Elastisitas Permintaan Analysis of demand for fish in indonesia a cross sectional study

Elastisitas permintaan udang segar untuk semua golongan pengeluaran bernilai 1.2 sampai 1.8 atau bersifat elastis, artinya bahwa permintaan udang segar dipengaruhi oleh perubahan pendapatan. Bila pendapatan naik satu persen, maka permintaan udang segar akan naik sebesar 1.2 sampai 1.8 persen. Berdasarkan angka elastisitas, terlihat bahwa kelompok pendapatan 4 dan 5 Rp.200 000kapbulan sampai Rp.500 000 kapbulan paling responsif terhadap permintaan udang segar bila terjadi perubahan tingkat pendapatan. Tahun 2000an, di Thailand elastisitas pendapatan untuk komoditas udang segar juga bersifat elastis, sedangkan di Bangladesh elastis untuk kelompok pendapatan rendah dan tidak elastis untuk kelompok pendapatan menengah ke atas. Di Philipina elastisitas pendapatan untuk komoditas udang segar sangat tinggi lebih dari 3, baik bagi kelompok miskin poor maupun kaya non-poor. Hal ini menunjukkan bahwa di Indonesia, Thailand dan Philipina udang segar termasuk luxury goods untuk semua kelompok pendapatan, sedangkan di Bangladesh udang segar termasuk luxury goods bagi golongan miskin dan necessity goods bagi golongan kaya. Elastisitas permintaan ikan awetan pada semua golongan pengeluaran bernilai 1.3 sampai 1.7 atau bersifat elastis, seperti halnya udang segar; artinya bahwa permintaan ikan awetan dipengaruhi oleh perubahan pendapatan. Bila pendapatan naik satu persen, maka permintaan ikan awetan akan naik sebesar 1.3 sampai 1.7 persen. Berdasarkan angka elastisitas, terlihat bahwa semakin tinggi tingkat pendapatan, semakin besar nilai elastisitasnya, atau semakin responsif permintaan ikan awetan terhadap perubahan tingkat pendapatan. Tahun 2000an di Thailand dried fish juga elastis terhadap perubahan pendapatan pada semua kelompok pendapatan dengan nilai elastisitas berkisar dari 1.3 sampai 1.5; sedangkan di Bangladesh dried fish elastis pada kelompok pendapatan rendah dan tidak elastis pada kelompok pendapatan menengah ke atas, seperti halnya udang segar. Elastisitas permintaan udang awetan pada semua golongan pengeluaran bernilai 1.6 sampai 2.7 atau bersifat elastis, seperti halnya udang segar dan ikan awetan; artinya bahwa permintaan udang awetan sangat dipengaruhi oleh perubahan pendapatan. Bila pendapatan naik satu persen, maka permintaan ikan awetan akan naik sebesar 1.6 sampai 2.7 persen. Berdasarkan angka elastisitas, terlihat bahwa kelompok pendapatan 4 sampai kelompok pendapatan 6 Rp.200 000kapbulan sampai Rp.750 000 kapbulan paling responsif terhadap permintaan udang awetan apabila terjadi perubahan tingkat pendapatan. Elastisitas pendapatan total dari stage 1, stage 2, dan stage 3 untuk semua kelompok ikan semua juga bertanda positif dengan nilai berkisar dari 0.12 sampai 5.22. Hal ini menunjukkan bahwa keempat kelompok ikan yang dianalisis merupakan barang normal, bukan barang inferior. Nilai elastisitas keempat kelompok ikan tersebut menunjukkan pola yang sama, yaitu semakin kecil dari kelompok pendapatan satu sampai kelompok pendapatan kelima, kemudian naik tajam, dan menurun lagi dari kelompok pendapatan keenam sampai kedelapan. Hal ini menunjukkan bahwa pada rumah tangga dengan pendapatan di atas Rp.2 000 000,- per bulan lebih responsif terhadap perubahan pendapatan. Jika pendapatan meningkat 1 persen, maka permintaan terhadap ikan segar dan awetan serta udanghewan air yang segar dan yang diawetkan akan meningkat lebih dari 1 persen. Elastisitas kelompok ikan segar berkisar dari 0.12 sampai 1.48. Pada kelompok pendapatan kesatu sampai kelima permintaan ikan segar terlihat inelastis dengan kisaran 0.12 sampai 0.53 dan nilainya semakin kecil dengan semakin