Tingkat Konsumsi Analysis of demand for fish in indonesia a cross sectional study

Bila dilihat secara total, tingkat konsumsi udang segar dan ikan awetan masing-masing sekitar 2 kilogramkapitatahun, dan yang terkecil adalah tingkat konsumsi udang awetan, tidak mencapai satu kilogramkapitatahun. Secara grafis hal tersebut disajikan dalam Gambar 21. Ikan Segar Udang Segar Ikan Awetan Udang Awetan Gambar 21. Persentase Konsumsi Ikan Segar, Udang Segar, Ikan Awetan dan Udang Awetan di Indonesia Tahun 2008 Apabila dilihat berdasarkan wilayah perdesaan perkotaan untuk tingkat konsumsi nasional, maka tingkat konsumsi ikan segar dan udang segar di perkotaan lebih tinggi daripada di perdesaan. Masyarakat perdesaan lebih menyukai ikan awetan Gambar 22. 25 20 15 10 5 Desa Kota Ikan segar Udang segar Ikan awetan Udang awetan Gambar 22. Tingkat Konsumsi Ikan Segar, Udang Segar, Ikan Awetan dan Udang Awetan di Indonesia Menurut Wilayah Perdesaan- Perkotaan kgkaptahun Selanjutnya, setelah dilakukan pengelompokan wilayah ke dalam tujuh bagian, yaitu wilayah Sumatera, Jawa, Bali-Nusa Tenggara, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Papua. Berdasarkan pengelompokan tujuh wilayah tersebut, tingkat konsumsi ikan segar, udang segar, ikan awetan dan udang awetan menurut perdesaan-perkotaan disajikan pada Tabel 24. Tabel 24. Tingkat Konsumsi Ikan Segar, Udang Segar, Ikan Awetan dan Udang Awetan Menurut Wilayah Perdesaan-Perkotaan di Berbagai Wilayah di Indonesia, Tahun 2008 Kgkaptahun Sumber: Susenas 2008, diolah Tabel tersebut memperlihatkan bahwa tingkat konsumsi ikan segar tertinggi adalah wilayah Maluku 47 kgkaptahun, sedangkan tingkat konsumsi terendah adalah wilayah Jawa 6 kgkaptahun, baik di perkotaan maupun di perdesaan. Tingkat konsumsi ikan segar di perkotaan lebih tinggi daripada di perdesaan untuk wilayah Jawa, Bali, Nusa Tenggara, dan Sulawesi. Sedangkan di wilayah Sumatra, Kalimantan dan Maluku, sebaliknya. Kepulauan Wilayah Ikan Segar Udang Segar Ikan Awetan Udang Awetan Sumatra Kota 1,508 0,0938 0,1679 0,0025 Desa 3,511 0,2183 0,3909 0,0059 Kep. Sumatra Kota 0,332 0,0206 0,0369 0,0006 Desa 0,221 0,0138 0,0246 0,0004 Jawa Kota 5,385 0,3349 0,5996 0,0091 Desa 5,390 0,3352 0,6002 0,0091 Bali-NT Kota 0,690 0,0429 0,0768 0,0012 Desa 1,341 0,0834 0,1493 0,0023 Kalimantan Kota 0,724 0,0450 0,0807 0,0012 Desa 1,362 0,0847 0,1517 0,0023 Sulawesi Kota 0,625 0,0388 0,0695 0,0010 Desa 1,762 0,1096 0,1962 0,0030 Maluku Kota 0,118 0,0074 0,0132 0,0002 Desa 0,325 0,0202 0,0362 0,0005 Papua Kota 0,123 0,0077 0,0137 0,0002 Desa 0,382 0,0238 0,0426 0,0006 K o n s u m s ii k a n s e g a r k g k a p th Tingkat konsumsi udang segar di perkotaan 2 kgkaptahun secara umum lebih tinggi daripada di perdesaan 1 kgkaptahun, sebaliknya tingkat konsumsi ikan awetan di perdesaan 2.5 kgkaptahun lebih tinggi daripada di perkotaan 1.8 kgkaptahun di semua wilayah, kecuali Maluku dan Papua. Tingkat konsumsi udang awetan di perkotaan 0.4 kpkaptahun hampir sama dengan di perdesaan 0.3 kgkaptahun, sedangkan di wilayah Maluku perdesaan dan perkotaan serta Papua perdesaan tingkat konsumsinya adalah nol. Secara logik, semakin tinggi tingkat pendapatan suatu rumahtangga maka semakin tinggi pula tingkat konsumsinya, khususnya untuk jenis komoditas yang berkualitas. Gambar 23-26 memperlihatkan tingkat konsumsi ikan berdasarkan tingkat pendapatan yang diproksi dari pengeluaran untuk kelompok ikan segar, udang segar, ikan awetan, dan udang awetan. Berdasarkan gambar tersebut terlihat bahwa tingkat konsumsi ikan segar meningkat dari kelompok pendapatan paling rendah sampai kelompok pendapatan keenam Rp. 750 000kapbulan, dan setelah itu tingkat konsumsi mulai menurun. Tingkat konsumsi udang segar terlihat terus meningkat dengan semakin meningkatnya pendapatan. 95 CI for the Mean 0,36 0,32 0,28 0,24 0,20 1 2 3 4 5 6 7 8 Golongan pengeluaran Gambar 23. Tingkat Konsumsi Ikan Segar Berdasarkan Golongan Pengeluaran Berdasarkan Susenas Tahun 2008 K o n s u m s iu d a n g s e g a r k g k a p th Tingkat konsumsi udang awetan lebih bervariasi, namun menunjukkan pola yang semakin meningkat dengan semakin meningkatnya pendapatan. Tingkat konsumsi ikan awetan tmenunjukkan pola yang berbeda, tingkat konsumsi terlihat naik terus sampai kelompok pendapatan ke-5 Rp.500 000kapbulan, namun mulai tingkat pendapatan ke-6 sampai ke-8 tingkat konsumsinya semakin menurun. Hal ini mengindikasikan bahwa secara grafis ikan segar, udang segar dan udang awetan dapat dikatakan termasuk kategori barang normal karena tingkat konsumsinya semakin meningkat dengan semakin meningkatnya pendapatan, sedangkan ikan awetan seperti tergolong barang normal bagi golongan pendapatan rendah namun dianggap barang inferior oleh golongan pendapatan tinggi. Untuk membuktikan hal tersebut tentunya masih perlu dilakukan pengujian. 95 CI for the Mean 0,04 0,03 0,02 0,01 0,00 1 2 3 4 5 6 7 8 Golongan Pengeluaran Gambar 24. Tingkat Konsumsi Udang Segar Berdasarkan Golongan Pengeluaran Berdasarkan Susenas Tahun 2008 K o n s u m s ii k a n a w e ta n k g k a p th K o n su m si u d a n g a w e ta n k g k a p th 95 CI for the Mean 0,060 0,055 0,050 0,045 0,040 0,035 1 2 3 4 5 6 7 8 Golongan Pengeluaran Gambar 25. Tingkat Konsumsi Ikan Awetan Berdasarkan Golongan Pengeluaran Berdasarkan Susenas Tahun 2008 95 CI for the Mean 0,0016 0,0014 0,0012 0,0010 0,0008 0,0006 0,0004 0,0002 0,0000 1 2 3 4 5 6 7 8 Golongan pengeluaran Gambar 26. Tingkat Konsumsi Udang Awetan Berdasarkan Golongan Pengeluaran Berdasarkan Susenas Tahun 2008 Tingkat konsumsi udang awetan lebih bervariasi, namun menunjukkan pola yang semakin meningkat dengan semakin meningkatnya pendapatan. Tingkat konsumsi ikan awetan tmenunjukkan pola yang berbeda, tingkat konsumsi terlihat naik terus sampai kelompok pendapatan ke-5 Rp.500 000kapbulan, namun mulai tingkat pendapatan ke-6 sampai ke-8 tingkat konsumsinya semakin menurun. Hal ini mengindikasikan bahwa secara grafis ikan segar, udang segar dan udang awetan dapat dikatakan termasuk kategori barang normal karena tingkat konsumsinya semakin meningkat dengan semakin meningkatnya pendapatan, sedangkan ikan awetan seperti tergolong barang normal bagi golongan pendapatan rendah namun dianggap barang inferior oleh golongan pendapatan tinggi. Untuk membuktikan hal tersebut tentunya masih perlu dilakukan pengujian.

