Sementara itu, DI Yogyakarta masih merupakan wilayah dengan pangsa pengeluaran paling rendah diantara semua propinsi di Indonesia.
Kondisi ini mencerminkan faktor ketersediaan, preferensi dan kebiasaan masyarakat di
wilayah tersebut mewarnai alokasi anggaran serta tingkat konsumsi dan tingkat partisipasi ikan segar di wilayah tersebut.
Strategi kebijakan untuk peningkatan konsumsi
dan alokasi
anggaran untuk
pengeluaran ikan
tentunya perlu
memperhatikan faktor-faktor
selain pendapatan,
seperti misalnya
kebiasaan masyarakat, ketersediaan
produk serta
aksesibilitasnya. Ketersediaan
dan kebiasaan memiliki keterkaitan yang cukup erat, namun kebiasaan juga dapat
diubah melalui pengembangan produk, teknik pengolahan, dan penyuluha atau promosi kepada masyarakat.
Pangsa pengeluaran udang segar di seluruh wilayah Indonesia tergolong rendah yaitu kurang dari 10 persen, kecuali di Kepulauan Riau yang mencapai 13
persen. Selama
ini udang
merupakan komoditas
perikanan yang
lebih diorientasikan
untuk ekspor.
Udang merupakan
penyumbang data
devisa terbesar negara Indonesia.. Sejak tahun 2000, nilai ekspor udang Indonesia terus
meningkat, namun mulai tahun 2008, permintaan ekspor udang terus menurun. Hal ini membuka peluang untuk meningkatkan konsumsi udang di dalam negeri,
karena beberapa penelitian menunjukkan bahwa udang segar sangat responsif terhadap perubahan harga dan pendapatan.
Pangsa pengeluaran
udang awetan
di seluruh
wilayah Indonesia
merupakan yang paling rendah hanya 1 persen dibandingkan kelompok
komoditas ikan
segar, ikan
awetan dan
udang segar.
Di seluruh
wilayah Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Papua serta beberapa wilayah di Sumatera, NTT
dan Bali pangsa pengeluarannya adalah nol persen. Wilayah yang paling tinggi pangsa pengeluaran untuk komoditas ini adalah Sumatera Barat, yaitu mencapai
5 persen.
Apabila dilihat berdasarkan golongan pengeluaran pendapatan, terlihat bahwa
semakin tinggi
tingkat pendapatan,
semakin besar
pula alokasi
pengeluaran yang digunakan untuk konsumsi makanan Gambar 33. Pada
golongan pendapatan rendah kurang dari Rp. 300 000kapitanbulan, terlihat hampir seluruh pendapatannya digunakan untuk memenuhi kebutuhan pangan.
Gambar 33. Pengeluaran per Kapita dan Pengeluaran Pangan per Kapita
berdasarkan Golongan Pengeluaran Tahun 2008
Semakin tinggi tingkat pendapatan semakin banyak bagian pendapatan yang dialokasikan untuk kebutuhan non-pangan, atau kenaikan tingkat pendapatan
lebih besar dibandingkan dengan kenaikan pengeluaran pangannya. Hal ini
merefleksikan tingkat
kesejahteraan yang
semakin baik
dengan semakin
meningkatnya pendapatan. Selanjutnya, dari alokasi anggaran untuk makanan tersebut, alokasi
pengeluaran yang digunakan untuk konsumsi ikan juga menunjukkan pola yang sama Gambar 34, menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat pendapatan
semakin besar pula alokasi anggaran yang digunakan untuk konsumsi ikan. Dari pola yang terlihat dapat dikatakan bahwa Hukum Engel yang menyatakan bahwa
P e
n g
e lu
a ra
n ik
a n
R p
k a
p b
u la
n
semakin tinggi tingkat pendapatan, tingkat pengeluaran pangan rumahtangga akan semakin meningkat dengan kenaikan yang semakin berkurang berlaku di
sini. Secara implisit hukum ini menyatakan bahwa hubungan antara alokasi
pengeluaran rumah tangga dan pendapatan tidak bersifat linear.
I nterval plot pengeluaran ikan berdasarkan golongan pengeluaran
95 CI for the Mean 25000
20000 15000
10000 1
2 3
4 5
6 7
8
Golongan pengeluaran
Gambar 34. Interval Plot Pengeluaran Ikan Menurut Tingkat Pendapatan Berdasarkan Susenas Tahun 2008
Struktur pengeluaran pangan dan nonpangan memiliki arti dan implikasi ekonomi dan sosial yang cukup penting.
Pangsa pengeluaran pangan yang besar relatif terhadap total pendapatan yang diproksi dari total pengeluaran
mengindikasikan tingkat kesejahteraan yang relatif rendah, dan sebaliknya, pangsa
pengeluaran pangan
yang kecil
relatif terhadap
total pendapatan
mengindikasikan tingkat kesejahteraan yang relatif tinggi. Hal ini ditunjukkan
oleh data pada Tabel 33 yang memperlihatkan pangsa pengeluaran pangan terhadap total pengeluaran dan pangsa pengeluaran ikan segar, udang segar,
ikan awetan, dan udang awetan terhadap pengeluaran ikan berdasarkan tingkat pendapatan.