meningkatnya pendapatan. Hal ini menunjukkan bahwa pada kelompok pendapatan rendah dan menengah kurang dari Rp. 500 000kapitabulan per- mintaan ikan segar tidak responsif terhadap perubahan pendapatan atau dapat dikatakan bahwa ikan segar merupakan barang kebutuhan necessity dalam susunan menu keluarga di Indonesia pada kelompok pendapatan satu sampai lima. Pada kelompok pendapatan di atas Rp. 500 000kapitabulan permintaan ikan segar lebih elastis dengan nilai elastisitas 1.18 sampai 1.48 dan nilainya semakin kecil dengan semakin meningkatnya pendapatan. Hal ini mengindikasikan bahwa pada kelompok pendapatan tinggi komoditas ikan segar lebih dianggap sebagai barang mewah. Elastisitas kelompok udang segar berkisar dari 0.47 sampai 4.85. Pada kelompok pendapatan keempat sampai kelima permintaan udang segar terlihat inelastis dengan kisaran 0.47 sampai 0.85, sedangkan pada kelompok pendapatan rendah dan tinggi permintaannya elastis. Hal ini menunjukkan bahwa pada kelompok pendapatan menengah permintaan udang segar tidak responsif terhadap perubahan pendapatan, sedangkan pada kelompok pendapatan rendah dan tinggi lebih responsif. Dapat dikatakan bahwa udang segar merupakan barang kebutuhan necessity dalam susunan menu keluarga di Indonesia pada kelompok pendapatan menengah dan merupakan barang mewah pada kelompok pendapatan rendah dan tinggi. Tahun 2000an, di Thailand elastisitas pendapatan untuk komoditas udang segar juga bersifat elastis, sedangkan di Bangladesh elastis untuk kelompok pendapatan rendah dan tidak elastis untuk kelompok pendapatan menengah ke atas. Di Philipina elastisitas pendapatan untuk komoditas udang segar sangat tinggi lebih dari 3, baik bagi kelompok miskin poor maupun kaya non-poor. Hal ini menunjukkan bahwa di Indonesia, Thailand dan Philipina udang segar termasuk luxury goods untuk beberapa kelompok pendapatan, sedangkan di Bangladesh udang segar termasuk luxury goods bagi golongan miskin dan necessity goods bagi golongan kaya. Elastisitas permintaan ikan awetan berkisar 0.42 sampai 5.03. Pada kelompok pendapatan ketiga sampai kelima permintaan ikan awetan terlihat inelastis dengan kisaran 0.42 sampai 0.95, sedangkan pada kelompok pendapatan rendah dan tinggi permintaannya elastis. Hal ini menunjukkan bahwa pada kelompok pendapatan menengah permintaan ikan awetan tidak responsif terhadap perubahan pendapatan, sedangkan pada kelompok pendapatan rendah dan tinggi lebih responsif dengan kisaran 1.2 sampai 5.03. Dapat dikatakan bahwa ikan awetan merupakan barang kebutuhan necessity dalam susunan menu keluarga di Indonesia pada kelompok pendapatan menengah dan merupakan barang mewah pada kelompok pendapatan rendah dan tinggi. Tahun 2000an di Thailand dried fish juga elastis terhadap perubahan pendapatan pada semua kelompok pendapatan dengan nilai elastisitas berkisar dari 1.3 sampai 1.5; sedangkan di Bangladesh dried fish elastis pada kelompok pendapatan rendah dan tidak elastis pada kelompok pendapatan menengah ke atas, seperti halnya udang segar. Elastisitas permintaan udang awetan bernilai 0.69 sampai 5.2. Pada kelompok pendapatan kelima permintaan udang awetan terlihat inelastis dengan nilai elastisitas 0.69, sedangkan pada kelompok pendapatan rendah dan tinggi permintaannya elastis dengan kisaran 1.1 sampai 5.2. Hal ini menunjukkan bahwa pada kelompok pendapatan menengah permintaan udang awetan tidak responsif terhadap perubahan pendapatan, sedangkan pada kelompok pendapatan rendah dan tinggi lebih responsif. Dapat dikatakan bahwa udang awetan merupakan barang kebutuhan necessity dalam susunan menu keluarga di Indonesia pada kelompok pendapatan menengah dan merupakan barang mewah pada kelompok pendapatan rendah dan tinggi.