6.2.1. Tingkat Konsumsi Ikan Segar

Pengelompokan jenis ikan pada Susenas 2008 mencakup jenis-jenis ikan laut, ikan darat dan ikan lainnya. Ikan laut diwakili oleh ikan tongkol tunacakalang, ikan kembung, ikan ekor kuning, ikan tengiri, ikan teri, ikan selar, ikan kakap, dan ikan baronang. Sedangkan kelompok ikan air tawar diwakili oleh ikan bandeng, mujair, gabus, ikan mas, dan ikan lele. Jenis ikan lain yang dikonsumsi tetapi tidak terdapat dalam pengelompokkan kedua jenis ikan tersebut dimasukkan dalam ikan lainnya. Bila dilihat secara total, tingkat konsumsi ikan segar penduduk Indonesia didominasi oleh ikan laut dibandingkan dengan ikan air tawar dan jenis ikan lainnya. Bila dijumlahkan setiap jenis ikan,maka tingkat konsumsi ikan laut hampir dua kali lipat dari ikan air tawar dan ikan lainnya. Yang perlu diperhatikan adalah bahwa jumlah konsumsi jenis ikan lainnya tergolong tinggi, hampir sama dengan jumlah konsumsi jenis ikan air tawar. Hal ini mengindikasikan bahwa penggolongan jenis ikan perlu diperbaiki, karena beberapa jenis ikan laut maupun darat yang mungkin banyak dikonsumsi namun tidak termasuk dalam kelompok yang sudah ada seperti misalnya ikan kerapu dari budidaya laut, belanak dan belida dari budidaya tambak, ikan nila, patin, gurame, tawes dari budidaya kolam serta ikan bawal dari budidaya keramba. Bila dilihat per jenis ikan, seperti halnya tingkat partisipasi konsumsi, tingkat konsumsi ikan segar secara agregat juga didominasi oleh jenis ikan tongkoltunacakalang, kemudian ikan kembung, bandeng dan mujair. Ikan selar, ikan mas dan ikan lele juga cukup banyak dikonsumsi oleh rumahtangga Indonesia Gambar 27. Tingkat konsumsi setiap jenis ikan segar di berbagai propinsi di Indonesia disajikan pada Lampiran 15. 6,0000 5,0000 4,0000 3,0000 2,0000 1,0000 0,0000 Gambar 27. Tingkat Konsumsi Jenis Ikan Segar Berdasarkan Data Susenas Tahun 2008 Keterangan: q021 : jumlah konsumsi ikan ekor kuning kgkap q022 : jumlah konsumsi ikan tongkoltunacakalang kgkap q023 : jumlah konsumsi ikan tenggiri kgkap q024 : jumlah konsumsi ikan selar kgkap q025 : jumlah konsumsi ikan kembung kgkap q026 : jumlah konsumsi ikan teri kgkap q027 : jumlah konsumsi ikan bandeng kgkap q028 : jumlah konsumsi ikan gabus kgkap q029 : jumlah konsumsi ikan mujair kgkap q030 : jumlah konsumsi ikan mas kgkap q031 : jumlah konsumsi ikan lele kgkap q032 : jumlah konsumsi ikan kakap kgkap q033 : jumlah konsumsi ikan baronang kgkap q034 : jumlah konsumsi ikan lainnya kgkap Tingkat konsumsi ikan tongkoltunacakalang terbesar adalah propinsi Maluku Utara, kemudian beberapa wilayah di kepulauan Sulawesi. Tingkat konsumsi ikan tongkoltunacakalang terendah adalah propinsi Jawa Barat, Jawa Tengah dan Yogyakarta kurang dari 1 kgkapitatahun. Hal ini sejalan juga dengan tingkat partisipasi konsumsi yang juga paling rendah di ketiga propinsi tersebut. Di wilayah Sumatera tingkat konsumsi ikan tongkoltunacakalang yang tertinggi adalah Aceh, sepeti halnya tingkat partisipasi konsumsinya. Tingkat konsumsi ikan kembung paling besar yang cukup menonjol adalah adalah wilayah Papua Barat lebih dari 13 kgkaptahun. Tingkat konsumsi wilayah lain kurang dari 9 kgkaptahun, dan terendah adalah wilayah Bengkulu,Jawa Timur, Jawa Tengah dan DI Yogyakarta dengan tingkat konsumsi kurang dari 0.5 kgkap. Ikan bandeng cukup banyak dikonsumsi oleh rumahtangga Indonesia. Secara agregat tingkat konsumsinya kurang dari 2 kgkaptahun, namun penduduk di wilayah Sulawesi Selatan mengkonsumsinya sampai 16 kgkaptahun, paling tinggi dari seluruh wilayah di