konsumsi bervariasi antar jenis ikan. Pada konsumsi ikan tunacakalang, teri,
udang dan ikan kembung pemulihan ekonomi ternyata belum dapat mendorong
peningkatan konsumsi seperti periode sebelum krisis. Kecenderungan ini tidak
hanya terjadi pada kelompok rumahtangga berpendapatan tinggi, tetapi juga pada kelompok rumahtangga berpendapatan menengah dan tinggi.
Konsumsi protein ikan tertinggi pada wilayah penghasil ikan seperti Sulawesi, Makuku, Kalimantan, NAD dan Sumatera Utara.
Sebaliknya, produk peternakan banyak dikonsumsi oleh rumahtangga di Pulau Jawa.
Hasil pendugaan elastisitas permintaan dari model AIDS menunjukkan bahwa ikan tuna, teri, udang, mujair, ikan mas, daging sapi, susu, dan telur
cukup memberikan respon elastis terhadap perubahan harga sendiri, terutama di kawasan timur Indonesia. Diantara jenis-jenis ikan tersebut, elastisitas harga
sendiri yang paling responsif adalah udang. Kenaikan harga sebesar 10 akan menyebabkan penurunan konsumsi sebesar 16.
Sedangkan ikan kembung, ikan bandeng, dan daging ayam mempunyai elastisitas permintaan terhadap
harga sendiri yang inelastis. Komoditas yang paling elastis terhadap perubahan pendapatan adalah udang, ikan kembung, dan daging ayam.
Daud 2006
dengan model
Invers Almost
Ideal Demand
System IAIDS
dalam studinya
mengenai fleksibilitas
permintaan pangan
hewani di
Indonesia menyimpulkan
bahwa tingkat
konsumsi pangan
hewani yang
didekati melalui
pendekatan biaya
konsumsi rumahtangga
di Indonesia
ternyata masih
sangat rendah.
Belum ada
perubahan struktur
konsumsi pada
konsumsi pangan
hewani selama
periode pengamatan
tahun 1996-2002.
Disimpulkan pula
bahwa kelompok
ikan merupakan
pangan substitusi
utama bagi
setiap jenis
pangan hewani.
Pengaruh substitusi
yang diberikan
oleh ikan
rata-rata lebih
besar daripada
pengaruh masing-masing
jenis pangan
hewani itu
sendiri, kecuali
pada daging
dan telur
ayam.
2.5. Studi
Permintaan Produk
Perikanan di
Beberapa Negara
Konsumsi pangan di Vietnam merupakan isue yang penting, bukan hanya karena
berhubungan kemiskinan,
ketahanan pangan,
tapi juga
karena berhubungan erat dengan standar taraf hidup dan kemampuan rumahtangga.
Vietnam telah
mengalami pergeseran
struktur pola
konsumsi dengan
menurunnya konsumsi beras dan karbohidrat, serta meningkatnya konsumsi protein dan buahsayur.
Permintaan komoditas non-pangan dan jasa tumbuh lebih cepat daripada permintaan akan komoditas pangan.
Sebuah studi yang dilakukan oleh Quang 2005 mengenai permintaan pangan di Vietnam dengan
menggunakan model LAAIDS dan Extended AIDS mengungkapkan hal tersebut. Data yang digunakan adalah Vietnam Household Living Standard Survey yang
dilaksanakan oleh Vietnamese General Statistical Office GSO pada tahun 2004 dengan 45.900 rumahtangga yang tersebar di 3063 komunitas di seluruh negara.
Pengeluaran rumahtangga dibagi dalam tiga kategori utama yaitu beras pangan pokok, non-beras sayur, buah, minuman, dan lain-lain, dan pengeluaran
dagingikan semua jenis daging, unggas, ikan, udang, baik segar maupun olahan, seperti terlihat pada Gambar 3.
Total Pengeluaran
Pangan Non Pangan
Pangan pokok Dagingikan
Pangan lain
Gambar 3 . Tahap Alokasi Pengeluaran Studi Permintaan Pangan di Vietnam
Diungkapkan bahwa, seperti halnya di Indonesia, rumahtangga miskin mengkonsumsi lebih banyak pangan nabati dan sedikit pangan hewani. Proporsi
pengeluaran untuk pangan hewani daging dan ikan naik dari 32.7 pada tahun 2002 menjadi 35.5 pada tahun 2005 seperti terlihat pada table di bawah ini.
Pada kelompok pangan ini terjadi pergeseran dari konsumsi white meat ke red
meat dan dari produk kaya lemak ke produk rendah lemak.
Tabel 18. Proporsi Pengeluaran Beberapa Jenis Bahan Pangan di Vietnam Tahun 2002 dan 2004
Sumber: Quang 2005
Hasil analisis menunjukkan bahwa di Vietnam komoditas beras dan dagingikan
merupakan barang
normal, sedangkan
komoditas non-beras
merupakan barang mewah. Komoditas tersebut lebih merupakan kebutuhan pokok, sehingga dapat dikatakan bahwa konsumsinya lebih dipengaruhi oleh
preferensi dibandingkan dengan tingkat pendapatan. Disimpulkan juga bahwa
karakteristik rumahtangga seperti umur, jenis kelamin dan tingkat pendidikan mempunyai pengaruh yang relatif kecil terhadap konsumsi ikan.
