Pada pemeriksaan darah mungkin ditemukan eosinofilia atau hiperesinofilia meskipun pada banyak kasus jumlah sel eosinofil normal.
c. Diagnosis
Diagnosis klinis tidak pasti karena strongiloidiasis tidak memberikan gejala klinis yang nyata. Diagnosis pasti ialah menemukan larva rabditiform dalam tinja
segar, dalam biakan atau dalam aspirasi duodemum. Biakan tinja selama sekurang kurangnya 2 x 24 jam menghasilkan larva filariform dan cacing dewasa Strongyloides
stercoralis yang hidup bebas.
d. Pengobatan
Dahulu tiabendazol merupakan obat pilihan dengan dosis 25 mg per kg berat badan, satu atau dua kali sehari selama 2 atau 3 hari. Sekarang albendazol 400 mg
satudua kali sehari selama tiga hari merupakan obat pilihan. Mabendazol 100 mg tiga kali sehari selama dua atau empat minggu dapat memberikan hasil yang baik.
Mengobati orang yang mengandung parasit, meskipun kadang-kadang tanpa gejala adalah penting mengingat dapat terjadi autoinfeksi. Perhatian khusus ditujukan
kepada pembersihan sekitar daerah anus dan mencegah terjadinya konstipasi.
e. Prognosis
Pada infeksi berat strongilodiasis dapat menyebabkan kematian.
f. Epidemiologi
Daerah yang panas, kelembaban tinggi dan sanitasi yang kurang, sangat menguntungkan cacing strongyloides sehingga terjadi daur hidup yang tidak
langsung.
Universitas Sumatera Utara
Tanah yang baik untuk pertumbuhan larva ialah tanah gembur, berpasir dan humus. Frekuensi di Jakarta pada tahun 1956 sekitar 10-15, sekarang jarang
ditemukan. Pencegahan strongiloidiasis terutama tergantung pada sanitasi pembuangan tinja dan melindungi kulit dari tanah yang terkontaminasi, misalnya
dengan memakai alas kaki. Penerangan kepada masyarakat mengenai cara penularan dan cara pembuatan
serta pemakaian jamban juga penting untuk pencegahan penyakit strongilodiasis Gandahusada, dkk, 2006.
2.3. Pengertian Petani
Jumlah penduduk penduduk Indonesia 215,3 juta orang. Angkatan kerja hingga Februari 2005 tercatat 105,8 juta orang. Dari dari jumlah penduduk dan
angkatan kerja yang sebagian besar berada di Pulau Jawa, terdapat pula sejumlah penganggur yang tersebar di seluruh wilayah, dengan konsentrasi juga di Pulau Jawa
Badan Statistik, 2005. Petani, merupakan kelompok kerja terbesar di Indonesia. Meski ada
kecenderungan jumlah yang semakin menurun, angkatan kerja yang bekerja pada sektor pertanian, masih berjumlah 42 juta orang, atau di sekitar 40 dari angkatan
kerja. Para petani merupakan angkatan kerja, bekerja dalam sebuah wilayah terbuka, terpajan sinar ultraviolet dari matahari, terpajan bahan kimia beracun pestisida, serta
banyak faktor kesehatan risiko lain, termasuk penyakit menular. Faktor risiko kesehatan petani sangat kompleks dan saling terkait, sehingga menyulitkan
penyusunan programnya. Namun demikian, bukan berarti masalah tersebut diabaikan.
Universitas Sumatera Utara
Banyak wilayah kabupaten di Indonesia yang mengandalkan pertanian, termasuk perkebunan sebagai sumber penghasilan utaman daerah PAD.
Di dalam sektor pertanian termasuk diantaranya subsektor tanaman pangan, hortikultura, dan perkebunan. Dengan demikian, angkatan kerja yang termasuk petani
adalah mereka yang bekerja pada pertanian tanaman pangan seperti padi, jagung, sagu, pemetik teh, pemetik kelapa, petani gula, kelapa, kopra, perkebunan lada,
karet, tanaman hortikultura sayur mayur, dan lain lain. Berdasarkan catanan yang ada, petani tanaman pangan masih merupakan
jumlah terbesar. Oleh sebab itu, sudah selayaknya kesehatan petani, baik kesehatan sebagai modal awal untuk bekerja, maupun risiko bekerja, harus dikelola dengan baik
dan professional.
