Paradigma dan Pendekatan Penelitian
berupa ucapan atau catatan tentang perilaku orang-orang yang diamati. Poerwandari 1998 juga mengungkapkan penelitian kualitatif adalah penelitian
untuk menghasilkan dan mengolah data yang sifatnya deskriptif; seperti transkripsi wawancara, catatan lapangan, gambar, foto rekaman video dan lain-
lain. Pandangan beberapa tokoh terkemuka dapat dirangkum dengan pernyatan
ini; penelitian kualitatif dinilai sebagai deskripsi tentang segala sesuatu pada informan yang tengah diteliti. Dalam penelitian kualitatif perlu menekankan
pentingnya kedekatan dengan orang-orang dan situasi penelitian. Hal ini penting agar peneliti memperoleh pemahaman jelas tentang realitas dan kondisi kehidupan
nyataPatton dalam Poerwandari, 1998. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan pendekatan fenomenologi.
Penelitian fenomenologi berusaha menjelaskan makna konsep atau pengalaman yang didasari oleh kesadaran yang terjadi pada individu. Penelitian ini dilakukan
dalam situasi yang alami, sehingga tidak ada batasan dalam memaknai atau memahami fenomena yang dikaji.
Sebelum lebih jauh mengulas pokok fenomenologi, peneliti berusaha menjelaskan terlebih dahulu dasar lahirnya fenomenologi yang menjadi landasan
utama penelitian ini. Menurut Creswell 1998, pendekatan fenomenologi menunda semua penilaian tentang sikap yang alami sampai ditemukan dasar
tertentu. Penundaan ini biasa disebut epoche jangka waktu. Konsep epoche mengidentifikasikan pokok pembeda wilayah data informan dengan interpretasi
peneliti. Konsep epoche memiliki posisi yang menentukan, sebab peneliti PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
menyusun dan mengelompokkan dugaan awal tentang fenomena guna memahami fakta yang disampaikan informan.
Smith 2007 berusaha menemukan konsep fenomenologi ala Husserl. Husserl mendefinisikan fenomenologi sebagai upaya memahami kesadaran
intensionalitas dari sudut pandang subyektif orang pertama. Fenomenologi secara literal adalah studi tentang fenomena, mengenai perihal yang tampak pada
pengalaman subyektif; bagaimana manusia mengalami segala sesuatu disekitarnya.
Posisi “makna” dalam fenomenologi dinilai konsep yang sangat penting.
Smith, pada penelitiannya tentang Husserl, mengungkapkan bahwa makna merupakan isi penting dari pengalaman sadar manusia. Pengalaman setiap
individu bisa sama namun makna dari pengalaman tersebut bisa berbeda-beda. Makna, di sini, berperan sebagai pokok pembeda pengalaman dari satu individu
dengan individu lain. Tindakan memaknai kesadaran manusia menyentuh suatu struktur teratur dari segala sesuatu yang ada disekitarnya. Walaupun demikian
menurut Husserl, makna bukanlah obyek kajian ilmu-ilmu empiris. Makna adalah obyek kajian logika murni pure logic atau semantik. Maka dalam arti ini
fenomenologi adalah suatu sintesis antara psikologi, filsafat, dan semantik; atau logika murni Smith, 2007.
Usaha Husserl menjadikan fenomenologi sebagai sintesis dari psikologi, filsafat, dan semantik berakar pada pembagian Brentano pada psikologi yaitu
psikologi deskriptif dan psikologi genetis. Psikolgi deskriptif berusaha memahami dinamika kehidupan mental manusia. Sementara psikologi genetis
ingin memahami dinamika mental manusia dengan kaca mata ilmu-ilmu genetika yang sifatnya biologistik.
