PEMBAHASAN Pengaruh Beban Kerja terhadap Kinerja Perawat dalam Pelayanan Kegawatdaruratan di RSUD dr. Djasamen Saragih Pematangsiantar

BAB 5 PEMBAHASAN

5.1. Pengaruh Beban Kerja terhadap Kinerja Perawat Gawat Darurat di RSUD. dr. Djasamen Saragih Pematangsiantar Berdasarkan hasil uji statistik regresi berganda, diketahui variabel beban kerja kuantitatif dan kualitatif berpengaruh terhadap kinerja perawat gawat darurat berdasarkan implementasi konsep ABCD maupun penilaian atasan langsung di RSUD. dr. Djasamen Saragih Pematangsiantar, sebagai pembahasan dapat dilihat sebagai berikut: 5.1.1. Pengaruh Beban Kerja Kuantitatif terhadap Kinerja Perawat Gawat Darurat di RSUD. dr. Djasamen Saragih Pematangsiantar Berdasarkan hasil uji regresi berganda diketahui bahwa variabel beban kerja kuantitatif berpengaruh terhadap kinerja perawat gawat darurat berdasarkan implementasi konsep ABCD maupun penilaian atasan langsung di RSUD. dr. Djasamen Saragih Pematangsiantar p0.05, dengan nilai koefisien negatif dan signifikan, artinya semakin tinggi beban kerja kuantitatif yang harus dilakukan perawat di Instalasi Gawat Darurat IGD, menggunakan standar Keputusan Menteri Kesehatan Nomor : 81MENKESSKI2004, maka implementasi keperawatan gawat darurat dengan konsep ABCD : Airway management, Breathing management, Circulation management dan Drug Defibrilator Disability tidak terlaksana secara baik. Universitas Sumatera Utara Berdasarkan hasil tersebut dapat dijelaskan bahwa pelaksanaan pelayanan di instalasi gawat darurat rumah sakit akan mampu meningkatkan keselamatan pasien yang dala kondisi gawat dan darurat, khususnya dalam tahapan kegiatan ABCD apabila jumlah perawat yang bertugas sesuai dengan jumlah pasien yang dilayani serta pekerjaan perawat dikhususkan hanya melaksanakan kegiatan sesuai dengan tugas pokok dan fungsi yang telah ditetapkan Beban kerja dalam pelayanan keperawatan, seperti keperawatan gawat darurat meliputi tindakan keperawatan langsung, tidak langsung, dan penyuluhan kesehatan. Arti umum bagi keperawatan langsung adalah perawatan yang diberikan anggota staf keperawatan sambil bekerja di dalam kehadiran pasien tersebut dan perawatan tersebut dihubungkan secara khusus kepada kebutuhan fisik dan psikologisnya Shocker, 2008. Perawatan tidak langsung adalah kegiatan-kegiatan yang dilakukan atas nama pasien tetapi di luar kehadiran si pasien yang berhubungan kepada lingkungan pasien atau keberadaan finansial dan kesejahteraan sosial si pasien, perawatan tidak langsung termasuk kegiatan seperti perencanaan perawatan, penghimpunan peralatan dan perbekalan, diskusi dengan anggota tim kesehatan lain, penulisan dan pembacaan catatan kesehatan, pelaporan kondisi pasien kepada rekan kerja, dan menyusun sebuah rencana bagi perawatan pasien setelah pelepasannya. Pengajaran kesehatan mencakup semua usaha oleh anggota staf keperawatan untuk memberitahu, dan memotivasi pasien dan keluarganya menyangkut perawatan setelah dilepas dari rumah sakit Shocker, 2008. Universitas Sumatera Utara Dalam undang-undang tentang keperawatan sebenarnya sudah diatur tentang kegiatan wajib yang harus dilakukan perawat sehubungan dengan pelayanan kesehatan di rumah sakit, yaitu: kegiatan langsung; semua kegiatan yang mungkin dilaksanakan oleh seorang perawat terhadap pasien, misalnya menerima pasien, anamnesa pasien, mengukur tanda vital, menolong BABBAK, merawat luka, mengganti balutan, mengangkat