permasalahan gizi yang masih dihadapi masyarakat Indonesia. Pola makan
yang tidak seimbang dapat mengakibatkan gangguan kesehatan yang serius terutama munculnya penyakit-penyakit degeneratif yang prevalensinya terus
meningkat pada golongan ekonomi menengah ke atas. Pada beberapa golongan etnik Indonesia, kedudukan ikan dalam susunan
menu makanan keluarga telah menjadi bagian dari budaya. Kebiasaan makan
itu terjadi tidak saja melalui proses sosialisasi dalam sistem sosial masyarakat bersangkutan, tetapi juga telah menyatu dalam selera makan anggota keluarga
dan ditunjang oleh ketersediaan bahan makanan di alam. Konsumsi pangan sangat bervariasi dari satu wilayah ke wilayah lainnya.
Demikian pula dengan tingkat dan pola konsumsi ikan. Berdasarkan data
Kementerian Kelautan Perikanan KKP
1
pada tahun 2005 disparitas konsumsi tergambar dari tingkat konsumsi Daerah Istimewa Yogjakarta DIY sebesar 8.3
kgkapitatahun terendah dan Maluku Utara 54.71 kgkapitatahun tertinggi. Variasi ini juga terjadi pada kelompok konsumsi ikan segar, ikan asin, dan produk
makanan jadi. Oleh karena itu sangat penting untuk memperoleh informasi
tentang ketersediaan kecukupan konsumsi ikan hingga ke tingkat rumah tangga agar tercapai target pemerintah Bappenas, 2008.
Konsumsi ikan per kapita dipengaruhi oleh banyak faktor yang secara signifikan tercermin dari konsep food security yang meliputi kecukupan volume
produksi food availability dan akses terhadap bahan pangan tersebut food access termasuk keterjangkauan harga oleh masyarakat price affordability.
Faktor-faktor lain yang berpengaruh misalnya masalah kultur atau budaya, persepsi
terhadap ikan
sebagai produk
pangan, dan
tingkat pendapatan
keluarga. Di samping itu juga dapat dilihat preferensi yang dihubungkan dengan
1
Pada tahun 2009 nomenklatur Departemen Kelautan dan Perikanan DKP berubah menjadi Kementerian Kelautan dan Perikanan KKP.
kondisi geografis
seperti daerah
pesisir atau
pedalaman. Preferensi
juga dipengaruhi
oleh tingkat
pendidikan atau
pengetahuan gizi
masyarakat. Variabel-variabel
tersebut berinteraksi
dengan aspek
residual antara
ketersediaan volume ikan untuk konsumsi domestik dengan ekspor, yang pada
akhirnya menentukan pola dan tingkat konsumsi ikan per kapita. Oleh karena
itu, perlu dianalisis pola konsumsi ikan masyarakat Indonesia, yang sekaligus juga menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhinya.
1.3. Tujuan dan manfaat penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah: 1 Menganalisis pola konsumsi dan kontribusi produk perikanan terhadap pola
konsumsi penduduk 2 Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi struktur permintaan produk
perikanan penduduk Indonesia 3 Menduga nilai elastisitas permintaan produk perikanan di Indonesia
4 Merumuskan opsi kebijakan yang diperlukan untuk mendukung peningkatan konsumsi ikan masyarakat Indonesia
Hasil kajian
ini diharapkan
dapat digunakan
sebagai masukan
bagi pemerintah
dalam menyusun
kebijakan pangan
dan gizi
terutama upaya
pemenuhan kebutuhan konsumsi ikan rumahtangga Indonesia. Selain itu, hasil
penelitian ini
diharapkan dapat
memberikan informasi
mengenai preferensi
konsumsi produk perikanan berdasarkan aspek ekonomi dan sosial sebagai ciri pembeli pada konsumen rumahtangga.
