Latar Belakang Penelitian PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Penelitian

Sebagai salah satu negara dengan wilayah yang luas di dunia, Indonesia tidak hanya memiliki wilayah daratan dan perairan yang luas, tetapi juga kaya dengan sumber daya alam. 1 Pelanggaran hak-hak asasi dan penebangan hutan yang terjadi di beberapa tempat misalnya, berakar dari berbagai kebijakan yang diterapkan lebih dari sepuluh tahun yang lalu di bawah pemerintahan Orde Baru. Kebijakan-kebijakan ini meletakkan dasar-dasar untuk konflik kepentingan pribadi yang terus menerus terjadi akibat keterlibatan para pelaku negara, yang sesungguhnya ditugaskan untuk mengawasi pengelolaan hutan dan penegakan hukumnya. Berbagai kebijakan Orde Baru yang memperbolehkan penyitaan lahan lokal untuk operasi kehutanan komersial, yang di dalamnya para pejabat pemerintah sendiri sering memiliki saham, kurangnya Hutan tropis yang luasnya diperkirakan mencapai 144 juta hektar sangat kaya dengan ribuan jenis burung, ratusan jenis mamalia dan puluhan ribu jenis tumbuhan. Perairan yang luas menjadi tempat bagi perkembangan populasi ikan dan hasil perairan lainnya, demikian pula dengan buminya yang mengandung deposit berbagai jenis mineral dalam jumlah yang tidak sedikit. Sumber daya alam yang berada di berbagai sebaran kawasan hutan yang ada di Indonesia, merupakan pusat berlangsungnya perjuangan ekonomi, politik, dan sosial di seluruh kepulauan Indonesia. Secara khusus, hutan memegang peran penting dalam berbagai perjuangan ini, dan dengan demikian menjadi titik tolak dalam menyoroti kekerasan di pedesaan, khususnya di sekitar hutan yang kaya akan sumber daya alam. 1 Tentang pengertian sumber daya alam ini silahkan baca penjelasan lengkapnya dalam Koesnadi Hardjasoemantri, Hukum Tata Lingkungan, bab II “Pengelolaan Lingkungan Hidup di Indonesia”, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 2002. hlm. 198-199. Universitas Sumatera Utara rasa hormat terhadap hak-hak warga adat indigenous people 2 , dan lemahnya penegakan hukum kehutanan, mendorong berbagai perusahaan ekstraktif menggunakan dan memanfaatkan sumber daya hasil hutan secara tidak berkelanjutan. 3 Pengelolaan sumber daya alam selama ini tampaknya lebih mengutamakan meraih keuntungan dari segi ekonomi sebesar-besarnya tanpa memperhatikan aspek sosial dan kerusakan lingkungan. Pemegang otoritas pengelolaan sumber daya alam pada masa pemerintahan orde baru berpusat pada negara yang dikuasai oleh pemerintah pusat, sedangkan daerah tidak lebih hanya sebagai penonton. Berbagai kebijakan yang dikeluarkan cenderung bersifat sektoral, sehingga kadangkala menjadi kebijakan yang tumpang tindih. Sentralisasi kewenangan tersebut juga mengakibatkan pengabaian perlindungan terhadap hak azasi manusia, yang dalam hal ini meliputi hak-hak warga adat pada suatu daerah. Perlu kita sadari bahwa eksploitasi secara berlebihan tanpa perencanaan yang baik, bukannya mendatangkan kemakmuran dan kesejahteraan, sebaliknya akan membawa malapetaka yang tidak terhindarkan. Akibat dari pengelolaan sumber daya alam yang tidak memperhatikan keseimbangan dan kelestarian lingkungan, dapat kita lihat pada kondisi lingkungan yang mengalami degradasi baik kualitas maupun kuantitasnya. Hutan tropis yang kita banggakan, setiap tahun luasnya berkurang dengan sangat cepat, demikian juga dengan jenis flora dan fauna di dalamnya sebagian besar sudah terancam punah. 4 2 Lihat Rafael Edy Bosko, Hak-Hak Warga Adat dalam Konteks Pengelolaan Sumber Daya Alam, Prolog “Warga Adat, Eksistensi dan Problemnya: Sebuah Diskursus Hak Asasi Manusia”, Elsam, Jakarta, 2006, hlm. 1-6, dan lihat juga pada hlm. 52-56. 3 Lihat Akses Peran Serta Warga, “Lebih Jauh Memahami Community Development”, ICSD, Jakarta, 2003, hlm. 10-11. 