jahitan, kompres, memberi suntikan obat imunisasi, penyuluhan kesehatan. Namun dalam kenyataannya di rumah sakit, perawat juga melakukan kegiatan yang berkaitan dengan fungsinya, tetapi tidak berkaitan langsung dengan pasien, seperti: menulis rekam medis, mencari kartu rekam medis pasien, meng-up-date data rekam medis. Disaping itu, perawat juga melakukan kegiatan pribadi yaitu: semua kegiatan yang berkaitan dengan kepentingan dari perawat, serta kegiatan non produktif, yaitu semua kegiatan perawat yang tidak produktif untuk kepentingan pasien maupun bagian atau organisasi rumah sakit. Pengaruh ketidaksesuaian jumlah perawat dengan jumlah pasien yang dilayani terhadap kinerja perawat gawat darurat, sesuai penelitian Astuti 2009 di IGD BPK RSU Kabupaten Magelang, bahwa rata-rata pasien per hari yang masuk IGD BPK RSU Kabupaten Magelang berjumlah 30 pasien, tidak sesuai dengan tenaga perawat IGD yang berjumlah 16 orang, di mana selain melayani pasien baru yang masuk IGD masih diberi tanggung jawab merawat pasien di ruang rawat inap tunggu berkapasitas 5 tempat tidur yang membuat perawat merasa tidak dapat berfokus pada pasien baru yang masuk IGD. Perawat sering mendapat keluhan dari pasien dan keluarga bahwa pelayanan di IGD lambat. Penelitian Astuti menyimpulkan beban kerja perawat Universitas Sumatera Utara dalam kategori berat. Waktu tanggap pelayanan keperawatan gawat darurat dalam kategori lambat. Ada hubungan antara beban kerja perawat dengan waktu tanggap pelayanan keperawatan gawat darurat menurut persepsi pasien. Sesuai penelitian yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan RI dan Universitas Indonesia 2005 tentang kajian penanggulangan penderita gawat darurat general emergency life support GELS di Indonesia, menemukan bahwa 78,8 perawat melaksanakan tugas petugas kebersihan dan 63,3 perawat melakukan tugas administrasi di luar instalasi gawat darurat misalnya mendafatarkan pasien ke ruangan atau ke unit penunjang seperti laboratorium. Lebih dari 90 perawat melakukan tugas non keperawatan, seperti menetapkan diagnosis penyakit dan membuat resep obat. Hanya 50 perawat yang melaksanakan asuhan keperawatan sesuai fungsinya Depkes RI dan Universitas Indonesia, 2005. Sesuai dengan pedoman uraian tugas pokok dan fungsi perawat di rumah sakit Depkes RI, 1999 bahwa tugas administrasi yang dapat dilakukan perawat pelaksana di instalasi gawat darurat adalah yang berkaitan langsung dengan pasien di unit kerjanya. Hasil penelitian ini mendukung penelitian Lubis 2007, yang menyimpulkan pekerjaan perawat dalam pelayanan keperawatan dipengaruhi oleh beban kerja. Beban kerja berdasarkan penelitian Lubis menggunakan indikator : waktu, standar kerja, standar kelonggaran dan kuantitas kegiatan pokok berpengaruh terhadap efektivitas pekerjaan perawat di Instalasi Rawat Inap RSU dr. Pirngadi Medan. Universitas Sumatera Utara Demikian juga dengan penelitian Girsang 2005 tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan waktu tanggap petugas kesehatan menyimpulkan bahwa: a 67,5 responden menyatakan tugasnya pada bidang kegawatdaruratan merasakan bebannya lebih berat dibandingkan petugas di ruangunit kerja yang lain. Pekerjaan yang dilakukan perawat di luar tugas pokok dan fungsinya sebagai perawat merupakan beban kerja bagi perawat dalam pelayanan kegawatdaruratan Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar perawat melakukan