizinya, setiap 100 gram ikan segar mengandung rata-rata 17 gram protein. Bila diasumsikan kandungan protein ikan segar dapat menjadi proksi seluruh jenis ikan yang dikonsumsi, dengan mengacu pada angka kecukupan protein hewani asal ikan 9 gramkapitahari, maka kebutuhan konsumsi ikan per tahun penduduk Indonesia mencapai 19.3 kgkapitatahun. Angka ini lebih rendah dibandingkan target konsumsi pemerintah sebesar 26 kgkapitatahun dan lebih rendah dari standar FAO sebesar 30 kgkapitatahun. Tabel 16 menunjukkan variasi konsumsi produk perikanan menurut wilayah perkotaan dan perdesaan. Berdasarkan tabel tersebut terlihat bahwa tingkat konsumsi di perkotaan lebih tinggi daripada di perdesaan. Preferensi rumahtangga terhadap tujuh jenis ikan utama ikan tongkoltunacakalang, kembung, bandeng, mujair, teri, udang relatif tinggi dibandingkan dengan jenis ikan lain. Berdasarkan laporan Ditjen Perikanan Tangkap 2003, secara agregat nasional, tingkat konsumsi jenis ikan tongkoltunacakalang dan bandeng sensitif terhadap penurunan daya beli. Semakin rendah tingkat pendapatan rumahtangga, laju penurunan konsumsi ikan semakin besar. Untuk ikan teri dan udang, respon penurunan konsumsi kelompok rumahtangga berpendapatan menengah lebih besar dibandingkan dengan kelompok berpendapatan rendah. Tabel 16. Konsumsi dan Pengeluaran Per Kapita Menurut Volumekg dan Nilai Rp Jenis Ikan Dikonsumsi, 2008. Sumber: Badan Pusat Statistik, 2008 Jenis ikan Satuan Perkotaan Perdesaan Perkotaan+Perdesaan Banyaknya Nilai Banyaknya Nilai Banyaknya Nilai Kg Rp Kg Rp Kg Rp Ikan segar 1 Ekor kuning kg 0.416 86 0.416 48 0.416 55 2 Tongkoltuna cakalang kg 2.236 377 2.6 338 2.418 339 3 Tenggiri kg 0.26 57 0.156 35 0.208 39 4 Selar kg 0.572 93 1.092 144 0.017 111 5 Kembung kg 2.132 401 1.3 201 0.032 276 6 Teri kg 0.364 54 0.52 68 0.442 65 7 Bandeng kg 1.768 344 1.04 175 1.404 207 8 Gabus kg 0.312 69 0.676 116 0.494 76 9 Mujair kg 1.612 25 1.248 170 0.027 195 10 Mas kg 1.092 228 0.624 152 0.016 143 11 Lele kg 0.78 125 0.676 102 0.728 124 12 Kakap kg 0.156 40 0.052 7 0.104 31 13 Baronang kg 0.052 6 - 3 0.026 11 14 Lainnya kg 2.08 278 2.964 336 2.522 442 Udang dan hewan air lainnya segar 1 Udang kg 0.676 223 0.364 88 0.52 192 2 Cumi-cumi kg 0.26 68 0.104 24 0.182 66 3 Ketamkepiting rajungan kg 0.104 23 0.052 7 0.001 14 4 KerangSiput kg 0.156 20 0.052 7 0.104 19 5 Lainnya kg - 3 0.052 6 0.026 6 Ikan yang diawetkan 1 Kembung ons 2.236 59 4.212 88 0.064 122 2 Tenggiri ons 0.26 10 0.26 7 0.005 12 3 TongkolTuna Cakalang ons 3.432 83 4.056 82 0.073 116 4 Teri ons 4.94 178 7.488 217 0.121 365 5 Selar ons 1.144 26 1.872 42 0.03 54 6 Sepat ons 1.508 48 1.924 54 1.716 91 7 Bandeng ons 0.884 23 0.624 15 0.014 31 8 Gabus ons 0.572 23 0.364 12 0.008 24 9 Ikan dalam kaleng ons 0.676 22 0.78 31 0.728 34 10 Lainnya ons 3.796 83 7.644 152 0.113 267 Udang dan hewan air lainnya yang diawetkan 1 Udang ons 0.364 9 0.156 7 0.26 8 2 Cumi- cumiSotong ons 0.156 8 0.104 4 0.002 6 3 Lainnya ons 0.104 2 0.104 3 0.104 3 Sementara itu konsumsi ikan kembung pada rumahtangga dengan pendapatan menengah lebih besar daripada penurunan konsumsi pada rumahtangga pendapatan tinggi. Untuk ikan mujair, laju penurunan konsumsi ikan rumahtangga pendapatan rendah selama krisis ekonomi lebih besar dibandingkan kelas pendapatan menengah. Akan tetapi untuk kelas pendapatan tinggi kenaikan harga ikan tidak menurunkan preferensi konmsumsi mereka. Bahkan sebaliknya, tingkat konsumsi ikan kelompok pendapatan ini cenderung mengalami peningkatan.

