Kajian Kompetisi Tenurial (Studi Deskriptif Tentang Kompetisi Tenurial Atas Sumberdaya Lahan di Desa Rantau Badak, Kecamatan Merlung, Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Propinsi Jambi
KAJIAN KOMPETISI TENURIAL
(
Studi Deskriptif Tentang Kompetisi Tenurial Atas Sumberdaya Lahan di Desa Rantau Badak, Kecamatan Merlung,Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Prop. Jambi)
SKRIPSI
Diajukan guna melengkapi salah satu syarat
ujian sarjana sosial dalam bidang antropologi
Oleh :
Pangeran P.P.A Nasution
030905040
Antropologi
Departemen Antropologi
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Sumatera Utara
Medan
(2)
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
FAKULTAS ILMU SOSIAL
DAN ILMU POLITIK
HALAMAN PERSETUJUAN
Nama : Pangeran P.P.A Nasution Nim : 030905040
Dept : Antropologi
Judul : KAJIAN KOMPETISI TENURIAL (Studi Deskriptif Tentang Kompetisi Tenurial Atas Sumberdaya Lahan di Desa Rantau Badak, Kecamatan Merlung, Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Propinsi Jambi)
Medan, Oktober 2008
Pembimbing Skripsi Ketua Departemen
(Drs. Zulkifli Lubis, MA) (Drs. Zulkifli Lubis, MA)
Nip. 131 882 278 Nip. 131 882 278
Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara
(Prof. Dr. M. Arif Nasution, MA) Nip. 131 757 010
(3)
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur atas nikmat dan karunia kemampuan untuk berpikir dan
bertindak yang diamanahkan oleh Allah SWT selaku pemilik segala manusia dan
sekalian alam, dan juga Rasulullah SAW sebagai pembawa pemikiran yang
menjembatani manusia dengan sang Khalik, sehingga hamba selaku penulis dapat
menyelesaikan penyusunan skripsi ini.
Dalam penulisan skripsi ini, penulis banyak memperoleh bantuan, bimbingan,
dan juga nasehat dari berbagai pihak. Pertama sekali, penulis ingin mengucapkan
terima kasih yang begitu besar dan istimewa kepada kedua orang tua penulis,
Ayahanda Drs. Pangihutan Nasution, SH dan Ibunda Angelina Reini Betty Br.
Girsang, yang telah begitu sabar dalam pengharapan dan penantian mereka terhadap
penyelesaian skripsi penulis. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada kakak
tercinta Putri M.D Nasution, SS beserta suami (Fiqouly Z, SP), Sari S.H Nasution, SS
serta adik-adikku tersayang Intan Bidadari Nasution dan Intan Bulandari Nasution
yang selama ini memberi doa, semangat, saran, dan kritikan pedas namun jenaka
kepada penulis, skripsi ini kupersembahkan kepada kalian keluargaku yang begitu
berharga dan teramat sangat kucintai. Penulis juga berterima kasih kepada :
1. Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Prof. DR. M. Arif Nasution,
MA. yang telah memberikan dukungan dalam bentuk fasilitas akademik
selama penulis menjalani perkuliahan di FISIP USU yang begitu
mengesankan.
2. Ketua Departemen Antropologi FISIP USU, Drs. Zulkifli Lubis, MA. yang
juga merupakan dosen penasihat akademik dan dosen pembimbing skripsi
(4)
meluangkan waktu, tenaga, serta memberikan bimbingan dan masukan
yang sangat berharga dari awal penulisan hingga skripsi ini dapat
diselesaikan.
3. Drs. Zulkifli, MA. selaku dosen penguji yang sejak awal penulisan skripsi
juga memberi masukan berupa saran yang begitu berharga bagi penulis.
4. Dra. Sri Alem Br. Sembiring, MA. selaku dosen penguji yang juga telah
memberikan bimbingan bagi penulis dalam penulisan skripsi ini.
5. John McCarthy selaku dosen tamu dari Australia National University,
yang telah mempercayakan penulis untuk mendampingi beliau dalam
penelitiannya di Desa Rantau Badak, dan telah banyak membantu penulis
dalam pembiayaan penelitian skripsi serta membimbing penulis ketika
berada di lokasi penelitian dalam upaya perolehan data penelitian.
6. Seluruh staf pengajar di Departemen Antropologi yang telah memberikan
didikan, pengetahuan, dan pembelajaran bagi penulis selama masa
perkuliahan.
7. Rekan-rekan stambuk 2002 dan 2003 yang telah memberi semangat, kritik,
dan doa bagi penulis, terutama pada Anis dan Adek. Adik-adik stambuk,
terutama pada Agif, Angga, Fida, teruskan perjuangan dalam mencapai
cita-cita, dan juga terima kasih kepada adik-adik stambuk lainnya yang
tidak dapat saya sebutkan namanya satu persatu.
8. Bapak Kepala Desa Rantau Badak dan seluruh warga Desa Rantau Badak
yang telah menerima dan mendukung penulis selama melakukan penelitian
di Desa Rantau Badak.
9. Teman-teman di luar kampus; Tedy, Fermi, dan Ela. Anak-anak ‘Gang
(5)
permainan perkusi malam-malam penantian penyelesaian skripsi.
Pada ‘Dek Ila’; terima kasih untuk doa dan perhatiannya, dan juga karena
telah memasuki kehidupan kakak.
Akhir kata, penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberi sumbangan
pemikiran yang bermanfaat bagi pengembangan disiplin ilmu di Antropologi FISIP
USU. Wass. Wr. Wb.
Medan, Oktober 2008 Penulis
(Pangeran P.P.A Nasution) NIM.030905040
(6)
Abstrak
Pangeran P.P.A Nasution, 2008. Kajian Kompetisi Tenurial (Studi Deskriptif Tentang Kompetisi Tenurial Atas Sumberdaya Lahan di Desa Rantau Badak, Kecamatan Merlung, Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Propinsi Jambi) : 92 Halaman + 5 Lampiran; 7 Tabel & 19 Gambar
Tulisan ini menjelaskan tentang berlangsungnya kompetisi tenurial atau kompetisi penguasaan lahan di antara kelompok warga asli desa, kelompok warga transmigran Jawa, dan kelompok warga pendatang lainnya, terkait dengan trend berkebun kelapa sawit yang sedang berlangsung di Desa Rantau Badak.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kognitif yang menekankan pada aspek pengetahuan dari setiap kelompok warga. Penekanan pada aspek pengetahuan dimaksud adalah untuk dapat menjelaskan atau mendeskripsikan pengetahuan setiap kelompok warga terhadap keberadaan sumberdaya lahan yang terdapat di desa terkait dengan kepentingan dalam berkebun kelapa sawit, dan bagaimana perilaku mereka terhadap upaya peguasaan lahan secara optimal.
Metode yang digunakan dalam penelitian adalah metode penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif. Perolehan informasi tentang konsep dan perilaku dari setiap kelompok warga terhadap sumberdaya lahan untuk kepentingan berkebun kelapa sawit adalah dengan melakukan wawancara mendalam kepada informan kunci, seperti Pengetua Adat, Kepala Desa, dan Pelaku Kompetisi yang mewakili dari setiap kelompok warga di desa. Observasi dilakukan untuk mengamati aktivitas dari setiap kelompok warga dalam berkebun kelapa sawit dan bagaimana mereka bertindak dalam upaya penguasaan lahan.
Hasil penelitian ini menunjukkan, bahwa telah terjadi peralihan pada sumber mata pencaharian pertanian warga dari berkebun karet menjadi berkebun kelapa sawit. Meningkatnya keantusiasan warga dalam upaya penguasaan lahan untuk kepentingan berkebun kelapa sawit bermula sejak awal tahun 1990, dan mengalami puncak peningkatan pada tahun 2004. Fenomena ini berlangsung awalnya disebabkan oleh hadirnya program pengembangan perkebunan kelapa sawit yang dicanangkan oleh pemerintah, dan kemudian terus berlangsung disebabkan nilai ekonomi kelapa sawit yang begitu tinggi, sementara nilai ekonomi getah karet yang cenderung mengalami penurunan.
Saat ini, fenomena kompetisi tenurial masih terus berlangsung di antara kelompok warga desa. Keadaan yang terus berlangsung ini akan memicu potensi konflik di antara kelompok warga. Hal ini disebabkan jumlah pemilikan properti atas lahan yang cenderung didominasi oleh kelompok warga transmigran Jawa dan juga kelompok warga pendatang lainnya, akan dapat menimbulkan kecemburuan pada kelompok warga asli di desa.
(7)
Daftar Isi
halaman
HALAMAN JUDUL……….i
HALAMAN PERSETUJUAN...………..ii
KATA PENGANTAR……….iii
ABSTRAK………...vi
DAFTAR ISI………...vii
DAFTAR LAMPIRAN………....x
BAB I PENDAHULUAN……….1
1.1 Latar Belakang Penelitian………...1
1.2 Rumusan Masalah Penelitian………...10
1.3 Lokasi Penelitian………..11
1.4 Tujuan Penelitian ……….11
1.5 Tinjauan Pustaka………..12
1.5.1 Kompetisi Tenurial………...12
a. Pengertian Kompetisi………...12
b. Pengertian Tenurial………..13
1.5.2 Faktor berlangsungnya Kompetisi………17
a. Pengertian Persepsi………...17
b. Pengertian Ekspektasi………...18
1.6 Metode Penelitian……….19
1.6.1 Tipe Penelitian………..19
1.6.2 Teknik Pengumpulan Data………...20
1.7 Analisis Data…...……….21
BAB II GAMBARAN UMUM DESA………22
2.1 Identifikasi Desa………...22
2.1.1 Lokasi Desa Rantau Badak………...22
2.1.2 Infrastruktur dan Sarana Transportasi………….……….23
(8)
2.1.4. Iklim dan Lingkungan Alam………27
2.2 Keadaan Penduduk………...29
2.2.1 Karakteristik dan Jumlah Penduduk.………29
2.2.2 Dinamika Kependudukan dan Tata Pemukiman………..30
2.2.3 Mata Pencaharian Hidup………..36
2.3 Sejarah Desa Rantau Badak………..38
2.4 Sarana dan Prasarana Desa………...40
BAB III KONDISI LAHAN DAN PEMANFAATANNYA………...43
3.1 Masa Sebelum Berkebun Kelapa Sawit………...43
3.1.1 Masa Berladang.………...43
3.1.2 Masa Bertani Karet….………..51
3.2 Era Berkebun Kelapa Sawit………..53
3.2.1 Pekerja, Pembagian Kerja, dan Waktu Kerja………...58
BAB IV KOMPETISI TENURIAL……….60
4.1 Fenomena Kompetisi Tenurial Pada Masa Berladang……….60
4.2 Fenomena Kompetisi Tenurial Pada Masa Bertani Karet………60
4.3 Fenomena Kompetisi Tenurial Pada Masa Berkebun Kelapa Sawit…62 4.3.1 Persepsi Warga asli………...63
4.3.2 Persepsi Warga Pendatang (Transmigran Jawa)………..64
4.3.3 Persepsi Warga Pendatang Lainnya………...65
4.3.4 Ekspektasi Warga dengan Berkebun Kelapa Sawit…………..66
4.3.4.1 Ekspektasi Warga Asli……….66
4.3.4.2 Ekspektasi Warga Transmigran Jawa………...67
4.3.4.3 Ekspektasi Warga Pendatang Lainnya……….69
4.3.5 Kompetisi Penguasaan Lahan Pada Masa Berkebun Kelapa Sawit………..69
4.3.5.1 Praktik Ekspansi Lahan Pada Warga Asli………71
4.3.5.2 Praktik Ekspansi Lahan Pada Warga Transmigran Jawa………74
a. Strategi Ekspansi dengan Keterlibatan dalam Pemerintahan Desa………75
b. Strategi Ekspansi dengan Pernikahan………...75 c. Strategi Ekspansi dengan Status Pegawai Negeri….76
(9)
4.3.5.3. Praktik Ekspansi Lahan
pada Warga Pendatang Lainnya………..78 a. Praktik Ekspansi pada Orang Batak
dan Mandailing………..………...78 b. Praktik Ekspansi pada Orang Palembang
dan Minangkabau………...81
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN………..84
DAFTAR PUSTAKA………..………...90