Tabel 33. Pangsa Pengeluaran Pangan dan Pangsa Pengeluaran Ikan Segar,
Udang Segar, Ikan Awetan, dan Udang Awetan Berdasarkan Tingkat Pendapatan, Susenas Tahun 2008
Sumber: Susenas 2008, diolah
Tabel tersebut memperlihatkan bahwa semakin tinggi tingkat pendapatan semakin rendah pangsa pengeluaran untuk konsumsi pangan, dan sebaliknya,
semakin rendah tingkat pendapatan semakin tinggi pula pangsa pengeluaran untuk konsumsi pangan. Pada kelompok tingkat pendapatan rendah, hampir
seratus persen pendapatannya lebih dari 90 persen digunakan untuk memenuhi kebutuhan pangan; sedangkan pada kelompok pendapatan tinggi kurang 50
persen pendapatannya
digunakan untuk
kebutuhan pangan,
sisanya untuk
kebutuhan nonpangan atau bahkan ditabung. Di Thailand, data survey tahun 1999 menunjukkan bahwa rata-rata alokasi pengeluaran pangan penduduknya
hanya 40 persen dari total pengeluaran, sekitar 60 persen pada kelompok
pendapatan rendah dan 30 persen pada kelompok pendapatan tinggi. Pangsa pengeluaran ikan segar relatif terhadap total pengeluaran ikan
menunjukkan peningkatan dengan semakin meningkatnya tingkat pendapatan meskipun tidak terlalu tajam, demikian pula untuk pangsa pengeluaran udang
segar dan udang awetan. Sebaliknya, pangsa pengeluaran ikan awetan semakin menurun
dengan semakin
meningkatnya tingkat
pendapatan. Hal
ini
Kategori Golongan Pengeluaran
1 2
3 4
5 6
7 8
Share pangantotal
0,94 0,91
0,86 0,77
0,65 0,54
0,45 0,28
Share kelompok ikan terhadap total ikan: Ikan Segar
0,42 0,42
0,41 0,44
0,46 0,48
0,46 0,46
Udang Segar 0,02
0,02 0,03
0,03 0,04
0,05 0,06
0,07 Ikan Awetan
0,33 0,37
0,39 0,37
0,34 0,29
0,26 0,23
Udang Awetan 0,00
0,01 0,01
0,01 0,01
0,01 0,01
0,01
sh a
re p
e n
g e
lu a
ra n
ik a
n s
e g
a r
menunjukkan bahwa ikan awetan lebih disukai oleh masyarakat berpendapatan rendah.
Gambar 35, 36, 37, 38 memperlihatkan lebih jelas perubahan pangsa pengeluaran dengan semakin meningkatnya pendapatan.
Pada kelompok ikan segar, udanghewan air yang segar, dan udanghewan air awetan terlihat bahwa
semakin besar golongan pengeluaran, semakin besar share pengeluarannya. Sedangkan
pada kelompok ikan
awetan terjadi
sebaliknya, semakin
besar golongan
pengeluaran semakin
rendah share
pengeluarannya. Hal
ini mengindikasikan bahwa preferensi konsumsi ikan awetan masih didominasi oleh
golongan menengah ke bawah dengan penghasilan keluarga sampai Rp. 600 000 per per kapita bulan. Gambar tersebut juga memperlihatkan keragaman
pangsa pengeluaran yang besar pada keempat kelompok ikan yang dianalisis pada tingkat pendapatan rendah dan tinggi. Pangsa pengeluaran udang awetan
terlihat paling bervariasi pada semua kelompok pendapatan. Hal ini dapat
dimaklumi karena pada komoditas udang awetan ini paling banyak terdapat zero consumptionzero expenditure.
Interval Plot share pengeluaran ikan segar berdasarkan golongan pengeluaran 95 CI for the Mean
0,500 0,475
0,450 0,425
0,400 1
2 3
4 5
6 7
8
Golongan pengeluaran
Gambar 35. Interval Plot Pangsa Pengeluaran Ikan Segar Berdasarkan Golongan Pengeluaran Tahun 2008
S h
a re
p e
n g
e lu
a ra
n u
d a
n g
h e
w a
n a
ir la
in y
a n
g s
e g
a r
S h
a re
p e
n g
e lu
a ra
n ik
a n
a w
e ta
n
S h
a re
p e
n g
e lu
a ra
n u
d a
n g
h e
w a
n a
ir a
w e
ta n
Interval Plot share pengeluaran udanghewan air lain segar berdasar golongan pengeluaran
95 CI
for the
Mean 0,08
0,07 0,06
0,05 0,04
0,03 0,02
0,01 1
2 3
4 5
6 7
8 Golongan
pengeluaran
Gambar 36. Interval Plot Pangsa Pengeluaran UdangHewan Air Lain yang Segar Berdasarkan Golongan Pengeluaran Tahun 2008
Interval Plot share pengeluaran ikan awetan berdasar golongan pengeluaran 95 CI for the Mean
0,40 0,35
0,30 0,25
0,20 1
2 3
4 5
6 7
8 Golongan pengeluaran
Gambar 37. Interval Plot Pangsa Pengeluaran Ikan Awetan Berdasarkan Golongan Pengeluaran Tahun 2008
Interval Plot
share pengeluaran
udanghewan air
awetan berdasar
golongan pengeluaran
95 CI
for the
Mean 0,014
0,012 0,010
0,008 0,006
0,004 0,002
0,000 1
2 3
4 5
6 7
8 Golongan
pengeluaran
Gambar 38. Interval Plot Pangsa Pengeluaran UdangHewan Air Lain yang Diawetkan Berdasarkan Golongan Pengeluaran. Tahun 2008
6.4.1. Pola Pengeluaran Ikan Segar
Pengelompokan jenis ikan pada Susenas 2008 mencakup jenis-jenis ikan laut, ikan darat, dan ikan lainnya.