2.4. Studi

Permintaan Produk Perikanan di Indonesia Dari beberapa literatur diperoleh informasi bahwa studi mengenai permintaan produk perikanan di Indonesia masih sangat jarang dilakukan. Pada umumnya studi yang dilakukan adalah studi mengenai permintaan pangan secara umum seperti yang dilakukan oleh Setiawan 1992, Daud 1986, Kuntjoro 1984, Harianto 1994, Rahman 2001 dan terakhir adalah oleh Ariani 2006. Studi mengenai permintaan produk perikanan umumnya dijadikan satu dengan studi mengenai permintaan pangan hewani, seperti yang dilakukan oleh Kemalawaty 1999, Utari 1996, Martianto 1995, Hutasuhut 2001, dan Daud 2006. Studi yang khusus membahas tentang permintaan produk perikanan baru tercatat tiga buah, itupun dilakukan pada tahun 90an Tabel 17. Tabel 17. Ringkasan Studi KonsumsiPengeluaran Ikan di Indonesia Yang Pernah Dilakukan Namun demikian, beberapa hasil penelitian terbaru dapat dijadikan acuan. Berikut akan diuraikan beberapa studi terbaru mengenai permintaan pangan hewani dan produk perikanan di Indonesia. Ariani et al 2006 dalam analisis mengenai situasi ketahanan pangan di Indonesia menunjukkan bahwa produksi pangan hewani menunjukkan peningkatan. Bangkitnya industri perunggasan pasca krisis ekonomi telah berdampak positif pada produksi dan juga penyediaan daging ayam dan telur ayam. Pada periode 2002-2005 laju pertumbuhan produksi daging dan telur ayam masing-masing sebesar 9.3 dan 8. Walaupun secara absolut produksi ikan tetap paling tinggi, namun laju peningkatan produksinya lebih lambat daripada produksi daging dan telur ayam. Disebutkan pula bahwa partisipasi konsumsi pangan hewani lebih besar pada rumahtangga di Jawa dan pada rumahtangga di kota. Situasi tersebut diduga terkait dengan kenyataan bahwa secara umum industri perunggasan Jenis Produk Elastisitas Peubah Penjelas Data dan Model Referensi Ikan secara umum 0.274; 0.543 Pendapatan, harga sendiri, harga ayam dan telur, konsumsi ikan periode sebelumnya Elastisitas jangka panjang dan jangka pendek, Data series tahun 1967–1988. Model Double Log dynamic, satu fungsi komoditas ikan Kusumastanto dan Jolly, 1997 Milkfish, mullet, tilapia, tuna, lainnya Lebih besar dari 0.96 Pendapatan dan harga sendiri Data cross-sectional tahun 1988, model Almost Ideal Demand System dua tahap dengan 5 jenis Nik Mustapha, Ghaffar dan Poerwono, 1994. Ikan secara umum 0.81 dan 1.04 Pendapatan dan harga sendiri Data cross-sectional tahun 1980, model Almost Ideal Demand System dan Multilinear Linear Logit Model System dengan 7 komoditas Teklu and Johnson, 1988 berkembang pesat di Pulau Jawa terutama di propinsi Jawa Barat. Kemudahan untuk memperoleh telur dan daging serta faktor kebiasaan masyarakat setempat mengkonsumsi produk pangan tersebut mendorong tingkat partisipasi pangan hewani pada rumahtangga di Pulau Jawa lebih tinggi dibandingkan di luar Jawa. Sementara itu, faktor utama tingginya partisipasi konsumsi pangan hewani di kota disebabkan oleh faktor pendapatan. Pada umumnya pendapatan rumahtangga di kota lebih besar daripada di desa. Oleh karena faktor pendapatan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi tingkat konsumsi pangan hewani dan pangan heani adalah barang normal, maka tingkat konsumsi pangan hewani juga semakin tinggi dengan semakin tingginya tingkat pendapatan. Sedangkan dalam analisisnya mengenai perkembangan konsumsi pangan rumahtangga dengan data SUSENAS 1996-2002, lebih lanjut Ariani et all 2006 mengatakan bahwa proporsi pengeluaran ikan lebih tinggi daripada jenis pangan hewani lainnya, sedangkan pengeluaran daging paling kecil karena harganya yang relatif lebih mahal. Proporsi pengeluaran untuk konsumsi ikan segar di Sumatera Selatan lebih tinggi daripada di Jawa Barat. Selain karena wilayah tersebut mempunyai potensi sebagai penghasil ikan yang cukup besar yang berasal dari sungai dan rawa, relatif tingginya pengeluaran rumahtangga untuk konsumsi ikan segar di Sumatera Selatan juga menggambarkan preferensi konsumsi masyarakatnya terhadap jenis pangan tersebut cukup tinggi. Namun untuk ikan olahan terjadi sebaliknya. Preferensi rumahtangga terhadap