(10)
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran I : Tabel Data
Judul Halaman (Lampiran)
Tabel 1 Penduduk, Luas, Kepadatan Penduduk Dirinci Per Desa
dalam Kecamatan Merlung Tahun 2005………1
Tabel 2 Penduduk Menurut Jenis Kelamin Dirinci Per Desa
di Kecamatan Merlung Tahun 2005………...1
Tabel 3 Produksi Tanaman Perkebunan Menurut Jenis Tanaman
Dirinci Per Desa Keadaan Tahun 2005 (Ton)………2
Tabel 4 Luas Panen, Produksi dan Rata-rata Produksi Tanaman Buah-buahan Dirinci Per Desa Tahun 2005……….2
Tabel 5 Luas Panen, Produksi dan Rata-rata Produksi Tanaman Sayuran Dirinci Per Desa Tahun 2005……….3
Tabel 6 Luas Panen, Produksi dan Rata-rata Produksi Padi Ladang
Dirinci Per Desa Tahun 2005……….3
Tabel 7 Luas dan Penggunaan Bukan Sawah
Dirinci Per Desa Tahun 2005……..………...4
Lampiran II : Data Gambar
Judul Halaman
Gambar 1 Jalan Utama Dusun I (Lubuk Lalang)..………25 Gambar 2 Jalan Utama menuju Dusun Rantau Indah
dan Dusun Rantau Sari………..……...25 Gambar 3 Sungai Papalik yang Berada di Tengah Wilayah
Desa Rantau Badak………...28 Gambar 4 Datuk Daud (Salah Seorang Tokoh Masyarakat di Desa)…5 (lampiran) Gambar 5 Aktivitas Warga dalam Menghitung Hasil Kelapa Sawit
di Kebun Sendiri………...………5 (lampiran) Gambar 6 Kebun Kelapa Sawit yang dikelola Secara Mandiri Oleh Warga Desa
(11)
Gambar 7 Kebun Kelapa Sawit Milik Warga Asli di Desa…...………6 (lampiran) Gambar 8 Lahan PekaranganWarga yang Dimanfaatkan
Sebagai Areal Penanaman Kelapa Sawit………...7 (lampiran) Gambar 9 Kondisi Lahan yang Akan Dikonversi
Menjadi Areal Kebun Kelapa Sawit……….7 (lampiran) Gambar 10 Sarana Jembatan Perlintasan Utama Desa
yang Berada di Atas Sungai Papalik……….8 (lampiran) Gambar 11 Kondisi Sungai Papalik Sebagai Sungai Besar di Desa…...8 (lampiran) Gambar 12 Kondisi Jalan Menuju Dusun Rantau Indah
dan Dusun Rantau Sari………..…………...9 (lampiran) Gambar 13 Kondisi Jalan Menuju dusun II
(Dusun Tanjung Kemang)………....9 (lampiran) Gambar 14 Beberapa Lahan Milik Warga yang Dimanfaatkan
dengan Peremajaan Tanaman Karet………...10 (lampiran) Gambar 15 Bibit Karet dan Kelapa Sawit
yang untuk Sementara Ditanam di Polybag………...10 (lampiran) Gambar 16 Bibit Karet yang untuk Sementara Ditanam di Polybag…11 (lampiran)
Lampiran III : Data Peta
Peta I Peta Propinsi Jambi………12 (lampiran)
Peta II Peta Penunjukkan Kawasan Hutan Propinsi Jambi………13 (lampiran) Peta III - Sketsa Desa Rantau Badak (1930-an)...………...14 (lampiran)
- Sketsa Desa Rantau Badak (1970-an)………..14 (lampiran) - Sketsa Desa Rantau Badak (1990-an)………..15(lampiran) - Sketsa Desa Rantau Badak (2008)………...15 (lampiran)
Lampiran IV : Data Informan
Daftar Nama Informan………16 (lampiran)
Lampiran V :
(12)
Abstrak
Pangeran P.P.A Nasution, 2008. Kajian Kompetisi Tenurial (Studi Deskriptif Tentang Kompetisi Tenurial Atas Sumberdaya Lahan di Desa Rantau Badak, Kecamatan Merlung, Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Propinsi Jambi) : 92 Halaman + 5 Lampiran; 7 Tabel & 19 Gambar
Tulisan ini menjelaskan tentang berlangsungnya kompetisi tenurial atau kompetisi penguasaan lahan di antara kelompok warga asli desa, kelompok warga transmigran Jawa, dan kelompok warga pendatang lainnya, terkait dengan trend berkebun kelapa sawit yang sedang berlangsung di Desa Rantau Badak.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kognitif yang menekankan pada aspek pengetahuan dari setiap kelompok warga. Penekanan pada aspek pengetahuan dimaksud adalah untuk dapat menjelaskan atau mendeskripsikan pengetahuan setiap kelompok warga terhadap keberadaan sumberdaya lahan yang terdapat di desa terkait dengan kepentingan dalam berkebun kelapa sawit, dan bagaimana perilaku mereka terhadap upaya peguasaan lahan secara optimal.
Metode yang digunakan dalam penelitian adalah metode penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif. Perolehan informasi tentang konsep dan perilaku dari setiap kelompok warga terhadap sumberdaya lahan untuk kepentingan berkebun kelapa sawit adalah dengan melakukan wawancara mendalam kepada informan kunci, seperti Pengetua Adat, Kepala Desa, dan Pelaku Kompetisi yang mewakili dari setiap kelompok warga di desa. Observasi dilakukan untuk mengamati aktivitas dari setiap kelompok warga dalam berkebun kelapa sawit dan bagaimana mereka bertindak dalam upaya penguasaan lahan.
Hasil penelitian ini menunjukkan, bahwa telah terjadi peralihan pada sumber mata pencaharian pertanian warga dari berkebun karet menjadi berkebun kelapa sawit. Meningkatnya keantusiasan warga dalam upaya penguasaan lahan untuk kepentingan berkebun kelapa sawit bermula sejak awal tahun 1990, dan mengalami puncak peningkatan pada tahun 2004. Fenomena ini berlangsung awalnya disebabkan oleh hadirnya program pengembangan perkebunan kelapa sawit yang dicanangkan oleh pemerintah, dan kemudian terus berlangsung disebabkan nilai ekonomi kelapa sawit yang begitu tinggi, sementara nilai ekonomi getah karet yang cenderung mengalami penurunan.
Saat ini, fenomena kompetisi tenurial masih terus berlangsung di antara kelompok warga desa. Keadaan yang terus berlangsung ini akan memicu potensi konflik di antara kelompok warga. Hal ini disebabkan jumlah pemilikan properti atas lahan yang cenderung didominasi oleh kelompok warga transmigran Jawa dan juga kelompok warga pendatang lainnya, akan dapat menimbulkan kecemburuan pada kelompok warga asli di desa.
(13)
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Penelitian
Sebagai salah satu negara dengan wilayah yang luas di dunia, Indonesia tidak
hanya memiliki wilayah daratan dan perairan yang luas, tetapi juga kaya dengan
sumber daya alam.1
Pelanggaran hak-hak asasi dan penebangan hutan yang terjadi di beberapa
tempat misalnya, berakar dari berbagai kebijakan yang diterapkan lebih dari sepuluh
tahun yang lalu di bawah pemerintahan Orde Baru. Kebijakan-kebijakan ini
meletakkan dasar-dasar untuk konflik kepentingan pribadi yang terus menerus terjadi
akibat keterlibatan para pelaku negara, yang sesungguhnya ditugaskan untuk
mengawasi pengelolaan hutan dan penegakan hukumnya. Berbagai kebijakan Orde
Baru yang memperbolehkan penyitaan lahan lokal untuk operasi kehutanan komersial,
yang di dalamnya para pejabat pemerintah sendiri sering memiliki saham, kurangnya Hutan tropis yang luasnya diperkirakan mencapai 144 juta hektar
sangat kaya dengan ribuan jenis burung, ratusan jenis mamalia dan puluhan ribu jenis
tumbuhan. Perairan yang luas menjadi tempat bagi perkembangan populasi ikan dan
hasil perairan lainnya, demikian pula dengan buminya yang mengandung deposit
berbagai jenis mineral dalam jumlah yang tidak sedikit.
Sumber daya alam yang berada di berbagai sebaran kawasan hutan yang ada di
Indonesia, merupakan pusat berlangsungnya perjuangan ekonomi, politik, dan sosial
di seluruh kepulauan Indonesia. Secara khusus, hutan memegang peran penting dalam
berbagai perjuangan ini, dan dengan demikian menjadi titik tolak dalam menyoroti
kekerasan di pedesaan, khususnya di sekitar hutan yang kaya akan sumber daya alam.
1
Tentang pengertian sumber daya alam ini silahkan baca penjelasan lengkapnya dalam Koesnadi Hardjasoemantri, Hukum Tata Lingkungan, bab II “Pengelolaan Lingkungan Hidup di Indonesia”, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 2002. hlm. 198-199.
(14)
rasa hormat terhadap hak-hak warga adat (indigenous people)2, dan lemahnya
penegakan hukum kehutanan, mendorong berbagai perusahaan ekstraktif
menggunakan dan memanfaatkan sumber daya hasil hutan secara tidak
berkelanjutan.3
Pengelolaan sumber daya alam selama ini tampaknya lebih mengutamakan
meraih keuntungan dari segi ekonomi sebesar-besarnya tanpa memperhatikan aspek
sosial dan kerusakan lingkungan. Pemegang otoritas pengelolaan sumber daya alam
pada masa pemerintahan orde baru berpusat pada negara yang dikuasai oleh
pemerintah pusat, sedangkan daerah tidak lebih hanya sebagai penonton. Berbagai
kebijakan yang dikeluarkan cenderung bersifat sektoral, sehingga kadangkala menjadi
kebijakan yang tumpang tindih. Sentralisasi kewenangan tersebut juga mengakibatkan
pengabaian perlindungan terhadap hak azasi manusia, yang dalam hal ini meliputi
hak-hak warga adat pada suatu daerah.
Perlu kita sadari bahwa eksploitasi secara berlebihan tanpa perencanaan yang
baik, bukannya mendatangkan kemakmuran dan kesejahteraan, sebaliknya akan
membawa malapetaka yang tidak terhindarkan. Akibat dari pengelolaan sumber daya
alam yang tidak memperhatikan keseimbangan dan kelestarian lingkungan, dapat kita
lihat pada kondisi lingkungan yang mengalami degradasi baik kualitas maupun
kuantitasnya. Hutan tropis yang kita banggakan, setiap tahun luasnya berkurang
dengan sangat cepat, demikian juga dengan jenis flora dan fauna di dalamnya
sebagian besar sudah terancam punah.
4
2
Lihat Rafael Edy Bosko, Hak-Hak Warga Adat dalam Konteks Pengelolaan Sumber Daya Alam, Prolog “Warga Adat, Eksistensi dan Problemnya: Sebuah Diskursus Hak Asasi Manusia”, Elsam, Jakarta, 2006, hlm. 1-6, dan lihat juga pada hlm. 52-56.
3
Lihat Akses Peran Serta Warga, “Lebih Jauh Memahami Community Development”, ICSD, Jakarta, 2003, hlm. 10-11.
4
Lihat Rafael Edy Bosko, Hak-Hak Warga Adat dalam Konteks Pengelolaan Sumber Daya Alam, Elsam, Jakarta, 2006, hlm. 39-41.
(15)
Pemerintah lupa bahwa kawasan hutan yang dijadikan wadah untuk
memperoleh pendapatan ekonomi negara, bukan hanya sekedar suatu areal hutan yang
didalamnya hidup berbagai jenis flora dan fauna semata, di areal kawasan hutan juga
ada sekelompok manusia yang hidup dan bermukim di kawasan hutan tersebut.
Mereka bermukim dan memenuhi kebutuhan hidupnya dari sumber daya yang ada di
hutan. Sekelompok manusia ini terikat secara teritori, sosial dan budaya yang
terpelihara sudah sejak lama. Mereka inilah yang dimaksud dengan warga hutan,
warga lokal, ataupun yang lebih populer dikatakan dengan istilah Indigenous People.
Saat pemerintah daerah melulu memikirkan kesejahteraan finansial, budaya
lokal selalu dikalahkan oleh logika ekonomi. Pengkeramatan ratusan hektar hutan
oleh satu komunitas budaya tertentu, dipandang sebelah mata oleh pembuat kebijakan.