4 Lihat Rafael Edy Bosko, Hak-Hak Warga Adat dalam Konteks Pengelolaan Sumber Daya Alam, Elsam, Jakarta, 2006, hlm. 39-41. Universitas Sumatera Utara Pemerintah lupa bahwa kawasan hutan yang dijadikan wadah untuk memperoleh pendapatan ekonomi negara, bukan hanya sekedar suatu areal hutan yang didalamnya hidup berbagai jenis flora dan fauna semata, di areal kawasan hutan juga ada sekelompok manusia yang hidup dan bermukim di kawasan hutan tersebut. Mereka bermukim dan memenuhi kebutuhan hidupnya dari sumber daya yang ada di hutan. Sekelompok manusia ini terikat secara teritori, sosial dan budaya yang terpelihara sudah sejak lama. Mereka inilah yang dimaksud dengan warga hutan, warga lokal, ataupun yang lebih populer dikatakan dengan istilah Indigenous People. Saat pemerintah daerah melulu memikirkan kesejahteraan finansial, budaya lokal selalu dikalahkan oleh logika ekonomi. Pengkeramatan ratusan hektar hutan oleh satu komunitas budaya tertentu, dipandang sebelah mata oleh pembuat kebijakan. Tekanan dari investor lebih kuat dari upaya bela rasa terhadap budaya yang dijalankan satu komunitas tertentu. Padahal, demi terwujudnya kehidupan yang berkelanjutan, pemerintah mesti memberi keleluasaan bagi pelbagai komunitas di daerah untuk menjalankan ritme kehidupan sosial dan budayanya. Walaupun warga adat menyatakan kepemilikannya terhadap lahan hutan tanpa memiliki sertifikat tanah secara tertulis, warga adat memahami bentuk tradisional pengelolaan sebagai hak adat yang diwariskan, dan hal ini diakui secara spesifik dalam pasal 18 Undang-undang Dasar Negara Indonesia, yakni bahwa : Negara Republik Indonesia menghormati status warga asal dan sistem pemerintah mereka sendiri dan semua peraturan pemerintah yang terkait dengan lembaga dan warga ini harus menghargai hak asal-usul yang berlaku di tempat-tempat khusus seperti ini. Penjelasan UUD 1945, Bab IV, Pasal 18, Ayat 2 berbunyi [Ada sekitar] 250 jenis lembaga pemerintahan yang independen di tingkat desa Zelfbesturende landschappen dan lembaga warga asli volksgemeenschappen seperti desa di Jawa dan Bali, negri di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang dan sebagainya. Masing-masing wilayah desa ini memiliki struktur kelembagaan tersendiri susunan asli dan karena itu dapat disebut sebagai daerah yang bersifat istimewa. Negara Republik Indonesia menghormati status daerah istimewa ini dan semua peraturan pemerintah mengenai hak-hak asal-usul untuk daerah-daerah ini. Sesuai dengan amademen yang dilakukan pada bulan Agustus 2000, pasal 18, paragraf b sekarang berbunyi, Pemerintah menghormati dan mengakui struktur warga tradisional bersama dengan aturan-aturan adat mereka asalkan semuanya itu sesuai dengan perkembangan sosial dan prinsip negara kesatuan Republik Indonesia, dan aturan-aturannya akan ditetapkan dalam undang-undang. Universitas Sumatera Utara Akan tetapi pada masa orde baru, Presiden Soeharto mempunyai rencana yang berbeda untuk hutan-hutan lebat yang sangat luas dan menguntungkan ini, karena hutan-hutan tersebut tidak mempunyai bukti hak kepemilikan pribadi resmi, dan dianggap tidak dimiliki siapapun. Agenda pembangunan Orde Baru digerakkan oleh ekstraksi hutan yang tidak berkelanjutan, dan didasarkan pada penyitaan lahan seluas lebih dari 90 persen total lahan di pulau-pulau di luar Jawa, yang kemudian disebut sebagai hutan negara, salah satunya adalah Propinsi Jambi yang berada di Pulau Sumatera. Hutan-hutan tropis yang lebat, yang telah tumbuh selama berbagai generasi dan kaya dengan keanekaragaman hayati tumbuhan dan hewan, ditebang untuk memperoleh kayu dan diganti dengan perkebunan luas yang ditanami spesies monokultur eksotis yang cepat tumbuh dalam baris yang lurus dan dibersihkan dari tumbuhan tingkat bawah. Lahan yang diklasifikasikan sebagai hutan negara 5 Akan tetapi, bagi penduduk