Informan L 25 Hasil Penelitian

I. Analisis

Menganalisis hasil wawancara ini, peneliti bersandar pada penelusuran fenomena menurut Heidegger seperti yang dijelaskan pada bab-bab sebelumnya. Kekuatan analisis fenomena Heidegger terletak pada kemampuannya untuk menelusuri perihal yang paling esensial dari kenampakkan suatu fenomena. Kenam pakkan yang dimaksud Heidegger ialah “penampakkan penampilan” seperti yang telah diulas panjang lebar pada bab tiga. Langkah-langkah yang dipakai peneliti juga diperkuat dengan teknik analisis data Creswell. Kekuatan teknik analisis Creswell terletak pada usaha peneliti untuk membedakan wilayah data dan interpretasi peneliti. Kesadaran peneliti akan usaha Creswell mengamini cita-cita fenomenologi Heidegger maka penggabungan kedua teknik analisis data ini mampu melahirkan sebuah analisis yang tajam tentang fenomena yang diteliti. Atas dasar seperti di atas maka peneliti menganalisis fenomena seperti berikut. Paca dalam tradisi masyarakat Manggarai jaman dahulu diterapkan pada perkawinan cangkang. Perkawinan cangkang lazim dipraktikkan oleh kaum bangsawan atau kaum dengan kondisi ekonomi sangat kuat Bagul, 1996. Adanya penetrasi budaya Ihromi, 2006 dari ilmu pengetahuan barat dan agama barat turut mempengaruhi pola pikir masyarakat terutama tentang perkawinan yang sehat secara genetis. Sehingga relatif pada saat ini praktik perkawinan cangkang sudah dilakukan secara luas bagi masyarakat Manggarai. Boleh dikatakan bahwa perkawinan cangkang berlaku bagi semua lapisan masyarakat adat Manggarai saat ini. Persoalan yang muncul kemudian adalah, perspeksi paca gaya lama seperti yang diungkapkan Bagul pada bukunya tetapi tidak sejalan dengan kondisi ekonomi saat ini yang rata-rata masyarakatnya masih berada di bawah garis kemiskinan. Penetapan nilai paca berbanding terbalik dengan kondisi ekonomi calon suami. Masyarakat pada umumnya hampir bersikap abai terhadap fenomena dan kondisi ekonomi para calon suami. Fenomena semacam ini juga diterima begitu saja oleh para calon suami. Para calon suami membentuk mindset bahwa memang seperti itulah yang harus mereka terima. Perkawinan, kemudian, dimaknai sebagai beban berat yang harus ditanggung di kemudian hari. Faktor lain yang turut memperkeruh pola pikir masyarakat Manggarai adalah gengsi paca dilihat sebagai indikator status sosial. Pola pikir semacam ini menciderai makna agung paca itu sendiri, yang mana dianggap sebagai pengikat hubungan kekerabatan antara keluarga besar dari pihak-pihak yang hendak menikah. Bukan tanpa alasan peneliti mengungkapkan hal ini, terbukti dari penulusuran atas hasil analisis data yang menunjukkan bahwa perkawinan dimaknai sebagai beban. Bpk F 31 51- 53,”Namun kadang kala orang terbebani gara- gara dengan beban yang begitu tinggi dengan segala macam anggarannya.” Bpk J 35 341-343, “Belis jangan terlalu membebankan atau bahkan membuat keluarga yang baru berantakan.” Bpk L 25, 216-228,”Yang namanya belis seperti yang saya lihat sekarang belis ini sudah berbeda dengan yang dulu. Ya mungkin pengaruh perkembangan jaman... yang namanya belis itu sebenarnya tidak boleh terlalu menuntut dan jatuhnya memberatkan.” Perkawinan dimaknai sebagai perjuangan karena syarat paca yang tinggi. Tuntutan paca yang tinggi tentu memaksa keluarga calon suami untuk berusaha semaksimal mungkin memenuhi tuntutan permintaan