2.3.1. Penerapan Teknologi Sebagai Faktor Risiko Kesehatan Pertanian
Tanaman Pangan
Persoalan utama higiene perusahaan dan kesehatan kerja di bidang pertanian, perkebunan dan kehutanan adalah lokasi dan beroperasinya perusahaan yang biasanya
berada di daerah rural pedesaan, sehingga higiene dan kesehatan pedesaan langsung mempengaruhi keadaan higiene dan kesehatan masyarakat petani dan pekebun serta
masyarakat kehutanan. Selain itu tenaga kerja menghadapi risiko aneka penyakit yang disebabkan oleh pekerjaan dan lingkungan kerja serta perlunya penyesuaian terhadap
perkembangan cara kerja dan proses produksi dengan menggunakan teknologi baru Suma’mur,2009.
Dalam perspektif kesehatan, penerapan teknologi adalah health risk. Baik teknologi yang bersifat software maupun hardware. Oleh sebab itu, ketika terjadi
Universitas Sumatera Utara
perubahan ataupun pemilihan sebuah teknologi, secara implisit akan terjadi perubahan ataupun pemilihan sebuah teknologi, secara implisit akan terjadi
perubahan faktor risiko kesehatan. Teknologi mencangkul kini digantikan traktor, akan mengubah faktor risiko kesehatan yang dihadapi petani.
Menurut Achmadi, masyarakat petani tanaman pangan dapat didentifikasi menjadi tiga kelompok :
a. Kontak tani, dikenal sebagai petani yang berpengetahuan luas, mudah
mengadopsi teknologi baru, memiliki jiwa kepemimpinan. b.
Tani maju, petani yang berpengetahuan luas dan mudah menerima pengetahuan baru.
c. Tani naluri, yang hanya mengikuti petani a dan b.
Ketiga jenis petani diarahkan untuk berkelompok dan bekerja sama dalam dalam kelompok kelompok tani, yang secara hamparan lahan pertanian menjadi lebih
luas dan tentu saja lebih efektif serta produktif.
2.3.2. Kualitas Kesehatan Petani Indonesia
Untuk mendukung perekonomian wilayah kabupaten, sekaligus perekonomian nasional maka sudah selayaknya kualitas petani khususnya aspek pendidikan dan
kesehatannya dikelola dengan baik. Kesehatan merupakan salah satu dari 3 tiga unsur pokok penentu Indeks Perkembangan Manusia Human Development Index
bersama dengan status sosial ekonomi dan pendidikan. Kualitas petani, langsung maupun tidak, berhubungan dengan tingkat Indeks Perkembangan Manusia IPM ini.
Untuk menghadapi persaingan nasional maupun global indeks Perkembangan
Universitas Sumatera Utara
Manusia IPM dapat digunakan sebagai indikator kesiapan wilayah kabupaten dan kota.
Dalam Indeks Perkembangan Manusia IPM kesehatan petani harus dilihat dalam dua aspek perspektif. Yakni, kesehatan sebagai modal kerja, dan aspek
penyakit kaitannya dengan pekerjaan, khususnya faktor risiko akibat penggunaan teknologi baru dan agrokimia.
Bekerja sebagai petani memerlukan modal awal. Selain stamina, kondisi fisik harus mendukung pekerjaan tersebut. Seorang petani jangan sampai sakit sakitan.
Kemudian tingkat pendidikan dan kesehatan petani diperlukan untuk mendukung produktivitas.