1.4. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian
Produk perikanan bila dilihat dari sisi permintaan dapat digolongkan menjadi
dua yakni permintaan untuk konsumsi rumah tangga dan permintaan
untuk bahan baku industri pengolahan. Ketersediaan konsumsi ikan untuk tingkat rumah tangga dan nasional sangat terkait dengan kebutuhan konsumsi ikan.
Secara nasional, ketersediaan ikan untuk konsumsi dapat dihitung dari total produksi ditambah dengan impor produk perikanan dikurangi dengan total ekspor
produk perikanan. Tinggi rendahnya permintaan masyarakat terhadap ikan ditandai dengan
tinggi rendahnya tingkat konsumsi ikan di masyarakat. Faktor – faktor yang
mempengaruhi tinggi rendahnya konsumsi ikan tersebut dibagi menjadi dua dimensi yakni menurut dimensi mikro dan makro. Tingkat konsumsi ikan menurut
dimensi mikro sangat dipengaruhi oleh faktor ketersediaan ikan di masyarakat, harga ikan, daya beli masyarakat, pengetahuan masyarakat, nilai sosial budaya
dan preferensi masyarakat. Penelitian difokuskan pada aspek mikro, yaitu konsumsi ikan di tingkat
rumahtangga berdasarkan data Survey Sosial Ekonomi Nasional SUSENAS tahun 2008 data Susenas tahun 2011 belum diperoleh dengan melakukan
pengelompokan menurut wilayah perdesaan-perkotaan, golongan pendapatan, serta
wilayah kepulauan.
Pengelompokan golongan
pendapatan dan
pengelompokan jenis ikan yang digunakan sesuai dengan pengelompokan jenis ikan
yang dilakukan
oleh Badan
Pusat Statistik
BPS. Sesuai
dengan ketersediaan
data Susenas,
analisis yang
dilakukan hanya
menelaah sisi
konsumen dan mengabaikan konsumen yang mungkin berperan pula sebagai produsen.
Dalam hal ini rumahtangga nelayan tidak dianalisis secara khusus karena umumnya rumahtangga nelayan berperan sebagai produsen sekaligus
sebagai konsumen.
Selain itu
penggunaan peubah
jumlah anggota
rumahtangga dalam penelitian ini tidak mempertimbangkan jenis kelamin dan kelompok umur, sesuai dengan ketersediaan data.
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah bahwa Susenas tahun 2008 dilakukan pada bulan Juli, di mana pada bulan tersebut biasanya rumahtangga
mulai mempersiapkan keperluan sekolahpendidikan bagi anak-anaknya. Bagi
beberapa rumahtangga,
hal tersebut
mungkin akan
berpengaruh terhadap
besarnya alokasi pengeluaran untuk makanan dalam keluarga. Selain itu,
metode re-call
yang digunakan
dalam Susenas
mengharuskan responden
mengingat kuantitas dan nilai komoditas yang dikonsumsi selama seminggu yang lalu. Konsumsi makanan jadi dalam rumah tangga memerlukan kajian
khusus tentang kuantitas komoditas yg dikonsumsi. Konsumsi makanan jadi
akibat kebiasaan makan di luar rumah yang menjadi kecenderungan dalam rumah tangga saat ini memerlukan kajian khusus tentang kuantitas komoditas
yang dikonsumsi.
1.5. Kontribusi Penelitian
1. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data survey. Permasalahan
utama yang sering dihadapi dalam survey konsumsi rumah tangga adalah adanya rumah tangga yang tidak mengkonsumsi komoditas tertentu atau
dikenal dengan
istilah zero
consumption atau
zero expenditure.
Permasalahan tersebut
akan berimplikasi
pada metode
pendugaan parameter dari model yang dipakai. Penelitian ini menggunakan metode
multistage budgetting approach yang sudah mengakomodir permasalahan zero consumptionzero expenditure tersebut.