Tekanan dari investor lebih kuat dari upaya bela rasa terhadap budaya yang dijalankan
satu komunitas tertentu. Padahal, demi terwujudnya kehidupan yang berkelanjutan,
pemerintah mesti memberi keleluasaan bagi pelbagai komunitas di daerah untuk
menjalankan ritme kehidupan sosial dan budayanya.
Walaupun warga adat menyatakan kepemilikannya terhadap lahan hutan tanpa
memiliki sertifikat tanah secara tertulis, warga adat memahami bentuk tradisional
pengelolaan sebagai hak adat yang diwariskan, dan hal ini diakui secara spesifik
dalam pasal 18 Undang-undang Dasar Negara Indonesia, yakni bahwa :
"Negara Republik Indonesia menghormati status warga asal dan sistem pemerintah mereka sendiri dan semua peraturan pemerintah yang terkait dengan lembaga dan warga ini harus menghargai hak asal-usul yang berlaku di tempat-tempat khusus seperti ini".
Penjelasan UUD 1945, Bab IV, Pasal 18, Ayat 2 berbunyi "[Ada sekitar] 250 jenis lembaga pemerintahan yang independen di tingkat desa (Zelfbesturende landschappen) dan lembaga warga asli (volksgemeenschappen) seperti desa di Jawa dan Bali, negri di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang dan sebagainya. Masing-masing wilayah desa ini memiliki struktur kelembagaan tersendiri (susunan asli) dan karena itu dapat disebut sebagai daerah yang bersifat istimewa. Negara Republik Indonesia menghormati status daerah istimewa ini dan semua peraturan pemerintah mengenai hak-hak asal-usul untuk daerah-daerah ini." Sesuai dengan amademen yang dilakukan pada bulan Agustus 2000, pasal 18, paragraf b sekarang berbunyi, "Pemerintah menghormati dan mengakui struktur warga tradisional bersama dengan aturan-aturan adat mereka asalkan semuanya itu sesuai dengan perkembangan sosial dan prinsip negara kesatuan Republik Indonesia, dan aturan-aturannya akan ditetapkan dalam undang-undang."
(16)
Akan tetapi pada masa orde baru, Presiden Soeharto mempunyai rencana yang
berbeda untuk hutan-hutan lebat yang sangat luas dan menguntungkan ini, karena
hutan-hutan tersebut tidak mempunyai bukti hak kepemilikan pribadi resmi, dan
dianggap tidak dimiliki siapapun. Agenda "pembangunan" Orde Baru digerakkan oleh
ekstraksi hutan yang tidak berkelanjutan, dan didasarkan pada penyitaan lahan seluas
lebih dari 90 persen total lahan di pulau-pulau di luar Jawa, yang kemudian disebut
sebagai "hutan negara", salah satunya adalah Propinsi Jambi yang berada di Pulau
Sumatera. Hutan-hutan tropis yang lebat, yang telah tumbuh selama berbagai generasi
dan kaya dengan keanekaragaman hayati tumbuhan dan hewan, ditebang untuk
memperoleh kayu dan diganti dengan perkebunan luas yang ditanami spesies
monokultur eksotis yang cepat tumbuh dalam baris yang lurus dan dibersihkan dari
tumbuhan tingkat bawah.
Lahan yang diklasifikasikan sebagai "hutan negara"5
Akan tetapi, bagi penduduk pedesaan di Indonesia yang hidupnya bergantung
pada hutan, hutan mempunyai arti yang berbeda. Hutan-hutan yang kemudian lenyap , luasnya mencakup lebih
dari 75 persen (143 juta hektar) dari total luas lahan di Indonesia, dan 90 persen dari
luas lahan di pulau-pulau di luar Jawa yang sebagian besar merupakan lahan warga
adat. Sebagai hutan negara, secara hukum lebih dari seratus juta hektar diperuntukkan
sebagai areal penebangan atau `hutan konversi' untuk perkebunan (yaitu tebang habis
dan diikuti penanaman secara monokultur untuk perkebunan kayu pulp atau tanaman
perkebunan lainnya). Pemerintah Indonesia mengeluarkan ijin konsesi HPH, HTI dan
perkebunan ke berbagai perusahaan berupa hak atas lahan yang diakui secara hukum.
5
Istilah "hutan negara" sebenarnya lebih mencerminkan keinginan pemerintah untuk mengontrol sumber daya ini daripada kondisi kawasan yang ditumbuhi hutan sesuai dengan definisi yang digunakan di dalam Undang-undang Pokok Kehutanan tahun 1967, "lahan yang berhutan atau tidak berhutan, yang dinyatakan oleh negara sebagai hutan" (pasal 1, alinea 4). Hutan negara ini kemudian diklasifikasikan lebih lanjut sesuai fungsinya sebagai "hutan produksi terbatas," "hutan produksi," "hutan konversi" (untuk ditebang habis dan "dikonversi untuk pemanfaatan lainnya," seperti perkebunan), "hutan lindung," dan "hutan konservasi".
(17)
merugikan sebagian besar penduduk Indonesia yang tinggal di pedesaan , miskin6,
dan mata pencahariannya bergantung pada hutan.7
Sebagian besar petani asli yang tinggal di pulau-pulau di luar Pulau Jawa yang
padat penduduknya, praktik usahatani gabungan subsistensi dan komersial antara padi
gogo dan tanaman tahunan
Penduduk ini juga menghargai
hutan sebagai nilai budaya yang besar.
8
merupakan suatu rutinitas dalam memenuhi kebutuhan
produksi ekonomi. Selain itu, berbagai produk hutan dikumpulkan dari hutan untuk
dijual dan dikonsumsi di rumah, termasuk rotan, madu, damar, daun-daunan dan
buah-buahan yang dapat dimakan, satwa liar, dan ikan. Diperkirakan pendapatan 7
juta penduduk Sumatera dan Kalimantan bergantung pada kebun karet yang menyebar
di lahan seluas kurang lebih 2,5 juta hektar. Di Sumatera saja, kira-kira 4 juta hektar
lahan dikelola oleh warga lokal dalam bentuk berbagai jenis wanatani (yaitu kebun
berbagai spesies buah digabung dengan pertumbuhan hutan alami) tanpa bantuan dari
luar.9
6
Mark Baird, Direktor World Bank untuk Indonesia, "Farewell Remarks to the Jakarta Foreign Correspondents' Club," Jakarta, 27 Agustus 2002, http://wbln0018.worldbank.org/eap/eap.nsf.
7
World Bank, "Removing the Constraints: Background on Forests" disajikan dalam pertemuan Paska-CGI untuk bidang kehutanan yang disponsori World Bank, Jakarta, 26 Januari, 2000,
http://lnweb18.worldbank.org/eap/eap.nsf/
8
Peladangan berpindah adalah sistem pertanian yang tidak menggunakan mesin, pupuk, herbisida atau pestisida. Setelah lahan diolah selama satu sampai tiga tahun, lahan dibiarkan sehingga pohon-pohonnya dapat melakukan regenerasi dan mengembalikan kesuburan tanah serta memutuskan daur reproduksi hama. Di Indonesia, praktik pertanian seperti ini biasanya menanam karet dan pohon buah-buahan di antara tanaman hutan alami yang sedang melangsungkan regenerasi.
9
H. deForesta, A. Kusworo G. Michon, dan W.A. Djamiko, eds., Agro-forest Khas Indonesia: Sebuah
Sumbangan Warga (Bogor, Indonesia: International Center for Research on Agro-Forestry, 2000).
Pengelolaan sumber daya alam yang selama ini telah mendatangkan berbagai
dampak dan permasalahan, berawal dari berbagai produk perundang-undangan yang
berkaitan dengan sumber daya alam, yang mana memberikan legitimasi kepada
praktek pemanfaatan sumber daya alam yang tidak memperhatikan keseimbangan
(18)
Berbagai Undang-Undang yang mengatur tentang sumber daya alam
mempunyai kelemahan substansial antara lain;
• Berorientasi pada eksploitasi SDA untuk mengejar keuntungan ekonomi semata, sehingga lebih berpihak kepada para
pengusaha besar.
• Berpusat pada negara, sehingga menggunakan pendekatan kekuasaan secara sentralistis.
• Bersifat sektoral, sehingga banyak regulasi, kebijakan, kepentingan maupun pengelolaan yang tumpang tindih.
• Mengabaikan keadilan terhadap warga daerah setempat.
Lengsernya Soeharto dari jabatannya, disertai dengan gelombang reformasi
yang menyebabkan pembaharuan dan perubahan berbagai peraturan dan
perundang-undangan yang berlaku di negeri ini. Salah satunya adalah dirumuskan dan
diberlakukannya peraturan dan perundang-undangan tentang pemerintahan daerah,
yakni kebijakan Otonomi Daerah.10
Sejak tahun 2002, perubahan tersebut mempengaruhi pembangunan sektor
kelapa sawit meskipun pada saat yang sama masih membatasi kewenangan
pemerintah daerah untuk mendorong perkebunan skala menengah. Sebuah peraturan
yang baru dikeluarkan memberi kewenangan bupati untuk mengeluarkan ijin diatas Jatuhnya rejim Suharto mengantarkan pada
periode perubahan politik secara radikal di Indonesia, yang salah satunya adalah
terjadi pelimpahan kewenangan yang cukup besar dalam mengelola tanah,
sumberdaya dan alokasi anggaran daerah dari pemerintah pusat kepada pemerintah
daerah.
10
Lihat Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, CV. Citra Utama, Jakarta, 2004, hlm. 52-53.
(19)
wilayah dengan luas maksimal 1000 hektar. Di wilayah yang tumpang tindih antar
kabupaten, pemberian ijin tetap menjadi hak prerogatif Gubernur Propinsi.
Propinsi Jambi adalah salah satu daerah yang menjadi lokasi pengembangan
perkebunan kelapa sawit. Jambi merupakan salah satu daerah yang memiliki kawasan
hutan dan potensi sumber daya alam yang cukup baik di Indonesia. Berlangsungnya
pengembangan perkebunan kelapa sawit di Propinsi Jambi diharapkan akan dapat
mempercepat pembangunan dan peningkatan ekonomi daerah dengan seluruh potensi
sumberdaya lahan yang ada di daerah ini. Pelaksanaan pembangunan itu sudah tentu
harus melibatkan warga secara aktif dan partisipatif. Tujuan pelaksanaan
pembangunan secara prioritas tentunya adalah untuk memenuhi dan meningkatkan
kesejahteraan warga Jambi secara keseluruhan.
Akan tetapi, berlangsungnya pengembangan perkebunan kelapa sawit di Jambi
ternyata menciptakan ruang kontestasi terhadap penguasaan lahan hutan dan sumber
daya alam yang terkandung didalamnya. Ruang kontestasi penguasaan lahan hutan
dan sumber daya alam yang dimaksud adalah terbentuknya suatu situasi yang bersifat
kompetitif11
Lahan hutan dengan beragam status kepemilikan yang berdasarkan klaim yang
dinyatakan oleh berbagai pihak dengan berbagai kepentingan yang mereka sandang
dan perjuangkan, menjadikan klaim atas lahan tersebut sebagai suatu aspek yang
menarik untuk dikaji lebih dalam, terkait dengan berlangsungnya kontestasi
kepentingan atas keberadaan lahan hutan dan sumber daya hutan tersebut dalam era
pengembangan perkebunan kelapa sawit.
dalam hal penguasaan lahan hutan dan sumber daya alam pada warga
daerah (Indigenous People), dan juga Perusahaan-perusahaan perkebunan yang begitu
gencar berupaya menguasai lahan hutan untuk memenuhi kebutuhan modal
produksinya.
11
Lihat Abu Hamid, Budaya Inovasi dan Kompetisi, “Suatu Penelusuran Awal”,
(20)
Warga adat mengklaim bahwa lahan hutan adalah milik mereka. Pengklaiman
ini bersandar pada konstruk konsep lokal yang termanifestasi dalam tata cara
pengaturan dan keberadaan lahan. Kekuatan pengklaiman juga karena wilayah hutan
itu berada disekitar kawasan pemukiman mereka yang terpola sesuai aktivitas
pemenuhan kebutuhan ekonomi, dan kemudian disertai dengan penentuan kawasan
pemukiman mereka yang mengikuti keberadaan jalur-jalur sungai.12
Kunjungan yang dilakukan oleh tim CIFOR ke warga lokal di beberapa desa
di Kecamatan Merlung, Kab. Tanjung Jabung Barat, Prop. Jambi pada bulan Juni
tahun 2004 lalu, telah menangkap beberapa peta persoalan yang terkait dengan
keberadaan warga adat dan aktivitas pemanfaatan sumber daya hasil hutan oleh
perusahaan-perusahaan ekstraktif di daerah tersebut.