tugas di luar tupoksi, yaitu: membersihkan ruangan IGD, membersihkan peralatan IGD dan mendaftarkan pasien ke ruang perawatan. Semakin banyak tugas tambahan yang harus dikerjakan oleh seorang perawat maka akan menambah tinggi beban kerjanya, tetapi tidak selamanya tugas tambahan tersebut menambah tinggi beban kerja perawat bahkan dapat menambah produktivitas perawat tersebut selama tugas tambahan tersebut tidak melebihi standar kemampuan yang dimilikinya. Hal ini sesuai dengan penelitian Jauhari 2005, bahwa Penelitian Prawitasari 2008 tentang hubungan beban kerja perawat pelaksana dengan keselamatan pasien di Rumah Sakit Husada Jakarta, menyimpulkan terdapat hubungan yang bermakna antara beban kerja perawat pelaksana dengan keselamatan pasien. Oleh karena itu Divisi Keperawatan perlu melakukan pengkajian hampir seluruh perawat di RSU Dr. Pirngadi Medan mengerjakan pekerjaan diluar dari tugas Pokok dan Fungsi Asuhan Keperawatan, seperti; melakukan pekerjaan mengambil diet makanan di dapur, menyajikan makanan keruangan pasien, menyapu ruangan, mengepel lantai ruangan, membersihkan kamar mandi, membersihkan jendela dan sebagainya. Universitas Sumatera Utara kecenderungan tingkat ketergantungan pasien di masing-masing unit pelayanan menggunakan data yang ada untuk menghitung kebutuhan perawat tiap shift, mengalokasikan jumlah perawat sesuai kebutuhan ruangan, melakukan supervisi secara terjadual dan berkala. Perlunya dikembangkan budaya keselamatan sebagai motor penggerak keselamatan pasien serta tidak membebani perawat dengan pekerjaan non keperawatan Beban kerja perawat pelaksana yang adekuat diperlukan agar perawat pelaksana dapat memberikan pelayanan yang sesuai dengan standar pelayanan keperawatan dan meminimalkan terjadinya masalah keselamatan pasien. 5.1.2. Pengaruh Beban Kerja Kualitatif terhadap Kinerja Perawat Gawat Darurat di RSUD. dr. Djasamen Saragih Pematangsiantar Berdasarkan hasil uji regresi berganda diketahui bahwa variabel beban kerja kualitatif berpengaruh terhadap kinerja perawat gawat darurat berdasarkan implementasi konsep ABCD maupun penilaian atasan langsung terhadap perawat yang pernah maupun belum pernah mengikuti pelatihan BTCLS di RSUD. dr. Djasamen Saragih Pematangsiantar p0.05, dengan nilai koefisien negatif dan signifikan, artinya semakin tinggi beban kerja kualitatif yaitu tingkat kesulitan perawat dalam melaksanakan tindakan pelayanan di Instalasi Gawat Darurat IGD akibat rendahnya kompetensi dalam pelayanan kegawat daruratan menyebabkan implementasi keperawatan gawat darurat dengan konsep ABCD : Airway management, Breathing management, Circulation management dan Drug Defibrilator Disability tidak terlaksaa secara optimal. Universitas Sumatera Utara Sesuai dengan penelitian International Council of Nurses ICN tahun 2005, peningkatan beban kerja perawat dari empat pasien menjadi enam orang mengakibatkan 14 persen peningkatan kematian pasien yang dirawat dalam 30 hari pertama sejak dirawat di rumah sakit. Ini menunjukkan adanya hubungan antara angka kematian dan jumlah perawat per pasien dalam sehari. Karena itu, institusi pelayanan kesehatan diperlukan untuk meningkatkan tingkat kompetensi terhadap pelayanan keperawatan di rumah sakit, khususnya kompetensi perawat dalam pelayanan kegawatdaruratan melalui pelatihan. Sesuai penelitian Astrini 2007, bahwa kekurangan-kekurangan yang ada pada prosedur tetap dalam pelayanan keperawatan