pedesaan di Indonesia yang hidupnya bergantung pada hutan, hutan mempunyai arti yang berbeda. Hutan-hutan yang kemudian lenyap , luasnya mencakup lebih dari 75 persen 143 juta hektar dari total luas lahan di Indonesia, dan 90 persen dari luas lahan di pulau-pulau di luar Jawa yang sebagian besar merupakan lahan warga adat. Sebagai hutan negara, secara hukum lebih dari seratus juta hektar diperuntukkan sebagai areal penebangan atau `hutan konversi untuk perkebunan yaitu tebang habis dan diikuti penanaman secara monokultur untuk perkebunan kayu pulp atau tanaman perkebunan lainnya. Pemerintah Indonesia mengeluarkan ijin konsesi HPH, HTI dan perkebunan ke berbagai perusahaan berupa hak atas lahan yang diakui secara hukum. 5 Istilah hutan negara sebenarnya lebih mencerminkan keinginan pemerintah untuk mengontrol sumber daya ini daripada kondisi kawasan yang ditumbuhi hutan sesuai dengan definisi yang digunakan di dalam Undang-undang Pokok Kehutanan tahun 1967, lahan yang berhutan atau tidak berhutan, yang dinyatakan oleh negara sebagai hutan pasal 1, alinea 4. Hutan negara ini kemudian diklasifikasikan lebih lanjut sesuai fungsinya sebagai hutan produksi terbatas, hutan produksi, hutan konversi untuk ditebang habis dan dikonversi untuk pemanfaatan lainnya, seperti perkebunan, hutan lindung, dan hutan konservasi. Universitas Sumatera Utara merugikan sebagian besar penduduk Indonesia yang tinggal di pedesaan , miskin 6 , dan mata pencahariannya bergantung pada hutan. 7 Sebagian besar petani asli yang tinggal di pulau-pulau di luar Pulau Jawa yang padat penduduknya, praktik usahatani gabungan subsistensi dan komersial antara padi gogo dan tanaman tahunan Penduduk ini juga menghargai hutan sebagai nilai budaya yang besar. 8 merupakan suatu rutinitas dalam memenuhi kebutuhan produksi ekonomi. Selain itu, berbagai produk hutan dikumpulkan dari hutan untuk dijual dan dikonsumsi di rumah, termasuk rotan, madu, damar, daun-daunan dan buah-buahan yang dapat dimakan, satwa liar, dan ikan. Diperkirakan pendapatan 7 juta penduduk Sumatera dan Kalimantan bergantung pada kebun karet yang menyebar di lahan seluas kurang lebih 2,5 juta hektar. Di Sumatera saja, kira-kira 4 juta hektar lahan dikelola oleh warga lokal dalam bentuk berbagai jenis wanatani yaitu kebun berbagai spesies buah digabung dengan pertumbuhan hutan alami tanpa bantuan dari luar. 9 6 Mark Baird, Direktor World Bank untuk Indonesia, Farewell Remarks to the Jakarta Foreign Correspondents Club, Jakarta, 27 Agustus 2002, http:wbln0018.worldbank.orgeapeap.nsf. 7 World Bank, Removing the Constraints: Background on Forests disajikan dalam pertemuan Paska- CGI untuk bidang kehutanan yang disponsori World Bank, Jakarta, 26 Januari, 2000, http:lnweb18.worldbank.orgeapeap.nsf 8 Peladangan berpindah adalah sistem pertanian yang tidak menggunakan mesin, pupuk, herbisida atau pestisida. Setelah lahan diolah selama satu sampai tiga tahun, lahan dibiarkan sehingga pohon- pohonnya dapat melakukan regenerasi dan mengembalikan kesuburan tanah serta memutuskan daur reproduksi hama. Di Indonesia, praktik pertanian seperti ini biasanya menanam karet dan pohon buah- buahan di antara tanaman hutan alami yang sedang melangsungkan regenerasi. 9 H. deForesta, A. Kusworo G. Michon, dan W.A. Djamiko, eds., Agro-forest Khas Indonesia: Sebuah Sumbangan Warga Bogor, Indonesia: International Center for Research on Agro-Forestry, 2000. Pengelolaan sumber daya alam yang selama ini telah mendatangkan berbagai dampak dan permasalahan, berawal dari berbagai produk perundang-undangan yang berkaitan dengan sumber daya alam, yang mana memberikan legitimasi kepada praktek pemanfaatan sumber daya alam yang tidak memperhatikan keseimbangan antara sumber daya alam dan kepentingan warga daerah. Universitas Sumatera Utara