Untuk kelompok ikan segar, ikan laut diwakili oleh ikan tongkoltunacakalang, ikan kembung, ikan ekor kuning, ikan tengiri,
ikan teri, ikan selar, ikan kakap, dan ikan baronang. Sedangkan kelompok ikan air tawar diwakili oleh ikan bandeng, mujair, gabus, ikan mas, dan ikan lele. Jenis
ikan lain yang dikonsumsi tetapi tidak terdapat dalam pengelompokkan kedua jenis ikan tersebut dimasukkan dalam ikan lainnya.
Bila dilihat
secara total,
tingkat pengeluaran
ikan segar
penduduk Indonesia didominasi oleh ikan laut
dibandingkan dengan ikan air tawar dan jenis ikan lainnya. Yang perlu diperhatikan adalah bahwa jumlah konsumsi jenis
ikan lainnya tergolong tinggi, hampir sama dengan jumlah konsumsi jenis ikan
air tawar.
Hal ini mengindikasikan bahwa
penggolongan jenis
ikan perlu
diperbaiki, karena beberapa jenis ikan laut maupun darat yang mungkin banyak dikonsumsi namun tidak termasuk dalam kelompok yang sudah ada seperti
misalnya ikan kerapu dari budidaya laut, belanak dan belida dari budidaya
tambak, ikan nila, patin, gurame, tawes dari budidaya kolam serta ikan bawal dari budidaya keramba.
Bila dilihat per spesies, seperti halnya tingkat partisipasi konsumsi dan
tingkat konsumsi, tingkat pengeluaran ikan segar secara agregat juga didominasi oleh jenis ikan lain dan ikan tongkoltunacakalang, kemudian ikan kembung,
bandeng dan mujair. Ikan selar, ikan mas dan ikan lele juga cukup banyak
dikonsumsi oleh rumahtangga Indonesia Gambar 39.
2500 2000
1500 1000
500
Gambar 39. Tingkat Pengeluaran Setiap Jenis Ikan Segar Berdasarkan Data
Susenas Tahun 2008
Keterangan: v021
: jumlah pengeluaran ikan ekor kuning
v022 :
jumlah pengeluaran ikan tongkoltunacakalang v023
: jumlah pengeluaran ikan tenggiri
v024 :
jumlah pengeluaran ikan selar v025
: jumlah pengeluaran ikan kembung
v026 :
jumlah pengeluaran ikan teri v027
: jumlah pengeluaran ikan bandeng
v028 :
jumlah pengeluaran ikan gabus v029
: jumlah pengeluaran ikan mujair
v030 :
jumlah pengeluaran ikan mas v031
: jumlah pengeluaran ikan lele
v032 :
jumlah pengeluaran ikan kakap v033
: jumlah pengeluaran ikan baronang
v034 :
jumlah pengeluaran ikan lainnya
Tingkat pengeluaran setiap jenis ikan segar di berbagai propinsi di Indonesia
disajikan pada
Lampiran 24.
Tingkat pengeluaran
ikan tongkoltunacakalang
terbesar adalah
propinsi Maluku
Utara, kemudian
beberapa wilayah
di kepulauan
Sulawesi. Tingkat
pengeluaran ikan
tongkoltunacakalang terendah adalah propinsi Jawa Tengah, Jawa Barat dan Yogyakarta. Hal ini sejalan juga dengan tingkat partisipasi konsumsi dan tingkat
konsumsi yang juga paling rendah di ketiga propinsi tersebut. Di wilayah
Sumatera tingkat konsumsi ikan tongkoltunacakalang yang tertinggi adalah Aceh, seperti halnya tingkat partisipasi konsumsinya.
Tingkat pengeluaran ikan kembung paling besar yang cukup menonjol adalah adalah wilayah Papua Barat. Tingkat konsumsi wilayah tergolong rendah,
dan terendah adalah wilayah Bengkulu, Jawa Timur, Jawa Tengah dan DI Yogyakarta dengan tingkat pengeluaran kurang dari Rp.100kapbulan.
Alokasi pengeluaran untuk ikan bandeng secara agregat sekitar Rp.850 kaptahun, namun penduduk di wilayah Sulawesi Selatan mengalokasikannya
sampai lebih
dari Rp.6000kapbulan,
paling tinggi
dari seluruh
wilayah di
Indonesia. Hal ini sejalan pula dengan angka partisipasi konsumsinya lebih dari
60 persen dan tingkat konsumsinya 16 kgkaptahun, juga tertinggi untuk jenis ikan ini. Tingkat pengeluaran terendah adalah wilayah Riau dan Sulawesi Utaran
kurang dari Rp. 10kapbulan. Rata-rata tingkat pengeluaran untuk
ikan mujair terbesar adalah wilayah Sumatera Barat lebih dari Rp.2500 kapbulan, sejalan dengan angka partisipasi
konsumsinya yang tertinggi yaitu hampir 30 persen dan tingkat konsumsinya sebesar 5 kgkaptahun.
