BAB IV KOMPETISI TENURIAL
Fenomena kompetisi tenurial di Desa Rantau Badak berlangsung dalam tiga era pertanian dengan berbagai kondisi dan situasi yang berbeda. Fenomena ini
berlangsung dari masa berladang, masa bertani karet, hingga masa berkebun kelapa sawit.
4.1 Fenomena Kompetisi Tenurial Pada Masa Berladang
Pada masa berladang yang berlangsung di tahun 1930-an, pelaku kompetisi hanya dilakoni oleh warga asli yang terdiri dari etnis Melayu Jambi dan etnis Banjar.
Pada masa ini, cakupan wilayah yang menjadi ruang kompetisi adalah di sekitar Dusun Lubuk Lalang dan Dusun Tanjung Kemang.
Upaya penguasaan lahan pada masa ini tidak lebih adalah untuk membuka areal perladangan. Mereka membuka ladang untuk ditanami padi dan juga tanaman
palawija yang dapat memenuhi kebutuhan pangan dari setiap keluarga mereka. Hasil yang diperoleh dari aktivitas berladang bersifat subsisten, dengan pengertian; setiap
hasil panen dari apa yang mereka tanami di ladang-ladang mereka adalah untuk pasokan kebutuhan pangan keluarga mereka masing-masing.
4.2. Fenomena Kompetisi Tenurial Pada Masa Bertani Karet
Fenomena kompetisi penguasaan lahan pada masa bertani karet, mulai berlangsung ketika warga mulai mengenal tanaman karet pada masa kolonial Jepang
pada tahun 1940-an, dan pelaku penguasaan lahan pada masa ini masih etnis Melayu Jambi dan etnis Banjar. Cakupan wilayah yang menjadi ruang kompetisi mulai
melebar, tetapi tetap berada di sekitar wilayah kedua dusun tersebut. Dalam aktivitas bertani, mereka mulai menambah aktivitasnya dengan tidak hanya membuka lahan-
Universitas Sumatera Utara
lahan yang ada menjadi areal perladangan, tetapi membuka lahan-lahan itu untuk tempat menanam karet.
Pada tahap awal pengembangan tanaman karet, umumnya mereka menanaminya di lahan-lahan yang juga merupakan areal ladang mereka. Seiring
dengan kemapanan pengetahuan mereka dalam bertani karet, mereka mulai memperluas wilayah konsentrasi pemanfaatan lahan di seberang Sungai Pepalik yang
berbatasan dengan Desa Tanjung Paku. Perluasan wilayah pemanfaatan lahan untuk tanaman karet ini berlangsung pada sekitar tahun 1970-an. Meskipun perluasan
wilayah pemanfaatan lahan adalah untuk pengembangan tanaman karet, tetapi mereka tetap mengalokasikan areal perladangan di beberapa titik lokasi yang berada dalam
wilayah perluasan pemanfaatan lahan tersebut. Orientasi penguasaan lahan oleh warga pada masa perluasan wilayah
konsentrasi pemanfaatan lahan dengan berkebun karet, tidak lagi sekedar untuk pemenuhan kebutuhan subsisten, tetapi hasil produksi pertanian mulai dijadikan
sebagai komoditi hasil tani yang dapat mereka perdagangkan. Aktivitas pertanian yang mereka lakukan tidak lagi sekedar untuk memenuhi kebutuhan pangan, tetapi
sudah mulai berupaya untuk memenuhi kebutuhan lainnya yang dapat mereka peroleh dari hasil berkebun karet.
Aktivitas pertanian dengan berkebun karet oleh warga mulai mengalami penurunan pada sekitar tahun 1990-an. Usia tanaman karet yang sudah tua dan tidak
adanya kemampuan warga untuk melakukan peremajaan tanaman, menyebabkan tanaman karet yang dikelola selama ini menjadi tidak terawat dan mengalami
penurunan hasil produksi. Kondisi ini kemudian menyebabkan kemampuan ekonomi warga menurun, dan membuat warga terjebak dalam kesulitan ekonomi.
Universitas Sumatera Utara
4.3. Fenomena Kompetisi Tenurial Pada Masa Berkebun Kelapa Sawit