Pembahasan HASIL DAN PEMBAHASAN
bahwa perkawinan bagi masyarakat Manggarai tidak hanya sekedar sebagai peubah status sosial
—sebagai proses yang menunjukkan seseorang sudah mampu melewati usia dewasa awal menuju usia dewasa lanjut
—kedua mempelai saja tetapi lebih kepada penentuan peran dan kedudukan keluarga besar kedua
mempelai. Perkawinan bagi masyarakat Manggarai selalu dikaitkan dengan hubungan woenelu
—yang berarti hubungan kekeluargaan akibat dari perkawinan. Melalui perkawinan, keluarga mempelai laki-laki akan disebut sebagai
keluarga anak wina wife-receiver, sedangkan untuk pihak mempelai perempuan disebut anak rona wife-giver atau lebih lazim didengar dengan istilah terberi-
pemberi dan status ini akan bertahan dan diteruskan secara turun temurun Gordon, 1975.
Menelisik situasi perkawinan sebagaimana dijelaskan di atas maka perkawinan bagi suami pada masyarakat Manggarai merupakan hal yang sifatnya
sakral. Dengan demikian, perkawinan dapat diibaratkan dengan pedang bermata dua; perkawinan dapat dimaknai sebagai tantangan dan peluang. Makna
perkawinan seharusnya bisa diarahkan pada makna yang lebih positif. Akan tetapi, makna yang ditemukan dalam hasil penelitian ini berkonotasi negatif. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa perkawinan menurut suami pada masyarakat Manggarai dimaknai sebagai gaya hidup bukan sebagai panggilan hidup untuk
membentuk lembaga terhormat yang sering disebut keluarga. Perkawinan dengan kata lain sudah dianggap sebagai simbol yang
menunjukkan kelas sosial seseorang dalam kelompok masyarakat dan ini yang menjadi bencana besar bagi kelompok masyarakat yang belum siap secara sosial,
ekonomi, dan budaya. Simbol yang dimaksud peneliti di sini menjurus pada satu tahap perkawinan masyarakat Manggarai yaitu paca seserahan.
Jelas dalam pengakuan semua informan tentang hal ini semisal informan F, 381-391:
“Status sosial di Manggarai sangat berpengaruh dalam artian kita bisa melihat siapa si wanita apa title-nya saat ini dia
senyum dan kita bisa menentukan atau orang sudah bisa mencapai target kalau statusnya si perempuan begini maka sekitar beginilah
biayanya. Dan itu biasanya dua puluh juta dua puluh lima juta atau bahkan jauh lebih tinggi dari angka yang saya sebutkan. Apalagi
kalau misalnya si wanita lebih tinggi lagi dia punya ini kan status
sosialnya pasti lebih mahal lagi biayanya.” J, 140-143, “pengaruh di Manggarai kental sekali dengan belis, terlebih dengan orang
yang memiliki apa namanya e status sosial yang begitu tinggi.” L, 311-
318 juga mengungkapkan demikian: “artinya perkawinan di Manggarai sudah terlampau jauh dari yang sebenarnya. Karena
dalam artian sebenarnya belis kalau diterjemahkan dalam bahasa manggarai yaitu pat kaba ca jarang yang berarti hanya dengan
empat ekor kerbau dan satu ekor kuda saja sudah. Bukan uang yang berpuluh-
puluh juta.” Selain informan dalam penelitian ini yang merasakan hal tersebut, pada
penelitian sebelumnya di Manggarai: Patut2013, Pahun 2012, dan Jilung2013 mengungkapkan hal yang sama yakni belis sudah mengalami pergeseran makna
dari kearifan lokal menuju kalkulasi matematis dari hewan dan tanah warisan menjadi transaksi jual-beli. Belis untuk perempuan Manggarai saat ini berkisar
antara 50-500 juta rupiah tergantung graduasi pendidikan perempuan yang akan diperistri mempelai laki-laki. Kalkulasi-kalkulasi seperti ini yang dimaksud
dengan perhitungan matematis, lebih mengedepankan angka uang ketimbang hakikat dasar belis yaitu sebagai simbol pengikatan keluarga besar kedua
mempelai. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Tentu angka ini dinilai sangat fantastis mengingat pertumbuhan ekonomi masyarakat Manggarai berada di bawah garis kemiskinan. Hal ini tidak sejalan
dengan kondisi riil ekonomi masyarakat manggarai itu sendiri. Data kepala keluarga miskin di Manggarai dalam Marut, 2008 menunjukkan kepala keluarga
miskin sebesar 67 dari total keseluruhan kepala keluarga yang ada di Manggarai.