Salah satu masalah yang mengganggu perkembangan kualitas kesehatan petani adalah sanitasi dasar. Sanitasi dasar meliputi penyediaan air bersih, jamban
keluarga, serta sarana rumah sehat yang memadai. Aksesibilitas petani dan masyarakat miskin terhadap air bersih dan sangat rendah. Demikian pula terhadap
jamban. Banyak keluarga penduduk pedesaan tidak memiliki jamban keluarga. Dari data Riskesdas yang ada menunjukkan bahwa rata-rata nasional, penduduk yang
akses terhadap sarana air bersih pada tahun 2002, hanya 72,3. Sedangkan yang memiliki jamban keluarga hanya 63,85. Secara proporsional aksesibilitas terhadap
air bersih penduduk perkotaan lebih baik ketimbang penduduk pedesaan Ditjen PPML 2003 dalam Achmadi, 2012.
Sanitasi dasar merupakan salah satu faktor risiko utama timbulnya penyakit- penyakit infeksi baik yang akut seperti kolera, hepatitis A, maupun kronik seperti
disentri, infeksi cacing, bakteri Coli, maupun penyakit infeksi kronik lainnya. Setiap
Universitas Sumatera Utara
petani akan mengalami kesakitan morbiditas. Apabila seseorang menderita diare kronik jelas akan mengganggu produktivitas bekerja. Demikian pula batuk pilek
kronik, akibat ventilasi atau kondisi perumahan yang buruk. Penderita gizi buruk dan kecacingan tidak bisa bekerja dengan baik. Penyakit
kronik yang berkaitan dengan sanitasi dasar yang buruk, merupakan contributor terhadap tingginya absentiisme di kalangan petani dan lebih lanjut penurunan
produktivitas.
2.3.3. Penyakit yang Berhubungan dengan Pekerjaan Petani
Berbeda dengan konsep penyakit endemik yang mengganggu Indeks Perkembangan Manusia IPM, apabila seorang petani sedang bekerja, maka mereka
akan terkena risiko untuk mendapatkan penyakit akibat pekerjaannya. Dengan kata lain, pekerjaan pertanian sebagai faktor risiko penyakit petani yang dihubungkan
dengan pekerjaannya. Kalau Indeks Perkembangan Manusia IPM tenaga kerja adalah gambaran awal kondisi kualitas sebagai bahan input atau modal awal, penyakit
yang berhubungan dengan pekerjaan akan memperburuk kondisi awal tersebut.
2.3.3.1. Kualitas Kesehatan Petani
Secara teoritis apabila seseorang bekerja, ada tiga variable pokok yang saling berinteraksi, yakni kualitas tenaga kerja, jenis atau beban pekerjaannya, dan
lingkungan pekerjaannya. Akibat hubungan interaktif berbagai faktor risiko kesehatan tersebut, apabila tidak memenuhi persyaratan memenuhi persyaratan dapat
menimbulkan gangguan kesehatan yang berhubungan dengan pekerjaan dapat bersifat akut dan mendadak, kita kenal sebagai kecelakaan, dapat pula bersifat menahun.
Berbagai gangguan kesehatan yang berhubugan dengan pekerjaan misalnya, ketulian
Universitas Sumatera Utara
pada pekerja yang mengalami kebisingan. Para petani yang menderita keracunan insektisida tingkat sedang hingga tinggi.
Penyakit yang berhubungan dengan pekerjaan juga diderita oleh petani, seperti sakit pinggang karena alat cangkul yang tidak ergonomis, gangguan kulit
karena sinar ultraviolet ataupun agrokimia. Penggunaan agrokimia merupakan faktor risiko penyakit yang paling sering dibicarakan. Kondisi kesehatan awal tenaga kerja
akan memperburuk penyakit-penyakit yang berhubungan dengan pekerjaannya. Penderita anemia akan kekurangan gizi disebabkan kecacingan disawah atau
perkebunan ataupun kurang pasokan makanan, kemudian dapat diperburuk karena keracunan organofosfat.
Beberapa penyakit yang berhubungan dengan pekerjaan, ternasuk penyakit infeksi yang diakibatkan bakteri, virus maupun parasit. Penyakit malaria, cacing
tambang dan leptospirosis misalnya, selain dapat dianggap sebagai penyakit yang merupakan bagian dari kapasitas kerja atau modal awal untuk bekerja, juga dapat
dianggap sebagai penyakit yang berhubungan dengan pekerjaan.