gawat darurat. Oleh karena itu upaya mengurangi beban kerja secara kualitatif perlu dilakukan pembakuan standar prosedur operasional dalam pelayanan kegawat daruratan. Menurut Astrini prosedur tetap yang dibuat masih dalam bentuk pernyataan sehingga belum terlihat jelas alur kegiatan perawatan yang dilakukan perawat. Selain itu, pada prosedur tetap juga belum terdapat waktu standar untuk pelaksanaan tiap kegiatan perawatan yang dilakukan terhadap pasien akibatnya pihak rumah sakit kesulitan dalam mengalokasikan beban kerja dan perencanaan tenaga kerja. Oleh karena itu waktu kerja kegiatan perawatan perlu distandarkan. Penelitian Karina 2009 menemukan bahwa beban kerja perawat tidak saja bersumber dari pasien yang ditangani, tetapi juga faktor lain antara lain 1 provider visi dan misi; pengembangan organisasi; anggaran dana; BOR RS; teknologi; perencanaan SDM, kebijakan RS, 2 perawat karakteristik; ruangan; jumlah; Universitas Sumatera Utara jabatan; kompetensi; peran; motivasi, prestasi dan kepuasan; produktivitas, 3 lingkungan fisik; biologis; kimia; fisiologis; sosiofisiologis; jarak, 4 metode asuhan keperawatan, 5 kegiatan non keperawatan dan 6 SOP Standard Operating Procedure. Mengingat pelayanan di instalasi gawat darurat sangat terkait dengan keselamatan pasien, menurut Herkutanto 2008, pelayanan gawat darurat mempunyai aspek khusus karena mempertaruhkan kelangsungan hidup seseorang. Oleh karena itu dan segi yuridis khususnya hukum kesehatan terdapat beberapa pengecualian yang berbeda dengan keadaan biasa. Karena secara yuridis keadaan gawat darurat cenderung menimbulkan privilege tertentu bagi tenaga kesehatan maka perlu ditegaskan pengertian gawat darurat. Setiap tindakan medis harus mendapatkan persetujuan dari pasien informed consent. Namun dalam keadaan gawat darurat di mana harus segera dilakukan tindakan medis pada pasien yang tidak sadar dan tidak didampingi pasien, tidak perlu persetujuan dari siapapun. Dalam hal persetujuan tersbut dapat diperoleh dalam bentuk tertulis, maka lembar persetujuan tersebut harus disimpan dalam berkas rekam medis Herkutanto, 2008. Salah satu jenis pelatihan bagi perawat yang bertugas melakukan pelayanan kegawatdaruratan adalah Basic Trauma and Cardiac Life Support BTCLS. Pelatihan ini merupakan salah satu bentuk kurikulum pelatihan berstandar nasional bagi tenaga kesehatan yang mengenai teknik bantuan pertolongan untuk penderita gawat darurat. Secara umum pelatihan ini menyelenggarakan pelatihan dalam Universitas Sumatera Utara kegawatdaruratan secara profesional dengan mengedepankan aspek legalitas dan nilai jual dalam rangka menciptakan lulusan pelatihan yang kompeten Tujuan pelatihan BTCLS dikembangkan dalam pelayanan keperawatan gawat darurat yang mengacu kepada konsep ABCD, yaitu : a menganalisa kebutuhan dalam pelayanan gawat darurat sehari-hari dan pelayanan gawat darurat di unit kerjanya, b Mempraktekkan keterampilan dalam mengidentifikasi kebutuhan penderita gawat darurat secara cepat, tepat dan akurat initial assessment, c Mempraktekkan keterampilan dalam mengupayakan jalan napas yang bersih sekaligus memproteksi terhadap spinal Airway Management, d Mempraktekkan keterampilan dalam mengupayakan ventilasi paru dan perfusi jaringan yang adequat Breathing and Ventilatory Management, e Mempraktekkan keterampilan dalam mengatasi syok dan mengontrol perdarahan Circulatory Management, f Mempraktekkan