Indonesia. Hal ini sejalan pula dengan angka partisipasi konsumsinya lebih dari 60 persen, juga tertinggi untuk jenis ikan ini. Tingkat konsumsi wilayah lain kurang dari 6 kgkaptahun, dan banyak wilayah yang tingkat konsumsinya kurang dari 0.1 kgkaptahun, seperti di Maluku, Maluku Utara, Riau, Sulawesi Utara, dan Bengkulu. Rata-rata tingkat konsumsi ikan mujair secara nasional adalah sebesar 1.5 kgkaptahun. Bila dilihat berdasarkan wilayah, terlihat bahwa tingkat konsumsi di seluruh propinsi kurang dari 5 kgkaptahun. Penduduk Sumatera Barat paling banyak mengkonsumsi jenis ikan mujair 5 kgkaptahun sejalan dengan angka partisipasi konsumsinya yang tertinggi yaitu hampir 30 persen; Tingkat konsumsi ikan mujair terendah adalah wilayah Bangka Belitung kurang dari 0.1kgkaptahun, meskipun tingkat partisipasi konsumsinya bukan yang terendah. Tingkat konsumsi ikan lele, selar, ikan mas, teri dan gabus kurang dari 1 kgkaptahun, namun masih lebih tinggi dibandingkan dengan ikan kakap dan baronang yang hanya dikonsumsi kurang dari 0.5 kgkaptahun oleh rumahtangga Indonesia. Yang menarik dari tingkat partisipasi ikan segar adalah bahwa kelompok ikan lainnya tergolong tinggi. Hal ini mengindikasikan bahwa penggolongan jenis ikan perlu diperbaiki, karena beberapa jenis ikan laut maupun darat yang mungkin banyak dikonsumsi penduduk Indonesia namun tidak tercantum dalam kelompok yang sudah ada seperti misalnya ikan kerapu dari budidaya laut, belanak dan belida dari budidaya tambak, ikan nila, patin, gurame, tawes dari budidaya kolam serta ikan bawal dari budidaya keramba. Bila dilihat menurut kelompok pendapatan, terlihat bahwa semua jenis ikan menunjukkan pola yang sama, yaitu bahwa tingkat konsumsi semua jenis ikan meningkat dengan semakin meningkatnya pendapatan Lampiran 16 . Hal ini juga memperkuat dugaan bahwa kurva Engel dari kelompok ikan segar tidak bersifat linear. Keragaman tingkat konsumsi yang ditunjukkan oleh lebar garis, terlihat cukup besar pada ikan teri dan ikan baronang sehingga pola ketidaklinearannya tidak tampak jelas. Pada tingkat konsumsi ikan lainnya terlihat bahwa kenaikan tingkat konsumsi terlihat pada kelompok pendapatan 1 sampai 5 atau 6, dan kemudian menurun pada kelompok pendapatan ke-7 sampai ke-8. Bila dilihat berdasarkan wilayah desa-kota, secara agregat terlihat bahwa tingkat konsumsi ikan segar di perkotaan lebih besar daripada di perdesaan. Gambar 28 menunjukkan bahwa sumbangan ikan lainnya dan ikan q0 21 q0 22 q0 23 q0 24 q025 q02 6 q0 27 q0 28 q0 29 q030 q031 q032 q033 q034 tongkoltunacakalang adalah yang terbesar, baik di kota maupun di desa; kemudian ikan gabus dan ikan teri. Tingkat konsumsi ikan kembung, ikan lele, ikan mas, ikan bandeng dan ikan mujair di perdesaan terlihat lebih besar daripada di perkotaan. Jenis ikan air tawar yang lebih banyak dikonsumsi oleh rumahtangga di perkotaan adalah ikan gabus. 7,000 6,000 5,000 4,000 3,000 Desa Kota 2,000 1,000 0,000 Gambar 28. Tingkat Konsumsi per Jenis Ikan Segar Menurut Wilayah Desa-Kota Berdasarkan Data Susenas 2008 Keterangan q021 : jumlah konsumsi ikan ekor kuning q022 : jumlah konsumsi ikan tongkoltunacakalang q023 : jumlah konsumsi ikan tenggiri q024 : jumlah konsumsi ikan selar q025 : jumlah konsumsi ikan kembung q026 : jumlah konsumsi ikan teri q027 : jumlah konsumsi ikan bandeng q028 : jumlah konsumsi ikan gabus q029 : jumlah konsumsi ikan mujair q030 : jumlah konsumsi ikan mas q031 : jumlah konsumsi ikan lele q032 : jumlah konsumsi ikan kakap q033 : jumlah konsumsi ikan baronang q034 : jumlah konsumsi ikan lainnya