ikan olahan di Jawa Barat lebih tinggi dibandingkan di Sumatera Selatan. Perbedaan pola konsumsi tersebut sangat terkait dengan pola ketersediaan dan kebiasaan konsumsi pangan masyarakat setempat. Berdasarkan laporan Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap, Departemen Kelautan dan Perikanan tahun 2003 tentang Strategi Kebijakan Pemenuhan Protein Ikan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Nasional disebutkan bahwa berdasarkan data SUSENAS tahun 2002, partisipasi konsumsi ikan segar terhadap total konsumsi ikan untuk kelompok masyarakat berpendapatan rendah, sedang dan tinggi adalah 55.53, 70.41 dan 76.51. Perubahan struktur penduduk dan struktur ekonomi yang mengarah pada masyarakat urban dengan mata pencaharian utama non pertanian akan diikuti oleh partisipasi konsumsi ikan segar yang semakin besar. Ikan segar memberikan kontribusi yang jauh lebih besar dibandingkan dengan ikan olahan. Pada tahun 1996-1999 tingkat konsumsi ikan segar turun dari 19.04 kgkapitatahun menjadi 14.79 kgkapitatahun untuk wilayah perkotaan dan turun dari 14.6 kgkapitatahun menjadi 12.18 kgkapitatahun untuk wilayah perdesaan. Konsumsi ikan meningkat seiring dengan peningkatan pendapatan rumahtangga. Meskipun tingkat konsumsi ikan segar di kota lebih tinggi dibandingkan di desa, tetapi respon konsumsi terhadap perubahan harga ikan cenderung lebih elastis. Respon yang lebih elastis juga terlihat pada kelompok rumahtangga pendapatan rendah dan yang memiliki mata pencaharian utama di sektor jasalainnya. Disebutkan pula bahwa dibandingkan ikan segar, preferensi konsumsi ikan olahan hanya berkisar 9-15. Wilayah yang mempunyai preferensi tinggi adalah Sumatera Utara, Riau, Jambi, Jawa Barat, Bali, dan hampir seluruh propinsi Kalimantan. Respon konsumsi terhadap perubahan harga ikan olahan cenderung lebih elastis di kota, rumahtangga berpendapatan rendah, dan yang mempunyai sumber pendapatan dari sektor pertanian. Preferensi konsumsi rumahtangga terhadap ikan tunacakalang, kembung, dan bandeng lebih tinggi dibandingkan dengan jenis ikan lain. Demikian pula faktor kedekatan dengan sumber produksi dengan masing-masing jenis ikan. Kenaikan harga akibat krisis ekonomi menimbulkan respon elastisitas konsumsi bervariasi antar jenis ikan. Pada konsumsi ikan tunacakalang, teri, udang dan ikan kembung pemulihan ekonomi ternyata belum dapat mendorong peningkatan konsumsi seperti periode sebelum krisis. Kecenderungan ini tidak hanya terjadi pada kelompok rumahtangga berpendapatan tinggi, tetapi juga pada kelompok rumahtangga berpendapatan menengah dan tinggi. Konsumsi protein ikan tertinggi pada wilayah penghasil ikan seperti Sulawesi, Makuku, Kalimantan, NAD dan Sumatera Utara. Sebaliknya, produk peternakan banyak dikonsumsi oleh rumahtangga di Pulau Jawa. Hasil pendugaan elastisitas permintaan dari model AIDS menunjukkan bahwa ikan tuna, teri, udang, mujair, ikan mas, daging sapi, susu, dan telur cukup memberikan respon elastis terhadap perubahan harga sendiri, terutama di kawasan timur Indonesia. Diantara jenis-jenis ikan tersebut, elastisitas harga sendiri yang paling responsif adalah udang. Kenaikan harga sebesar 10 akan menyebabkan penurunan konsumsi sebesar 16. Sedangkan ikan kembung, ikan bandeng, dan daging ayam mempunyai elastisitas permintaan terhadap harga sendiri yang inelastis. Komoditas yang paling elastis terhadap perubahan pendapatan adalah udang, ikan kembung, dan daging ayam. Daud 2006 dengan model Invers Almost Ideal Demand System IAIDS dalam studinya mengenai fleksibilitas permintaan pangan hewani di Indonesia menyimpulkan bahwa tingkat konsumsi pangan hewani yang didekati melalui pendekatan biaya konsumsi rumahtangga di Indonesia ternyata masih sangat rendah. Belum ada perubahan struktur konsumsi pada konsumsi pangan hewani selama periode pengamatan tahun 1996-2002. Disimpulkan pula bahwa kelompok ikan merupakan pangan substitusi utama bagi setiap jenis pangan hewani. Pengaruh substitusi yang diberikan oleh ikan rata-rata lebih besar daripada pengaruh masing-masing jenis pangan hewani itu sendiri, kecuali pada daging dan telur ayam.