7.2.2. Elastisitas Harga Sendiri

Untuk melihat bagaimana respon permintaan keempat kelompok ikan apabila terjadi perubahan harga, maka berikut disajikan nilai elastisitas harga sendiri Tabel 38. Tabel tersebut menunjukkan bahwa tanda dari elastisitas harga sendiri semuanya negatif, sesuai dengan hukum permintaan yang menyatakan bahwa apabila harga naik, maka permintaan akan turun, dan sebaliknya. Elastisitas harga ikan segar, baik uncompensated maupun compensated bernilai kurang dari satu atau inelastis dengan kisaran -0.3 sampai -0.9, artinya bahwa kenaikan harga ikan segar akan diikuti oleh penurunan permintaan dengan proporsi yang lebih kecil, sebaliknya bila terjadi penurunan harga ikan segar maka akan diikuti pula oleh kenaikan permintaan dengan proporsi yang lebih kecil; dengan kata lain dapat disimpulkan bahwa permintaan terhadap ikan segar tidak terlalu dipengaruhi oleh perubahan harganya. Dari tabel tersebut juga dapat dilihat bahwa pada komoditas ikan segar, semakin tinggi tingkat pendapatan, semakin responsif terhadap perubahan harga ikan, seperti terlihat dari nilai elastisitas uncompensated maupun compensated. Konsumen yang tinggi tingkat pendapatannya merespon dengan kuat setiap perubahan harga ikan mungkin disebabkan karena ada kelebihan pendapatan untuk realokasi anggaran pembelanjaan ikan segar yang sudah menjadi kebutuhan dalam susunan menu sehari-hari. Sementara itu dengan semakin rendahnya tingkat pendapatan secara umum kebutuhan minimal akan protein ikan sudah terpenuhi sehingga adanya perubahan harga tidak besar responnya terhadap permintaan komoditas yang bersangkutan. Beberapa jenis ikan segar di Thailand, Philipina maupun Bangladesh mempunyai elastisitas lebih kecil dari satu nilai mutlak, dan nilainya semakin rendah dengan semakin meningkatnya pendapatan Lampiran 32. Elastisitas harga udang segar juga terlihat semakin besar dengan semakin tingginya tingkat pendapatan, baik pada nilai uncompensated maupun compensated, dengan kisaran nilai yang tidak terlalu bervariasi yaitu -0.9 sampai -1. Hal ini menunjukkan bahwa kenaikan harga udang segar akan diikuti oleh penurunan permintaan dengan proporsi yang bisa dikatakan sama, sebaliknya bila terjadi penurunan harga udang segar maka akan diikuti pula oleh kenaikan permintaan dengan proporsi yang kira-kira juga sama. Di Philipina dan Bangladesh komoditas udang segar tidak elastis tidak responsif terhadap perubahan harga. Pada semua kelompok pendapatan nilai elastisitasnya kurang dari 1. Sedangkan di Thailand elastisitas harga udang segar bersifat elastis pada semua kelompok pendapatan, baik compensated maupun uncompensated. Elastisitas harga ikan awetan bernilai kurang dari satu atau inelastis dengan kisaran -0.4 sampai -1.2. Pada elastisitas uncompensated terlihat nilainya semua lebih kecil dari satu secara mutlak atau inelastis, sedangkan elastisitas compensated semua bernilai lebih besar atau sama dengan satu elastis, dapat diartikan bahwa kenaikan harga ikan awetan akan diikuti oleh penurunan permintaan dengan proporsi yang lebih kecil atau sama besar, sebaliknya bila terjadi penurunan harga maka akan diikuti pula oleh kenaikan permintaan dengan proporsi yang lebih kecil atau sama. Hal ini bisa terjadi karena pada komoditas ikan asin elastisitas pendapatan dan share