6.2.2. Tingkat Konsumsi Udang Segar

Seperti halnya tingkat partisipasi konsumsi, tingkat konsumsi udang segar secara agregat juga didominasi oleh jenis udang segar, kemudian ikan cumi- cumisotong, kerangsiput, ketamkepitingrajungan, dan paling rendah adalah udanghewan air lainnya Gambar 29. Tingkat konsumsi setiap jenis udang segar di berbagai propinsi di Indonesia disajikan pada Lampiran 17. 1,6000 1,4000 1,2000 1,0000 0,8000 0,6000 q035 q036 q037 q038 q039 0,4000 0,2000 0,0000 Gambar 29. Tingkat Konsumsi per Jenis Udang Segar Berdasarkan Data Susenas 2008 Keterangan: q035 : Tingkat partisipasi udang q036 : Tingkat partisipasi cumi-cumisotong q037 : Tingkat partisipasi ketamkepitingrajungan q038 : Tingkat partisipasi kerangsiput q039 : Tingkat partisipasi udanghewan air lainnya Rata-rata tingkat konsumsi udang segar secara nasional adalah sebesar 1.5 kgkaptahun. Bila dilihat berdasarkan wilayah, terlihat bahwa tingkat konsumsi di seluruh propinsi kurang dari 5 kgkaptahun. Penduduk Kepulauan Riau paling banyak mengkonsumsi jenis udang segar ini, sejalan dengan angka partisipasi konsumsinya yang tertinggi yaitu sekitar 26 persen. Tingkat konsumsi udang segar terendah adalah wilayah Maluku Utara dan Sulawesi Utara kurang dari 0.1 kgkaptahun, sejalan pula dengan tingkat partisipasi konsumsinya yang terendah. Rata-rata tingkat konsumsi cumisotong secara nasional adalah kurang dari 1 kgkaptahun. Bila dilihat berdasarkan wilayah, terlihat bahwa tingkat konsumsi di seluruh propinsi kurang dari 5 kgkaptahun. Penduduk Kepulauan Riau paling banyak mengkonsumsi jenis cumi-cumisotong ini, sejalan dengan angka partisipasi konsumsinya yang tertinggi yaitu sekitar 23 persen. Tingkat konsumsi cumi-cumisotong terendah adalah wilayah Sulawesi Barat, Bengkulu, Sumatera Selatan dan Kalimantan Tengah kurang dari 0.1 kgkaptahun, sejalan pula dengan tingkat partisipasi konsumsinya yang terendah, yaitu kurang dari 1 persen. Rata-rata tingkat konsumsi kerangsiput secara nasional adalah kurang dari 1 kgkaptahun. Bila dilihat berdasarkan wilayah, terlihat bahwa tingkat konsumsi di seluruh propinsi kurang dari 3 kgkaptahun. Penduduk Kepulauan Riau dan Bangka Belitung paling banyak mengkonsumsi jenis kerangsiput ini, sejalan dengan angka partisipasi konsumsinya yang tertinggi yaitu sekitar 6 persen. Tingkat konsumsi kerangsiput terendah adalah wilayah Gorontalo dan Maluku Utara nol kgkaptahun, sejalan pula dengan tingkat partisipasi konsumsinya yang terendah, yaitu nol persen. Rata-rata tingkat konsumsi ketamkepitingrajungan secara nasional adalah kurang dari 0.5 kgkaptahun. Bila dilihat berdasarkan wilayah, terlihat bahwa tingkat konsumsi di seluruh propinsi kurang dari 1 kgkaptahun. Penduduk Kepulauan Riau dan Bangka Belitung paling banyak mengkonsumsi jenis ketamkepitingrajungan ini, sejalan dengan angka partisipasi konsumsinya yang tertinggi yaitu sekitar 2-3 persen. Tingkat konsumsi ketamkepitingrajungan terendah adalah wilayah Maluku Utara dan Sumatera Selatan nol kgkaptahun, sejalan pula dengan tingkat partisipasi konsumsinya yang terendah, yaitu nol persen. Bila dilihat berdasarkan golongan pendapatan Lampiran 18 terlihat bahwa umum tingkat konsumsi udang segar juga meningkat dengan semakin meningkatnya pendapatan. Pola ini terlihat jelas pada jenis udang segar dan cumi-cumisotong. Pada jenis ketamkepitingrajungan pola tersebut juga dapat dilihat jelas tetapi terlihat keragaman tingkat konsumsi per kelompok pendapatan lebih besar dibandingkan jenis udang segar dan cumi-cumisotong. Sedangkan pada jenis kerangsiput dan udanghewan air lainnya pola konsumsinya terlihat naik sampai kelompok pendapatan ke-6 Rp.500 000kapbulan dan sesudah itu menurun.