Berlangsungnya
pengembangan perkebunan kelapa sawit di Jambi, yang meliputi wilayah Desa Rantau
Badak di Kecamatan Merlung, Kabupaten Tanjung Jabung Barat, dengan sebaran
kawasan hutan dan lahan warga yang terdapat di dalamnya, tentunya akan memberi
pengaruh yang besar bagi warga desa dalam penguasaan lahan hutan. Penyusutan
lahan akibat upaya pemenuhan kebutuhan lahan perkebunan kelapa sawit, dapat
menyebabkan peningkatan terhadap kecenderungan setiap individu warga untuk
menguasai lahan secara maksimal, hal ini disebabkan nilai ekonomi yang melekat
pada era perkebunan kelapa sawit cukup baik dan sangat potensial dalam upaya
peningkatan ekonomi warga.
13
Dari kunjungan tersebut diperoleh gambaran, bahwa berlangsungnya
pengembangan perkebunan kelapa sawit telah memberi ruang yang cukup besar bagi
sejumlah perusahaan perkebunan untuk beroperasi dan menguasai lahan-lahan hutan
di kawasan hutan Tanjung Jabung Barat, beberapa diantaranya adalah PT. DAS dan
12
Catatan lapangan penelitian, “Can Decentralization Help The Poor and Forest ?”, Zulkifli Lubis dan John McCarthy, 2004
13
(21)
PT. IIS, dan pernah terjadi konflik antara perusahaan tersebut dengan warga adat yang
berkaitan dengan penguasaan lahan hutan.
PT. IIS misalnya, perusahaan ini berkonflik dengan warga adat terkait dengan
jumlah luas lahan hutan yang mereka kelola. Areal HGU PT. IIS sebenarnya hanya
seluas 8.500 Ha, tetapi secara aktual yang terjadi di lapangan, mereka membuka areal
hutan seluas 10.000 Ha. Hal ini kemudian memicu ketidaksenangan warga terhadap
kecurangan yang telah dilakukan oleh perusahaan-perusahaan tersebut dalam hal
pembukaan lahan hutan, yang kemudian diikuti dengan aksi demonstrasi yang
dilakukan oleh warga setempat kepada pemerintah daerah yang dianggap dapat
menyelesaikan persoalan tersebut.
Peta persoalan lainnya yang diperoleh oleh tim CIFOR adalah potensi konflik
antara warga desa di Kecamatan Merlung. Keberadaan warga transmigran asal Pulau
Jawa di Merlung yang telah berlangsung sejak tahun 1994 yang lalu, menciptakan
kondisi yang kurang baik antara warga asli di desa yang merupakan etnis Melayu
Jambi dengan warga transmigran. Kecemburuan warga adat terhadap keberadaan
warga transmigran disebabkan peningkatan taraf kehidupan ekonomi mereka yang
lebih baik dibandingkan warga asli setempat.
Peningkatan taraf kehidupan ekonomi warga transmigran adalah dengan
kegiatan pemanfaatan sumber daya hasil hutan yang bersumber dari kawasan hutan di
daerah tersebut. Aktivitas berladang oleh warga trans kemudian akan turut menjadi
ancaman bagi warga asli dalam penguasaan lahan hutan yang selama ini mereka
ketahui merupakan warisan dari para leluhur.
Realitas yang ditemukan di beberapa desa di Kecamatan Merlung, Kab.
Tanjung Jabung Barat tersebut mengarahkan pemikiran peneliti pada dua hal penting.
Pertama, telah terjadi kompetisi tenurial atas lahan (land tenure competition) antara
(22)
di desa. Kedua, berlangsungnya pengembangan perkebunan kelapa sawit di Jambi,
khususnya di Desa Rantau Badak, Kec. Merlung, Kab. Tanjung Jabung Barat,
memberi pengaruh yang besar terhadap kompetisi tenurial atas lahan yang
berlangsung diantara warga desa.
1.2. Rumusan Masalah Penelitian
Permasalahan dalam studi ini dibangun oleh dua faktor utama, yaitu
berlangsungnya pengembangan Perkebunan Kelapa Sawit di Jambi dan Kompetisi
tenurial atas lahan hutan yang dilakoni oleh warga asli yang merupakan etnis Melayu
Jambi, warga transmigran asal Pulau Jawa, dan warga pendatang lainnya yang
menetap di beberapa titik wilayah di Desa Rantau Badak. Telaah atas masalah yang
dipilih dalam studi ini berupaya menggambarkan fenomena yang berlangsung atas
kedua faktor tersebut dengan berpijak pada beberapa asumsi, dan dituangkan dalam
beberapa pertanyaan penelitian, yaitu:
1. Bagaimana konstruksi konsep properti pada setiap kelompok warga terhadap
penguasaan lahan yang berlangsung dalam era perkebunan kelapa sawit di
Desa Rantau Badak, Kecamatan Merlung, Kabupaten Tanjung Jabung Barat,
Propinsi Jambi?
2. Seperti apakah perilaku dan tindakan warga dalam kaitannya dengan
kompetisi tenurial atas lahan yang berlangsung di Desa Rantau Badak, Kec.
Merlung, Kab. Tanjung Jabung Barat?
1.3. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian dalam studi ini di lakukan di Desa Rantau Badak di
Kecamatan Merlung, Kab. Tanjung Jabung Barat, Prop. Jambi. Alasan pemilihan
lokasi adalah karena penelitian ini merupakan penelitian lanjutan dari penelitian
(23)
juga karena komposisi warga Desa Rantau Badak yang lebih dinamis dari desa-desa
lainnya yang terdapat di Kecamatan Merlung.
1.4. Tujuan Penelitian
Studi ini bertujuan untuk menggambarkan faktor-faktor historis, sosial, dan
ekonomi dalam hal Kompetisi tenurial atas lahan di Desa Rantau Badak, Kec.
Merlung, Kab. Tanjung Jabung Barat yang terkait dengan berlangsungnya
pengembangan perkebunan kelapa sawit di daerah tersebut, dari studi ini akan
dihasilkan suatu dokumen etnografis dan analis tentang warga lokal Melayu Jambi
dan warga pendatang di desa yang terlibat dalam Kompetisi tenurial, serta bagaimana
strategi-strategi ekspansi yang diterapkan oleh kelompok warga dalam hal penguasaan
dan pemanfaatan lahan di Desa Rantau Badak.
1.5. Tinjauan Pustaka 1.5.1. Kompetisi tenurial
Kompetisi tenurial dapat dikatakan sebagai suatu setting sosial yang
menampilkan situasi dan kondisi dengan keberadaan aktivitas pengupayaan dalam
memperoleh keunggulan untuk menguasai suatu lahan yang potensial dalam
memenuhi berbagai kebutuhan antar kelompok, dengan berbagai motif ataupun latar
belakang yang mereka sandang dan perjuangkan. Kompetisi tenurial dikonstruksi oleh
dua konsep, yakni kompetisi dan tenurial.
a. Pengertian Kompetisi
Secara harfiah, kompetisi berasal dari kata competition, yang kemudian
menjadi suatu bentuk aktivitas (to compete) dengan pengertian ikut andil dalam
sebuah permainan (game/exam). Kompetisi berasal dari bahasa Latin (to competere)
yang kalau di-inggris-kan menjadi "to seek together" (mencari bersama), "to agree"
(24)
kompetisi adalah kata kerja yang berarti tidak membutuhkan objek sebagai korban,
kecuali ditambah dengan pasangan kata lain seperti against (melawan), over (atas),
atau with (dengan).14
Penggunaan istilah ‘tenure´sering mencuat tatkala terjadi konflik yang
berkepanjangan antara berbagai pihak yang saling mempertahankan hak penguasaan Tambahan itu pilihan hidup dan dapat disesuaikan dengan
kepentingan keadaan menurut versi tertentu.
Kompetisi menurut Deaux, Dane, dan Wrightsman (1993) adalah aktivitas
mencapai tujuan dengan cara mengalahkan orang lain atau kelompok. Individu atau
kelompok memilih untuk bekerja sama atau berkompetisi tergantung dari struktur
reward dalam suatu situasi.
Chaplin (1999) kompetisi merupakan suatu tindakan untuk saling mengatasi
dan berjuang antara dua individu, atau beberapa kelompok untuk memperebutkan
objek yang sama.
Sacks dan Krupat (1988) kompetisi adalah usaha untuk melawan atau melebihi
orang lain. Sedangkan menurut Hendropuspito (1989) persaingan atau kompetisi ialah
suatu proses sosial, di mana beberapa orang atau kelompok berusaha mencapai tujuan
yang sama dengan cara yang lebih cepat dan mutu yang lebih tinggi.
Sedangkan menurut Gitosudarmo dan Sudita (2000) persaingan dalam
memperebutkan sumber daya tidak akan menimbulkan konflik manakala sumberdaya
tersedia secara berlimpah sehingga masing-masing subunit dapat memanfaatkannya
sesuai dengan kebutuhannya. Akan tetapi, ketika sumberdaya yang ada tidak cukup
untuk memenuhi tuntutan dari masing subunit atau kelompok, maka
masing-masing subunit atau kelompok akan berupaya untuk mendapatkan porsi sumberdaya
yang langka tersebut lebih besar dari orang lain dan konflik akan mulai muncul.
b. Pengertian Tenurial
14
Abu Hamid, Budaya Inovasi dan Kompetisi, “Suatu Penelusuran Awal”
(25)
terhadap lahan atau sumber daya alam.15
Seringkali masalah sistem tenurial ini juga dilihat sebagai sekumpulan atau
serangkaian hak-hak (tenure system is a bundle of rights) yang mana di dalamnya juga
terkandung makna kewajiban (obligation). Hal ini didasarkan pada kenyataan
lapangan seringkali ditemukan, bahwa hak-hak atas tanah dan sumber-sumber alam
ini bersifat multidimensi dan berlapis-lapis. Tidak jarang terjadi, orang atau kelompok Saling klaim atas hak mewarnai tuntutan
yang sering diikuti dengan aksi-aksi perlawanan. Hingga saat ini semangat warga
untuk mengembalikan hak-hak ulayat, termasuk tuntutan pengembalian hak hutan
adat tak pernah kunjung reda.
Menurut Bruce (1998) dalam Review of tenure terminology, istilah “tenure”
berasal dari jaman feodal Inggris. Setelah menduduki Inggris tahun 1066, bangsa
Normandia menghapuskan hak-hak warga atas tanahnya, dan mengganti hak tersebut
hanya sebagai pemberian grant (bantuan) dari pemerintahan baru.
Beberapa sumber menjelaskan bahwa kata tenure berasal dari kata dalam
bahasa latin “tenere” yang mencakup arti: memelihara, memegang, dan memiliki.
Land tenure berarti sesuatu yang dipegang, dalam hal ini termasuk hak dan kewajiban
pemangku lahan (“holding or possessing” = pemangkuan atau penguasaan). Land
tenure adalah istilah legal untuk hak pemangkuan lahan, dan bukan hanya sekedar
fakta pemangkuan lahan. Seseorang mungkin memangku lahan, tetapi ia tidak selalu
mempunyai hak untuk menguasai.
Sistem “land tenure” adalah keseluruhan sistem dari pemangkuan yang diakui
oleh pemerintah secara nasional, maupun oleh sistem lokal. Suatu sistem “land
tenure” sulit dimengerti kecuali dikaitkan dengan sistem ekonomi, politik dan sosial
yang mempengaruhinya (Bruce 1998).
15
(26)
orang yang berbeda-beda mempunyai hak pada sebidang tanah atau sesuatu sumber
alam yang sama.
Pada sebagian dari sistem “kepemilikan” tanah adat, meskipun dikenal hak
individu untuk “memiliki” sebidang tanah, namun individu tersebut tidak mempunyai
hak untuk mengalihkan tanah tersebut ke orang lain secara bebas tanpa ikut
campurnya keluarga dan/atau komunitas dimana tanah itu berada. Pohon-pohon
tertentu yang berumur panjang misalnya, punya aturan sistem kepemilikan dan
pemanfaatan tertentu yang kadang-kadang tidak terkait dengan kepemilikan tanah
dimana pohon itu terdapat. Sistem ini dapat berbeda untuk jenis tumbuhan lain yang
tumbuh semusim, misalnya.
