BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Infeksi cacing merupakan salah satu penyakit yang paling umum tersebar dan menjangkiti banyak manusia di seluruh dunia. Sampai saat ini penyakit kecacingan
masih tetap merupakan suatu masalah karena kondisi sosial dan ekonomi di beberapa bagian dunia. Pada umumnya, cacing jarang menimbulkan penyakit serius tetapi
dapat menyebabkan gangguan kesehatan kronis yang berhubungan dengan faktor ekonomis.
Di Indonesia, penyakit cacing adalah penyakit rakyat umum, infeksinya pun dapat terjadi secara simultan oleh beberapa jenis cacing sekaligus. Diperkirakan lebih
dari 60 anak-anak di Indonesia menderita suatu infeksi cacing, rendahnya mutu sanitasi menjadi penyebabnya. Pada anak anak, cacingan akan berdampak pada
gangguan kemampuan untuk belajar, dan pada orang dewasa akan menurunnya produktivitas kerja. Dalam jangka panjang, hal ini akan berakibat menurunnya
kualitas sumber daya manusia Zulkoni, 2010. Penelitian-penelitian epidemioparasitologis banyak dilakukan menunjukkan
bahwa dalam waktu lima puluh tahun, frekuensi penyakit-penyakit parasit penduduk Indonesia tidak banyak mengalami penurunan berarti. Survai Kesehatan Rumah
Tangga tahun 1986 menunjukkan bahwa penyakit infeksi dan parasit merupakan penyebab kematian paling utama di Indonesia. Penelitian penelitian di Indonesia
menunjukkan penyakit parasit yang tekait erat hubungannya dengan lingkungan hidup, masih menunjukkan frekuensi yang sangat tinggi di berbagai daerah. Salah
Universitas Sumatera Utara
satu diantaranya adalah penyakit penyakit cacing yang ditularkan melalui tanah soil transmitted helminthes seperti askariasis, trichuriasis dan infeksi cacing tambang.
Penelitian-penelitian di Indonesia, misalnya dengan melakukan pemeriksaan tinja pada penduduk, baik di daerah pedesaan maupun di daerah perkotaan, baik di
pulau jawa maupun diluar Jawa menunjukkan angka angka yang tidak banyak berubah. Kurangnya sarana air bersih, sempitnya lahan tempat tinggal keluarga,
kebiasaan makan dengan tangan yang tidak dicuci lebih dahulu, pemakaian ulang daun-daun dan pembungkus makanan yang sudah dibuang ketempat sampah, sayur-
sayuran yang dimakan mentah, penggunaan air sungai untuk berbagai kebutuhan hidup mandi, mencuci bahan makanan, mencuci pakaian, berkumur, gosok gigi, dan
juga digunakan sebagai kakus, dan penggunaan tinja untuk pupuk sayuran, meningkatkan penyebaran penyakit parasit terutama penyakit cacing yang ditularkan
melalui tanah. Selain faktor-faktor tersebut diatas, faktor pekerjaan juga sangat memengaruhi
frekuensi penyakit parasitik. Pekerja perkebunan yang sarana kakusnya tidak memadai jumlah, pekerja-pekerja bidang pengairan dan irigasi, pekerja tambang dan
kehutanan, petani dan peternak termasuk dalam kelompok yang mempunyai risiko tinggi terinfeksi penyakit parasit Soedarto, 2008
Jumlah infeksi soil transmitted helminths sangat banyak di Asia Tenggara termasuk Indonesia, Letak geografis Indonesia yang beriklim tropis sesuai untuk
perkembangan parasit. Geographical Information System GIS menyatakan distribusi soil transmitted helminths di Indonesia mencakup seluruh pulau yang ada di
Universitas Sumatera Utara
Indonesia, dimana prevalensi tertinggi terdapat di Papua dan Sumatera Utara dengan prevalensi antara 50 hingga 80. Brooker, 2002 dalam Jusuf dkk, 2013.
Prevalensi infeksi ini disebabkan oleh nematoda usus, di Indonesia lebih sering disebut cacing perut, sebagian besar penularannya melalui tanah. Prevalensi
kecacingan soil transmitted helminthes berkisar 40-80. Tingginya prevalensi ini sangat didukung oleh keadaan alam yang cocok, higiene perorangan dan sanitasi
lingkungan yang rendah, khususnya di lingkungan pertanian sayur. Salah satu sumber penularannya adalah air dan lumpur yang digunakan dalam budidaya sayuran.
Adapun keluhan-keluhan yang umum dialami oleh penderita infeksi cacing adalah pucat, perut buncit dan anemia. Karena di dalam saluran perut setiap duapuluh
ekor cacing bisa menyedot 2,8 gram karbohidrat dan 0,7 gram protein Zulkoni, 2010. Dan menimbulkan kehilangan darah sekitar 0,1 – 0,34 cc dalam sehari
tergantung dari jenis cacingnyaSoedarto, 2008. Kontaminasi cacingan dapat terjadi terutama pada sayuran yang menjalar di
permukaan tanah atau ketinggiaannya dekat dengan tanah. Kebiasaan makan sayuran mentah ini sudah mentradisi di suku-suku tertentu di Indonesia sehingga kelihatannya
sulit diubah. Namun, dari segi keamanannya, lalapan mentah beresiko terkontaminasi pestisida atau telur cacing. Selain itu para petani seringkali menggunakan pupuk
organik berupa humus atau kotoran ternak bahkan kotoran manusia untuk meningkatkan kesuburan tanah.
Hasil pemeriksaan fases petani sayur di Desa Waiheru Kecamatan Baguala Kota Ambon yang dilakukan oleh Amry Jusuf dkk, ditemukan bahwa dari 139
responden, terdapat 106 responden 76,3 yang positif keberadaan telur cacing pada
Universitas Sumatera Utara
fesesnya dan sisanya hanya 33 responden 23,7 yang negatif keberadaan telur cacing pada fesesnya Jusuf dkk, 2013.
Data yang didapat dari Puskesmas Kota Kabanjahe menunjukkan bahwa kecacingan merupakan penyakit yang berada pada urutan ke-sembilan terbesar di
Kabanjahe pada bulan Mei tahun 2014 dengan jumlah penderita yaitu sebanyak 108 orang yang masih didominasi oleh anak-anak.
Petani kemungkinan terinfeksi cacing karena sehari-hari pekerjaan petani berhubungan dengan tanah dan biasanya kurang memperhatikan pemakaian alat
pelindung diri. Berdasarkan pengamatan peneliti, petani di Desa Katepul bekerja sekitar 5
sampai 8 jam dalam sehari. Namun dalam kesehariannya, masih ada petani yang kurang peduli terhadap kebersihan diri mereka. Seperti kurang memperhatikan
kebersihan kuku dan tangan pada saat mau makan, pemakaian alat pelindung diri berupa alas kaki seperti sepatu boot yang kurang memadai, juga penggunaan sarung
tangan yang masih minim pada saat mereka harus membagikan pupuk kandang sebagai pupuk yang sering digunakan untuk tanaman mereka. Ditambah lagi masih
adanya beberapa petani yang membuang tinja mereka di areal ladang, sehingga meningkatkan peluang untuk menularkan dan menginfeksi kecacingan kepada orang
lain. Hal diatas melatarbelakangi penulis untuk mengambil judul Faktor-Faktor
risiko kecacingan pada petani di Desa Katepul Kecamatan Kabanjahe tahun 2014.
Universitas Sumatera Utara
1.2. Perumusahan Masalah