6.2.3. Tingkat Konsumsi Ikan Awetan

Pengelompokan jenis ikan awetan pada Susenas 2008 mencakup jenis- jenis ikan laut, ikan darat, dan ikan lainnya. Kelompok ikan laut diwakili oleh ikan tongkoltunacakalang, ikan kembung, ikan ekor kuning, ikan tengiri, ikan teri, ikan selar, ikan kakap, dan ikan baronang. Sedangkan kelompok ikan air tawar diwakili oleh ikan bandeng, mujair, gabus, ikan mas, dan ikan lele. Jenis ikan lain yang dikonsumsi tetapi tidak terdapat dalam pengelompokkan kedua jenis ikan tersebut dimasukkan dalam ikan lainnya. Bila dilihat secara total, tingkat partisipasi konsumsi ikan segar penduduk Indonesia didominasi oleh ikan laut dibandingkan dengan ikan air tawar dan jenis ikan lainnya. Yang perlu diperhatikan adalah bahwa jumlah konsumsi jenis ikan lainnya tergolong tinggi, hampir sama dengan jumlah konsumsi jenis ikan air tawar. Hal ini mengindikasikan bahwa penggolongan jenis ikan perlu diperbaiki, karena beberapa jenis ikan laut maupun darat yang diawetkan yang mungkin banyak dikonsumsi namun tidak termasuk dalam kelompok yang sudah ada seperti misalnya ikan jambal, ikan pari, atau ikan lainnya. Bila dilihat berdasarkan jenisnya, seperti halnya tingkat partisipasi konsumsi, tingkat konsumsi ikan awetan secara agregat didominasi oleh jenis teri dan ikan lainnya, kemudian ikan tongkoltunacakalang, ikan kembung, sepat dan ikan dalam kaleng Gambar 30. Tingkat konsumsi setiap jenis ikan awetan di berbagai propinsi di Indonesia disajikan pada Lampiran 19. 0,0700 0,0600 0,0500 0,0400 0,0300 q043 q042 q049 q040 q041 q042 q043 q044 q045 q046 0,0200 0,0100 q040 q041 q044q045 q046 q048 q047 q048 q049 0,0000 Gambar 30. Tingkat Konsumsi per Jenis Ikan Awetan Berdasarkan Data Susenas Tahun 2008 Keterangan: q040 : jumlah konsumsi ikan kembung peda q041 : jumlah konsumsi ikan tenggiri q042 : jumlah konsumsi ikan tongkoltunacakalang q043 : jumlah konsumsi ikan teri q044 : jumlah konsumsi ikan selar q045 : jumlah konsumsi ikan sepat q046 : jumlah konsumsi ikan bandeng q047 : jumlah konsumsi ikan gabus q048 : jumlah konsumsi ikan dalam kaleng q049 : jumlah konsumsi ikan lainnya Tingginya tingkat konsumsi jenis ikan awetan lainnya mengindikasikan bahwa penggolongan jenis ikan awetan perlu ditinjau kembali seperti halnya jenis ikan segar, karena ada kemungkinan beberapa jenis ikan laut maupun darat yang banyak dikonsumsi penduduk Indonesia namun tidak tercantum dalam kelompok ikan yang sudah ada. Rata-rata tingkat konsumsi ikan teri secara nasional adalah sebesar 0.05 kgkaptahun. Bila dilihat berdasarkan wilayah, terlihat bahwa tingkat konsumsi di seluruh propinsi kurang dari 0.1 kgkaptahun. Penduduk di seluruh wilayah Sumatera kecuali Lampung dan Bangka Belitung Barat terlihat paling banyak mengkonsumsi jenis ikan teri awetan ini sekitar 0.1 kgkaptahun sejalan dengan angka partisipasi konsumsinya yang tertinggi yaitu sekitar 40 sampai 60 persen. Tingkat konsumsi ikan teri terendah adalah wilayah Maluku dan Kalimantan Tengah kurang dari 0.01kgkaptahun, sejalan dengan tingkat partisipasi konsumsinya yang juga rendah yaitu sekitar 1 persen. Rata-rata tingkat konsumsi ikan tongkoltunacakalang awetan terbesar adalah propinsi Bali, Nusa Tenggara Barat dan Jawa Timur, sejalan dengan tingkat partisipasi konsumsinya sebesar 40 persen dan 20 persen. Tingkat konsumsi di wilayah lain sangat rendah kurang dari 0.01 kgkapitatahun, dan tingkat konsumsi ikan tongkoltunacakalang awetan terendah adalah wilayah Papua