kelompok ikan atau udang yang lain ikut berpengaruh. Tidak terlihat pola yang spesifik, namun secara umum dapat dikatakan nilai elastisitas semakin kecil dengan semakin meningkatnya pendapatan. Hal serupa dapat dijumpai di Thailand dan Bangladesh. Nilai elastisitas harga dari beberapa studi dapat dilihat pada Lampiran 32. Tabel 38. Elastisitas Harga Sendiri Kelompok Ikan Segar, Udang Segar, Ikan Awetan, dan Udang Awetan, 2008 : Data dasar dari Susenas 2008, diolah Sedangkan untuk udanghewan air lain yang diawetkan dapat dikatakan bahwa nilai elastisitasnya adalah -1 elastisitas uniter, baik compensated maupun uncompensated, yang artinya bahwa kenaikan harga dalam persentase tertentu akan diikuti oleh penurunan jumlah yang diminta dalam persentase yang sama, dan sebaliknya penurunan harga udang awetan akan diikuti oleh kenaikan jumlah yang diminta dalam persentase yang sama. Secara umum, semakin banyak suatu komoditas mempunyai substitusinya maka semakin elastis permintaannya. Selain itu, semakin besar bagian pendapatan yang dibelanjakan untuk membeli suatu barang, maka semakin elastis pula permintaannya. Mungkin hal inilah yang menyebabkan secara umum, nilai elastisitas semua jenis ikan yang dianalisis semakin besar dengan semakin meningkatnya kelas pendapatan, khususnya ikan segar dan udang segar. Golongan Pengeluaran Kelompok Ikan Ikan Segar Udang Segar Ikan Awetan Udang Awetan Compensated 1 -0.33 -0.88 -0.52 -0.99 2 -0.35 -0.88 -0.50 -0.99 3 -0.37 -0.89 -0.49 -0.99 4 -0.35 -0.90 -0.52 -0.99 5 -0.33 -0.90 -0.55 -0.99 6 -0.73 -0.88 -0.44 -0.98 7 -0.73 -0.86 -0.46 -0.98 8 -0.72 -0.84 -0.52 -0.97 Uncompensated 1 -0.58 -0.92 -1.11 -1.00 2 -0.57 -0.92 -1.14 -1.01 3 -0.57 -0.94 -1.15 -1.01 4 -0.57 -0.97 -1.17 -1.02 5 -0.58 -0.99 -1.19 -1.02 6 -0.99 -1.00 -1.00 -1.02 7 -0.99 -1.00 -1.00 -1.01 8 -0.99 -1.00 -1.00 -1.01

7.2.3. Elastisitas Harga Silang

Elastisitas harga silang menunjukkan hubungan antara jumlah barang yang diminta terhadap perubahan harga barang lain yang mempunyai hubungan dengan barang tersebut. Hubungan tersebut dapat bersifat pengganti, dapat pula bersifat pelengkap. Terdapat tiga macam respons perubahan permintaan suatu barang karena perubahan harga barang lain, yaitu positif, negatif, dan nol. Elastisitas silang bernilai menunjukkan hubungan dua barang yang dapat saling menggantikan barang substitutif. Elastisitas silang bernilai negatif menunjukkan hubungan dua jenis barang tersebut yang bersifat komplementer pelengkap. Elastisitas silang bernilai nol menunukkan bahwa kedua macam barang tidak saling berkaitan. Elastisitas silang antar jenis kelompok ikan yang mewakili golongan pendapatan rendah, sedang, dan tinggi dapat dilihat pada Tabel 39. Berdasarkan tabel tersebut terlihat bahwa sebagian besar sekitar 58 persen nilai elastisitas silang bertanda positif, sebagian bertanda negatif 22 persen dan sisanya bernilai nol 20 persen. Namun nilai elastisitas yang bertanda positif pun sebagian besar bernilai sangat kecil, mendekati nol. Hal ini merupakan indikasi bahwa diantara keempat jenis komoditas ikan yang dianalisis sebagian besar tidak saling berkaitan. Nilai elastisitas yang sebagian besar bertanda positif menunjukkan bahwa diantara kedua kelompok ikan yang dianalisis bersifat saling menggantikan. Pada golongan pendapatan