tersebut. Berkaitan dengan tuntutan seperti ini, orang Manggarai menggalang kerja sama dengan berbagai cara; entah dengan melakukan peminjaman uang dalam bentuk kumpul kope patungan keluarga besar pria atau dengan uang tabungan sendiri si pengantin pria, atau jalur ekstrim meminjam uang ke bank. Perjuangan yang dilakukan pun untuk memenuhi paca yang pada dasarnya bersifat sementara; yaitu memenuhi kebutuhan saat upacara perkawinan berlangsung. BpkF 31, 36-44: ”Berjuang dengan segala daya upayanya supaya e...perkawinan itu berjalan dengan baiklah, meriah, dan lain-lain sebagainya. Jadi orang dengan segala kemampuannya entah dengan melibatkan orang lain menggerakkan tangan ke arah kanan luarnya atau dengan perjuangannya sendiri Sambil mengeluskan dadanya sendiri intinya bahwa dia begitu getol untuk memperjuangkan.” Perkawinan juga dimaknai sebagai tantangan bagi suami pada masyarakat Manggarai. Ditegaskan lagi, perkawinan masyarakat Manggarai bukan sekedar dituntut untuk membangun relasi antara dua orang yang hendak menikah saja tetapi untuk membangun hubungan kekerabatan antara kedua keluarga besar. Tidak mengherankan jika ada begitu banyak biaya yang harus digunakan untuk melangsungkan ritual perkawinan mengingat banyaknya keluarga besar yang terlibat dalam ritual perkawinan. Inilah yang menjadi tantangan dalam perkawinan masyarakat Manggarai yaitu untuk menyatukan kedua keluarga besar ini. BpkF 31, 282- 284, “Dan itu memang sebuah tantangan besar bagi seorang yang hendak untuk masuk ke ranah dan tahap perkawinan. Begitu.” Paca sudah menjadi momok yang menakutkan bagi suami pada masyarakat Manggarai. Pemaknaan perkawinan sebagai sebuah kesengsaraan ditengarai akibat dari mahar yang begitu tinggi. Paca yang tinggi menuntut pria PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI yang hendak menikah untuk berjuang mencari uang guna memenuhi paca yang begitu tinggi. Memenuhi hal ini, mereka yang menikah secara tidak langsung atas nama tradisi adat yang dianutnya membuka lembar utang dalam kehidupannya. Usai menikah, yakni saat tinggal dalam lembaga sakral keluarga yang baru, mereka bekerja banting tulang untuk membayar utang yang telah mereka adakan saat membiayai ritus perkawinan. Bpk J 35, 207- 210, “Kembali lagi tadi perkawinan yang belisnya besar membuat mereka kerja banting tulang untuk membayar lagi utang-utang belis yang membuat mereka s engsara.” Suami-suami di Manggarai mengamini perkawinan dalam konteks budaya masyarakat Manggarai yakni mengedepankan hubungan kekerabatan keluarga besar kedua belah pihak yang hendak menikah itu tercipta. Membangun relasi kelurga besar bukanlah hal yang sepele mengingat begitu banyak hal yang diperhatikan dalam membangun relasi kekerabatan dalam skala besar. Upaya menyatukan tersebut melibatkan tenaga dan pikiran yang maksimal untuk menyatukan pemikiran-pemikiran dari dua kelompok yang berlatar belakang berbeda. Hal ini yang menjadikan orang Manggarai memaknai perkawinan sebagai kesulitan. Terlebih lagi jika hal ini tidak didukung oleh kualitas SDM Sumber Daya Manusia yang memadai. Bpk L 25, 46-51: “Iya kraeng jangan ketawa ini memang kenyataan saat ini. Yang namanya nikah itu kan sebenarnya bukan hanya menyatukan dua pribadi iya kan? Ha’am tapi bagaimana mereka bisa menyatukan kedua keluarga besar. Itu yang sulit untuk menikah.” Suami pada masyarakat