dan Papua Barat sekitar 0.003 kgkapitatahun. Hal ini sejalan juga dengan tingkat partisipasi konsumsi yang juga paling rendah di kedua propinsi tersebut, yaitu sekitar 1 persen. Rata-rata tingkat konsumsi ikan kembung awetan paling besar yang cukup menonjol adalah adalah wilayah Jawa Barat, kemudian Jawa Timur dan Aceh yang sejalan juga dengan tingkat partisipasi konsumsinya yaitu sekitar 25 persen dan 15 persen. Tingkat konsumsi wilayah lain tergolong rendah, dan terendah adalah wilayah Sulawesi Barat dan Gorontalo sekitar nol kgkaptahun, seperti halnya tingkat partisipasi konsumsinya. Bila dilihat berdasarkan golongan pendapatan Lampiran 20, terlihat bahwa tingkat konsumsi ikan kembung, ikan tongkoltunacakalang, ikan selar dan ikan awetan lainnya menurun dengan semakin meningkatnya pendapatan. Sebaliknya, tingkat konsumsi ikan teri, sepat, gabus, dan ikan dalam kaleng meningkat dengan semakin meningkatnya pendapatan. Sedangkan pola konsumsi ikan tengiri dan ikan bandeng awetan tidak menunjukkan pola yang spesifik namun mempunyai keragaman yang cukup tinggi.

6.2.4. Tingkat Konsumsi Udang Awetan

Seperti halnya tingkat partisipasi konsumsi, tingkat konsumsi udang awetan secara agregat juga didominasi oleh jenis udang segar, kemudian ikan cumi-cumisotong, dan udanghewan air lainnya Gambar 31. Tingkat konsumsi setiap jenis udang awetan di berbagai propinsi di Indonesia disajikan pada Lampiran 21. 0,0070 0,0060 0,0050 0,0040 0,0030 q050 q051 q052 0,0020 0,0010 0,0000 Gambar 31. Tingkat Konsumsi per Jenis Udang Awetan Berdasarkan Data Susenas Tahun 2008 Keterangan: q050 : jumlah konsumsi udang ebi ons q051 : jumlah konsumsi cumi-cumisotong ons q052 : jumlah konsumsi udang dan hewan air lainnya lainnya ons Rata-rata tingkat konsumsi udang awetan secara nasional adalah sebesar 0.005 kgkaptahun. Bila dilihat berdasarkan wilayah, terlihat bahwa tingkat konsumsi di seluruh propinsi sangat rendah, bahkan banyak propinsi yang tingkat konsumsinya adalah nol seperti seluruh wilayah Maluku Maluku dan Maluku Utara, seluruh wilayah Papua Papua dan Papua Barat, Sulawesi Barat, Gorontalo dan Sulawesi Utara. Hal ini sejalan juga dengan tingkat partisipasi konsumsinya. Tingkat konsumsi tertinggi yang menonjol adalah wilayah Sumatera Utara yang sejalan dengan angka partisipasi konsumsinya yang tertinggi yaitu sekitar 15 persen. Rata-rata tingkat konsumsi cumisotong awetan secara nasional adalah sebesar 0.002 kgkaptahun. Bila dilihat berdasarkan wilayah, terlihat bahwa tingkat konsumsi di seluruh propinsi sangat rendah, bahkan banyak propinsi yang tingkat konsumsinya adalah nol seperti seluruh wilayah Maluku Maluku dan Maluku Utara, seluruh wilayah Papua Papua dan Papua Barat, Sulawesi Barat, Gorontalo, Sulawesi Utara, Kalimantan Tengah, Bengkulu, dan DI Yogyakarta. Hal ini sejalan juga dengan tingkat partisipasi konsumsinya. Tingkat konsumsi tertinggi adalah wilayah DKI Jakarta, Banten, dan Jawa Timur yang sejalan dengan angka partisipasi konsumsinya yang tertinggi yaitu sekitar 2 sampai 3 persen. Bila dilihat berdasarkan golongan pendapatan Lampiran 22, terlihat bahwa tingkat konsumsi cumi-cumisotong awetan meningkat dengan semakin meningkatnya pendapatan. Sebaliknya, tingkat konsumsi udangebi dan udanghewan air lainnya yang diawetkan meningkat sampai pada kelompok pendapatan keenam, dan kemudian menurun dari kelompok pendapatan keeam sampai kedelapan. Pada kedua jenis udang ini mempunyai keragaman yang cukup tinggi.