Ketika akan mamahami tentang land and resource tenure, penting pula
memperhatikan aspek de jure dan de facto. Istilah de jure digunakan untuk
menunjukkan kepemilikan formal yang berdasarkan hukum atau peraturan yang
dianggap sah oleh Negara atau pemerintah yang berkuasa saat itu. Penguasaan
kawasan hutan di Indonesia oleh Negara adalah contoh dari kepemilikan de jure ini.
Sementara itu istilah de facto mengacu pada cara-cara kepemilikan, penguasaan, atau
pemanfaatan yang dipercayai, digunakan, dikenal dan diberlakukan oleh warga
setempat.
Sistem tenurial juga terkait dengan adanya istilah land ownership yang
diartikan sebagai kepemilikan terhadap lahan atau kepemilikan atas hak atau
kepentingan atas lahan. Kepemilikan lahan atau hak/kepentingan atas lahan dapat
diatur dalam bermacam-macam sistem tenurial, yang secara luas tebagi menjadi dua
kelompok. Kelompok pertama adalah tenurial yang diakui dan diatur dalam
hukum-hukum Negara, sementara kelompok kedua adalah sistem tenurial yang dikenali dan
bahkan diatur secara lokal dan terkait dengan praktek-praktek tradisional atau tenurial
(27)
Lebih jauh mengenai “land tenure’hal yang harus dicermati adalah
sekuritas/jaminan keamanan tenurial (tenure security). Bruce (1998) menjelaskan,
dari satu sisi pemangkuan dinyatakan aman apabila pemerintah atau orang lain tidak
dapat mencampuri pemangku lahan dalam hal penguasaan dan pemanfaatan. Hal ini
berimplikasi pada keyakinan dalam sistem legal dan akan menghilangkan
kekhawatiran akan kehilangan hak.
Berbicara masalah keamanan/sekuritas di banyak negara berkembang, dua
kelompok sistem tenurial (yang diatur oleh hukum Negara dan yang diatur secara
tradisional), dalam kenyataannya kedua-duanya kurang aman. Pada satu sisi, sistem
yang diatur oleh hukum Negara masih sangat lemah dalam operasionalnya. Sementara
sistem yang diatur secara tradisional tidak terdokumentasi dan seringkali kurang
mendapat dukungan secara hukum, sehingga keamanan sebagai pemegang hak kurang
memadai (Cromwell 2002)
Warga yang memiliki jaminan keamanan tenurial atas lahan yang dipangkunya
akan termotivasi untuk berinvestasi jangka panjang dan bertanggungjawab atas
kepastian kelangsungan produksi (Vivian 1991), dan sebaliknya; merujuk pada
paradigma atas hak kepemilikan dalam kehidupan pertanian, kehilangan jaminan
keamanan penguasaan lahan (tenure security) menyebabkan petani tidak yakin bahwa
mereka dapat mengambil manfaat dari lahan dan modal mereka sendiri. Pada kondisi
yang seperti ini petani lebih mengutamakan untuk keperluan konsumsi saat ini
daripada investasi jangka panjang, serta memaksimalkan pemanfaatan lahan dan
sumber-sumber kayu daripada menerapkan strategi produksi yang lestari (Wood dan
Walker).
Sebagai tambahan bahan dalam pemahaman “tenure”, istilah yang sering
muncul adalah “common property”. Istilah “common” berarti suatu area dimana
(28)
aktivitas seperti mengambil rumput dan mengumpulkan kayu. Berdasarkan sejarah,
ini bukan sebuah bentuk kepemilikan namun sebuah pola jaminan penggunaan secara
sah dimana seluruh anggota secara bebas boleh menggunakan tanah secara simultan
(Bruce 1998).
Pada tahun 1968, Garret Hardin memperkenalkan konsep tentang “sebuah
tragedi yang terjadi terhadap common”. Dia berpendapat bahwa common dalam
pengertian seperti di atas, tidak terelakkan akan dimanfaatkan melebihi kapasitas dan
akan terdegradasi. Kerusakan sumber daya alam ini tidak dapat dihindari karena
masing-masing pengguna akan memanfaatkan semaksimal mungkin sumber daya
yang ada.
Dari keseluruhan konsep tentang kompetisi tenurial, maka dapat dirumuskan
bahwa kompetisi tenurial merupakan suatu kondisi dimana beberapa pihak saling
berupaya untuk menjadi lebih unggul dalam hal penguasaan dan pemilikan lahan,
yang berfungsi dan bermanfaat bagi mereka yang dapat memperolehnya.
1.5.2. Faktor Berlangsungnya Kompetisi
Kompetisi dapat muncul dan berlangsung disebabkan adanya dua hal yang
melekat pada setiap individu maupun kelompok yang terlibat dalam kompetisi
tersebut, yakni persepsi dan ekspektasi.
a. Pengertian Persepsi
Pengharapan timbul disebabkan adanya proses pemaknaan atas suatu hal yang
memiliki nilai khusus dan memberi arti pada diri suatu individu ataupun kelompok
(persepsi).
Atkinson (1991), Persepsi adalah proses dimana kita mengorganisasikan dan
menafsirkan pola pendukung di dalam lingkungan.
Sementara Chaplin (1999) mengatakan persepsi sebagai proses mengetahui
(29)
merupakan proses pengamatan selektif yang didalamnya mencakup pemahaman dan
mengenali atau mengetahui objek-objek serta kejadian-kejadian.
Chaplin (1999) juga mengatakan bahwa proses perseptual ini dimulai dengan
adanya perhatian, yaitu merupakan proses pengamatan selektif, yang mana di
dalamnya mencakup pemahaman dan mengenali atau mengetahui objek-objek serta
kejadian-kejadian. Faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi (Baltus 1983) adalah :
1. Kemampuan dan keterbatasan fisik dari alat indera dapat
mempengaruhi persepsi untuk sementara waktu ataupun permanen.
2. Kondisi lingkungan.
3. Pengalaman masa lalu. Bagaimana cara menginterpretasikan atau
bereaksi terhadap suatu hal tergantung pada masa lalunya.
4. Kebutuhan dan keinginan. Ketika suatu individu ataupun kelompok
membutuhkan atau menginginkan sesuatu, maka mereka akan terus
terfokus pada hal yang dibutuhkan dan diinginkan tersebut.
5. Kepercayaan, prasangka dan nilai. Individu atau kelompok akan lebih
menerima orang lain atau kelompok yang memiliki nilai dan
kepercayaan yang sama.
Berdasarkan beberapa pengertian persepsi dan faktor-faktor yang
mempengaruhinya, maka dapat disimpulkan bahwa persepsi merupakan proses yang
melibatkan aspek kognitif dan afektif individu untuk melakukan pemilihan,
pengaturan, dan pemahaman serta penginterpretasian sesuatu hal menjadi suatu
gambar obyek tertentu secara utuh.
b. Pengertian Ekspektasi
Rampandayo dan Husnan (1992) mengatakan bahwa kompetisi berlangsung
karena adanya pengharapan (expectancy) dari apa yang dipercaya akan diperolehnya
(30)
tertentu. Selain itu, adanya Valence (kekuatan dari preferensi) terhadap hasil yang
diharapkan.16
BAGAN I. KOMPETISI TENURIAL
16
Abu Hamid, Budaya Inovasi dan Kompetisi, “Suatu Penelusuran Awal”
http://www.e-psikologi.com
LAHAN
---Pra – Kelapa Sawit
Era – Kelapa Sawit PERSEPSI EKSPEKTASI
KOMPETISI TENURIAL
(31)
1.6. Metode Penelitian 1.6.1. Tipe Penelitian
Studi ini bersifat etnografis dengan penggambaran analitis (descriptive
analysis) secara kualitatif, yang terfokus pada berlangsungnya kompetisi tenurial atas
lahan di Desa Rantau Badak, Kec. Merlung, Kab. Tanjung Jabung Barat, Prop. Jambi
dalam era Perkebunan Kelapa Sawit. Etnografi merupakan ilmu dan keahlian dalam
menggambarkan kehidupan suatu kelompok warga (Fatterman 1989). Etnografi telah
menjadi ciri dari kajian antropologi yang penggambarannya tentang kelompok warga
dilakukan secara holistik.
1.6.2. Teknik Pengumpulan Data
Wawancara mendalam terhadap beberapa informan17
17
Informan dapat dibedakan menjadi, yaitu: Informan kunci adalah orang yang punya keahlian mengenai suatu masalah; Informan adalah yang mengerti suatu masalah namun bukan ahlinya, dan dari informan ini biasanya kita bisa mendapatkan lain; Informan biasa adalah orang-orang yang mengenali suatu masalah penelitian tetapi tidak begitu tahu akan penjelasan lebih dalam terhadap masalah yang dikaji.
, dan informan kunci (key
informants) merupakan teknik yang paling diandalkan dalam pengumpulan data-data
primer di lapangan. Adapun pemilihan informan kunci ditentukan dengan teknik
snowball dan disesuaikan dengan konteks yang akan digali. Kriteria mengacu pada
pihak-pihak yang terlibat dalam kompetisi tenurial sebagai hal yang mendasar dalam
penentuan informan. Informan yang akan diwawancarai dibagi dalam tiga kelompok,
yang tidak lain adalah pihak-pihak yang berkompetisi, yakni; (1) warga asli, (2) warga
transmigran asal Pulau Jawa, (3) warga pendatang lainnya. Wawancara dilakukan
berdasarkan pedoman wawancara yang telah disiapkan dan berisi aspek-aspek yang
perlu digali secara mendalam, sehingga dapat menjawab permasalahan dalam studi
ini. Wawancara juga ditujukan untuk mengungkap informasi yang terkait dengan
(32)
merekam sejarah hidup (life history) dari informan yang dianggap mampu memberi
gambaran historis atas fenomena yang berlangsung selama beberapa kurun waktu.
Selain wawancara mendalam, pengamatan terlibat (partisipant observation)
juga menjadi teknik pengumpulan data yang digunakan, terutama untuk mengamati
bagaimana aktivitas warga dalam mengelola lahan-lahan yang mereka miliki, dan
berbagai peristiwa lainnya yang terkait dengan aktivitas penguasaan lahan.
Pengamatan menuntut kepekaan peneliti dalam merekam peristiwa atau kejadian yang
relevan dengan masalah studi ini. Teknik ini juga menuntut peneliti untuk tinggal
dalam jangka waktu yang cukup lama di lokasi penelitian agar mampu memahami
kehidupan keseharian warga di daerah tersebut, yang mana dalam studi ini peneliti
tinggal bersama dengan warga setempat dalam waktu sekitar 2 bulan.
Studi literatur dilakukan untuk memperoleh informasi sekunder dan referensi
yang memperkuat analisis data yang diperoleh di lapangan. Sumber-sumber informasi
sekunder diperoleh dari laporan penelitian yang telah ada, laporan proyek penelitian
lainnya, dokumen pemerintah, dan berita media massa.
1.7. Analisis Data
Setelah memperoleh data dari penelitian yang telah dilakukan, maka data yang
telah diperoleh tersebut akan dianalisis dengan menggunakan analisis proses. Analisis
proses dimaksud adalah pengaitan urutan tindakan/interaksi. Kegiatan analisis ini
terdiri dari penelusuran terhadap; (a) perubahan kondisi, (b) respon (strategi
aksi/interaksi) terhadap perubahan; (c) konsekuensi yang timbul dari respon, dan (d)
penjabaran posisi konsekwensi sebagai bagian dari kondisi.
Maksud analisis proses ini adalah sebagai cara untuk menghidupkan data
melalui penggambaran dan pengaitan tindakan/interaksi untuk mengetahui urutan dan
(33)
kronologi suatu peristiwa, melainkan yang lebih penting adalah untuk menemukan
keterkaitan antara stimulus, respon, dan akibat. Kondisi, respon, dan konsekwensi
harus dilihat sebagai tiga hal yang terus bergerak secara dinamis dan berputar
mengikuti garis lingkaran.
