f. Diagnosis
Diagnosis pasti askariasis ditegakkan bila melalui pemeriksaan makroskopis terhadap tinja atau muntahan penderita ditemukan cacing dewasa. Melalui
pemeriksaan mikroskopis dapat ditemukan telur cacing yang khas bentuknya di dalam tinja atau cairan empedu penderita. Untuk membantu menegakkan diagnosis
akariasis usus maupun askariasis organ, dapat dilakukan pemeriksaan radiografi dengan barium. Pemeriksaan darah menunjukkan eosinofilia pada awal infeksi, atau
dilakukan scratch test pada kulit.
g. Pengobatan
Obat-obat cacing baru yang efektif, dan hanya menimbulkan sedikit efek samping adalah mabendazol, pirantel pamoat, albendazol dan levamisol. Piperasin
dan berbagai obat cacing lain masih dapat digunakan untuk mengobati penderita askariasis.
h. Pencegahan
Melaksanakan prinsip-prinsip kesehatan lingkungan yang baik, misalnya membuat kakus yang baik untuk menghindari pencemaran tanah dengan tinja
penderita, mencegah masuknya telur cacing yang mencemari makanan dan minuman dengan selalu memasak makanan dan minuman sebelum dimakan atau diminum,
serta menjaga kebersihan perorangan. Mengobati penderita serta pengobatan misal dengan obat cacing berpektrum
lebar di daerah endemic dapat memutuskan rantai siklus hidup cacing ini dan cacing lainnya. Pendidikan kesehatan pada penduduk perlu dilakukan untuk menunjang
upaya pencegahan penyebaran dan pemberantasan askariasis.
Universitas Sumatera Utara
2.2.2. Cacing Tambang
Pada manusia terdapat beberapa cacing tambang hookworm yang dapat menimbulkan penyakit pada manusia. Cacing dewasa Ancylostoma Duodenale
menimbulkan ankilostomiasis, cacing dewasa Necator Americanus menimbulkan nekatoriasis, larva ancylostoma braziliensis dan larva Ancylostoma Caninum
keduanya menimbulkan dermatitis creeping eruption. Cacing tambang terdiri dari Ancylostoma duodenale dan Necator americanus.
a. Habitat
Cacing dewasa hidup didalam usus, terutama di jejunum dan duodenum manusia dengan cara melekatkan diri pada membran mukosa menggunakan giginya,
dan mengisap darah yang keluar dari luka ringan.
b. Distribusi geografi
Penyebaran cacing ini di seluruh daerah khatulistiwa dan ditempat lain dengan keadaan yang sesuai, misalnya didaerah pertambangan dan perkebunan. Prevalensi di
Indonesia tinggi, terutama di daerah pedesaan. Antara tahun 1972-1979 prevalensi di berbagai daerah pedesaan di Indonesia adalah sekitar 50. Pada survei survei yang
dilakukan Departemen Kesehatan di sepuluh propinsi di Indonesia antara tahun 1990- 1991 hanya didapatkan 0-24,7 sedangkan prevalensi sebesar 6,7 didapatkan pada
pemeriksaan 2478 anak sekolah dasar di Sumatera Utara.
c. Larva
Dalam siklus hidupnya, cacing tambang mempunyai dua stadium larva, yaitu larva rhabditiform yang tidak infektif dan larva filariform yang infektif. Larva
Universitas Sumatera Utara
rabditiform bentuk tubuhnya agak gemuk dengan panjang sekitar 250 mikron, dan larva filaform yang berbentuk langsing panjang tubuhnya sekitar 600 mikron.
d. Siklus hidup
manusia merupakan satu satunya hospes definitive N. americanus maupun A. duodenale. Telur yang keluar dari usus penderita dalam waktu dua hari akan tumbuh
di tanah menjadi larva rabditiform tidak infektif. Sesudah berganti kulit dua kali, larva rabditiform dalam waktu satu minggu akan berkembang menjadi larva
filariform yang infektif. Larva filariform akan menembus kulit sehat manusia, memasuki pembuluh
darah dan limfe, beredar di dalam aliran darah, masuk ke jantung kanan, lalu masuk ke dalam kapiler paru. Larva menembus dinding kapiler masuk kedalam alveoli.
Larva cacing kemudian mengadakan migrasi ke bronki, trakea, laring dan faring, sehingga akhirnya tertelan masuk ke esophagus.
Di esophagus larva berganti kulit untuk ketiga kalinya. Migrasi larva berlangsung sekitar sepuluh hari. Dari esophagus larva masuk ke usus halus, berganti
kulit yang keempat kalinya, lalu tumbuh menjadi cacing dewasa. Dalam waktu satu bulan, cacing betina sudah mampu untuk bertelur.
e. Patogenesis