rendah kenaikan harga ikan segar sebesar 1 persen saja akan direspon dengan kenaikan harga udang awetan sebesar 1.3 persen compensated. Hal ini menunjukkan bahwa pada kelompok pendapatan rendah, ikan segar dan udang awetan bersifat substitusi, namun tidak berlaku sebaliknya. T abel 39. Elastisitas Silang Kelompok Ikan Segar, Udang Segar, Ikan Awetan, dan Udang Awetan, 2008 : Data dasar dari Susenas 2008, diolah Pada golongan pendapatan menengah kenaikan harga ikan segar tersebut akan direspon dengan kenaikan permintaan udang segar sebesar 5.9 persen atau kenaikan permintaan ikan awetan sebesar 1.5 persen. Sedangkan pada golongan pendapatan tinggi, kenaikan harga ikan segar akan direspon Kelompok Ikan Kelompok Ikan Ikan Segar Udang Segar Ikan Awetan Udang Awetan Pendapatan Rendah Compensated Ikan Segar - -10.82 -0.55 1.30 Udang Segar 0.09 - 0.05 0.10 Ikan Awetan 0.40 0.60 - -27.38 Udang Awetan 0.01 0.01 0.01 - Uncompensated Ikan Segar - -11.80 -1.42 -0.15 Udang Segar 0.07 - -0.03 -0.03 Ikan Awetan 0.22 -0.12 - -28.44 Udang Awetan 0.01 -0.01 -0.01 - Pendapatan Menengah Compensated Ikan Segar - 5.87 1.47 0.74 Udang Segar 0.03 - 0.11 0.08 Ikan Awetan 0.16 0.63 - 0.45 Udang Awetan 0.01 0.03 0.02 - Uncompensated Ikan Segar - 4.83 0.54 -0.80 Udang Segar 0.00 - 0.00 -0.09 Ikan Awetan 0.00 0.00 - -0.48 Udang Awetan 0.00 0.00 0.00 - Pendapatan Tinggi Compensated Ikan Segar - 4.57 1.60 1.24 Udang Segar 0.04 - 0.15 0.19 Ikan Awetan 0.14 0.54 - 0.61 Udang Awetan 0.01 0.02 0.02 - Uncompensated Ikan Segar - 3.49 0.63 -0.38 Udang Segar 0.00 - 0.00 -0.06 Ikan Awetan 0.00 0.00 - -0.19 Udang Awetan 0.00 0.00 0.00 - dengan kenaikan permintaan udang segar sebesar 4.5 persen compensated atau 1.6 persen kenaikan ikan awetan, sedang nilai elastisitas uncompensated kenaikan harga ikan segar tersebut hanya direspon oleh kenaikan permintaan udang segar sebesar 3.5 persen. Hal ini menunjukkan bahwa pada golongan menengah ke atas ikan segar dan udang segar merupakan barang yang bersifat saling menggantikan substitusi, namun tidak berlaku sebaliknya. Elastisitas silang ikan segar–udang segar pada golongan pendapatan rendah terlihat bertanda negatif dengan nilai yang cukup besar, yaitu sekitar -11 pada elastisitas compensated maupun uncompensated. Artinya bila terjadi kenaikan harga ikan segar akan direspon dengan penurunan permintaan udang segar, sebaliknya bila terjadi penurunan harga ikan segar akan direspon dengan kenaikan permintaan udang segar, dengan kata lain ikan segar dan udang segar bersifat saling melengkapi. Hal ini mungkin terjadi karena kemungkinan pada golongan pendapatan rendah kurang dari Rp.600 000kapbulan mereka mendapatkan ikan atau udang tidak dari pembelian, namun menangkap sendiri atau pemberian. Angka negatif yang sangat besar tersebut juga menunjukkan bahwa efek pendapatan jauh lebih besar dibandingkan efek substitusi. Nilai elastisitas silang yang cukup besar juga dijumpai pada komoditas udang awetan-ikan awetan, yaitu sebesar -27 dan -28 compensated dan uncompensated pada golongan pendapatan rendah. Artinya bila terjadi kenaikan harga ikan awetan akan direspon dengan penurunan permintaan udang awetan, sebaliknya bila terjadi penurunan harga ikan awetan akan direspon dengan kenaikan permintaan udang awetan, dengan kata lain ikan awetan dan udang