Kelompok Pangan 2002
2004 Beras-sereal
Non-beras Daging
Ikan Makanan Olahan
Sayur Buah
Minuman Makanan lain
29.3 9.3
23.3 9.4
5.0 3.6
2.0 5.7
12.3 29.0
6.0 24.3
11.2 5.3
3.4 2.9
5.7 12.2
Sebuah studi tentang permintaan ikan di Bangladesh dengan 5 667 rumahtangga yang dilakukan oleh Dey 2000 menunjukkan bahwa elastisitas
permintaan ikan
sangat bervariasi
diantara berbagai
jenis ikan
dan kelas
pendapatan. Dey menggunakan multistage budgetting approach dengan tiga
tahap pendugaan. Diantara berbagai jenis ikan, ikan mas mempunyai elastisitas harga yang paling besar dalam tanda mutlak.
Elastisitas pendapatan dari semua kelas pendapatan dan semua jenis ikan secara konsisten menurun
dengan semakin meningkatnya pendapatan, namun tidak ada jenis ikan yang menjadi barang inferior pada kelas pendapatan tinggi.
Dried fish memiliki nilai elastisitas pendapatan yang paling rendah pada kelompok pendapatan tinggi.
Pola konsumsi dan pengeluaran ikan di Thailand memiliki karakteristik tersendiri.
Studi yang dilakukan oleh Piumsonbun et al 2003 dengan 4506 rumahtangga dengan model dan metode yang serupa dengan yang dilakukan
oleh Dey 2000 menunjukkan bahwa elastisitas harga dan pendapatan sangat bervariasi diantara berbagai jenis ikan dan empat kelas pendapatan.
Elastisitas harga pada umumnya tinggi pada kelompok ikan yang mahal.
Elastisitas pendapatan untuk semua jenis ikan pada semua kelompok pendapatan bersifat
inelastis, namun kelompok pendapatan rendah lebih sensitif terhadap perubahan pendapatan daripada kelompok berpendapatan tinggi.
Di Korea, produk perikanan merupakan sumber protein yang sangat penting, konsumsinya sangat lebih besar daripada daging.
Namun, konsumsi produk perikanan tersebut mulai menurun pada periode 1980-1998, sedangkan
konsumsi daging meningkat. Pada tahun 1996, konsumsi ikan per kapita per
tahun sebesar 34.1 kg sedangkan konsumsi daging hanya 25.3 kg Gambar 4.
Gambar 4. Perkembangan Konsumsi Daging dan Ikan di Korea tahun 1980-1998.
Dalam studinya mengenai permintaan produk daging dan ikan di Korea dengan
model Rotterdam
dan model
LAAIDS, Jung
dan Koo
2005 mengindikasikan bahwa daging sapi impor yang harganya jauh lebih murah
menyebabkan sebagian besar produk perikanan kehilangan pangsa pasarnya. Data yang digunakan adalah data series yang bersifat bulanan, kuartalan, dan
tahunan periode tahun 1980 sampai tahun 1998. Untuk mengevaluasi pengaruh musiman
bulanan dan
kuartalan terhadap
konsumsi daging
dan ikan,
dimasukkan variabel dummy dalam setiap persamaan. Hasil analisis menunjukkan bahwa konsumsi produk perikanan paling
tinggi terjadi
pada saat
musim dingin,
sedangkan konsumsi
daging sapi
meningkat selama musim semi dan musim gugur dan menurun pada saat musim dingin. Elastisitas harga sendiri daging sapi adalah paling tinggi, diikuti oleh
produk perikanan. Elastisitas pendapatan untuk semua daging dan ikan adalah
positif dan signifikan pada taraf kepercayaan 5. Elastisitas daging sapi lebih
besar dari satu, mengindikasikan bahwa daging sapi merupakan barang mewah di Korea.
Sedangkan elastisitas pendapatan untuk produk perikanan lebih tidak elastis, mengindikasikan bahwa produk perikanan merupakan kebutuhan dalam
susunan menu masyarakat Korea. Nilai elastisitas harga silang menunjukkan
bahwa produk perikanan merupakan substitusi dari produk daging. Konsumsi
ikan akan naik jika harga daging meningkat sementara harga ikan tetap. Pola konsumsi di Jepang mempunyai cirikhas tersendiri.
Masyarakatnya lebih
suka mengkonsumsi ikan daripada
daging. Berdasarkan
studi yang dilakukan oleh FAO 2003, diungkapkan bahwa elastisitas harga sendiri produk
ikan segar lebih tinggi daripada produk daging. Ada beberapa alasan di balik hal tersebut.
Pertama, ikan merupakan komiditas yang sangat penting dalam pola konsumsi
masyarakat Jepang.
Budaya makan
ikan tersebut
berpengaruh terhadap variasi harga ikan dan tingkat konsumsinya. Alasan berikutnya adalah
adanya keragaman dan penggunaan ikan. Keragaman tersebut menyebabkan
besarnya peluang
untuk substitusi
sehingga pada
akhirnya menyebabkan
elastisitas harga sendiri menjadi lebih tinggi.