Tingkat pengeluaran terendah adalah wilayah Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Barat, Bali, Bengkulu dan Maluku Utara kurang dari
Rp.100kapbulan. Tingkat pengeluaran ikan lele, selar, ikan mas, teri dan gabus kurang dari
Rp.500kapbulan, namun masih lebih tinggi dibandingkan dengan ikan kakap dan baronang yang hanya dikonsumsi kurang dari Rp.100 kapbulan.
6.4.2. Pola Pengeluaran Udang Segar
Seperti halnya tingkat partisipasi konsumsi dan tingkat konsumsi, tingkat pengeluaran rumahtangga Indonesia untuk kelompok udanghewan air lainnya
yang segar didominasi oleh jenis udang segar, kemudian cumi-cumisotong,
kerangsiput, ketamkepitingrajungan, dan terendah adalah udanghewan air lainnya Gambar 40. Tingkat pengeluaran setiap jenis udang segar di berbagai
propinsi di Indonesia disajikan pada Lampiran 25. Rata-rata tingkat pengeluaran udang segar terbesar adalah penduduk
Kepulauan Riau, sejalan dengan angka partisipasi konsumsinya yang tertinggi yaitu sekitar 26 persen dan tingkat konsumsinya sebesar 5 kgkapitatahun.
Tingkat pengeluaran udang segar terendah adalah wilayah Maluku Utara dan
Sulawesi Utara.
900 800
700 600
500 400
300 200
100 v035
v036 v037
v038 v039
Gambar 40. Tingkat Pengeluaran Setiap Jenis Udang Segar Berdasarkan Data
Susenas Tahun 2008
Keterangan: v035
: jumlah pengeluaran udang
v036 :
jumlah pengeluaran cumi-cumisotong v037
: jumlah pengeluaran ketamkepitingrajungan
v038 :
jumlah pengeluaran kerangsiput v039
: jumlah pengeluaran udanghewan air lainnya
Rata-rata tingkat pengeluaran cumisotong terbesar adalah penduduk Kepulauan Riau, sejalan dengan angka partisipasi konsumsinya dan tingkat
konsumsinya yang tertinggi. Tingkat pengeluaran cumi-cumisotong terendah adalah wilayah Bengkulu kurang dari Rp.10,-kapbulan, sejalan pula dengan
tingkat partisipasi konsumsinya yang terendah, yaitu kurang dari 1 persen. Rata-rata tingkat pengeluaran kerangsiput terbesar adalah penduduk
Kepulauan Riau
dan Bangka
Belitung, sejalan
dengan angka
partisipasi konsumsi dan tingkat konsumsi yang tertinggi. Tingkat pengeluaran kerangsiput
terendah adalah wilayah Gorontalo dan Maluku Utara, yaitu Rp 0,-kapbulan sejalan pula dengan tingkat partisipasi konsumsi dan tingkat konsumsi yang
terendah. Rata-rata tingkat pengeluaran ketamkepitingrajungan terbesar adalah
penduduk Kepulauan Riau dan Bangka Belitun, sejalan dengan angka partisipasi konsumsi
dan tingkat
konsumsi yang
tertinggi. Tingkat
pengeluaran ketamkepitingrajungan terendah adalah wilayah Maluku Utara dan Sumatera
Selatan yaitu sebesar Rp 0,-kapbulan, sejalan pula dengan tingkat partisipasi konsumsi dan tingkat konsumsi yang terendah.
6.4.3. Pola Pengeluaran Ikan Awetan
Pengelompokan jenis ikan awetan pada Susenas 2008 mencakup jenis- jenis ikan laut, ikan darat, dan ikan lainnya. Kelompok ikan laut diwakili oleh ikan
tongkoltunacakalang, ikan kembung, ikan ekor kuning, ikan tengiri, ikan teri, ikan selar, ikan kakap, dan ikan baronang. Sedangkan kelompok ikan air tawar
diwakili oleh ikan bandeng, mujair, gabus, ikan mas, dan ikan lele. Jenis ikan lain yang dikonsumsi tetapi tidak terdapat dalam pengelompokkan kedua jenis ikan
tersebut dimasukkan dalam ikan lainnya. Bila
dilihat secara
total, tingkat
pengeluaran ikan
segar penduduk
Indonesia didominasi oleh ikan laut dibandingkan dengan ikan air tawar dan
jenis ikan lainnya. Yang perlu diperhatikan adalah bahwa jumlah konsumsi jenis ikan lainnya tergolong
tinggi, hampir sama dengan jumlah konsumsi jenis ikan air
tawar. Hal ini mengindikasikan
bahwa penggolongan
jenis ikan
perlu diperbaiki, karena beberapa jenis ikan laut maupun darat yang diawetkan yang
mungkin banyak dikonsumsi namun tidak termasuk dalam kelompok yang sudah ada seperti misalnya ikan jambal, ikan pari, atau ikan lainnya.