6.3. Tingkat Harga

Harga merupakan variabel penting yang secara langsung dapat mempengaruhi besarnya permintaan. Kenaikan harga menyebabkan permintaan menurun, sedangkan penurunan harga menyebabkan permintaan akan meningkat. Ikan merupakan produk yang heterogen yang ditunjukkan dengan tingkat harga yang sangat bervariasi. Banyak faktor yang dapat menyebabkan suatu jenis ikan lebih mahal dari yang lain atau lebih mahal dari lokasi lain untuk jenis ikan yang sama, diantaranya adalah ketersediaan dan distribusi pemasarannya. Preferensi yang tinggi terhadap suatu jenis ikan, wilayah perdesaan atau perkotaan serta jumlah penduduk yang lebih besar juga dapat menyebabkan kenaikan harga suatu produk perikanan. Gambar 32 menunjukkan rata-rata logaritma log dari harga ikan segar, udang segar, ikan awetan dan udang awetan di berbagai propinsi di Indonesia berdasarkan data Susenas 2008, sedangkan Tabel 25 menyajikan koefisien keragaman harga keempat kelompok ikan tersebut. Koefisien keragaman ini dihitung berdasarkan rasio dari simpangan baku dan nilai tengah peubah harga ikan masing-masing kelompok ikan yang dianalisis Lampiran 23. Tabel 25. Koefisien Keragaman Harga Ikan Segar, Udang Segar, Ikan Awetan, dan Udang Awetan di Berbagai Propinsi di Indonesia Tahun 2008 Persen Sumber: Susenas 2008, diolah Propinsi Ikan Segar Udang Segar Ikan Awetan Udang Awetan Aceh 1,90 4,83 3,81 17,94 Sumut 2,14 6,01 2,47 5,81 Sumbar 2,41 11,97 2,79 31,23 Riau 2,32 6,08 3,04 19,23 Jambi 2,84 10,78 3,04 52,95 Sumsel 2,27 15,01 5,37 46,64 Bengkulu 3,06 21,21 4,35 57,05 Lampung 2,45 13,08 3,51 54,74 Babel 3,39 8,30 7,68 26,57 Kepri 4,09 5,95 4,42 31,63 DKI 1,80 4,88 2,79 12,63 Jabar 1,68 5,85 1,44 7,67 Jateng 2,08 4,99 2,40 10,92 DIY 4,98 17,81 6,61 32,07 Jatim 1,50 3,45 1,73 15,50 Banten 2,22 7,55 3,05 11,02 Bali 3,94 9,63 3,88 41,06 NTB 2,54 7,83 4,41 29,34 NTT 3,57 20,78 7,93 53,31 Kalbar 2,46 7,00 3,79 20,64 Kalteng 2,39 9,61 4,14 56,98 Kalsel 2,14 6,61 3,70 47,06 Kaltim 2,62 7,24 5,83 31,61 Sulut 3,52 18,76 8,25 58,63 Sulteng 2,48 11,35 8,52 67,16 Sulsel 1,90 6,85 4,13 20,90 Sultra 2,64 13,52 6,77 64,73 Gorontalo 2,98 12,24 7,56 52,24 Sulbar 4,62 18,80 6,25 0,00 Maluku 2,86 19,93 27,51 0,00 Malut 3,81 44,74 11,69 0,00 Papua Barat 4,87 19,21 15,27 100,00 Papua 3,67 15,57 14,03 0,00 Berdasarkan Gambar 32 tersebut terlihat bahwa log harga ikan segar dan ikan awetan lebih tinggi dibandingkan dengan log harga udang segar dan udang awetan. Log harga udang segar berada di atas log harga udang awetan. Keadaan serupa juga terjadi di Filipina di mana harga dried fish bisa dikatakan sama dengan harga fresh fish; sedangkan di Thailand, harga dried fish jauh lebih mahal sekitar 3 kali lipat daripada harga fresh fish. Harga ikan segar termahal adalah di wilayah Kalimantan Tengah, kemudian Kalimantan Selatan, Bangka Belitung dan Aceh, sedangkan harga terendah adalah di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Tengah dan Bali. Angka koefisien keragaman dari harga tersebut Tabel 25 menunjukkan bahwa harga ikan segar di seluruh wilayah Indonesia cukup seragam dengan nilai antara 1 sampai 4 persen. Variasi harga ikan segar tertinggi adalah di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta, Papua Barat, Sulawesi Barat, dan Kepulauan Riau. Harga udang segar dan udang awetan terlihat tidak berbeda jauh, namun variasinya cukup tinggi. Variasi harga udang segar tertinggi adalah di Papua lebih dari 40 persen, kemudian Bengkulu dan NTT sekitar 20 persen, sedangkan variasi terendah di wilayah pulau Jawa dan Aceh. Variasi harga ikan awetan berkisar antara 1 sampai 27 persen, dengan variasi tertinggi di Maluku dan variasi terendah di Jawa Timur. Harga udang awetan terlihat paling tinggi variasinya, berkisar antara 5 persen di wilayah Sumuatera Utara dan Jawa Barat sampai 100 persen di wilayah Papua Barat. 1,6 1,4 1,2 1 0,8 0,6 0,4 0,2 Ikan Segar Udang Segar Ikan Awetan Udang Awetan Gambar 32. Rata-rata Log Harga Ikan Segar, Udang Segar, Ikan Awetan, dan Udang Awetan di Berbagai Propinsi di Indonesia, 2008