Dalam pandangan Husserl, fenomenologi menjadi suatu displin yang memiliki status otonom. Ia pun merumuskannya secara lugas, yakni sebagai ilmu
tentang esensi kesadaran; kesadaran manusia tidak pernah berdiri sendiri. Kesadaran selalu merupakan kesadaran atas sesuatu. Inilah yang disebut dengan
intensionalitas, suatu konsep yang sangat sentral di dalam fenomenologi Husserl. Dari argumentasi di atas, pokok yang ingin ditegaskan Husserl terletak pada apa
yang ditampakkan individu sebagai makna dari yang dialaminya Smith, 2007. Fenomenologi Husserl hendak menganalisis dunia kehidupan manusia
sebagaimana ia mengalaminya secara subyektif maupun intersubyektif dengan manusia lainnya. Sebenarnya ia membedakan antara apa yang subyektif,
intersubyektif, dan yang obyektif. Hal-hal yang termasuk dalam kategori subyektif adalah pengalaman pribadi kita sebagai manusia yang menjalani kehidupan.
Obyektif adalah dunia di sekitar kita yang sifatnya permanen di dalam ruang dan waktu. Dan intersubyektitas adalah pandangan semua orang yang terlibat di dalam
aktivitas sosial di dalam dunia kehidupan. Interaksi antara dunia subyektif, dunia obyektif, dan dunia intersubyektif inilah yang menjadi kajian fenomenologi.
Fenomenologi membuka kesadaran baru di dalam metode penelitian filsafat dan ilmu-ilmu sosial. Kesadaran bahwa manusia selalu terarah pada dunia, dan
keterarahan ini melibatkan suatu horison makna yang disebut sebagai dunia kehidupan. Di dalam konteks itulah pemahaman tentang manusia dan kesadaran
dapat ditemukan Smith, 2007. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Menjelaskan fenomenologi,
Heidegger berangkat
dari definisi
fenomenologi yang diprakarsainya sendiri. Fenomenologi menurut Heidegger adalah gabungan kata phainomenon dan logos. Phainomenon bahasa Yunani
diambil dari kata kerj a ”menampakkan dirinya“, manifestasi. Manifestasi di sini
berarti dapat terlihat atau dapat tampak dalam dirinya sendiri, sehingga pengertian phenomenon secara lengkap adalah yang menampakkan diri pada dirinya sendiri
that which shows itself in itself. Sementara logos berarti apa yang sedang dibicarakan dalam wacana seseorang dari penampakkan tersebut. Dalam wacana,
logos mengambil pengertian sebagai membiarkan sesuatu tampak. Ketika sebuah wacana dimunculkan, wacana itu sendiri menampakkan apa yang sedang
dibicarakan. Dengan demikian, pengertian fenomenologi adalah membiarkan yang menampakkan dirinya tertampak dari dirinya dengan cara menampakkan dirinya
dari dirinya sendiri Riyanto, 2001. Penampakkan yang dimaksud Heidegger dibagi atas dua bagian yaitu
kemiripan dan penampilan. Kemiripan yaitu satu fenomena tampak mirip dengan sesuatu. Sedangkan penampilan adalah sesuatu yang tampak dalam bentuk yang
lain. Dengan demikian menurut Heidegger jenis penampakkan penampilan dipahami sebagai penampakan Ada; dimana Ada tidak menampakkan diri
seluruhnya, karena dalam penampakannya Ada sekaligus menyembunyikan diri. Ada yang menyembunyikan diri hanya bisa didekati dengan membiarkan dia
menampakkan dirinya pada dirinya sendiri. Pemahaman ini yang menjadi cikal bakal Heidegger menikung dari pemikiran Husserl. Dengan demikian disimpulkan
bahwa membiarkan Ada menampakkan diri pada dirinya sendiri Riyanto, 2001. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
“Ada” menampakkan diri mengandung pengertian bahwa kita tidak bisa memaksakan berbagai penafsiran melaink
an membuka diri agar “Ada” terlihat. Salah satu cara untuk mengungkapkan keberadaan suatu “ada” melalui Dasein.