(34)
BAB II
GAMBARAN UMUM DESA
2.1. Identifikasi Desa
2.1.1. Lokasi Desa Rantau Badak
Penelitian ini dilakukan di salah satu desa di Kabupaten Tanjung Barat,
Propinsi Jambi. Jambi merupakan salah satu propinsi dari 9 propinsi yang berada di
Pulau Sumatera. Desa yang menjadi lokasi penelitian ini berada di Kecamatan
Merlung yang merupakan salah satu kecamatan dari 19 kecamatan yang terdapat
dalam wilayah Kabupaten Tanjung Jabung Barat. Desa ini berada di suatu hamparan
yang wilayahnya dikelilingi oleh bukit-bukit kecil dan beberapa aliran sungai maupun
anak sungai. Beberapa aliran sungai ada yang mengalir di antara hutan-hutan alam
dengan berbagai ukuran luasnya yang turut mengelilingi wilayah desa.
Desa ini berbatasan dengan Desa Dusun Mudo yang ditandai dengan batas
alam Sungai Pepalik, dusun mudo berjarak sekitar 5 Km dari Desa Rantau Badak.
Selain berbatasan dengan Dusun Mudo, Desa Rantau Badak juga berbatasan dengan
Desa Lubuk Ruso. Antara Desa Rantau Badak dengan Desa Lubuk Ruso juga terdapat
batas alam desa yang berupa hamparan perbukitan. Hamparan bukit ini berfungsi
sebagai tampan curah hujan yang jatuh di kedua desa tersebut. Desa Rantau Badak
juga berbatasan dengan wilayah Desa Tanjung Paku, batas alam antara kedua desa ini
ditandai dengan keberadaan aliran Sungai Sepuan.
Desa Rantau Badak secara administratif terbagi atas empat dusun, yakni; a)
Dusun Lubuk Lalang, b) Dusun Tanjung Kemang, c) Dusun Rantau Sari, dan d)
Dusun Rantau Indah. Berdasarkan data BPS (Badan Pusat Statistik) Propinsi Jambi,
(35)
Gambar 1. Peta Wilayah Kabupaten Tanjung Jabung Barat.
Desa ini berjarak sekitar 9 Km dari Desa Merlung yang merupakan ibukota
Kecamatan, sementara jarak dari desa ini dengan Kuala Tungkal sebagai ibukota
Kabupaten Tanjung Jabung Barat adalah sekitar 148 Km, dan jarak desa ini dengan
Kota Jambi sebagai ibukota propinsi adalah sekitar 111 Km. Waktu tempuh yang
dibutuhkan untuk mencapai ibukota kecamatan adalah sekitar 10-15 menit dengan
menggunakan kendaraan bermotor roda dua maupun roda empat, dan kecepatan
rata-rata yang dibutuhkan adalah 40-60 Km/jam. Sementara waktu tempuh yang
dibutuhkan untuk mencapai ibukota kabupaten adalah sekitar dua jam dengan
kecepatan kendaraan 60-80 Km/jam, dan untuk tiba di ibukota propinsi adalah sekitar
satu setengah jam dengan kecepatan kendaraan rata-rata 80 Km/jam.
2.1.2. Infrastruktur dan Sarana Transportasi
Setelah memasuki desa, perjalanan sudah dapat dilakukan dengan mudah.
Sebagian besar infrastruktur jalan di desa sudah cukup baik bahkan sebagian besar
telah diaspal. Jalan-jalan utama penghubung antar dusun atau di sekitar pusat desa
telah teraspal meskipun ada beberapa dari lokasi jalan antardusun yang belum diaspal.
Apabila diklasifikasikan berdasarkan bentuknya, infrastruktur jalan di Desa Rantau
Badak dapat diklasifikasi ke dalam tiga jenis, yaitu jalan beraspal, jalan berbatu, dan
(36)
menghubungkan pola pemukiman warga dengan areal lahan perladangan mereka
masing-masing. Sampai tahun 2008 hampir seluruh jalan antar dusun di empat dusun
di wilayah Desa Rantau Badak telah diaspal, kecuali di dua dusun, yaitu Dusun
Rantau Indah dan Dusun Rantau Sari.
Gambar 1. Jalan Utama Dusun I (Lubuk Lalang)
Gambar 2. Jalan Utama menuju Dusun Rantau Indah dan Dusun Rantau Sari
Kemudahan warga dalam memanfaatkan jasa transportasi yang mendukung
dalam melakukan aktifitas kehidupan mereka, tidak terlepas dari infrastruktur jalan
yang sebagian besar sudah cukup baik dan memadai. Kondisi jalan lintas desa mulai
diaspal sejak tahun 2004. Akan tetapi, kondisi jalan yang menuju titik lokasi
pemukiman yang berada jauh dari pinggir jalan lintas desa dan lokasi areal pertanian
(37)
yang belum diaspal dan masih berupa jalan tanah dengan beberapa bagian yang hanya
ditimbun oleh batu koral. Kondisi jalan yang belum diaspal ini akan sulit untuk dilalui
bila terjadi hujan, yang mana jalan akan menjadi sangat licin dan berlumpur, terlebih
lagi bila hujan berlangsung dalam waktu yang cukup lama, maka jalan akan dipenuhi
dengan genangan air dan sangat memungkinkan untuk terjadinya banjir.
Dari aspek transportasi, diketahui bahwa jenis transportasi umum yang
digunakan oleh warga desa adalah angkutan umum, truk bak terbuka dan juga pick up.
Sarana angkutan umum yang dapat dimanfaatkan itu adalah angkutan umum
perlintasan antar kota dalam propinsi, dan angkutan umum antar kota antar propinsi.
Sarana angkutan umum yang melayani kebutuhan transportasi antar kota dalam
propinsi terdiri dari angkutan umum dengan daya angkutnya maksimal hanya sekitar
15 orang, dan angkutan umum yang daya angkutnya dapat mencapai 30 orang.
Sementara sarana angkutan umum yang melayani kebutuhan transportasi antar kota
antar propinsi, kapasitas daya angkutnya dapat mencapai 80 orang. Sarana angkutan
umum yang berdaya angkut sekitar 15 sampai dengan 30 orang, biasa disebut warga
desa dengan istilah travel.
Selain itu, untuk aktivitas berkebun atau ketika mereka hendak menuju
lahan-lahan kebun yang menjadi lokasi usaha atau tempat mereka bekerja, truk bak terbuka
dan pick up juga sering dimanfaatkan warga desa dengan cara menumpang atau
menyewa alat transportasi tersebut. Sarana transportasi umum roda dua seperti ojek,
pernah menjadi sarana transportasi yang sering dimanfaatkan oleh warga desa. Tetapi
sejak tahun 2004, sarana transportasi ini tidak lagi ada di desa. Hal ini disebabkan
banyaknya warga desa yang telah memiliki sepeda motor pribadi. Peningkatan
kepemilikan sepeda motor pribadi ini juga tidak terlepas dari peningkatan ekonomi
(38)
2.1.3. Posisi Geografis dan Keadaan Alam
Tekstur bumi Desa Rantau Badak tidak termasuk dalam kategori hamparan
wilayah perbukitan, tetapi cenderung merupakan hamparan wilayah datar. Desa
Rantau Badak yang menjadi lokasi penelitian ini memiliki ketinggian hamparan
wilayah sekitar 5 meter diatas permukaan laut.18
Beberapa sungai besar dan anak-anak sungai yang terdapat di desa, turut
mendukung dalam aktivitas pertanian yang dilakukan oleh warga desa dan juga pihak
perusahaan perkebunan. Diperkirakan ada sekitar tujuh sungai dan tiga anak sungai
yang mengalir di sepanjang wilayah Desa Rantau Badak. Tujuh sungai tersebut
adalah; a) Sungai Papalik, b) Sungai Pendam, c) Sungai Durian, d) Sungai Lepuk, e)
Sungai Pengabuan, f) Sungai Sepuan, g) Sungai Meranti. Sementara tiga anak sungai
tersebut adalah; a) Sungai Papauh yang merupakan anak sungai dari Sungai Papalik, Kondisi hutan alam yang masih
terdapat di beberapa titik lokasi di desa, bukan lagi merupakan hutan asli (Primer),
tetapi merupakan hutan yang tumbuh kembali setelah mengalami masa rintis dari
bekas kebun-kebun tua yang tidak lagi diusahai, dan telah lama dibiarkan tanpa ada
aktivitas pertanian apapun oleh anggota warga yang merupakan pemilik dari satuan
hamparan hutan tersebut.
Lahan di Desa Rantau Badak memiliki nilai prospektif yang cukup tinggi, hal
ini dapat dilihat dari banyaknya lahan yang dimanfaatkan oleh warga untuk areal
perladangan, tanaman karet, dan juga luasnya lahan perkebunan kelapa sawit
yang dibuka oleh beberapa perusahaan perkebunan di desa. Orientasi wilayah
pengembangan perkebunan kelapa sawit yang dicanangkan pemerintah lokal dalam
ukuran yang begitu luas, menyebabkan meningkatnya nilai komersial dari lahan-lahan
potensial yang terdapat di desa.
18
Data BPS Kab. Tanjung Jabung Barat – Propinsi Jambi, “Kecamatan Merlung dalam Angka Tahun 2005”, Kuala Tungkal, 2005, hlm. 5
(39)
b) Sungai Bunut yang juga merupakan anak sungai dari Sungai Papalik, dan c) Sungai
Jernih yang merupakan anak sungai dari Sungai Papauh.
Gambar 3. Sungai Papalik yang Berada di Tengah Wilayah Desa Rantau Badak
Meskipun hamparan wilayah Desa Rantau Badak tergolong datar, tetapi untuk
wilayah-wilayah yang menjadi lahan pertanian, tidak sedikit ditemukan hamparan
lahan-lahan pertanian milik warga maupun areal perkebunan milik beberapa
perusahaan yang terdapat di desa, berada di dinding-dinding bukit.
2.1.4. Iklim dan Lingkungan Alam
Seperti halnya wilayah geografis yang lain di Merlung, desa ini juga
mengalami pergantian dua musim, yaitu musim penghujan dan musim kemarau.
Tetapi iklim musim di desa ini lebih banyak dipengaruhi oleh angin laut disebabkan
letak Desa Rantau Badak yang hanya berada pada ketinggian sekitar 5 meter di atas
permukaan laut. Meskipun angin laut merupakan angin pembawa hujan, tetapi waktu
jatuh titik air curah hujan di desa ini sulit untuk dipastikan apakah akan turun hujan
atau tidak. Musim penghujan tiba pada bulan September-Januari, sedangkan musim
kemarau terjadi pada Pebruari-Agustus. Hari terlama turun hujan untuk setiap
minggunya adalah 4-5 hari dengan curah hujan tertinggi 2.568 mm/tahun.19
19
Ibid., hlm. 8
(40)
tahunnya. Musim kemarau sering kali terjadi lebih lama dibandingkan dengan musim
penghujan dengan sebab yang tidak dimengerti dengan jelas. Musim kemarau sudah
biasa terjadi selama 8 bulan dari Pebruari-September, sedangkan musim penghujan
hanya terjadi selama empat bulan dari bulan Oktober-Januari. Siklus yang tidak
normal ini membuat kondisi tanah menjadi semakin gersang.
Udara panas dan lembab akan begitu terasa saat memasuki waktu tengah hari,
terlebih lagi bila sedang berada di sekitar areal perkebunan kelapa sawit, maka suhu
panas yang dipancarkan oleh matahari akan semakin terasa menyengat dan membakar
kulit, dan lebih buruk lagi, rasa haus akan begitu terasa, salah satu hal yang
menandakan bahwa kondisi tubuh sedang mengalami dehidrasi. Tetapi sebaliknya,
ketika malam hari udara akan terasa dingin, terlebih bila berada di sekitar areal
perkebunan kelapa sawit, karena tumbuhan kelapa sawit sedang dalam proses
pemindahan kalor matahari yang disimpan oleh tumbuhan kelapa sawit, secara
perlahan dilepaskan saat memasuki waktu malam hari, dan menggantikan kalor
tersebut dengan menyerap udara dingin di sekitarnya. Fenomena kabut tebal akan
terlihat saat pagi hari di sekitar kebun kelapa sawit, menunjukkan sedang terjadi
proses pertukaran suhu udara panas dan dingin yang diserap dan dilepaskan oleh
tanaman kelapa sawit.