Pada kelompok masyarakat lain di NTT juga seakan melanggengkan budaya belis yang sudah menyetubuhi harkat dan martabatnya sendiri. Tatengkeng 2009
dalam karyanya mengungkapkan bahwa dalam masyarakat suku Dawan di NTT pada mulanya belis memiliki makna yang lebih positif akan tetapi belis yang
sangat tinggi mampu membawa efek yang negatif. Efek negatif yang paling dirasakan oleh masyarakat Dawan terdapat pada dinamika psikologi perempuan
Dawan. Perempuan Dawan yang sudah menikah merasa tidak bahagia dengan perkawinannya, depresi, dan mereka cenderung cepat marah. Dinamika psikologis
seperti ini disebabkan oleh perbedaan antara ekspektasi mereka atas belis yang tinggi berbeda dengan kenyataan yang mereka alami.
Penelitian Banfatin 2012 melaporkan bahwa dalam perkawinan adat masyarakat etnis Sikka di Kota Kupang menempatkan mas kawin belis sebagai
hal yang penting karena memiliki makna sebagai simbol penghargaan dan pengakuan kepada harkat dan martabat seorang perempuan. Akan tetapi dalam
kenyataan sekarang praktik pembayaran belis sudah tidak dilakukan sebagaimana mestinya sehingga menimbulkan pemahaman baru yang negatif dalam masyarakat
yaitu menyalahkan adat istiadat. Faktor-faktor dominan yang mempengaruhi PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
pergeseran makna belis dalam masyarakat suku Sikka adalah simbol prestise, nilai ekonomi dari benda-benda belis.
Penelitan Lembaga Penelitan SMERU, dari bulan Oktober hingga Desember 2006, belis menjadi beban dan salah satu tantangan pembangunan di
Nusa Tengara Timur NTT. Tingginya nilai belis ditengarai menjadi salah satu faktor yang menggangu kesejahteraan masyarakat NTT karena keluarga mempelai
laki-laki cenderung berusaha mempertahankan gengsi dan martabat sehingga tidak jarang belis yang diminta akan diserahkan sesuai ketentuan yang disepakati.
Beberapa penelitian di atas mengungkapkan bahwa dinamika perkawinan masyarakat NTT sangatlah jamak. Terlepas dari hasil penelitian-penelitian di atas
penelitian ini juga mendapatkan dinamika baru dalam perkawinan bagi suami pada masyarakat Manggarai. Perkawinan di Manggarai dijadikan ajang unjuk
kelas sosial. Bpk F 31, 381-391; Bpk J 35 140-143; dan Bpk L 25 311-318, mengungkapkan bahwa title tingkat pendidikan perempuan akan menentukan
besaran paca. Selain itu munculnya budaya pesta dalam kehidupan masyarakat Manggarai turut mendorong permintaan paca begitu tinggi. Bpk F 31 64-72
mengungkapkan, “Itukan lebih mementingkan aspek kemeriahan. Tapi dibalik
itu sebenarnya dalam hati terdalam orang mungkin akan merasa terbebani dengan bahwa kendati pun pesta telah usai pernikahan
sudah dilaksanakan tapi orang terbebani dengan beban dari segi material lah dari segala tanggung jawab yang lain itu bisa jadi
sebuah beban menganggukkan kepalanya beberapa kali
.” Bpk L 25 329-
332 juga mengungkapkan, “. Nah, sekarang yang bikin paca itu pemintaannya sangat besar karena adanya keinginan bikin-bikin pesta
ikut gaya orang kaya e. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Baudrillard menyebut fenomena paca dengan jumlah nominal yang sangat fantastis bergerak dari 20 juta hingga 200 juta untuk dihambur-hamburkan
seperti ungkapan informan seperti di atas disebut sebagai budaya konsumtif. Manusia tidak memaknai objek berdasarkan kegunaan tetapi berdasarkan
prestisius. Fenomena paca pada saat ini tidak sesuai dengan fungsi paca pada dasarnya sebagai pengikat hubungan kekerabatan. Kelahiran budaya konsumtif