Bila dilihat berdasarkan spesiesnya, seperti halnya tingkat partisipasi konsumsi dan tingkat konsumsi, tingkat pengeluaran ikan awetan secara agregat
juga didominasi
oleh jenis
ikan teri
dan ikan
lain, kemudian
ikan tongkoltunacakalang, ikan kembung dan iakn sepat
Gambar 41. Yang perlu
diperhatikan adalah bahwa tingkat pengeluaran ikan awetan lainnya v049 juga tergolong tinggi.
Hal ini mengindikasikan bahwa penggolongan jenis ikan perlu diperbaiki, karena beberapa jenis ikan awetan baik dari laut maupun dari darat
yang mungkin banyak dikonsumsi penduduk Indonesia namun tidak tercantum dalam kelompok ikan awetan yang sudah ada seperti misalnya
ikan jambal roti atau ikan pari. Tingkat konsumsi setiap jenis ikan awetan di berbagai propinsi di
Indonesia disajikan pada Lampiran 26. Rata-rata tingkat pengeluaran ikan teri awetan terbesar adalah penduduk
di seluruh wilayah Sumatera kecuali Lampung dan Bangka Belitung Barat, sejalan dengan angka partisipasi konsumsi dan tingkat konsumsinya.
Tingkat pengeluaran ikan teri terendah adalah wilayah Maluku dan Kalimantan Tengah
sejalan pula dengan tingkat partisipasi konsumsi dan tingkat konsumsinya yang juga rendah.
1800 1600
1400 1200
1000 800
600 400
200 v040
v041 v042 v043 v044 v045 v046 v047 v048 v049
Gambar 41. Tingkat Pengeluaran Setiap Jenis Ikan Awetan Berdasarkan Data
Susenas Tahun 2008
Keterangan: v040
: jumlah pengeluaran ikan kembung peda
v041 :
jumlah pengeluaran ikan tenggiri v042
: jumlah pengeluaran ikan tongkoltunacakalang
v043 :
jumlah pengeluaran ikan teri v044
: jumlah pengeluaran ikan selar
v045 :
jumlah pengeluaran ikan sepat v046
: jumlah pengeluaran ikan bandeng
v047 :
jumlah pengeluaran ikan gabus v048
: jumlah pengeluaran ikan dalam kaleng
v049 :
jumlah pengeluaran ikan lainnya
Rata-rata tingkat pengeluaran ikan tongkoltunacakalang awetan terbesar adalah
propinsi Bali,
Nusa Tenggara
Barat dan
Jawa Timur.
Tingkat pengeluaran
di wilayah lain tergolong rendah dan terendah adalah wilayah Papua dan Papua Barat, sejalan juga dengan tingkat partisipasi konsumsi dan
tingkat konsumsi yang juga paling rendah di kedua propinsi tersebut. Rata-rata tingkat pengeluaran ikan kembung awetan paling besar yang
cukup menonjol adalah adalah wilayah Jawa Barat, Aceh dan Riau yang sejalan juga dengan tingkat partisipasi konsumsi dn tingkat konsumsinya.
Tingkat konsumsi wilayah lain tergolong rendah, dan terendah adalah wilayah Sulawesi
Barat yaitu Rp. 0,-kapbulan seperti halnya tingkat partisipasi konsumsi dan tingkat konsumsinya.
6.4.4. Pola Pengeluaran Udang Awetan
Seperti halnya tingkat partisipasi konsumsi dan tingkat konsumsi, tingkat pengeluaran
kelompok udanghewan air yang di awetkan secara agregat juga didominasi oleh jenis udangebi, kemudian cumi-cumisotong, dan udanghewan
air lainnya yang diawetkan Gambar 42. Tingkat pengeluaran setiap jenis udang awetan di berbagai propinsi di Indonesia disajikan pada Lampiran 27.
Rata-rata tingkat pengeluaran udang awetan di seluruh propinsi sangat rendah, bahkan banyak propinsi yang tingkat pengeluarannya adalah nol seperti
di wilayah Maluku dan Maluku Utara, seluruh wilayah Papua Papua dan Papua Barat, Sulawesi Barat, Gorontalo dan Sulawesi Utara.
Hal ini sejalan juga dengan
tingkat partisipasi
konsumsi dan
tingkat konsumsinya.
Tingkat pengeluaran tertinggi yang menonjol adalah wilayah Sumatera Utara dan sejalan
juga dengan angka partisipasi konsumsi dan tingkat konsumsinya.
120 100
80 60
40 20
v050 v051
v052
Gambar 42. Tingkat Pengeluaran Setiap Jenis Ikan Awetan Berdasarkan Data
Susenas Tahun 2008
Keterangan: v050
: jumlah pengeluaran udang ebi
v051 :
jumlah pengeluaran cumi-cumisotong v052
: jumlah pengeluaran udang dan hewan air lainnya lainnya
v208 Jumlah pengeluaran untuk makanan Jadi
Rata-rata tingkat pengeluaran cumisotong awetan di seluruh propinsi
juga sangat rendah,
bahkan banyak
propinsi yang tingkat
pengeluarannya adalah nol seperti di seluruh wilayah Maluku Maluku dan Maluku Utara, seluruh
wilayah Papua Papua dan Papua Barat, Sulawesi Barat, Gorontalo, Sulawesi Utara, Kalimantan Tengah, Bengkulu, dan DI Yogyakarta.