Berbagai Undang-Undang yang mengatur tentang sumber daya alam mempunyai kelemahan substansial antara lain; • Berorientasi pada eksploitasi SDA untuk mengejar keuntungan ekonomi semata, sehingga lebih berpihak kepada para pengusaha besar. • Berpusat pada negara, sehingga menggunakan pendekatan kekuasaan secara sentralistis. • Bersifat sektoral, sehingga banyak regulasi, kebijakan, kepentingan maupun pengelolaan yang tumpang tindih. • Mengabaikan keadilan terhadap warga daerah setempat. Lengsernya Soeharto dari jabatannya, disertai dengan gelombang reformasi yang menyebabkan pembaharuan dan perubahan berbagai peraturan dan perundang- undangan yang berlaku di negeri ini. Salah satunya adalah dirumuskan dan diberlakukannya peraturan dan perundang-undangan tentang pemerintahan daerah, yakni kebijakan Otonomi Daerah. 10 Sejak tahun 2002, perubahan tersebut mempengaruhi pembangunan sektor kelapa sawit meskipun pada saat yang sama masih membatasi kewenangan pemerintah daerah untuk mendorong perkebunan skala menengah. Sebuah peraturan yang baru dikeluarkan memberi kewenangan bupati untuk mengeluarkan ijin diatas Jatuhnya rejim Suharto mengantarkan pada periode perubahan politik secara radikal di Indonesia, yang salah satunya adalah terjadi pelimpahan kewenangan yang cukup besar dalam mengelola tanah, sumberdaya dan alokasi anggaran daerah dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. 10 Lihat Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, CV. Citra Utama, Jakarta, 2004, hlm. 52-53. Universitas Sumatera Utara wilayah dengan luas maksimal 1000 hektar. Di wilayah yang tumpang tindih antar kabupaten, pemberian ijin tetap menjadi hak prerogatif Gubernur Propinsi. Propinsi Jambi adalah salah satu daerah yang menjadi lokasi pengembangan perkebunan kelapa sawit. Jambi merupakan salah satu daerah yang memiliki kawasan hutan dan potensi sumber daya alam yang cukup baik di Indonesia. Berlangsungnya pengembangan perkebunan kelapa sawit di Propinsi Jambi diharapkan akan dapat mempercepat pembangunan dan peningkatan ekonomi daerah dengan seluruh potensi sumberdaya lahan yang ada di daerah ini. Pelaksanaan pembangunan itu sudah tentu harus melibatkan warga secara aktif dan partisipatif. Tujuan pelaksanaan pembangunan secara prioritas tentunya adalah untuk memenuhi dan meningkatkan kesejahteraan warga Jambi secara keseluruhan. Akan tetapi, berlangsungnya pengembangan perkebunan kelapa sawit di Jambi ternyata menciptakan ruang kontestasi terhadap penguasaan lahan hutan dan sumber daya alam yang terkandung didalamnya. Ruang kontestasi penguasaan lahan hutan dan sumber daya alam yang dimaksud adalah terbentuknya suatu situasi yang bersifat kompetitif 11 Lahan hutan dengan beragam status kepemilikan yang berdasarkan klaim yang dinyatakan oleh berbagai pihak dengan berbagai kepentingan yang mereka sandang dan perjuangkan, menjadikan klaim atas lahan tersebut sebagai suatu aspek yang menarik untuk dikaji lebih dalam, terkait dengan berlangsungnya kontestasi kepentingan atas keberadaan lahan hutan dan sumber daya hutan tersebut dalam era pengembangan perkebunan kelapa sawit. dalam hal penguasaan lahan hutan dan sumber daya alam pada warga daerah Indigenous People, dan juga Perusahaan-perusahaan perkebunan yang begitu gencar berupaya menguasai lahan hutan untuk memenuhi kebutuhan modal produksinya. 11 Lihat Abu Hamid, Budaya Inovasi dan Kompetisi, “Suatu Penelusuran Awal”, http:www.e-psikologi.com Universitas Sumatera Utara Warga adat mengklaim bahwa lahan hutan adalah milik mereka. Pengklaiman ini bersandar pada konstruk konsep lokal yang termanifestasi dalam tata cara pengaturan dan keberadaan lahan. Kekuatan pengklaiman juga karena wilayah hutan itu berada disekitar kawasan pemukiman mereka yang terpola sesuai aktivitas pemenuhan kebutuhan ekonomi, dan kemudian disertai dengan penentuan kawasan pemukiman mereka yang mengikuti keberadaan jalur-jalur sungai. 