seperti ini akibat dari konstruksi budaya lokal yang tercemar dengan ideologi kapitalisme. Budaya kapitalisme dengan brutal menyetubuhi martabat budaya
lokal yang terkenal mengedepankan kehidupan sosial Ule, 2011. Makna perkawinan sebagai simbol kelas sosial menurut suami pada
masyarakat Manggarai merujuk pada budaya paca. Paca dianggap sebagai simbol penunjuk kelas sosial dan sebenarnya hal ini sudah ada sejak nenek moyang orang
Manggarai mengenal sistem perekonomian modern dan strata sosial. Hal ini bisa ditelusuri melalui jenis perkawinan yang dianut masyarakat Manggarai seperti
yang sudah dijelaskan pada bab satu bahwa perkawinan masyarakat Manggarai terdiri atas perkawinan cangkang, tungku, dan cako di mana perkawinan cangkang
dianggap perkawinan kaum berada keturunan raja karena perkawinan ini sifatnya menikah dengan suku lain yang tidak memiliki hubungan darah sehingga
paca-nya besar dan saat itu kaum ber-ada-lah yang memiliki kemampuan untuk membayar paca dengan jumlah yang fantastis Toda, 1999 sehingga praktis
perkawinan cangkang adalah perkawinan orang kaya. Akselerasi informasi pengetahuan dan teknologi turut mengambil peran
penting dalam mempengaruhi orang Manggarai untuk mempertimbangkan praktik PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
perkawinan cako dan tungku. Berdasarkan pada ajaran Gereja katolik dan berdasarkan studi biologi perkawinan cako dan tungku diharamkan sehingga
praktis perkawinan di Manggarai rata-rata perkawinan cangkang. Ketika perkawinan cangkang lazim dipraktikan dengan bertujuan untuk menghindari
kelainan biologis dan tidak sejalan dengan perubahan makna dari jenis perkawinan ini justru menjadi “senjata makan tuan” bagi masyarakat Manggarai
itu sendiri saat ini. Paca pada dasarnya diberikan oleh pihak laki-laki sebagai anak wina wife
receiver kepada anak rona wife-giver. Alasan laki-laki membayar paca karena setelah prosesi perkawinan dilakukan akan diadakan upacara podo mengantar
pengantin perempuan pada keluarga pengantin laki-laki yang berarti keberadaan perempuan sudah sah menjadi bagian dari keluarga laki-laki. Hal ini wajar karena
masyarakat adat Manggarai bercorak patriarkal Nggoro, 2006. Keberadaan paca dalam budaya patriarkal sangat sensistif terutama menyangkut isu gender. Paca
dalam budaya orang Manggarai seakan-akan menelanjangi martabat perempuan. Isu gender ini mempengaruhi tatanan kehidupan sosial terutama status sosial
seseorang. Status sosial sebagai suami juga sering terjebak dalam isu gender yang berlaku dalam rumah. Praktik pelegalan atas pelucutan terhadap harga di
perempuan belum disadari secara utuh bahwa terlahir dari kaum minoritas perempuan juga.
Perlu disadari bahwa paca tidak bisa disalahkan sepenuhnya pada pihak anak wina kelompok pengantin laki-laki tetapi juga dari pihak yang anak rona
kelompok pengantin perempuan karena dalam proses memberi-menerima untuk PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
paca itu sendiri melalui tahap perembukan untuk menentukan angka yang ditetapkan. Sikap arogan dari kedua belah pihak akan menentukan paca yang
disepakati bernilai fantastis dan tidak manusiawi lagi. Jika kedua belah pihak masing-masing menyadari paca dalam konteks perkawinan masyarakat
Manggarai bertujuan untuk membangung hubungan kekerabatan maka akan terjadi sikap saling menghormati dan adanya sikap rendah hati.