Hal ini sejalan juga dengan
tingkat partisipasi
konsumsi dan
tingkat konsumsinya.
Tingkat pengeluaran tertinggi adalah wilayah DKI Jakarta, Banten, dan Jawa Timur.
VII. MODEL PERMINTAAN IKAN DI INDONESIA
Pemodelan suatu fenomena seringkali tidak cukup hanya dengan satu persamaan,
namun diperlukan
beberapa persamaan.
Pada Bab
IV telah
disebutkan bahwa ditinjau dari sifat hubungan antar persamaan terdapat model persamaan
tunggal dan
model persamaan
simultan. Penggunaan
metode Ordinary Least Square OLS untuk menduga parameter persamaan tungga
sangat populer karena penggunaannya yang relatif mudah. Namun penggunaan metode
ini seringkali
dihadapkan pada
masalah heteroskedastisitas
dan autokorelasi. Masalah heteroskedastisitas sering terjadi pada analisis data yang
bersifat cross section, sedangkan masalah autokorelasi sering terjadi pada data runtun waktu. Pelanggaran terhadap asumsi tersebut mengakibatkan dugaan
yang dihasilkan tetap tak bias tapi tidak efisien Gujarati, 1986. Masalah heteroskedastisitas sering terjadi pada analisis fungsi konsumsi
permintaan. Hal ini terjadi karena pada fungsi tersebut besarnya konsumsi
permintaan terhadap suatu barang dipengaruhi oleh besarnya pendapatan. Di
sisi lain,
semakin besar
pendapatan, semakin
banyak alternatif
untuk menggunakan pendapatannya tersebut atau semakin beragam pengeluaran
untuk konsumsi. Oleh karena itu untuk membuat model yang menggambarkan
fenomena tersebut,
diperlukan beberapa
persamaan konsumsi
yang harus
dipandang sebagai suatu sistem karena saling terkait. Adanya saling keterkaitan diantara
permintaan komoditas
membuat fungsi
permintaan bersifat
sistem menimbulkan masalah dalam pendugaan parameternya.
Metode pendugaan yang
digunakan harus
berupa metode
sistem, dengan
kata lain
semua persamaan
dalam model
digunakan secara
bersama-sama dan
akan memberikan hasil pendugaan parameter secara simultan. Pada penelitian ini,
model yang digunakan untuk menganalisis permintaan terhadap produk ikan adalah
model Quadratic
Almost Ideal
Demand System
QUAIDS dengan
pendekatan multistage budgeting approach. Studi pendahuluan yang dilakukan
oleh Virgantari et al 2010 menunjukkan bahwa model QUAIDS memberikan hasil yang lebih baik daripada model LAAIDS. Selain terlihat dari peningkatan
nilai koefisien determinasi sistem, hal tersebut juga diindikasikan oleh kurva Engel masing-masing komoditas yang tidak linear berdasarkan hasil pengujian
Lampiran 28. Ketidaklinearan kurva Engel ini sering dijumpai pada studi
permintaan empiris, seperti ditunjukkan oleh Banks et.al 1997, Dey 2000, Katchova dan Chern 2004.
Pada penelitian
ini diasumsikan
bahwa seorang
konsumen mengalokasikan
pendapatannya secara
bertahap. Pada
tahap pertama
konsumen mengalokasikan pendapatannya untuk pengeluaran makanan dan bukan makanan.
Tahap kedua konsumen mengalokasikan porsi pengeluaran untuk makanan ke dalam kelompok ikan dan bukan ikan.
Sedangkan pada tahap ketiga konsumen mengalokasikan porsi pengeluaran ikan berdasarkan
kelompok ikan yang digunakan yaitu ikan segar kelompok 1, udanghewan air lain yang segar kelompok 2, ikan awetan kelompok 3, udanghewan air lain
yang diawetkan kelompok 4. Penggolongan jenis ikan secara lebih rinci dapat
dilihat pada Bab V. Pada tahap pertama stage 1 pendugaan parameter model dilakukan
dengan metode
kuadrat terkecil
Ordinary least
SquareOLS. Selanjutnya
nilai dugaan
dari tahap
pertama tersebut
digunakan untuk
melakukan pendugaan pada tahap 2 stage 2 dengan menggunakan metode kemungkinan maksimum.
Nilai dugaan dari tahap ini selanjutnya digunakan untuk
menduga fungsi
permintaan setiap
jenis kelompok
ikan dengan
pendekatan sistem stage 3. Nilai dugaan dari ketiga tahap tersebut akan
dibahas pada sub bab berikut. Sub bab berikutnya membahas nilai elastisitas pendapatan, elastisitas harga sendiri dan elastisitas harga silang.
7.1. Dugaan Parameter Model Permintaan 7.1.1. Dugaan Parameter Model Permintaan pada Stage-1
Dugaan parameter fungsi pengeluaran pangan pada stage 1 disajikan pada Tabel 34, sedangkan program dan outputnya dapat dilihat pada Lampiran
29. Model yang diperoleh dari stage-1 terlihat cukup baik seperti terlihat dari nilai koefisien determinasi lebih dari 70 persen.