Bila terjadi hujan, maka dapat berlangsung selama dua sampai empat hari
secara berkelanjutan. Hal ini akan menyebabkan kondisi jalan yang tidak beraspal dan
berlubang akan digenangi air. Terlebih lagi bila debit air hujan yang turun cukup
tinggi, maka volume air di sungai-sungai yang terdapat di sekitar desa akan
meningkat, dan dapat menyebabkan terjadinya banjir yang kemudian akan
menyebabkan sarana jalan di beberapa titik lokasi terputus, dan hal ini kemudian akan
menyulitkan warga desa yang bermukim di sekitar lokasi jalan yang tergenang banjir
(41)
Selain itu bila terjadi hujan, warga desa yang pada umumnya memanfaatkan
air sumur yang dialirkan melalui pipa-pipa ke dalam rumah, harus melakukan
penyaringan terhadap air sumur dengan kain atau alat penyaring air lainnya yang
dipasangkan di kran air, karena air yang diperoleh akan sedikit keruh, berwarna agak
coklat yang disertai kotoran dan butiran-butiran pasir. Menurut warga setempat hal itu
biasa terjadi bila hujan, karena air yang tergenang dan diserap ke dalam tanah melalui
pori-pori tanah, dapat menyebabkan serpihan tanah di sekitar dinding sumur ikut
terserap dan masuk ke dalam pipa-pipa aliran air yang dialirkan untuk keperluan di
rumah, dan kemudian membuat air menjadi keruh.
2.2. Keadaan Penduduk
2.2.1. Karakteristik dan Jumlah Penduduk
Sebagai wilayah yang relatif terbuka, heterogenitas penduduk di Desa Rantau
Badak sangat tampak. Hal itu dapat dilihat dari karakteristik penduduk berdasarkan
agama dan bahasa sehari-hari yang mereka gunakan. Secara umum diketahui bahwa
etnis lokal di desa ini adalah etnis Melayu Jambi dengan bahasa yang digunakan
adalah bahasa Melayu Jambi. Meskipun demikian, tidak jarang ditemukan
penggunaan bahasa Jawa, Minang, Batak dan bahasa kelompok suku lainnya yang
digunakan diantara warga yang merupakan kelompok suku pendatang di desa ini.
Berdasarkan kelompok kesukuan, suku Melayu Jambi merupakan warga asli
di desa ini. Setelah suku Melayu Jambi, suku Jawa adalah kelompok suku kedua yang
jumlah warganya cukup besar di desa, dan keberadaan mereka di desa ini bukan
merupakan tuan rumah, tetapi lebih merupakan bagian dari kelompok warga
pendatang di desa ini. Suku Banjar, Palembang, Batak, dan Mandailing, juga terdapat
di Desa Rantau Badak, meskipun jumlah anggota warga dari suku-suku tersebut tidak
begitu besar di desa. Berdasarkan agama yang dianut oleh warga, agama Islam
(42)
KK. Sementara jumlah penganut agama Kristen, tidak lebih dari sekelompok kecil
warga yang pada umumnya adalah warga pendatang dari kelompok suku Batak, yakni
hanya sekitar 15 KK. Sementara itu untuk jumlah penduduk di Desa Rantau Badak
sampai dengan tahun 2006 adalah sekitar 1.906 Jiwa, dengan rincian; laki-laki = 910
jiwa, dan Perempuan = 996 jiwa. Sementara untuk jumlah Kepala Keluarga yang
terdapat di Desa Rantau Badak adalah sekitar 525 KK.
2.2.2. Dinamika Kependudukan dan Tata Pemukiman
Seperti yang sering terjadi dalam kehidupan warga agraris, persoalan
kependudukan banyak dipengaruhi oleh kejadian-kejadian kependudukan yang
bersifat internal maupun eksternal, seperti rendahnya angka kelahiran dan kematian,
volume penduduk yang datang dan pergi, peristiwa perkawinan, maupun kejadian
migrasi. Kejadian kependudukan yang bersifat internal umumnya memiliki daya
dorong atau daya tekan tidak besar, sedangkan kejadian kependudukan yang bersifat
eksternal biasanya memiliki pengaruh yang sangat besar dalam dinamika
kependudukan. Bentuk kejadian kependudukan internal, di antaranya adalah peristiwa
kelahiran dan kematian, sedangkan kejadian kependudukan eksternal, di antaranya
adalah migrasi (urbanisasi, transmigrasi) atau kedatangan penduduk dari luar. Di Desa
Rantau Badak, indikator kependudukan yang bersifat eksternal terlihat lebih besar
pengaruhnya dibandingkan dengan indikator kelahiran dan kematian.
Peristiwa kedatangan penduduk jauh lebih tinggi dibandingkan dengan
kepergiannya. Menurut catatan kependudukan di desa, hal ini disebabkan oleh faktor
kedatangan warga transmigran dan kepulangan para urban yang ada di kota-kota besar
di Jambi atau di luar Jambi. Kedua faktor ini diidentifikasi memiliki pengaruh besar
terhadap dinamika kependudukan di Desa Rantau Badak karena kedua faktor tersebut
(43)
serupa. Semakin tinggi tingkat keberhasilan penduduk yang bertransmigrasi, semakin
tinggi pula hal itu mendorong penduduk yang lain untuk tindakan serupa dan begitu
juga sebaliknya. Dengan melihat jumlah kedatangan penduduk ke desa yang masih
cukup besar tersebut, dapat dinyatakan bahwa tingkat keberhasilan penduduk desa
dalam melakukan migrasi masih sangat rendah walaupun jumlah secara pasti terhadap
kerendahan tersebut tidak dapat ditemukan dalam catatan kependudukan.
Latar belakang keberadaan kelompok warga pendatang di desa ini memiliki
ragam alasan. Suku Jawa misalnya, kehadiran mereka sebagai warga pendatang dalam
jumlah yang cukup besar di desa, salah satunya disebabkan program transmigrasi
yang dicanangkan pemerintah pada masa kepemimpinan Presiden Soeharto di
berbagai wilayah sebaran transmigrasi di Pulau Sumatera. Transmigrasi yang
ditetapkan pemerintah pusat untuk Desa Rantau Badak ini adalah program
transmigrasi dengan kategori TRANSBANGDEP (Transmigrasi Swakarsa
Pengembangan Desa Potensial). Pengertian TRANSBANGDEP dimaksud adalah
untuk melakukan persebaran penduduk di suatu daerah yang jumlah penduduk aslinya
tidak begitu besar, tetapi memiliki sejumlah lahan yang potensial untuk
dikembangkan, dan dalam hal ini Desa Rantau Badak memiliki lahan yang dalam
jumlah besar sangat potensial untuk dikembangkan, sementara penduduk asli di desa
tidak begitu besar jumlahnya.
Kehadiran warga transmigran suku Jawa di Desa Rantau Badak pertama kali
adalah sekitar bulan Oktober tahun 1993. Jumlah warga transmigran suku Jawa pada
saat pertama kali adalah sekitar 150 KK. Daerah asal mereka adalah dari Propinsi
Jawa Timur, Jawa Barat, dan Jawa Tengah. Kedatangan warga transmigran suku Jawa
yang berasal dari propinsi Jawa Barat dan Jawa Tengah berlangsung periodik dalam
(44)
Kehadiran warga transmigran suku Jawa yang berlangsung sampai tahun
1994, merupakan salah satu penyebab terjadinya pertambahan jumlah penduduk di
desa. Hal ini menyebabkan wilayah pemukiman penduduk harus diperluas. Perluasan
wilayah pemukiman itu adalah dari dua dusun menjadi empat dusun, yakni; Dusun
Lubuk Lalang dan Dusun Tanjung Kemang sebagai dusun awal yang didominasi oleh
warga asli suku Melayu Jambi dan suku Banjar yang sudah ada sejak awal
terbentuknya desa, kemudian Dusun Rantau Indah dan Rantau Sari sebagai wilayah
konsentrasi pemukiman awal warga transmigran Jawa. Penyebaran warga transmigran
di dua dusun ini dilakukan oleh pemerintah desa pada saat itu dengan rincian; Dusun
Rantau Sari dimukimi warga transmigran sebanyak 93 KK, sementara 57 KK lagi
ditempatkan di dusun Rantau Indah.
Sejak pertama kali kehadiran warga transmigran suku Jawa pada akhir tahun
1993 sampai dengan awal tahun 2008 ini, hanya sekitar 75 0/0 dari keseluruhan jumlah
awal warga transmigran yang masih betahan dan bermukim di desa ini, sementara
yang lain telah pindah, kembali ke kampung asal, dan lain sebagainya. Selain itu juga
terjadi pertambahan jumlah kepala keluarga sebanyak 38 KK. Pertambahan ini
disebabkan oleh adanya pernikahan yang berlangsung pada mereka, dan tidak ada
terjadi perpindahan setelah pernikahan tersebut.
Kehadiran orang Banjar, Minangkabau, Palembang, Batak dan Mandailing di
Desa Rantau Badak memiliki latar belakang yang tidak sama. Orang Banjar awalnya
bermaksud untuk berniaga dan singgah sambil beristirahat untuk beberapa waktu di
desa ini, tetapi kemudian menjadi bagian dari warga Desa Rantau Badak melalui
proses pernikahan dengan warga asli di desa, dan kemudian memutuskan untuk
menetap di desa ini.
Kehadiran orang Batak dan Mandailing yang berasal dari Propinsi Sumatera
(45)
ketika memasuki awal tahun 2000. Alasan kehadiran mereka di desa ini terkait dengan
jumlah ketersediaan lahan yang luas di Desa Rantau Badak. Ketersediaan lahan ini
dapat mereka manfaatkan untuk kegiatan berkebun kelapa sawit yang saat ini
merupakan primadona dalam aktivitas ekonomi di berbagai daerah. Jumlah lahan
yang cukup luas dan sangat potensial untuk dikembangkan menjadi areal perkebunan
kelapa sawit menyebabkan berbagai kelompok warga pendatang berpikir untuk
menetap dan membuka kebun-kebun kelapa sawit di desa ini. Mereka pindah dan
membuka usaha perkebunan kelapa sawit secara berkelompok. Mereka
mengumpulkan modal untuk membeli lahan yang cukup luas di desa, hal ini dapat
terlaksana karena didukung adanya konsep kebersamaan sebagai kaum keluarga dan
kesamaan identitas etnis. Biasanya mereka akan lebih dahulu mengirim beberapa
orang sanak keluarga untuk menjaga lahan dan membuka kebun kelapa sawit di
beberapa titik lokasi milik mereka. Setelah itu mereka akan menetap di desa saat
kondisi kebun secara fisik telah siap untuk dikerjakan. Secara periodik, kaum kerabat
lain yang masih berada di daerah asal, akan mengikuti aktivitas yang telah dilakukan
kerabat pendahulunya, dan ini kemudian turut menyebabkan terjadinya peningkatan
jumlah populasi di Desa Rantau Badak.
Kehadiran warga transmigran suku Jawa dari berbagai propinsi di Pulau Jawa
juga mengalami peningkatan kembali sejak tahun 2005 sampai dengan awal tahun
2008. Kehadiran mereka terkait dengan kegiatan perkebunan kelapa sawit yang
semakin intensif di Desa Rantau Badak. Kedatangan mereka bukan untuk membuka
kebun kelapa sawit, tetapi lebih banyak untuk menjadi tenaga pekerja di kebun-kebun
kelapa sawit milik perorangan atau perusahaan perkebunan di desa ini.
Kegiatan perkebunan kelapa sawit yang semakin intensif di desa, turut
menciptakan situasi yang menuntut jumlah tenaga kerja perkebunan yang cukup
(46)
sawit, kebanyakan dari mereka tinggal atau menetap di kebun tempat mereka bekerja.
Mereka yang tinggal di kebun tempat mereka bekerja, biasa berlangsung seperti itu
bila kebun-kebun yang dikerjakan berukuran cukup luas (> 4 Ha), dan pemilik kebun
tidak dapat mengurus ladangnya karena memiliki kesibukan-kesibukan lain yang
sifatnya turut mendukung dalam pemenuhan kebutuhan ekonomi mereka. Aktivitas
ekonomi lainnya itu adalah usaha sampingan yang tetap berada di dalam lingkup desa,
ataupun usaha lain di luar desa yang menyita waktu cukup banyak, seperti menjadi
pedagang atau menjadi pegawai negeri.
Selain karena alasan pemilik kebun yang berhalangan dalam mengurusi kebun,
mereka yang lebih memilih tinggal di dalam kebun belum memiliki pendapatan yang
cukup baik untuk membangun rumah ataupun sekedar untuk mengontrak rumah milik
salah seorang anggota warga setempat. Selain itu, dengan lebih memilih tingal di
dalam kebun, mereka akan dapat lebih berhemat dengan hasil pendapatan yang
diperolehnya, karena untuk kebutuhan pangan yang berjenis sayuran, mereka dapat
memperolehnya dari sebagian areal kebun yang mereka tanami dengan berbagai jenis
sayuran, sehingga mereka tidak perlu membeli di pasar ataupun kepada pedagang
sayur bermotor yang berjualan dengan melintas di sekitar areal kebun tempat mereka
bekerja.