6.3.1. Harga Ikan Segar

Secara agregat, harga ikan segar hampir sama dengan harga ikan awetan. Di beberapa wilayah bahkan harga ikan awetan lebih mahal daripada ikan segar. Tabel 26 menyajikan harga beberapa spesies ikan segar. Terlihat bahwa secara umum harga ikan hasil tangkapan dari laut tengiri, teri, kakap, dan baronang lebih mahal daripada ikan air tawar mujair, mas, lele. Harga ikan lau yang paling mahal adalah ikan tengiri. Sedangkan harga ikan laut yang paling murah adalah ikan tongkoltunacakalang dan hal merupakan salah satu alasan mengapa ikan tongkoltunacakalang paling banyak dikonsumsi oleh rumahtangga Indonesia di berbagai wilayah. Yang perlu dicatat adalah harga jenis ikan lainnya tergolong jenis ikan yang paling murah, namun tidak dapat diketahui jenis apa dan mungkin merupakan gabungan dari beberapajenis ikan. Harga ikan air tawar yang paling mahal adalah ikan gabus, sedangkan yang paling murah adalah ikan lele. Ikan gabus tersebut lebih banyak dikonsumsi oleh rumahtangga di perkotaan, sedangkan ikan lele lebih banyak dikonsumsioleh rumahtangga di perdesaan. Tabel 26. Harga, Standar Deviasi, dan Koefisien Keragaman Setiap Jenis Ikan Segar Berdasarkan Susenas Tahun 2008 Sumber: Susenas 2008, diolah Bila dilihat variasi harganya, terlihat bahwa variasi harga ikan segar secara keseluruhan tidak terlalu tajam. Namun demikian variasi harga ikan baronang adalah yang paling besar dibandingkan dengan jenis ikan lainnya. Sedangkan variasi harga yang paling rendah adalah harga ikan mas dan ikan lele.

6.3.2. Harga Udang Segar

Tabel 27 menyajikan harga beberapa spesies udang segar. Terlihat bahwa secara umum harga udang segar adalah yang paling mahal, diikuti oleh harga cumi-cumisotong, ketamkepitingrajungan, udanghewan air lainnya, dan yang paling murah adalah jenis kerangsiput. Kode Jenis Ikan Harga Rpkg Standar Deviasi Koefisien Keragaman q021 ikan ekor kuning 9.167 10.833 6,64 q022 ikan tongkoltunacakalang 8.268 20.673 2,42 q023 ikan tenggiri 13.000 11.400 8,69 q024 ikan selar 8.538 14.168 4,16 q025 ikan kembung 9.857 20.597 2,86 q026 ikan teri 10.833 16.249 5,89 q027 ikan bandeng 9.000 15.440 3,32 q028 ikan gabus 10.857 12.144 5,54 q029 ikan mujair 8.125 14.520 3,42 q030 ikan mas 9.533 12.166 4,60 q031 ikan lele 8.857 11.396 4,32 q032 ikan kakap 10.333 7.734 10,45 q033 ikan baronang 11.000 5.326 17,52 q034 ikan lainnya 7.492 22.582 2,32