Pada tahap ini diperoleh dugaan koefisien dummy wilayah desa-kota bertanda positif dan signifikan.
Hal ini menunjukkan bahwa tingkat pengeluaran pangan masyarakat perkotaan secara
signifikan lebih tinggi dibandingkan masyarakat perdesaan. Koefisien jumlah
anggota rumah tangga juga berpengaruh secara signifikan dan bertanda positif, yang mengindikasikan bahwa semakin banyak anggota rumah tangga, maka
semakin besar pula tingkat pengeluaran pangannya. Pada tahap pertama ini, golongan pengeluaran ternyata tidak berpengaruh secara signifikan.
Dummy wilayah Sumatera, Jawa-Bali dan Sulawesi bertanda positif
dan signifikan, sedangkan koefisien wilayah Maluku bertanda negatif dan signifikan.
Hal ini menunjukkan bahwa tingkat pengeluaran di ketiga wilayah tersebut termasuk
paling tinggi dan lebih tinggi daripada wilayah Papua, sedangkan wilayah Maluku adalah yang paling
rendah. Dummy 3 Nusa Tenggara dan dummy 4
Kalimantan tidak
berpengaruh secara
signifikan. Koefisien
indeks harga
pangan bertanda
negatif dan
berpengaruh signifikan,
menunjukkan bahwa
semakin tinggi harga suatu komoditas pangan, maka tingkat pengeluarannya akan semakin kecil. Pada tahap ini terlihat bahwa faktor kuadratik dari logaritma
pengeluaran per kapita berpengaruh secara signifikan, hal ini menunjukkan bahwa respon pengeluaran pangan terhadap total pendapatan tidak linear.
Tabel 34. Dugaan Koefisien Fungsi Permintaan Pangan Stage 1 Berdasarkan
Data Susenas Tahun 2008
Keterangan: : signifikan pada taraf
=1, : signifikan pada taraf
=5,
tn :
tidak signifikan
7.1.2. Dugaan Parameter Model Permintaan pada Stage-2
Tabel 35 menyajikan dugaan koefisien fungsi permintaan ikan stage 2, sedangkan program dan output analisis dapat dilihat pada Lampiran 30. Pada
tahap ini, seluruh peubah berpengaruh signifikan terhadap permintaan ikan. Koefisien
wilayah desa-kota
bertanda positif,
menunjukkan bahwa
secara signifikan permintaan ikan di kota lebih besar daripada di desa. Koefisien jumlah
anggota rumahtangga bertanda positif, menunjukkan bahwa semakin banyak jumlah
anggota tumahtangga
semakin besar pula
tingkat permintaan
ikan. Dummy wilayah kepulauan semua bertanda negatif, menunjukkan bahwa tingkat
permintaan di semua wilayah berbeda nyata dengan permintaan ikan di Papua, dengan permintaan tertinggi adalah wilayah Maluku dan terendah adalah wilayah
Sumatera. Indeks harga ikan bertanda negatif dengan angka yang cukup besar,
Peubah Dugaan Parameter
Intersep -2.4057
Wilayahdesa-kota 0.0055
Jumlah anggota RT 0.0414
Golongan Pengeluaran
tn
-0.0001 Dummy 1 Sumatera
0.1615 Dummy 2 Jawa-Bali
0.1540 Dummy 3 NT
tn
0.0353 Dummy 4 Kalimantan
tn
0.0329 Dummy 5 Sulawesi
0.0372 Dummy 6 Maluku
-0.0394 Indeks Harga pangan
-0.2234 Log Pengeluaran non-pangan
0.5726 Log Pengeluaran
1.7899 Kuadrat Log Pengeluaran
-0.1722 Koefisien Determinasi
70.7
menunjukkan bahwa bila harga ikan menurun, makan tingkat permintaan akan naik dan sebaliknya. Bentuk kuadratik dari logaritma pengeluaran pangan juga
berpengaruh signifikan dan bertanda negatif. Hal ini menunjukkan bahwa respon pengeluaran ikan terhadap perubahan pengeluaran pangan tidak linear dengan
arah sebaliknya. Tabel 35. Dugaan Koefisien Fungsi Permintaan Ikan Stage 2 Berdasarkan
Data Susenas Tahun 2008
Keterangan: : signifikan pada taraf
=1,
7.1.3. Dugaan Parameter Model Permintaan pada Stage-3
Tabel 36 menyajikan nilai dugaan koefisien sistem permintaan ikan ikan segar, udanghewan air lain yang segar, ikan awetan, dan udanghewan air lain
yang diawetkan dari tahap ketiga, sedangkan program dan output analaisis dapat dilihat pada Lampiran 31. Dari tahap ini terlihat bahwa semua peubah
berpengaruh signifikan terhadap fungsi permintaan masing-masing kelompok ikan dengan nilai koefisien determinasi sistem 67.3.
