Persepsi Warga asli Fenomena Kompetisi Tenurial Pada Masa Berkebun Kelapa Sawit

4.3.1. Persepsi Warga asli

Keberadaan perkebunan-perkebunan kelapa sawit di desa memberi pengaruh yang begitu besar dalam membentuk cara pandang warga asli terhadap keberadaan lahan-lahan yang terdapat di desa. Lahan-lahan di desa yang mencakup wilayah yang masih dalam kondisi hutan, areal perladangan, dan areal kebun maupun hutan karet yang dimiliki dan dikelola oleh mereka, secara bertahap telah berubah menjadi areal- areal perkebunan kelapa sawit dengan melalui berbagai cara peralihan. Persepsi awal warga asli yang menganggap bahwa lahan-lahan yang ada dan dimiliki oleh mereka secara turun-temurun dengan melalui proses pewarisan, adalah suatu bentuk properti yang harus tetap dipelihara dan dikelola untuk kepentingan bersama oleh setiap anggota keluarga inti dan keluarga luas. Akan tetapi, kini telah mengalami perubahan dengan tidak lagi dianggap sebagai bentuk properti yang diperuntukkan bagi keluarga inti dan keluarga luas, tetapi lebih diprioritaskan peruntukkannya kepada keluarga inti saja. Lahan-lahan ini diusahai secara bersama dengan menjadikannya sebagai areal kebun dan hutan karet, dan juga areal perladangan tanaman palawija lainnya. Setiap anggota dari suatu keluarga inti dan juga keluarga luas memiliki hak dalam memanfaatkan hasil dari lahan-lahan yang telah diusahai secara bersama. Pengaturan pembagian besar hasil dan bagian dari luas lahan yang dapat diusahai dan dimanfaatkan oleh setiap anggota keluarga, diatur dalam suatu tatanan konsep lokal yang telah disepakati secara bersama pada saat ketika proses pembukaan lahan pertama kali dilakukan. Akan tetapi, ketika era ekonomi perkebunan kelapa sawit telah hadir di tengah-tengah warga, tatanan konsep lokal yang sejak lama dipertahankan itupun mulai hilang dan tidak lagi menjadi rujukan warga asli di desa dalam memaknai dan memanfaatkan keberadaan dari lahan-lahan tersebut. Mereka lebih memilih untuk Universitas Sumatera Utara melakukan pembagian hak atas lahan yang dimiliki oleh setiap kelompok keluarga yang mewarisi suatu areal lahan. Hal ini kemudian menjadikan lahan yang awalnya merupakan properti bersama yang mencakup keluarga luas pada satu kelompok keluarga, menjadi hanya mencakup keluarga inti saja. Tujuan dari pembagian hak atas lahan itu tidak lain adalah untuk membuka areal-areal perkebunan kelapa sawit yang dapat mereka usahai dan manfaatkan hasilnya secara pribadi individu. Konsep awal yang terkonstruksi pada diri mereka masing-masing terhadap lahan sebagai bentuk properti bersama, secara ekonomi tidak lagi dianggap dapat memberi kontribusi yang cukup baik. Lahan-lahan bersama yang hanya berupa hutan karet dan areal perladangan tanaman palawija, mereka anggap tidak lagi menguntungkan dan dapat mengakomodir kepentingan serta kebutuhan hidup. Cara pandang ini juga tidak terlepas dari rendahnya nilai produksi dari hasil getah karet dan kondisi tanaman karet yang sudah cukup tua serta jumlah batang pohon karet pada satu areal lahan yang tidak lagi maksimal.

4.3.2. Persepsi Warga Pendatang Transmigran Jawa