9. Religi
Secara umum, sistem religi asli orang Manggarai adalah monoteis implisit. Dasar religinya yakni menyembah Tuhan Maha Pencipta dan Maha Kuasa Mori
Jari Dedek —Ema Pu’un Kuasa. Meskipun masih terdapat cara-cara dan tempat
persembahan lain;misalnya compang mesbah yang ditempatkan di bawah pohon-pohon besar yang dipandang angker dan suci. Dewasa ini, masyarakat
Manggarai telah mengenal kepercayaan modern. Hal ini terlihat dari kehidupan religiusnya yang diakomodasi sesuai agama yang dianutnya. Agama yang paling
banyak dianut oleh masyarakat Manggarai saat ini adalah agama Katolik Roma.
10. Sistem Organisasi Sosial atau Kemasyarakatan
Masyarakat Manggarai sejak dahulu sudah mengenal sistem pemerintahan. Fakta ini dapat ditelusuri dari kejelasan struktur kepemimpinan mulai dari raja
hingga tua kilo —kepala keluarga. Tua kilo atau pun kepala-kepala unit yang lain
pada masyarakat Manggarai didominasi oleh laki-laki yang berstatus suami. Dalam tatanan ini, deskripsi tugas warga juga dijalani secara apik dan jelas.
3. Sistem Perkawinan Adat Manggarai
Menurut adat Manggarai, ada tiga sistem perkawinan yaitu:
d. Cangkang
Perkawinan di luar suku atau perkawinan antar suku. Dalam bahasa adatnya dikatakan
laki pe’ang anak laki-laki yang kawin di luar suku atau wai pe’ang anak wanita yang kawin di luar suku. Orang yang memilih
laki pe’ang atau wai pe’ang membuka jalur hubungan baru dengan suku-suku lain. Dengan itu
keluarga besar lebih lebar jangkauan hubungan woe nelu-nya; kekerabatan. Dari PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
praktek orang tua generasi terdahulu, orang yang laki pe’ang bukan sembarang
orang. Mereka yang memilih untuk laki pe’ang berasal dari kalangan keluarga
yang mampu membayar paca dengan jumlah tertentu. Pacabukan sebatas pada persoalan uang atau hewan, tetapi terutama soal harga diri dan martabat dari
keluarga kedua belah pihak; antara keluarga besar pihak pria dan wanita.
e. Tungku
Perkawinan untuk mempertahankan hubungan woe nelu, hubungan anak rona dengan anak wina yang sudah terbentuk akibat perkawinan cangkang. Laki-laki
dan wanita yang kawin melalui jalur tungku disebut laki one; laki-laki yang menikah dalam sukunya sendiri dan wai leleng one; perempuan yang menikah
dalam sukunya sendiri. Pemuda yang laki onemembuka kemungkinan akan adanya pernikahan sekampung. Demikian pula terhadap wanita yang wai leleng
one. Berbicara tentang paca untuk orang yang laki one dan wai leleng one tergantung pada jenis jalur tungku. Menurut adat Manggarai ada beberapa jenis
tungku: 1 Tungku cu atau tungku dungka Kawin antara anak laki-laki dari ibu dengan anak perempuan dari saudara ibu
—yang kerap dipanggil Paman atau Om. 2 Tungku neteng naraperkawinan yang ada hubungan darah antara anak dari
saudara sepupu perempuan dengan anak dari saudara sepupu laki-laki, 3 Tungku anak rona musi perkawinan hubungan darah dengan keluarga kerabat
pemberi istri mertua laki-laki. Pekawinan sedarah seperti ini masih ada penerapan pacaakan tetapi paca yang ditetapkan berupa terusan dari perkawinan orang tua
mereka; sifatnya tidak terlalu menuntut. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
f. Cako
Perkawinan dalam suku sendiri. Perkawinan antara anak laki-laki dari keturunan adik dengan anak perempuan dari keturunan kakak; disebut sebagai
perkawinan cako cama tau. Perkawinan cako biasanya orang tua mulai mencobanya pada lapisan ketiga atau lapisan keempat dalam daftar silsilah
keluarga. Mengapa dikatakan mencoba? Karena menurut adat Manggarai, tidak semua perkawinan cako direstui sang pemilik semesta mori agu ngaran.
Orang Manggarai percaya bahwa Tuhan-lah yang menentukan apakah perkawinan itu direstui atau tidak. Ada bukti bahwa perkawinan cako tidak
direstui, misalnya kedua insan yang menikah itu mati pada usia muda sebelum memperoleh anak. Perkawinan cako cama salang artinya perkawinan yang
dilangsungkan dengan sesama anak wina; sesama keluarga penerima istri. Dalam konteks ini paca tidak dituntut, sesuaikan dengan kemampuan laki-laki. Berlaku
ungkapan tama beka salang agu beka wekiprinsip yang mengedepankan nilai pembentukan generasi baru.
Penjelasan-penjelasan di atas sebenarnya mau menegaskan bahwa tradisi masyarakat Manggarai berpusat pada laki-laki; terutama yang berstatus sebagai
suami. Tradisi perkawinannya masyarakat Manggarai sangat berpusat pada laki- laki si calon suami; tergambar dari pemberian paca oleh keluarga dan calon
suami. Hal ini jelas terlihat dari penggambaran sosok tertinggi dalam sub-sistem religi; wujud tertinggi digambarkan sebagai seorang laki-laki Ema mori kraeng.
Selain itu sistem organisasi kepemerintahannya juga dihuni oleh seorang suami. Begitu juga pada sub-sistem tradisi yang lainnya.
4. Ilmu Pengetahuan
Sejak dulu, orang Manggarai memiliki pengetahuan tentang alam sekitarnya, baik fauna maupun flora serta seluruh ekosistemnya. Sistem dan pola hidup
masyarakat Manggarai yang agraris mengharuskan mereka memiliki pengetahuan yang cukup tentang flora; tentang tanaman atau tumbuh-tumbuhan yang
bermanfaat bagi kehidupannya. Begitu pula pengetahuan tentang fauna dimiliki secara turun temurun karena orang Manggarai pada dasarnya senang beternak dan
berburu.
5. Bahasa
Mengutip hasil penelitian Pastor P.J. Verheijen, SVD 1991 yang dilakukan sebelum 1950 menyebutkan bahwa di Manggarai terdapat enam bahasa, yaitu
bahasa Komodo di pulau Komodo, bahasa Waerana di Manggarai Tenggara, bahasa Rembong di Rembong yang wilayahnya meluas ke Ngada Utara, bahasa
Kempo di wilayah Kempo, bahasa Rajong di wilayah Rajong dan bahasa Manggarai Kuku yang termasuk atas lima kelompok dialeg, termasuk bahasa
Manggarai Timur Jauh. Pengelompokkan bahasa tersebut sekaligus mengisyaratkan secara umum
kelompok budaya di Manggarai yang erat kaitannya dengan corak kesatuan hubungan darah genealogis, sebab kesatuan genealogis yang lebih besar di
Manggarai adalah Wa’u klen patrilineal dan perkawinan pun ikut dan tinggal di
kampung asal suami patrilokal. Dalam kesatuan genealogis inilah bahasa terpelihara baik secara turun temurun.
6. Kesenian