Pada fungsi permintaan ikan segar terlihat bahwa koefisien wilayah desa- kota bertanda positif, menunjukkan bahwa tingkat pengeluaran ikan di perkotaan
lebih besar daripada di perdesaan. Peubah jumlah anggota rumah tangga juga
Peubah Dugaan Koefisien
Intersep -52.3120
Wilayahdesa-kota 0.0992
Jumlah anggota RT 0.2694
Golongan pengeluaran -0.1167
Dummy 1 Sumatera -5.6136
Dummy 2 Jawa-Bali -4.6710
Dummy 3 NT -3.9837
Dummy 4 Kalimantan -3.0727
Dummy 5 Sulawesi -1.9146
Dummy 6 Maluku -0.7375
Indeks Harga Ikan -13.0292
Log Pengeluaran Pangan 20.5353
Kuadrat Log Pengeluaran Pangan ‐1.6994
berpengaruh positif, yang menunjukkan bahwa semakin banyak jumlah anggota rumahtangga semakin tinggi permintaan terhadap ikan segar.
Dummy wilayah kepulauan semua bertanda positif, menunjukkan bahwa pemintaan rumahtangga
terhadap kelompok ikan segar di Sumatra, Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Sulawesi, Kalimantan, dan Maluku semuanya lebih besar daripada di Papua dan Papua
Barat. Semua koefisien dummy wilayah pada fungsi permintaan keempat
kelompok ikan menunjukkan angka tertinggi di wilayah Kalimantan dan terendah di wilayah Jawa-Bali. Koefisien harga sendiri bertanda negatif, menunjukkan
bahwa semakin tinggi harga ikan segar, maka permintaannya semakin rendah, dan sebaliknya semakin rendah harga ikan segar, maka permintaannya semakin
tinggi, dan
hal tersebut
sesuai dengan
hukum Ekonomi
mengenai teori
permintaan. Koefisien pengeluaran ikan bertanda negatif, sedangkan bentuk
kuadratiknya bertanda positif dan signifikan. Hal ini mengindikasikan bahwa
kurva Engel untuk komoditas ikan segar tidak bersifat linear, artinya bahwa tingkat pendapatan mengalami kenaikan yang lebih cepat daripada tingkat
permintaan ikan segar. Pada fungsi permintaan udang segar terlihat bahwa koefisien wilayah
desa-kota bertanda positif, menunjukkan bahwa tingkat pengeluaran udang segar di perkotaan lebih besar daripada di perdesaan.
Peubah jumlah anggota rumah tangga juga berpengaruh positif, yang menunjukkan bahwa semakin
banyak jumlah anggota rumahtangga semakin tinggi permintaan terhadap udang segar.
Dummy wilayah kepulauan semua bertanda positif, menunjukkan bahwa pemintaan rumahtangga terhadap kelompok udang segar di Sumatra, Jawa, Bali,
Nusa Tenggara,
Sulawesi, Kalimantan, dan Maluku
semuanya lebih
besar daripada di Papua dan Papua Barat.
Tabel 36. Dugaan koefisien sistem permintaan ikan segar, udanghewan air
lain yang segar, ikan awetan, dan udanghewan air lain yang diawetkan dengan model QUAIDS
Keterangan: : signifikan pada taraf
=1, : signifikan pada taraf
=5
Koefisien harga sendiri semuanya bertanda negatif, menunjukkan bahwa semakin tinggi harga udang segar, maka permintaannya semakin rendah, dan
sebaliknya semakin rendah harga udang segar, maka permintaannya semakin tinggi,
dan hal
tersebut sesuai
dengan hukum
Ekonomi mengenai
teori permintaan.
Koefisien pengeluaran udang segar bertanda negatif, sedangkan bentuk kuadratiknya bertanda positif dan signifikan.
Hal ini mengindikasikan bahwa kurva Engel untuk komoditas udang
segar tidak bersifat linear, artinya bahwa tingkat pendapatan mengalami kenaikan yang
lebih cepat daripada tingkat permintaan udang segar.
Pada fungsi permintaan ikan awetan terlihat bahwa koefisien wilayah desa-kota juga bertanda positif, menunjukkan bahwa tingkat pengeluaran ikan
awetan di perkotaan lebih besar daripada di perdesaan. Peubah jumlah anggota
Koefisien Komoditas
Ikan Segar Udang
Segar Ikan awetan
Udang awetan
Intersep -0.3209
0.6854 -0.3076
0.9431 Wilayahdesa-kota
0.1276 0.0743
0.0880 -0.0362
Jumlah anggota RT 0.0091
-0.0064 0.0253
-0.0060 Golongan pengeluaran
0.0461 0.0013
0.0496 -0.0043
Dummy 1 Sumatera 0.7452
0.1643 0.7753
0.0218 Dummy 2 Jawa-Bali
0.7022 0.1129
0.7649 0.0060
Dummy 3 NT 0.9337
0.2841 0.8452
0.0784 Dummy 4 Kalimantan
0.9573 0.3017
0.8747 0.0962
Dummy 5 Sulawesi 0.7294
0.1377 0.7697
0.0185 Dummy 6 Maluku
0.7905 0.2572
0.8894 0.0744
Log P
ikan segar
-0.6352 0.2689
0.2224 0.1439
Log P
udang segar
0.2869 -0.5613
0.1424 0.1499
Log P
ikan awetan
0.2224 0.1424
-0.4312 0.0667
Log P
udang awetan
0.1439 0.1499
0.0668 -0.3607
Log Pengeluaran ikan -0.2925
-0.2001 -0.3632
-0.1136 Kuadrat Log
Pengeluaran ikan 0.0513
0.0317 0.0801
0.0179
2
R sistem 67.3