Heidegger menerjemahkan Dasein sebagai yang ada di sana. Dasein dalam hal ini secara harafiah adalah manusia. Heidegger tidak menggunakan kata manusia
karena dalam sejarah filsafat manusia mengacu pada definisinya sebagai benda. Relasi antara Dasein dengan Ada inilah yang disebut eksistensi. Dasein
mengalami, namun Dasein tidak hanya berelasi dengan Ada tetapi berelasi juga dengan Dasein lain. Relasi Dasein seperti inilah yang akan mempertemukan
Dasein dengan segala sesuatu yang siap dipakai; peralatan dan apa yang terberi begitu saja. Keberadaan Dasein di dunia bukanlah sesuatu yang dipilihnya
melainkan sudah ditentukan baginya. Dasein terlempar begitu saja di dalam dunia, tanpa tahu darimana dan mau kemana. Keterlemparan inilah yang disebut
Heidegger sebagai faktisitas. Dasein terlempar di dalam dunia. Dalam kondisi berada di dunia, Dasein dimungkinkan untuk bersentuhan dengan Ada.
Persentuhan dengan Ada terjadi pada saat dia dihadapkan pada kecemasan angst dan kesadaran akan kemungkinan kematian. Angst tidak dapat didefinisikan dan
tidak mempunyai objek yang dicemaskan. Angst bertolak pada pengalaman Dasein sebagai ada-di-dalam-dunia. Dengan kata lain, kecemasan Dasein, adalah
tentang adanya-di-dalam dunia itu sendiri. Keadaan terlempar begitu saja tanpa mengetahui darimana dan mau kemana Riyanto, 2001.
Konsep keterlemparan Heidegger ini kerap menjelaskan tentang peristiwa kelahiran dan kematian. Manusia Dasein tidak pernah memilih untuk dilahirkan
dari siapa, di mana, dan kapan. Kelahiran manusia dilihat sebagai sesuatu yang terberi; manusia berada di dunia dimaknai sebagai sebuah peristiwa
“keterlemparan”. Kemudian, kematian adalah batas yang juga bersifat terberi untuk memberi makna pada kehidupan manusia. Dapat dibayangkan seandainya
kehidupan manusia bersifat abadi tanpa kematian, betapa gamangnya hidup tersebut. Kematian dianugerahkan agar manusia menemukan makna atas
kehidupannya Riyanto, 2001.
Ditegaskan lagi membicarakan yang terberi begitu saja berarti dihadapkan pada persoalan eksitensi; Dasein yang terlempar tanpa tahu dari dan akan ke
mana. Heidegger menjabarkan persoalan ini pada konsep waktu yang dia tawarkan; karena waktu menampakkan diri dalam kesadaran begitu saja. Tapi
perlu disadari bahwa menangkap fenomena yang sangat subtle seperti waktu tidak semudah melukiskan objek yang jelas-jelas kelihatan secara fisikalnya. Maka,
Heidegger memerlukan sarana-sarana baru, di mana waktu itu dihayati oleh manusia. Maksud Heidegger untuk menjelaskan hal tersebut dapat digambarkan
dengan ungkapan waktu merupakan yang dihayati dalam berbagai kegiatan manusiaRiyanto, 2001.
Menurut konsep Heidegger, hal paling utama adalah kegiatan itu sendiri, yaitu sibuk, atau kesibukan manusia itu sibuk. Menurut Heidegger, kesibukan
itu sebenarnya adalah fenomena waktu. Ketika kita sibuk, itu maknanya kita sedang terlibat dan berjibaku dengan waktu. Begitu juga ketika informan gelisah,
atau cemas, atau merasa sepi, atau merasa bosan dan mengerti masa lalu, itu juga PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
adalah fenomen waktu yaitu bagaimana waktu menampakkan diri dalam kesadaran manusia Magee, 2001.
Perbedaan mendasar antara pandangan Husserl dengan Heidegger yaitu terletak
pada pemahaman
tentang intentionalitas
intentionality. Husserlmemahami intentionalitas secara epistemologi sedangkan Heidegger
memahami intentionalitas secara ontologi. Bagi Husserl, intentionalitas itu menyangkut
persoalan pengetahuan;
bagaimana intensionalitas
itu dipertanggungjawabkan dan dipertahankan sebagai ilmu pengetahuan. Manakala,
intenisonalitas bagi Heidegger dipahami sebagai persoalan ontologis. Menyangkut persoalan ada-nya realitas tersebut.