Tetapi, bagi mereka yang sudah cukup lama bekerja dan memperoleh
pendapatan yang lumayan besar, mereka akan mulai membangun rumah walaupun
dengan ukuran yang tidak begitu besar, dan ada juga yang sekedar mengontrak rumah
warga setempat dengan ukuran yang tidak begitu luas, tetapi tidak berada jauh dari
kebun tempat mereka bekerja. Hal ini juga disebabkan adanya kejenuhan yang
muncul setelah lama tinggal di dalam kebun, sehingga mereka berpikiran untuk
menetap di lingkungan pemukiman warga yang dapat menghilangkan kejenuhan
(47)
Pemukiman di Desa Rantau Badak cenderung mengikuti alur aliran Sungai
Papalik yang berada melintang memotong jalan lintas utama desa yang juga
merupakan perlintasan antar kota dan propinsi. Kecenderungan warga dalam
menentukan lokasi tempat mereka bermukim yang mengikuti alur aliran sungai,
disebabkan kebutuhan akan air yang bersumber dari Sungai Papalik tersebut. Jarak
rumah salah seorang warga dengan rumah warga lainnya yang berada di sepanjang
alur aliran sungai, tergolong sangat berdekatan dan rapat. Kondisi pemukiman seperti
ini sangat tidak mendukung kesehatan warga yang bermukim di sekitar aliran sungai
tersebut. Hal ini disebabkan jarak rumah yang sangat rapat dan berdekatan itu
menyebabkan tidak tersedianya ruang sirkulasi udara yang baik bagi warga. Dominasi
warga asli Melayu Jambi sangat jelas dapat dirasakan di lokasi pemukiman sekitar
aliran sungai ini, yang mana dapat diketahui dari adanya hubungan pertalian
kekerabatan antara rumah warga yang satu dengan yang lainnya.
Sementara untuk pemukiman warga yang berada di pinggir jalan lintas utama,
jarak rumah warga yang satu dengan yang lainnya tidak begitu rapat dan berdekatan.
Antara rumah salah seorang warga dengan warga lainnya ditandai dengan satu bidang
lahan atau lebih yang masih kosong, ataupun dalam kondisi ditanami pohon karet tua
yang cukup baik dan berguna untuk menciptakan kondisi di sekitarnya menjadi lebih
sejuk dan nyaman bagi warga yang bermukim di sekitar jalan lintas utama tersebut.
Kecenderungan untuk bermukim di sekitar jalan lintas utama tersebut juga
disebabkan lokasi pemukiman memiliki nilai potensial bagi warga dalam
pengembangan kegiatan niaga, yang mana secara umum diketahui bahwa sarana jalan
merupakan hal yang vital dalam mendukung mobilitas warga.
Pemukiman warga yang berada di sekitar jalan lintas utama, juga
menunjukkan keragaman etnis yang terdapat di Desa Rantau Badak, yang mana di
(1)
REALIASI PENGUKUHAN DAN PENATAGUNAAN HUTAN PROPINSI JAMBI
No. Kawasan Hutan Batas Luar (m) Batas Fungsi (m) Panjang (m) Kabupaten
1 2 3 4 5 6
1. CA. Hutan Bakau Pantai Timur 100,000.00 - 100,000.00 Tanjung Jabung 2. HL/CB. Pegunungan Dua Belas 77,000.00 28,000.00 105,000.00 Sarolangun Bangko 3. HL/CB. Pegunungan Dua Belas - 7,506.00 7,506.00 Batang Hari 4. HP. HPT, HL Merangin Alai 168,000.00 - 168,000.00 Sarolangun Bangko 5. HP. HPT, HL Merangin Alai 75,000.00 - 75,000.00 Bungo Tebo 6. HP. HPT, HL Merangin Alai 47,000.00 - 47,000.00 Sarolangun Bangko 7. HP. HPT, HL Merangin Alai 207,129.00 - 207,129.00 Bungo Tebo 8. HP. Ketalo Singkut 100,000.00 - 100,000.00 Sarolangun Bangko 9. HP. Ketalo Singkut 100,000.00 - 100,000.00 Sarolangun Bangko 10. HP. Ketalo Singkut 68,000.00 - 68,000.00 Sarolangun Bangko 11. HP. Ketalo Singkut 73,211.00 - 73,211.00 Sarolangun Bangko 12. HP. Ketalo Singkut - 27,100.00 27,100.00 Sarolangun Bangko 13. HP. Singkati Batang Hari 102,624.00 - 102,624.00 Bungo Tebo 14. HP. Singkati Batang Hari 100,136.00 - 100,136.00 Bungo Tebo 15. HP. Singkati Batang Hari - 46,146.00 46,146.00 Bungo Tebo 16. HP. Singkati Batang Hari - 35,000.00 35,000.00 Tanjung Jabung 17. HP. Singkati Batang Hari 129,000.00 - 129,000.00 Batang Hari 18. HP. Singkati Batang Hari 44,000.00 - 44,000.00 Tanjung Jabung 19. HP. Singkati Batang Hari 77,000.00 - 77,000.00 Bungo Tebo 20. HP. Singkati Batang Hari 60,000.00 - 60,000.00 Tanjung Jabung
(2)
1 2 3 4 5 6 21. HP. Singkati Batang Hari - 95,176.00 95,176.00 Bungo Tebo 22. HP, HPT singkati Batang Hari - 12,000.00 12,000.00 Tanjung Jabung 23. HP, HPT singkati Batang Hari - 32,800.00 32,800.00 Bungo Tebo 24. HP. Singkati Batang Hari - 26,309.00 26,309.00 Tanjung Jabung 25. HP. Tungkal Betara 140,000.00 - 140,000.00 Tanjung Jabung 26. HP. Tungkal Betara 223,021.00 - 223,021.00 Tanjung Jabung 27. HP. Tungkal Betara 110,270.00 - 110,270.00 Tanjung Jabung 28. HP. Tungkal Betara 55,993.00 - 55,993.00 Batang Hari 29. HAS, SM, TN Berbak 60,000.00 - 60,000.00 Tanjung Jabung 30. HAS, SM, TN Berbak 59,000.00 15,000.00 74,000.00 Tanjung Jabung
31. HP Tabir Kejasung 84,450.00 - 84,450.00 Bungo Tebo
32. HP Tabir Kejasung 82,450.00 - 82,450.00 Bungo Tebo
33. HP Tabir Kejasung 58,400.00 - 58,400.00 Batang Hari 34. HP Tabir Kejasung 53,000.00 - 53,000.00 Sarolangun Bangko 35. HP Tabir Kejasung - 44,000.00 44,000.00 Batang Hari
36. TN Kerinci Seblat 60,000.00 - 60,000.00 Kerinci
37. TN Kerinci Seblat 90,000.00 - 90,000.00 Kerinci
38. TN Kerinci Seblat 165,000.00 - 165,000.00 Kerinci 39. TN Kerinci Seblat 182,911.00 - 182,911.00 Kerinci
40. TN Kerinci Seblat - 49,617.00 49,617.00 Bungo Tebo
(3)
1 2 3 4 5 6 41. TN Kerinci Seblat 137,100.00 71,900.00 209,000.00 Sarolangun Bangko 42. TN Kerinci Seblat - 18,000.00 18,000.00 Sarolangun Bangko 43. TN Kerinci Seblat - 104,957.00 104,957.00 Sarolangun Bangko 44. TN Kerinci Seblat - 22,125.00 22,125.00 Sarolangun Bangko 45. TN Kerinci Seblat - 108,422.00 108,422.00 Sarolangun Bangko 46. HP Senami Bahar 120,000.00 - 120,000.00 Sarolangun Bangko
47. HP Senami Bahar - 59,000.00 59,000.00 Sarolangun Bangko
48. HP Senami Bahar - 38,443.00 38,443.00 Sarolangun Bangko 49. THR/HLG/HP Tungkal Betara - 46,055.00 46,055.00 Batang Hari 50. CA Durian Luncuk I 3,842.00 - 3,842.00 Sarolangun Bangko 51. CA Durian Luncuk II 2,886.00 - 2,886.00 Batang Hari
52. HP Merangin Alai 38,211.00 - 38,211.00 Bungo Tebo
53. HP Ketalo Singkut 140,623.00 - 140,623.00 Sarolangun Bangko 64. HP Merangin Alai 34,055.00 - 34,055.00 Sarolangun Bangko 55. HP Merangin Alai 27,913.00 - 27,913.00 Sarolangun Bangko
56. HP Merangin Alai - 35,030.00 35,030.00 Bungo Tebo
57. HP Tungkal Betara - 66,246.00 66,246.00 Tanjung Jabung 58. HP Tungkal Betara - 36,487.00 36,487.00 Batang Hari 59. HP Ketalo Singkut - 19,717.00 19,717.00 Sarolangun Bangko 60. HP Ketalo Singkut - 29,680.00 29,680.00 Sarolangun Bangko 61. HP Ketalo Singkut 69,475.00 - 69,475.00 Sarolangun Bangko 62. HP Ketalo Singkut - 35,248.00 35,248.00 Sarolangun Bangko
(4)
1 2 3 4 5 6 63. HP Ketalo Singkut - 21,361.00 21,361.00 Sarolangun Bangko 64. HP Ketalo Singkut (B. Nilo) 14,697.00 - 14,697.00 Sarolangun Bangko 65. HP Ketalo Singkut (Jangkat) 8,265.00 - 8,265.00 Sarolangun Bangko 66. HP Singkati Batang Hari 25,691.00 - 25,691.00 Batang Hari 67. HP Singkati Batang Hari 37,649.00 - 37,649.00 Tanjung Jabung 68. HPT Singkati Kehidupan 34,545.00 - 34,545.00 Bungo Tebo 69. HPT Singkati Batang Hari 31,915.00 - 31,915.00 Bungo Tebo
70. HP Tungkal Betara - - - Batang Hari
71. CA Hutan Bakau Pantai Timur 109,330.00 - 109,330.00 Tanjung Jabung
72. HP Senami Bahar 55,101.00 - 55,101.00 Batang Hari
73. HP Senami Bahar 25,461.00 - 25,461.00 Sarolangun Bangko
74. HP Tabir Kejasung 34,377.00 - 34,377.00 Batang Hari
75. HP Merangin Barat 26,063.00 - 26,063.00 Kerinci
76. HP Merangin Timur 197,151.00 - 197,151.00 Kerinci
77. TN Berbak Kumpeh 11,687.00 - 11,687.00 Sarolangun Bangko
78. Tahura Bukit Sari 11,640.00 11,640.00 Batang Hari
79. HP Singkati Batang Hari - 17,787.00 17,787.00 Batang Tebo
80. Taman Nasional Bukit Dua Belas 71,000.00 Batang Hari, Sarolangun, Tebo
81. HP Ketalo Singkut 4,000.00
82. HP, HPT Senami Bahar 5,000.00
83. HLG Sungai Londerang 33,000.00
Jumlah 4,150,272.00 1,149,112.00 5,412,384.00 Sumber Data : Peta Hasil Tata Batas Hutan BIPHUT Jambi
(5)
2. Kawasan Konservasi :
a. Taman Nasional
:
1)
Taman Nasional Kerinci Sebelat
: 429.630 Ha.
2)
Taman Nasional Berbak
: 146.000 Ha.
3)
Taman Nasional Bukit 12
: 60.500 Ha.
4)
Taman nasional Bukit 30
: 33.000 Ha.
b.
Cagar Alam
.
1)
Hutan Bakau Pantai Timur
: 3.829 Ha.
2)
Durian Luncuk I
: 41,37 Ha.
3)
Durian Luncuk II
: 73,74 Ha.
4)
Gua Ulu Tiangko
: 1 Ha.
c.
Taman Hutan Raya ( TAHURA ).:
1)
TAHURA Sultah taha Saifuddin
: 15.500 Ha.
2)
TAHURA Bukit Sari *)
: 425 Ha.
3)
TAHURA Sekitar Tanjung
: 21.160 Ha.
*) : Ditingatkan fungsinya sebagai Kebun Raya , bekerja sama dengan LPPI
d.
Hutan Penelitian :
(6)