awetan bersifat saling melengkapi. Hal ini juga mungkin terjadi karena pada golongan pendapatan rendah kurang dari Rp.600 000kapbulan mereka mendapatkan ikan atau udang tidak dari pembelian, namun menangkap sendiri atau pemberian, dan kemudian dikonsumsi dalam bentuk awetan. Angka negatif yang sangat besar tersebut juga menunjukkan bahwa efek pendapatan jauh lebih besar dibandingkan efek substitusi. Di Bangladesh, pada umumnya antar jenis ikan bersifat saling menggantikan substitusi, demikian juga udang dan ikan awetan dengan jenis ikan lain. Sedangkan di Philipina dan Thailand antar kelompok jenis ikan umumnya bersifat saling melengkapi komplemen. Di Indonesia, data Susenas tahun 2005 menunjukkan hubungan komplemen ditemukan antara ikan laut dan ikan darat serta ditemukan bahwa ikan awetan adalah komoditas subtitusi dari ikan segar Kaelan, 2005. Pada golongan pendapatan menengah sampai tinggi, secara umum terlihat bahwa diantara komoditas ikan segar, udang segar, ikan awetan, dan udang awetan tidak saling berkaitan, kecuali yang sudah dibahas. VIII. PROSPEK PERMINTAAN PRODUK IKAN Ketersediaan produk perikanan secara berkelanjutan sangat diperlukan dalam usaha mendukung ketahanan pangan. Ketersediaan yang dimaksud adalah kondisi tersedianya produk perikanan yang cukup baik dari segi jumlah dan mutunya, terdistribusi secara merata dan terjangkau secara fisik dan ekonomis oleh seluruh rumah tangga. Sebagai negara maritim, Indonesia memiliki potensi sumberdaya perikanan yang cukup banyak, sehingga dapat diharapkan Indonesia mampu membangun kemandirian pangan di sektor perikanan, yakni kemampuan untuk dapat memenuhi kebutuhan pangan nasional. Untuk melihat sejauh mana prospek produk perikanan dalam memenuhi kebutuhan konsumsi penduduknya, pada bab ini akan disajikan potensi ketersediaan produk perikanan dan proyeksi konsumsi penduduk Indonesia terhadap produk perikanan. Proyeksi terhadap permintaan ikan dalam negeri penting dilakukan untuk tujuan melihat ke depan sampai seberapa jauh produksi ikan dalam negeri mampu memenuhi kebutuhan konsumsi dalam negeri.

8.1. Potensi Produksi

Laut Indonesia memiliki luas lebih kurang 5.8 juta kilometer persegi dengan garis pantai sepanjang 81 000 km dengan potensi sumberdaya terutama sumberdaya perikanan laut yang cukup besar, baik dari kuantitas maupun diversitas. Potensi lestari sumberdaya ikan di Indonesia tersebar di perairan wilayah Indonesia dan perairan ZEEI Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia yang terbagi dalam sembilan wilayah perairan utama Indonesia, yaitu Selat Malaka, Laut Cina Selatan,Laut Jawa, Selat Makasar dan Laut Flores, Laut Banda, Teluk Tomini dan Laut Maluku, Laut Sulawesi dan Samudra Pasifik, Laut Arafura, serta Samudra Hindia Departemen Kelautan dan Perikanan, 2005. Dari seluruh potensi sumberdaya ikan tersebut, jumlah tangkapan yang diperbolehkan sekitar 80 persen dari potensi lestari. Dari sisi diversitas, dari sekitar 28 000 jenis ikan yang ada di dunia, yang sudah ditemukan di Indonesia lebih dari 25 000 jenis. Selain untuk memenuhi permintaan ekspor dan kebutuhan bahan baku industri, produk perikanan juga ditujukan untuk menyediakan kebutuhan pangan berupa protein hewani di mana lebih dari 50 persen kebutuhan protein hewani penduduk Indonesia bersumber dari produk perikanan. Pasar domestik memiliki potensi yang besar untuk menyerap hasil perikanan nasional. Hal dapat juga diperkirakan dari peningkatan jumlah penduduk Indonesia yang pada tahun 2008 lalu sudah lebih dari 230 juta jiwa. Bila tingkat konsumsi pada tahun 2008 tersebut 28 kilogram per kapita, maka jumlah produk perikanan yang diserap di pasar nasional mencapai sekitar 6.4 juta ton. Potensi produksi perikanan berdasarkan wilayah dan kelompok ikan disajikan pada Tabel 40. Secara umum tabel tersebut memperlihatkan bahwa pada tahun 2008 tersebut kebutuhan konsumsi ikan nasional sebesar 6.4 juta ton telah dapat dipenuhi dari total produksi yang mencapai 8.5 juta ton. Tabel tersebut juga menunjukkan bahwa potensi produksi ketiga jenis ikan ikan segar, ikan awetan, udang segar dan perikanan budidaya sangat bervariasi diantara wilayah-wilayah di Indonesia. Produksi hasil penangkapan terbesar secara keseluruhan adalah wilayah Sumatera Utara, Jawa Timur dan Maluku dengan volume mencapai 300 sampai 400 ribu ton dalam setahun, sedangkan produksi hasil budidaya terbesar adalah Sulawesi Selatan lebih dari 700 ribu ton dan Nusa Tenggara Timur lebih dari 500 ribu ton. Sedangkan produksi terendah adalah DIY untuk perikanan tangkap kurang dari 3 000 ton serta Bangka Belitung dan Papua untuk perikanan budidaya dengan volume kurang dari 1000 ton. Produksi ikan segar dari laut yang paling besar adalah wilayah Sulawesi Selatan, Kepulauan Riau, Sumatera Utara dan Maluku dengan produksi lebih dari 200 ribu ton. Produksi terendah adalah DIY dengan volume hanya sekitar 2 500 ton. Produksi udang segar paling besar adalah wilayah Sumatera Utara lebih dari 40 ribu ton, Jawa Barat dan Kalimantan Selatan lebih dari 20 ribu ton, sedangkan produksi terendah adalah wilayah Gorontalo, DIY, dan Maluku Utara dengan produksi kurang dari 100 ton. Produksi ikan awetan terbesar adalah wilayah Jawa Timur dengan produksi lebih dari 200 ribu ton, selanjutnya adalah wilayah Sumatera Utara, Lampung, Jawa Tengah Jawa Barat, Maluku dan Papua dengan produksi lebih dari 100 ribu ton. Sedangkan produksi perikanan dari hasil budidaya yang sangat besar terdapat di wilayah Sulawesi Selatan lebih dari 700 ribu ton, Nusa Tenggara Timur lebih dari 500 ribu ton serta Jawa Barat sekitar 400 ribu ton. Di wilayah lain produksinya berkisar puluhan sampai ratusan ribu ton, kecuali di Papua dan Bangka Belitung yang produksinya kurang dari 1000 ton. Bila angka produksi tersebut dikonversikan menjadi kilogram per kapita Tabel 41, terlihat bahwa secara umum total produksi sektor perikanan sebesar 69.53 kilogramkapita sangat berkelebihan dan mampu memenuhi kebutuhan konsumsi penduduknya yang hanya sebesar 28 kilogramkapita. Dibandingkan dengan kebutuhan konsumsi rumahtangga yang telah dibahas pada bab VI Tabel 23, maka terlihat bahwa kebutuhan konsumsi ikan segar sebesar 22.8 kilogramkapita telah dapat dipenuhi dari produksi ikan segar yaitu 50.96 kilogramkapita. Tabel 40. Potensi Produksi Ikan Segar, Udang Segar dan Ikan Awetan Tahun 2008 Ton Sumber: Statistik Perikanan Tangkap dan Statistik Perikanan Budidaya, Kementrian Kelautan dan Perikanan 2009 Catatan: Data produksi udang awetan tidak tersedia Propinsi Ikan Segar Udang Segar Ikan Awetan Budidaya Jumlah Aceh 123 876 4 229 7 260 35 667 171 032 