12 Kunjungan yang dilakukan oleh tim CIFOR ke warga lokal di beberapa desa di Kecamatan Merlung, Kab. Tanjung Jabung Barat, Prop. Jambi pada bulan Juni tahun 2004 lalu, telah menangkap beberapa peta persoalan yang terkait dengan keberadaan warga adat dan aktivitas pemanfaatan sumber daya hasil hutan oleh perusahaan-perusahaan ekstraktif di daerah tersebut. Berlangsungnya pengembangan perkebunan kelapa sawit di Jambi, yang meliputi wilayah Desa Rantau Badak di Kecamatan Merlung, Kabupaten Tanjung Jabung Barat, dengan sebaran kawasan hutan dan lahan warga yang terdapat di dalamnya, tentunya akan memberi pengaruh yang besar bagi warga desa dalam penguasaan lahan hutan. Penyusutan lahan akibat upaya pemenuhan kebutuhan lahan perkebunan kelapa sawit, dapat menyebabkan peningkatan terhadap kecenderungan setiap individu warga untuk menguasai lahan secara maksimal, hal ini disebabkan nilai ekonomi yang melekat pada era perkebunan kelapa sawit cukup baik dan sangat potensial dalam upaya peningkatan ekonomi warga. 13 Dari kunjungan tersebut diperoleh gambaran, bahwa berlangsungnya pengembangan perkebunan kelapa sawit telah memberi ruang yang cukup besar bagi sejumlah perusahaan perkebunan untuk beroperasi dan menguasai lahan-lahan hutan di kawasan hutan Tanjung Jabung Barat, beberapa diantaranya adalah PT. DAS dan 12 Catatan lapangan penelitian, “Can Decentralization Help The Poor and Forest ?”, Zulkifli Lubis dan John McCarthy, 2004 13 Ibid Universitas Sumatera Utara PT. IIS, dan pernah terjadi konflik antara perusahaan tersebut dengan warga adat yang berkaitan dengan penguasaan lahan hutan. PT. IIS misalnya, perusahaan ini berkonflik dengan warga adat terkait dengan jumlah luas lahan hutan yang mereka kelola. Areal HGU PT. IIS sebenarnya hanya seluas 8.500 Ha, tetapi secara aktual yang terjadi di lapangan, mereka membuka areal hutan seluas 10.000 Ha. Hal ini kemudian memicu ketidaksenangan warga terhadap kecurangan yang telah dilakukan oleh perusahaan-perusahaan tersebut dalam hal pembukaan lahan hutan, yang kemudian diikuti dengan aksi demonstrasi yang dilakukan oleh warga setempat kepada pemerintah daerah yang dianggap dapat menyelesaikan persoalan tersebut. Peta persoalan lainnya yang diperoleh oleh tim CIFOR adalah potensi konflik antara warga desa di Kecamatan Merlung. Keberadaan warga transmigran asal Pulau Jawa di Merlung yang telah berlangsung sejak tahun 1994 yang lalu, menciptakan kondisi yang kurang baik antara warga asli di desa yang merupakan etnis Melayu Jambi dengan warga transmigran. Kecemburuan warga adat terhadap keberadaan warga transmigran disebabkan peningkatan taraf kehidupan ekonomi mereka yang lebih baik dibandingkan warga asli setempat. Peningkatan taraf kehidupan ekonomi warga transmigran adalah dengan kegiatan pemanfaatan sumber daya hasil hutan yang bersumber dari kawasan hutan di daerah tersebut. Aktivitas berladang oleh warga trans kemudian akan turut menjadi ancaman bagi warga asli dalam penguasaan lahan hutan yang selama ini mereka ketahui merupakan warisan dari para leluhur. Realitas yang ditemukan di beberapa desa di Kecamatan Merlung, Kab. Tanjung Jabung Barat tersebut mengarahkan pemikiran peneliti pada dua hal penting. Pertama, telah terjadi kompetisi tenurial atas lahan land tenure competition antara warga asli dengan warga transmigran asal Pulau Jawa, dan warga pendatang lainnya Universitas Sumatera Utara di desa. Kedua, berlangsungnya pengembangan perkebunan kelapa sawit di Jambi, khususnya di Desa Rantau Badak, Kec. Merlung, Kab. Tanjung Jabung Barat, memberi pengaruh yang besar terhadap kompetisi tenurial atas lahan yang berlangsung diantara warga desa.

1.2. Rumusan Masalah Penelitian