2. Selama ini model yang sering dipakai dalam analisis konsumsi rumahtangga
adalah model AIDS Almost Ideal Demand System yang diperkenalkan
pertama kali oleh Deaton dan Muellbauer pada tahun 1980. Model AIDS
mempunyai share anggaran yang merupakan fungsi linear dari logaritma
total anggaran pendapatan. Akan tetapi, model AIDS sulit menangkap
pengaruh ketidaklinearan kurva Engel seperti yang sering ditemukan dalam studi permintaan empiris. Selain itu, model AIDS belum dapat menangkap
informasi mengenai perbedaan kelas pendapatan dan perbedaan wilayah. Untuk
menjaga sifat-sifat
positif model
AIDS serta
memelihara kekonsistenan
dengan kurva
Engel dan
pengaruh harga
relatif dalam
maksimisasi utilitas, dalam penelitian ini digunakan model Quadratic AIDS QUAIDS yang dikembangkan oleh Banks et al 1997.
3. Selama ini studi yang banyak dilakukan adalah studi mengenai permintaan
pangan secara umum. Studi mengenai permintaan produk ikan umumnya dijadikan satu dengan studi mengenai permintaan pangan hewani. Di sisi
lain informasi mengenai pola konsumsi ikan dan bagaimana respon terhadap perubahan
harga dan
perubahan pendapatan
sangat diperlukan
untuk menduga kesejahteraan,
pengaruh perubahan teknologi,
perkembangan infrastruktur, atau kebijakan ekonomi lain.
Informasi ini diperlukan secara lebih spesifik, bukan hanya ikan secara keseluruhan. Penelitian mengenai
permintaan ikan secara spesifik termasuk suatu hal baru, khususnya di negara berkembang.
4. Selama ini ikan merupakan produk pangan hewani penyumbang terbesar
konsumsi pangan hewani di Indonesia, namun tingkat konsumsi produk perikanan
penduduk Indonesia
masih tergolong
rendah. Dengan
menganalisis pola konsumsi di tingkat rumahtangga berdasarkan golongan pengeluaran dan wilayah, maka dapat kebijakan peningkatan konsumsi ikan
dapat diterapkan
dengan tepat.
Untuk mengetahui
sejauh mana
konsumsipermintaan ikan di masa yang akan datang, maka elastisitas pendapatan dan elastisitas harga merupakan determinan penting.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kandungan Protein Hewani Asal Ikan
Protein berasal dari kata Yunani ’proteos’ yang berarti ’utama’ atau ’didahulukan’, merupakan salah satu zat gizi yang penting bagi tubuh manusia.
Protein berfungsi sebagai zat pembangun atau pertumbuhan dan zat pengatur tubuh.
Disebut sebagai zat pembangun atau pertumbuhan karena protein memelihara sel-sel dan membentuk jaringan baru dalam tubuh. Disebut sebagai
zat pengatur karena protein merupakan bahan pembentuk enzim dan hormon yang
berperan sebagai
zat pengatur
dalam metabolisme
tubuh, mempertahankan daya tahan tubuh terhadap serangan penyakit tertentu serta
merupakan komponen pembentuk antibodi Fauzan, 2006. Berdasarkan sumbernya, protein dibedakan menjadi dua golongan yaitu
protein hewani dan protein nabati. Sumber protein nabati antara lain adalah
kacang-kacangan, sedangkan sumber protein hewani antara lain adalah ikan. Ikan merupakan salah satu sumber protein hewani yang sangat potensial karena
mengandung omega-3 dan kaya vitamin A sehingga mempunyai kemampuan mencegah timbulnya penyakit.
Ikan mengandung 18 protein yang terdiri dari asam-asam
amino esensial
yang tidak
rusak pada
waktu pemasakan.
Kandungan lemaknya 1-20 merupakan lemak yang mudah dicerna serta langsung dapat digunakan oleh jaringan tubuh. Kandungan lemak tersebut
sebagian besar adalah asam lemak tak jenuh dibutuhkan untuk pertumbuhan dan dapat menurunkan kolesterol darah. Berikut tabel kandungan zat gizi pada
ikan yang sering dikonsumsi yaitu ikan mas, kakap dan kembung.