Manggarai merasa bahwa paca sifatnya memaksa. Keluarga pihak perempuan dalam adat Manggarai biasanya semena-mena dalam menentukan besaran paca. Angka yang sangat fantastis sudah tidak asing lagi di telinga orang Manggarai. Sifat ini juga bagi suami di Manggarai merupakan cikal bakal penderitaan di balik sakralnya perkawinan. Suami di Manggarai memaknai perkawinan sebagai penderitaan sehingga relatif suami di Manggarai merasa bahwa perkawinan itu tidak membahagiakan. Bpk L 25, 229- 233, “Ya belis itu tidak boleh terlalu memaksa karena begini dengan belis yang sangat tinggi akan membuat hidup dari anak kita yang akan berkeluarga itu menderita.” Sejurus dengan Heidegger maka makna yang tampak pada analisis di atas menyembunyikan makna yang hakiki. Heidegger mengungkapkan bahwa hal paling hakiki dari sebuah fenomena biasanya memiliki tampilan lain Ryanto, 2001. Peneliti sadar bahwa berdasarkan analisis di atas perasaan yang timbul pada masyarakat Manggarai saat ini merupakan tampilan lain dari sebuah makna yang sebenarnya. Makna perkawinan di atas sebenarnya menjurus pada makna konotasi dari perkawinan. Pemaknaan perkawinan suami pada masyarakat desa di Manggarai sangat apik dirangkai sedemikian rupa sehingga terkesan pihak laki- laki dirugikan. Paca menjadi tema utama bagi suami masyarakat Manggarai dalam memaknai perkawinan. Tema ini cukup jelas dalam mendeskripsikan makna perkawinan dalam cara pandang mereka. Perkawinan merupakan simbol untuk menjelaskan kelas sosial; dan untuk mengetahui hal ini lebih lanjut akan dijelaskan secara rinci pada subbab pembahasan.

J. Pembahasan

Perkawinan merupakan peristiwa sosial yang sangat penting pada masyarakat Manggarai. Gordon 1975 dalam penelitiannya mengungkapkan bahwa perkawinan bagi masyarakat Manggarai tidak hanya sekedar sebagai peubah status sosial —sebagai proses yang menunjukkan seseorang sudah mampu melewati usia dewasa awal menuju usia dewasa lanjut —kedua mempelai saja tetapi lebih kepada penentuan peran dan kedudukan keluarga besar kedua mempelai. Perkawinan bagi masyarakat Manggarai selalu dikaitkan dengan hubungan woenelu —yang berarti hubungan kekeluargaan akibat dari perkawinan. Melalui perkawinan, keluarga mempelai laki-laki akan disebut sebagai keluarga anak wina wife-receiver, sedangkan untuk pihak mempelai perempuan disebut anak rona wife-giver atau lebih lazim didengar dengan istilah terberi- pemberi dan status ini akan bertahan dan diteruskan secara turun temurun Gordon, 1975. Menelisik situasi perkawinan sebagaimana dijelaskan di atas maka perkawinan bagi suami pada masyarakat Manggarai merupakan hal yang sifatnya sakral. Dengan demikian, perkawinan dapat diibaratkan dengan pedang bermata dua; perkawinan dapat dimaknai sebagai tantangan dan peluang. Makna perkawinan seharusnya bisa diarahkan pada makna yang lebih positif. Akan tetapi, makna yang ditemukan dalam hasil penelitian ini berkonotasi negatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perkawinan menurut suami pada masyarakat Manggarai dimaknai sebagai gaya hidup bukan sebagai panggilan hidup untuk membentuk lembaga terhormat yang sering disebut keluarga. Perkawinan dengan kata lain sudah dianggap sebagai simbol yang menunjukkan kelas sosial seseorang dalam kelompok masyarakat dan ini yang menjadi bencana besar bagi kelompok masyarakat yang belum siap secara sosial,