2.3.4. Faktor Risiko Kesehatan Kerja Petani
Seorang petani yang memiliki derajat sosial ekonomi rendah akan bertempat tinggal pada pemukiman kumuh tanpat sanitasi yang memadai. Kapasitas kerja gizi
rendah, diare karena kurang air bersih, akibatnya akan mudah mengalami sakit sakitan.
Petani Indonesia pada umumnya tidak memerlukan transportasi untuk menuju tempat pekerjaannya. Namun, bagi petani perkebunan atau tenaga kerja perkotaan
yang memerlukan waktu lama menuju tempat kerjanya, maka kualitas dan kapasitas
Universitas Sumatera Utara
kerjanya akan berkurang. Terlebih lagi bagi tenaga kerja yang menggunakan sepeda motor yang harus exposed terhadap pencemaran udara dan kebisingan jalan raya,
tentu akan menimbulkan beban yang lebih berat. Mengacu kepada teori kesehatan lingkungan dan kesehatan kerja, maka risiko
kesehatan petani yang ditemui di lapangan pekerjaannya sebagai berikut: 1.
Mikro organisme : faktor risiko yang memberikan kontribusi terhadap kejadian penyakit infeksi, parasit, kecacingan maupun malaria. Penyakit
kecacingan dan malaria selain merupakan ancaman kesehatan sebagai modal awal juga merupakan faktor risiko pekerjaan petani karet,
perkebunan lada, dan lain lain. Berbagai faktor risiko yang menyertai leptospirosis, gigitan serangga, dan binatang berbisa.
2. Faktor lingkungan kerja fisik: sinar ultraviolet, suhu panas, suhu dingin,
cuaca, hujan, angin dan lain lain. 3.
Ergonomi: yakni kesesuaian alat dengan kondisi fisik petani seperti cangkul, traktor, dan alat alat pertanian lainnya.
4. Bahan kimia toksik: agrokimia, seperti pupuk, herbisida, akarisida dan
pestisida Achmadi, 2012.
Universitas Sumatera Utara
2.4. Faktor-Faktor Penyebab Kecacingan
2.4.1. Higiene Perorangan
Higiene perorangan kebersihan perorangan adalah cara perawatan diri manusia untuk memelihara kesehatan mereka. Kebersihan perorangan sangat penting
untuk diperhatikan. Pemeliharaan kebersihan perorangan diperlukan untuk kenyamanan individu, keamanan dan kesehatan Potter,2005.
Kebersihan diri meliputi:
a. Kebersihan kulit
Kebersihan kulit merupakan cerminan kesehatan paling pertama member kesan. Oleh karena itu perlu memelihara kulit sebaik-baiknya. Pemeliharaan
kesehatan kulit tidak terlepas dari kebersihan lingkungan, makanan yang dimakan serta kebiasaan hidup sehari-hari.
Untuk selalu memelihara kebersihan kulit kebiasaan sehat harus selalu memperhatikan:
1. Menggunakan barang-barang keperluan sehari-hari milik sendiri. 2. mandi minimal 2x sehari.
3. mandi memakai sabun. 4. menjaga kebersihan pakaian.
5. makan yang bergizi terutama sayur dan buah 6. menjaga kebersihan lingkungan
b. Kebersihan Rambut
Rambut yang terpelihara dengan baik akan membuat terpelihara dengan subur dan kesan indah sehingga akan menimbulkan kesan cantik dan tidak berbau apek.
Universitas Sumatera Utara
Dengan selalu menjaga kebersihan rambut dan kulit kepala maka perlu diperhatikan hal sebagai berikut:
1. Memperhatikan kebersihan rambut dengan mencuci sekurang-kurangya 2x
seminggu 2.
Mencuci rambut dengan menggunakan shampoo bahan pencuci rambut lainnya.
3. Sebaiknya menggunakan alat peralatan rambut sendiri.
c. Kebersihan Gigi