Hasil Pemeriksaan Laboratorium Faktor – Faktor Risiko Kecacingan Pada Petani Di Desa Katepul Kecamatan Kabanjahe Tahun 2014

5.2. Hasil Pemeriksaan Laboratorium

Penyakit kecacingan banyak ditemukan di daerah dengan kelembapan tinggi, terutama pada masyarakat dengan kebersihan diri dan sanitasi lingkungan yang kurang baik. Masyarakat tani merupakan golongan yang sering terkena infeksi kecacingan karena sering berhubungan dengan tanah. Perilaku personal higiene responden yang menjadi faktor risiko infeksi kecacingan antara lain kebersihan kuku, penggunaan alas kaki dan kebiasaan cuci tangan. Berdasarkan hasil pemeriksaan feses responden yang telah dilakukan dilaboratorium, didapati bahwa 33 orang atau 100 responden ditemukan adanya telur cacing pada tinja mereka. Terdapat 27 orang 81,8 responden yang terinfeksi Ascaris lumbricoides cacing gelang, yang merupakan jenis cacing dari golongan filum Nemathelmines dan masuk kelompok nematoda usus. Cacing ini hidup di usus dan penularan terjadi melalui makanan dan minuman yang masuk ke dalam usus. Infeksi cacing ini disebut dengan Ascariasis Zulkoni, 2010. Di Indonesia prevalensi ascariasis tinggi, terutama pada anak. Frekuensinya antara 6-90. Kurangnya pemakaian jamban keluarga menimbulkan pencemaran tanah dengan tinja di sekitar halaman rumah, di bawah pohon, di tempat mencuci dan di tempat pembuangan sampah. Hal ini akan memudahkan terjadinya reinfeksi. Di Negara-negara tertentu terdapat kebiasan memakai tinja sebagai pupuk. Tanah liat, kelembapan tinggi dan suhu yang berkisar antara 25-30 C merupakan hal yang sangat baik untuk berkembangnya telur A. lumbricoides. Anjuran mencuci tangan sebelum makan, menggunting kuku secara teratur, pemakaian jamban keluarga, serta pemeliharaan kesehatan pribadi dan lingkungan dapat mencegah ascariasis. Universitas Sumatera Utara Penyakit Ascaris disebabkan oleh cacing Ascaris Lumricoides. Penyakit ini ditemukan kosmopolit. Survey yang dilakukan di Indonesia antara tahun 1970-1980 menunjukkan pada umumnya prevalensi 70 atau lebih. Prevalensi tinggi sebesar 78,5 dan 72,6 masih ditemukan pada tahun 1998 pada sejumlah murid dua sekolah dasar di Lombok. Di Jakarta sudah dilakukan pemberantasan secara sistematis terhadap cacing yang ditularkan melalui tanah sejak tahun 1987 di sekolah-sekolah dasar. Prevalensi Ascaris sebesar 16,8 di beberapa sekolah di Jakarta Timur pada tahun 1994 turun menjadi 4,9 pada tahun 2000. Cacing stadium dewasa hidup di rongga usus muda. Seekor cacing betina dapat bertelur sebanyak 100.000-200.000 sehari, terdiri dari telur yang dibuahi dan yang tidak dibuahi. Telur yang dibuahi berkembang menjadi bentuk infeksi dalam waktu kurang lebih 3 minggu. Bentuk infektif ini bila tertelan oleh manusia, menetas di usus halus dan larvanya menembus dinding usus halus menuju pembuluh darah, lalu di alirkan ke jantung, kemudian mengikuti aliran darah ke paru. Larva di paru menembus dinding pembuluh darah, lalu dinding alveolus hingga pada akhirnya menuju ke faring sehingga menimbulkan rangsangan pada faring yang menyebabkan penderita menjadi batuk dan larva akan tertelan ke dalam esophagus lalu menuju ke usus halus. Di usus halus larva berubah menjadi cacing dewasa. Ketika seseorang sudah terinfeksi cacing ini, terutama pada anak dapat menyebabkan malabsorbsi sehingga memperberat keadaan malnutrisi. Didapati juga bahwa terdapat 2 orang 6,1 responden yang terinfeksi Trichuris trichiura atau yang sering disebut sebagai cacing cambuk whip worm. Cacing yang hidup dalam sekum dan colon penderitanya ini, dapat membenamkan Universitas Sumatera Utara kepalanya kedalam dinding usus. Kadang-kadang cacing ini dapat ditemukan hidup di apendiks dan ileum bagian distal. Infeksi cacing ini disebut dengan Trichuris Soedarto, 2008. Penyakit Trichuris disebabkan oleh cacing Trichura. Yang penting untuk penyebaran penyakit ini adalah kontaminasi tanah dengan tinja. Telur tumbuh ditanah liat, tempat lembab dan teduh dengan suhu optimum 30 C. diberbagai negera pemakaian tinja sebagai pupuk kebun merupakan sumber infeksi. Frekuensi di Indonesia tinggi terutama didaerah pedesaan yaitu antara 30-90. Di daerah yang sangat endemic infeksi dapat dicegah dengan pengobatan penderita Trichuriasis, pembuatan jamban yang baik dan pendidikan tentang sanitasi dan kebersihan perorangan, terutama anak. Mencuci tangan sebelum makan, mencuci dengan baik sayuran yang dimakan mentah, adalah penting. Apalagi dinegeri-negeri yang memakai tinja sebagai pupuk. Berdasarkan hasil penelitian ada juga ditemukan 4 orang 12,1 responden yang terinfeksi 2 jenis cacing sekaligus, yaitu Ascaris lumbricoides dan Trichuris trichiura. Ini dikarenakan cacing dapat menginfeksi hospesnya secara simultan oleh beberapa jenis cacing sekaligus Zulkoni, 2010. Tetapi pada infeksi berat, penderita akan mengalami gejala dan keluhan berupa anemia berat dengan hemoglobin dapat kurang dari 3, diare berdarah, nyeri perut, mual dan muntah, berat badan menurun dan kadang terjadi prolapsSoedarto, 2008. Sedangkan hasil dari wawancara terhadap responden yang terinfeksi Ascaris lumbricoides dan Trichuris trichiura ini, terdapat 2 orang yang memiliki gejala infeksi berat, karena penderita mengalami keluhan berupa sakit kepala tak Universitas Sumatera Utara tertahankan, nyeri pada perut, mual dan muntah, gatal-gatal pada daerah anus, dan terdapat 1 orang responden yang berat badannya menurun. Setelah bekerja sama dengan Puskesmas kota kabanjahe, maka setiap penderita Trichuris trichiura ini diberikan obat cacing berupa tablet Albendazole. Tiga puluh responden di Desa katepul memang memiliki higiene perorangan dengan kategori baik, namun didapati semua responden mengalami kecacingan. Hal ini dikarenakan banyak petani yang tidak memakai alat pelindung diri pada saat bekerja berupa alas kaki, juga dikarenakan mereka tidak memakan obat cacing atau memakan obat cacing yang tidak dapat membunuh cacing-cacing yang dapat menular melalui tanah soil transmitted helminthes.

5.3. Faktor-Faktor Penyebab Kecacingan