Sumut 218 005 49 687 153 327 53 410 474 429 Sumbar 126 569 16 765 69 016 55 607 267 957 Riau 73 632 17 968 28 263 28 861 148 724 Jambi 18 868 16 563 30 657 17 638 83 726 Sumsel 76 176 7 766 7 171 111 869 202 982 Bengkulu 57 932 2 487 84 9 427 69 930 Lampung 21 268 14 201 138 307 189 980 363 756 Babel 128 995 12 854 21 501 903 164 253 Kepri 225 439 8 396 5 394 239 229 DKI 116 741 10 785 27 977 5 779 161 282 Jabar 74 461 23 934 110 141 391 568 600 104 Jateng 62 450 3 540 129 722 114 007 309 719 DIY 2 535 88 280 11 949 14 852 Jatim 199 582 14 859 206 214 173 315 593 970 Banten 36 367 2 008 20 118 34 332 92 825 Bali 45 473 241 51 161 156 494 253 369 NTB 63 651 1 696 38 095 101 942 205 384 NTT 59 149 326 38 094 505 827 603 396 Kalbar 61 411 11 003 22 242 9 268 103 924 Kalteng 76 778 17 798 12 187 6 417 113 180 Kalsel 113 250 23 108 42 752 22 564 201 674 Kaltim 103 131 17 171 22 602 78 527 221 431 Sulut 116 660 711 90 832 20 907 229 110 Sulteng 111 360 398 28 145 202 750 342 653 Sulsel 225 689 9 964 31 220 717 846 984 719 Sultra 166 501 7 172 46 810 93 205 313 688 Gorontalo 61 981 37 1 757 10 234 74 009 Sulbar 55 853 102 12 396 5 489 73 840 Maluku 209 313 3 474 106 205 17 836 336 828 Malut 88 354 69 54 810 1 546 144 779 Papua Barat 59 246 8 359 40 706 2 039 110 350 Papua 58 409 3 256 173 958 968 236 591 Total 3 239 105 311 015 1 764 010 3 193 565 8 507 695 Demikian pula dengan kebutuhan konsumsi ikan awetan sebesar 2.5 kilogramkapita telah dapat dipenuhi dari produksi ikan awetan sebesar 14.54 kilogramkapita serta kebutuhan konsumsi udang segar sebesar 2.6 kilogramkapita dapat dipenuhi dari produksi sebesar 4.03 kilogramkapita. Hal ini menunjukkan bahwa secara nasional, potensi produksi produk perikanan tersedia dalam jumlah yang sangat berkecukupan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi dalam negeri, meskipun produksi tersebut terlihat tidak merata di setiap propinsi di Indonesia. Produksi total ikan segar yang sangat besar tersedia di Maluku 148 kgkapita, Kepulauan Riau 137 kgkapita. Beberapa wilayah seperti Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara serta Bangka Belitung juga mampu memenuhi kebutuhan konsumsi ikan sampai di atas 100 kgkapita. Di sisi lain, beberapa wilayah terlihat sangat rendah potensi produksinya untuk memenuhi kebutuhan konsumsi penduduknya, seperti di seluruh wilayah Pulau Jawa dan Lampung kurang dari 10 kgkapita. Bila dilihat selisih antara produksi dan konsumsinya memang terlihat bahwa di seluruh wilayah Pulau Jawa bernilai negatif, artinya bahwa produksi ikan segar yang tersedia tidak mencukupi kebutuhan konsumsi penduduknya. Hal serupa terjadi di Jambi, Lampung, Kalimantan Barat dan Papua Tabel 42. Produksi ikan awetan yang sangat besar terlihat di seluruh wilayah Maluku dan Papua lebih dari 50 kgkapita, Sulawesi Utara 40 kgkapita, serta Sulawesi Tenggara lebih dari 20 kgkapita. Produksi ikan awetan yang rendah terlihat di sebagian besar wilayah di Indonesia, bahkan di DIY dan Kep. Riau tidak tersedia. Bila dilihat selisih produksi dan konsumsinya, wilayah Kep. Riau, DIY, Bengkulu, Sumatera Selatan, dan Aceh terlihat kekurangan produksi ikan awetan dibandingkan dengan kebutuhan konsumsinya, meskipun tidak terlalu besar. Tabel 41. Potensi Produksi Ikan Segar, Udang Segar dan Ikan Awetan Tahun