keterampilan Bantuan Hidup Dasar Basic Life Support- Cardiopulmonal Rescucitation, g Mempraktekan keterampilan dasar gawat darurat bagi penderita yang mengalami traumainjurycedera, h Mempraktekan keterampilan dasar gawat darurat jantung : EKG dan Cardio Shock dan i Mempraktekkan keterampilan pemasangan balutan dan pembidaian. Dengan adanya kebutuhan standarisasi waktu kerja, akan dirancang usulan pembakuan secara administratif terhadap SOP kegiatan perawatan dengan menentukan waktu standar dan membuat usulan SOP dalam bentuk diagram agar terlihat jelas alur kegiatan yang harus dilakukan perawat dalam melakukan kegiatannya menangani pasien. Fakta yang ditemukan Astrini bahwa jumlah perawat Universitas Sumatera Utara non bedah yang ada tidak dapat melayani seluruh pasien yang masuk maka waktu standar harus dapat diterapkan sehingga pihak rumah sakit dapat menentukan berapa jumlah penambahan perawat yang diperlukan sehingga semua perawat yang ada dapat melayani seluruh pasien yang masuk di bagian non bedah IGD. Dalam perancangan usulan pembakuan SOP digunakan network diagram untuk mempermudah mengetahui waktu penyelesaian pekerjaan. Upaya lainnya dalam meningkatkan pelayanan keperawatan gawat darurat menurut kajian Petra University 2003 adalah dengan metode penjadwalan siklis, yaitu salah satu metode penjadwalan yang dapat digunakan untuk menjadwalkan perawat. Dalam metode ini setiap perawat akan bekerja selama periode waktu tertentu n hari kerja dan akan berulang secara periodik. Dalam metode ini ada tiga tahapan yang dilakukan yaitu tahap pertama, melakukan pengamatan terhadap kondisi penjadwalan yang selama ini dilakukan oleh pihak rumah sakit dan menghasilkan susunan jadwal yang mungkin. Tahap kedua, memformulasikan kemungkinan jadwal dari tahapan pertama kedalam program linier. Dan tahapan yang ketiga adalah mengubah solusi program linier dari tahapan kedua kedalam pola kerja yang aktual untuk masing-masing personel yang ada. Dari hasil kajian Petra University didapatkan jadwal yang optimal dalam memaksimumkan kualitas penugasan di tiap shift dengan tetap memperhatikan beban dan kendala kerja yang ada. Selain itu juga diketahui bahwa dari perbandingan antara kedua penjadwalan terlihat pada aspek kualitas, stabilitas dan faimess penjadwalan yang dilakukan dalam penelitian ini lebih dominan. Sedangkan pada aspek fleksibilitas dan coverage kedua penjadwalan Universitas Sumatera Utara memiliki perbandingan yang hampir sama. Untuk mengaplikasikan penjadwalan yang dilakukan dalam penelitian ini, pihak rumah sakit khususnya bagian keperawatan dapat lebih mudah dalam melakukan penyusunan jadwal selanjutnya karena metode penjadwalan yang dilakukan sama-sama menggunakan metode siklis. Mengacu kepada hasil penelitian di RSUD dr. Djasamen Saragih Pematangsiatar serta perbandingan dengan penelitian-penelitian yang dilakukan sebelumnya pada instalasi gawat darurat rumah sakit yang lain, dapat dijelaskan bahwa semakin rendah kompetensi perawat yang bertugas di instalasi gawat darurat sedangkan jenis kasus pasien dalam kondisi gawat dan darurat mengharuskan setiap perawat memiliki kompetensi yang tinggi untuk mampu menanganinya menyebabkan kinerjanya semakin rendah. Hal ini ditunjukkan dari hasil uji regresi berganda dengan tanda negatif - pada koefisien regresi beban kerja kualitatif. Universitas Sumatera Utara

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN