Pengaruh Perilaku Ibu Tentang Hygiene Dan Sanitasi Lingkungan Terhadap Kecacingan Anak Di Kecamatan Simanindo Kabupaten Samosir 2008

(1)

S

E K O L A H P

A S

C

A S A R JA

NA

PENGARUH PERILAKU IBU TENTANG HYGIENE DAN

SANITASI LINGKUNGAN TERHADAP KECACINGAN

ANAK DI KECAMATAN SIMANINDO KABUPATEN

SAMOSIR 2008

PROPOSAL

OLEH :

IN A CH RIS TIN MALAU

047012009 / AKK

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2008


(2)

Judul Tesis : PENGARUH PERILAKU IBU, SANITASI LINGKUNGAN DAN KARAKTERISTIK ANAK

TERHADAP KECACINGAN ANAK DI KECAMATAN SIMANINDO KABUPATEN SAMOSIR 2008

Nama Mahasiswa : Ina Christin Malau Nomor Pokok : 047012009

Program Studi : Administrasi dan Kebijakan Kesehatan Konsentrasi : Administrasi dan Kebijakan Kesehatan

Menyetujui Komisi Pembimbing :

(Prof. dr. Azhar Tanjung, Sp.PD-KP-KAI, Sp.MK) (Ir. Indra Chahaya, MSi) Ketua Anggota

Ketua Program Studi Direktur

(Dr. Drs. Surya Utama, MS) (Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B., MSc)


(3)

Telah diuji pada

Tanggal : 27 November 2008

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. dr. Azhar Tanjung, Sp. PD-KP-KAI, Sp.MK 1. Ir. Indra Chahaya, MSi

2. drh. Rasmaliah, M.Kes 3. Ir. Evinaria, M.Kes


(4)

PENGARUH PERILAKU IBU, SANITASI LINGKUNGAN DAN KARAKTERISTIK ANAK TERHADAP KECACINGAN ANAK

DI KECAMATAN SIMANINDO KABUPATEN SAMOSIR 2008

TESIS

Untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan (M.Kes) Dalam Program Studi Administrasi dan Kebijakan Kesehatan

Konsentrasi Administrasi dan Kebijakan Kesehatan Pada Sekolah Pacasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh :

INA CHRISTIN MALAU 047012009/AKK

SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2008


(5)

PERNYATAAN

PENGARUH PERILAKU IBU, SANITASI LINGKUNGAN DAN KARAKTERISTIK ANAK TERHADAP KECACINGAN ANAK

DI KECAMATAN SIMANINDO KABUPATEN SAMOSIR 2008

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, November 2008


(6)

ABSTRACT

One of the health problems in Indonesia is the high prevalence rate of helminthes (70%-90%) and most of sufferers are the school-age children, especially those of primary schools and coming from the impoverished family. The prevalence of helminthes can happen from poor environmental sanitation, poor self hygiene and direct contact with feces.

This observational study with cross sectional design is aimed to analyze the influence of mothers’ behaviour (knowledge, attitude, action), environmental sanitation and children characteristic toward helminthes in Simanindo subdistrict Samosir district. The population for this study is all mothers having primary school age children in Simanindo subdistrict. The samples are 125 mothers selected through simple random sampling technique. The data are collected through questionnaire-based interviews to find out environmental sanitation data and feces laboratory examination to find out the prevalence rate helminthes. Statistical analysis is done by using Chi-square and logistic regression test.

The result of the study shows that prevalence rate of helminthes in Ambarita village is the highest as 25 persons (53.19%), compared to other villages such as Tuk Tuk village is 23 persons (47.97%) and Simarmata village is 5 persons (16.66%). Statistically, there is no significant relationship between children’s age (p=0.63>0.05) and children’s sex (p=0.73>0.05) and helminthes in children. The most dominant variable which influence between mothers’ behaviour, environmental sanitation and children characteristic toward helminthes in children is variable the cleanliness of the house (p=0.00<0.05) and Exp value (B) of 2.070.

It is suggested that Health Service of Samosir District to socialize the information, to implement periodical extension based on local human resources and culture, to make use of health cadres (prominent leaders) about helminthes to mothers through posters, newspaper, radios, and extension, environmental management to keep the epidemiologic surveillance activity going well. Giving helminthes medicine twice a year and suggest the head of Health Service to provide community water close/toilet in every village of Simanindo subdistrict. It is expected that every mother keeps her house, children and environmental sanitation clean.

Key words : Behaviour, Environment, Characteristic, Helminthes


(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan rahmatNya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini dengan judul ”Pengaruh Perilaku Ibu, Sanitasi Lingkungan, dan Karakteristik Anak terhadap Kecacingan Anak di Kecamatan Simanindo Kabupaten Samosir 2008”.

Penulisan ini merupakan salah satu persyaratan akademik untuk menyelasaikan pendidikan Program Studi Administrasi dan Kebijakan Kesehatan Konsentrasi Administrasi dan Kebijakan Kesehatan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

Dengan rahmatNya serta ketulusan hati penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada :

Bapak Prof. dr. Chairuddin P. Lubis, DTM&H, Sp.A(K), selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.

Ibu Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, MSc, selaku Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

Bapak Dr. Drs. Surya Utama, MS, sebagai Ketua Program Studi Administrasi dan Kebijakan Kesehatan, Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

Ibu Prof. Dr. Dra. Ida Yustina, MSi, sebagai Sekretaris Program Studi Administrasi dan Kebijakan Kesehatan, Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

Bapak Prof. dr. Azhar Tanjung, Sp.PD-KP-KAI, Sp.MK, selaku Ketua Komisi Pembimbing yang dengan penuh perhatian dan kesabaran membimbing, mengarahkan dan meluangkan waktu untuk membimbing penulis mulai dari proposal hingga penulisan tesis selesai.


(8)

Ibu Ir. Indra Cahaya, MSi, selaku Anggota Komisi Pembimbing dengan penuh perhatian dan kesabaran membimbing, mengarahkan dan meluangkan waktu untuk membimbing penulis mulai dari proposal sampai tesis selesai.

Ibu drh. Rasmaliah, M.Kes, dan Ibu Ir. Evinaria, M.Kes, sebagai Komisi Penguji atau Pembanding yang telah banyak memberikan arahan dan masukan demi kesempurnaan penulisan tesis ini.

Bapak Dinas Kesehatan Kabupaten Samosir beserta staf yang telah banyak membantu dan memberi dukungan kepada penulis dalam rangka menyelesaikan pendidikan pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

Para dosen, staf dan semua pihak yang terkait di lingkungan Sekolah Pascasarjana Konsentrasi Administrasi dan Kebijakan Kesehatan.

Ucapan terima kasih yang tulus kepada keluarga besar Ayahanda Drs. T. P. Malau dan Ibunda D. Gultom, keluarga besar Bapak mertua (alm) S. Manurung, Ibu mertua D. Marpaung, yang telah membantu dan memberikan dorongan moril, material serta doa selama penulis menjalani pendidikan.

Teristimewa buat suami tercinta dan tersayang K. Manurung, yang penuh perhatian, pengertian, kesabaran, pengorbanan dan doa serta memotivasi dan memberikan dukungan moril agar bisa menyelesaikan pendidikan ini.

Akhirnya penulis menyadari atas segala keterbatasan, untuk itu saran dan kritikan yang membangun sangat penulis harapkan demi kesempurnaan tesis ini dengan harapan, semoga tesis ini bermanfaat bagi pengambil kebijakan di bidang kesehatan, dan pengembangan ilmu pengetahuan bagi penelitian selanjutnya.

Medan, November 2008 Penulis


(9)

RIWAYAT HIDUP

Ina Christin Malau, lahir pada tanggal 11 Oktober 1979 di Medan, anak ke empat dari lima bersaudara dari pasangan Ayahanda Dr. T.P Malau dan Ibunda D. Gultom.

Pendidikan formal penulis, dimulai dari pendidikan sekolah dasar di R.K. Budi Luhur Medan selesai tahun 1992, Sekolah Menengah Pertama Santo Thomas 1 Medan selesai tahun 1995, Sekolah Menegah Atas Santo Thomas 2 Medan selesai tahun 1998, Akademi Keperawatan Departemen Kesehatan RI Medan selesai tahun 2001, Sarjana Keperawatan dan Profesi Keperawatan (Ners) Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Mutiara Indonsia Medan selesai tahun 2004.

Pengangkatan sebagai Direktur Akademi Keperawatan Teladan Bahagia Medan sejak tahun 2004 sampai dengan sekarang. Pada tahun 2004 s/d 2008 ditunjuk sebagai dosen Akper Teladan Bahagia Medan.

Pada tanggal 8 Juni 2007, penulis menikah dengan saudara K. Manurung. Pada tahun 2004 penulis sebagai mahasiswa Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Program Studi Administrasi dan Kebijakan Kesehatan, Konsentrasi Administrasi dan Kebijakan Kesehatan di Medan.


(10)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK... i

ABSTRACT... ii

KATA PENGANTAR... iii

RIWAYAT HIDUP... vi

DAFTAR ISI... vii

DAFTAR TABEL... ix

DAFTAR GAMBAR... xi

DAFTAR LAMPIRAN... xii

BAB 1 PENDAHULUAN... 1

1.1. Latar Belakang... 1

1.2. Perumusan Masalah... 6

1.3. Tujuan Penelitian... 6

1.4. Hipotesis... 7

1.5. Manfaat Penelitian... 7

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA... 8

2.1. Penyakit Kecacingan... 8

2.2. Pengertian dan Ruang Lingkup Sanitasi Lingkungan... 18

2.3. Hygiene... 28

2.4. Anak... .. 31

2.5. Dampak Kecacingan ... .. 32

2.6. Konsep Dasar Perilaku... ... 34

2.7. Landasan Teori... . 43 2.8. Kerangka Konsep... 46

BAB 3 METODE PENELITIAN... 47

3.1. Jenis Penelitian... 47

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 47

3.3. Populasi dan Sampel Penelitian ... 48

3.4. Metode Pengumpulan Data... 49

3.5. Variabel dan Definisi Operasional Variabel ... 51

3.6. Aspek Pengukuran... ... 52

3.7. Teknik Analisis Data... 57

BAB 4 HASIL PENELITIAN... 59

4.1. Gambaran Umum Daerah Penelitian ... 59

4.2. Kondisi Kecacingan... 60

4.3. Deskripsi Hasil Penelitian... 61 4.4. Hasil Analisis Hubungan Variabel Independen dengan


(11)

Variabel Dependen………... 74

4.5. Pengaruh Variabel Independen terhadap Variabel Dependen.. ... 79

BAB 5 PEMBAHASAN... 81

5.1. Pengaruh Perilaku Ibu terhadap Kecacingan... 81

5.2. Variabel yang berpengaruh antara Perilaku Ibu, Sanitasi Lingkungan dan Kebersihan Anak terhadap Kecacingan Anak .... 88

5.3. Keterbatasan Penelitian... 90

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN... 91

6.1. Kesimpulan ... 91

6.2. Saran ... 92


(12)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

1. Beberapa Jenis dan Agent Penyakit Bawaan Air... 21

2. Jumlah Unit Sampel Pada Setiap Puskesmas berdasarkan

Proporsi Kepala Keluarga... 49

3. Hasil Analisa Validitas dan Reliabilitas Instrumen Penelitian... 50

4. Aspek Pengukuran Variabel Independent dan Variabel Dependent... 52

5. Jenis dan Jumlah Tenaga Pelayanan Kesehatan di

Kecamatan Simanindo Tahun 2007... 60

6. Distribusi Penderita Kecacingan di Kecamatan Simanindo Menurut

Waktu Penemuan Kasus Tahun 2007... 61

7. Distribusi Responden Menurut Karakteristik Responden (Ibu)

di Kecamatan Simanindo Tahun 2008... 62

8. Distribusi Responden Berdasarkan Pengetahuan tentang

Kecacingan Kecamatan Simanindo Tahun 2008... 63

9. Distribusi Responden Berdasarkan Sikap tentang Kecacingan

di Kecamatan Simanindo Tahun 2008... 64

10. Distribusi Responden Berdasarkan Tindakan tentang

Kecacingan di Kecamatan Simanindo Tahun 2008... 65

11. Distribusi Responden Berdasarkan Perilaku tentang Kecacingan

di Kecamatan Simanindo Kabupaten Samosir Tahun 2008... 66

12. Distribusi Responden Berdasarkan Kebersihan Anak

di Kecamatan Simanindo Tahun 2008... 67

13. Distribusi Responden Berdasarkan Karakteristik Anak

di Kecamatan Simanindo Tahun 2008... 68

14. Hasil Observasi Ketersediaan Jamban di Kecamatan

Simanindo Tahun 2008... 68

15. Hasil Observasi Sumber Air Bersih di Kecamatan

Simanindo Tahun 2008... 69

16. Hasil Observasi Pembuangan Sampah di Kecamatan


(13)

17. Hasil Observasi Pembuangan Air Limbah di Kecamatan

Simanindo Tahun 2008... 71

18. Hasil Observasi Rumah di Kecamatan Simanindo Tahun 2008... 72

19. Distribusi Responden Berdasarkan Sanitasi Lingkungan di

Kecamatan Simanindo Tahun 2008... 73

20. Distribusi Prevalens Rate Kecacingan Anak di Kecamatan

Simanindo Tahun 2008... 73

21. Hasil Pemeriksaan Kecacingan Anak Responden di Kecamatan

Simanindo Tahun 2008... 74

22. Analisis Bivariat Antara Perilaku Ibu terhadap Kecacingan Pada Anak

di Kecamatan Simanindo Tahun 2008... 75

23. Analisis Bivariat Antara Sanitasi Lingkungan terhadap Kecacingan

di Kecamatan Simanindo Tahun 2008... 77

24. Analisis Bivariat Karakteristik dan kebersihan Anak terhadap

Kecacingan di Kecamatan Simanindo Tahun 2008... 78

25. Analisis Multivariat Regresi Logistik antara Variabel Sikap,

Pembuangan Sampah, Saluran Pembuangan Air Limbah, Kebersihan Rumah, Kebersihan Anak terhadap Kecacingan Anak


(14)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

1. Model Perencanaan PRECEDE-PROCEED... 44

2. Teori Alasan Berperilaku...…. 45

3. Kerangka Konsep Pengaruh Perilaku Ibu, Sanitasi Lingkungan

dan Karakteristik Anak terhadap Kecacingan Anak di Kecamatan


(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman

1. Kuisioner... 99

2. Daftar Check list Observasi Sanitasi Lingkungan Responden di Kecamatan Simanindo 2008... 103

3. Cara Pemeriksaan Tinja dan Gambar Telur Cacing... 106

4. Rekapitulasi Hasil Pemeriksaan Survey Kecacingan di Kecamatan Simanindo... 107

5. Hasil Validitas dan Reliabilitas... 113

6. Output Analisa Univariat... 115

7. Hasil Analisa Bivariat (Chi – Square)... 117

8. Hasil Analisa Multivariat (Logistic Regression)... 126

9. Surat Izin Penelitian dari Direktur Pascasarjana USU... 131

10. Surat Izin Penelitian dari Dinas Kesehatan Kabupaten Samosir... 132

11. Surat Keterangan Penelitian dari Dinas Kesehatan Kabupaten Samosir... 133

12. Surat Izin Penelitian dari Kepala Puskesmas Ambarita... 134


(16)

ABSTRACT

One of the health problems in Indonesia is the high prevalence rate of helminthes (70%-90%) and most of sufferers are the school-age children, especially those of primary schools and coming from the impoverished family. The prevalence of helminthes can happen from poor environmental sanitation, poor self hygiene and direct contact with feces.

This observational study with cross sectional design is aimed to analyze the influence of mothers’ behaviour (knowledge, attitude, action), environmental sanitation and children characteristic toward helminthes in Simanindo subdistrict Samosir district. The population for this study is all mothers having primary school age children in Simanindo subdistrict. The samples are 125 mothers selected through simple random sampling technique. The data are collected through questionnaire-based interviews to find out environmental sanitation data and feces laboratory examination to find out the prevalence rate helminthes. Statistical analysis is done by using Chi-square and logistic regression test.

The result of the study shows that prevalence rate of helminthes in Ambarita village is the highest as 25 persons (53.19%), compared to other villages such as Tuk Tuk village is 23 persons (47.97%) and Simarmata village is 5 persons (16.66%). Statistically, there is no significant relationship between children’s age (p=0.63>0.05) and children’s sex (p=0.73>0.05) and helminthes in children. The most dominant variable which influence between mothers’ behaviour, environmental sanitation and children characteristic toward helminthes in children is variable the cleanliness of the house (p=0.00<0.05) and Exp value (B) of 2.070.

It is suggested that Health Service of Samosir District to socialize the information, to implement periodical extension based on local human resources and culture, to make use of health cadres (prominent leaders) about helminthes to mothers through posters, newspaper, radios, and extension, environmental management to keep the epidemiologic surveillance activity going well. Giving helminthes medicine twice a year and suggest the head of Health Service to provide community water close/toilet in every village of Simanindo subdistrict. It is expected that every mother keeps her house, children and environmental sanitation clean.

Key words : Behaviour, Environment, Characteristic, Helminthes


(17)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Mewujudkan misi Indonesia sehat 2010 maka ditetapkan empat misi pembangunan kesehatan, yaitu memelihara kesehatan yang bermutu (promotif), menjaga kesehatan (preventif), mengobati (kuratif) dan rehabilitatif yang merata dan terjangkau. Berdasarkan UU No. 23 tahun 1992 tentang kesehatan, pasal 32 menyatakan bahwa upaya penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan, diantaranya adalah pencegahan dan penyembuhan terhadap kecacingan.

Sesuai dengan berlakunya UU No.25/1999 tentang pelayanan kesehatan secara keseluruhan dan merata terwujud dengan berhasilnya pemerintah menyediakan sarana dan prasarana pelayanan kesehatan, khususnya pelayanan kesehatan terhadap kecacingan melalui pemberian obat cacing setiap 6 bulan sekali dan pembuatan MCK (Mandi, Cuci, Kakus) yang sehat dan teratur, serta pendidikan kesehatan tentang hygiene dan sanitasi lingkungan. Pelayanan kesehatan ini pun belum merata di masyarakat sehingga prevalensi kecacingan belum menurun secara signifikan (Depkes RI, 2001). Sesuai Keputusan Menteri Kesehatan No. 424/MENKES/SK/VI/2006 diharapkan di Indonesia angka prevalensi kecacingan < 10% dalam rangka menuju Indonesia Sehat 2010.

Penyebaran kecacingan melalui kontak dengan tinja. Tinja yang mengandung banyak telur bisa terbawa angin, banjir, nyamuk, lalat yang menempel di setiap tempat seperti makanan, sayuran mentah, buah-buahan, air limbah rumah, debu dan lain-lain. Berbagai tempat akan tercemar dengan telur cacing bila keadaan sanitasi lingkungan buruk seperti tidak tersedianya air bersih, tidak ada sarana pembuangan


(18)

air limbah, tidak ada tersedianya jamban sehingga masyarakat punya kebiasaan buang air besar di sembarangan tempat (Nevi, 2006).

Menurut data WHO dalam Nevi (2006), seperempatpenduduk dunia terinfeksi

kecacingan kronis. Diperkirakan 1,4 milyar orang kecacingan Ascaris lumbricoides (cacing gelang), 1 milyar orang oleh Trichuris trichiura (cacing cambuk) dan 1,3 milyar orang kecacingan Ancylostoma duodenale (cacing tambang). Sebagian besar penderita kecacingan tinggal di negara-negara beriklim tropis seperti Indonesia. Prevalensi penyakit kecacingan di Indonesia tergolong cukup tinggi, yaitu 70%-90% dan sebagian besar yang menjadi korban adalah anak-anak usia sekolah, terutama sekolah dasar dan golongan penduduk yang kurang mampu.

Tingginya prevalensi kecacingan belum dianggap suatu masalah kesehatan yang penting, padahal kerugian yang ditimbulkannya sangat besar. Dari sisi kesehatan, kecacingan menyebabkan kekurangan gizi, anemia, pertumbuhan, gangguan kognitif anak, kecerdasan dan produktifitas penderitanya karena menyebabkan kehilangan karbohidrat dan protein serta kehilangan darah, sehingga menurunkan kualitas sumber daya manusia (Nevi, 2006).

Salah satu hasil pemantauan pengawasan lingkungan permukiman terhadap kualitas tanah permukaan di Indonesia, menunjukkan bahwa sebesar 53,06% tanah permukaan di lingkungan permukiman positif ditemukan adanya telur cacing gelang (Hasyimi, 2001).

Penelitian yang dilakukan oleh sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat dari

Amerika, IRD (International Relief and Development) pada tahun 2004, terhadap

1805 murid anak Sekolah Dasar di Kab. Kebumen, menemukan angka prevalensi kecacingan 82,60% (1491 murid). Penelitian lain di Kab. Temanggung (2004) terhadap 84 murid SD/MI menemukan angka prevalensi kecacingan 87% (73 murid).


(19)

Menurut kedua penelitian ini ada tiga jenis cacing yang dominan yaitu cacing gelang, cacing cambuk dan cacing tambang (Dinas Kesehatan Prop. Jateng, Profil Kesehatan, 2003).

Dalam laporan hasil survei prevalensi kecacingan pada 10 propinsi 2004, Sumatera Utara menduduki peringkat ke-3 (60,4%) dalam hal kecacingan (Ditjend PPM-PL, 2004).

Di propinsi Sumatera Utara (2004) angka prevalensi kecacingan kurang lebih 73%, dan pada tahun 2005 angka prevalensi cacing gelang 56,6% (236 orang), cacing cambuk 39,56% (165 orang) dan cacing tambang (3,9%) (11 orang) (Data P2ML Propinsi Sumatera Utara).

Pada tahun 2005, Dinas P2ML (Pemberantasan Penyakit Menular Lingkungan) Sumatera Utara juga melakukan survei kecacingan, tetapi belum juga menunjukkan penurunan yang signifikan, dapat di lihat dari data surveilans terhadap 1000 responden tentang hasil positif kecacingan dengan peringkat sebagai berikut yaitu

untuk Kabupaten Tapanuli Selatan, angka prevalensi cacing gelang 70,06% (103

orang), cacing tambang 25,17% (37 orang), cacing cambuk 4,76% (7 orang) dan

daerah Tapanuli Utara, angka prevalensi cacing gelang 70% (105 orang), cacing

tambang 17,85% (25 orang), caing cambuk 7,14% (10 orang).

Pada tahun 2005, Dinas Kesehatan Samosir melakukan pemeriksaan tinja di 8 Kecamatan terhadap 1000 responden menunjukkan angka prevalensi cacing gelang 70,3% (703 orang), cacing tambang 12,4% (124 orang), cacing cambuk 10,5% (105 orang) dan penelitian kedua dilakukan di Kecamatan Simanindo desa Ambarita oleh dokter Jhonson dari LSM Jepang menemukan 4 orang anak SD Negeri yang terinfeksi cacing pita. Di antara keempat jenis cacing tersebut, cacing gelang merupakan jumlah yang paling dominan.


(20)

Dinas Kesehatan Samosir (2007), melakukan pemeriksaan tinja di 40 Sekolah Dasar yang ada di 8 (delapan) Kecamatan Kabupaten Samosir menunjukkan Kecamatan Simanindo yang paling tinggi, dari 529 responden ditemukan angka prevalensi cacing gelang 66,91% (354 orang), cacing cambuk 1,32% (7 orang), cacing pita 2,45% (13 orang).

Berdasarkan survei pendahuluan yang dilakukan peneliti pada bulan Maret 2008 di sekolah dasar negeri Kecamatan Simanindo terhadap 265 murid yang dijumpai, sebagian besar murid tidak menggunakan sepatu saat bermain di halaman sekolah, bermain kelereng di tanah, tidak mencuci tangannya sebelum dan sesudah bermain, sebagian besar murid jajan di luar sekolah yang hidangan makanannya tidak bersih. Ada juga murid buang air besar di sembarangan tempat dan tidak mencuci tangan sebelum dan sesudah buang air besar dan buang air kecil sehingga mengakibatkan kecacingan pada anak tersebut.

Melihat penampilan fisik murid, sebagian besar pakaiannya kurang bersih, kuku tangan dan kaki yang panjang dan hitam. Keadaan ini disebabkan dari kurangnya perhatian ibu terhadap kebersihan anaknya sendiri.

Di Kecamatan Simanindo para ibu ditemukan jarang masak sayuran, air dan daging sampai masak. Perilaku ibu seperti cara memelihara kebersihan rumah, kebersihan makanan, kebersihan per orangan (merawat kebersihan tangan,jari dan kuku, kebersihan gigi dan mulut, kebersihan rambut), dan praktik psikososial adalah faktor penting yang berpengaruh terhadap proses tumbuh-kembang anak. Demikian pula faktor lingkungan seperti ketersediaan air bersih di dalam rumah dan pengetahuan ibu (Anwar, 2000).

Penelitian yang dilakukan di Kecamatan Bulakamba Kabupaten Brebes (Yuwono, 2001) dan hasil penelitian di Sulawesi Tengah menunjukkan bahwa


(21)

sebagian besar responden (90,6%) tidak memiliki jamban, perilaku ibu (pengetahuan, sikap, tindakan), umur, ekonomi, pendidikan, pekerjaan dan penghasilan dalam peningkatan angka prevalensi kecacingan pada anak. Kejadian cacing gelang dan cacing cambuk dapat dihubungkan dengan status sosial ekonomi dan tingkat pendidikan ibu yang lebih rendah serta status ibu yang bekerja di Kecamatan Ampana Kota Kabupaten Poso. Infestasi cacing gelang dapat dihubungkan dengan penurunan kemampuan verbal, penurunan kemampuan Aritmatika-Matematika dikaitkan dengan menurunnya frekuensi belajar yang tidak teratur.

Mengacu hasil pengamatan, data-data yang didapat dari Dinas Kesehatan Kecamatan Simanindo dan hasil-hasil penelitian yang pernah dilakukan di berbagai tempat, maka perlu dilakukan tentang pengaruh perilaku ibu, sanitasi lingkungan dan kebersihan anak terhadap kecacingan di Kecamatan Simanindo Kabupaten Samosir.

1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan angka prevalensi kecacingan di Kecamatan Simanindo dari data Dinas Kesehatan Kabupaten Samosir yaitu 70,7%, hasil survei sanitasi lingkungan, perilaku ibu dan kebersihan anak, menunjukkan kurangnya kebersihan pada anak dan sanitasi lingkungan. Berdasarkan latar belakang permasalahan diatas, maka permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana pengaruh perilaku ibu (sikap, pengetahuan, tindakan), sanitasi lingkungan, karakteristik anak yang berkaitan dengan kecacingan anak di Kecamatan Simanindo Kabupaten Samosir.

1.3. Tujuan Penelitian

Untuk menganalisis pengaruh perilaku ibu (sikap, pengetahuan,tindakan), sanitasi lingkungan dan karakteristik anak terhadap kecacingan anak di Kecamatan Simanindo Kabupaten Samosir 2008.


(22)

1.4. Hipotesis

Berdasarkan tujuan penelitian maka hipotesa dalam penelitian ini adalah : Ada pengaruh yang signifikan antara perilaku ibu (pengetahuan, sikap, tindakan), sanitasi lingkungan dan karakteristik anak terhadap kecacingan anak di Kecamatan Simanindo Kabupaten Samosir 2008.

1.5. Manfaat Penelitian

1. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai masukan kepada Dinas Kesehatan

Samosir membuat kebijakan dalam merencanakan program kesehatan baik dalam penyuluhan kesehatan maupun penyediaan obat cacing untuk menurunkan angka prevalensi kecacingan.

2. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai masukan bagi ibu dalam

memberikan bimbingan tentang pengetahuan, sikap untuk meningkatkan perilaku sehat terhadap kesehatan anaknya dan menciptakan sanitasi lingkungan yang bersih untuk mencegah kecacingan.

3. Agar dapat menjadi referensi untuk penelitian lanjutan bagi peneliti-peneliti

yang ingin melakukan penelitian tentang penyakit kecacingan sehingga dapat lebih bermanfaat baik secara keilmuan maupun kemasyarakatan.


(23)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Penyakit Kecacingan

Manusia merupakan hospes defenitif beberapa nematoda usus (cacing perut),

yang dapat mengakibatkan masalah bagi kesehatan masyarakat. Diantara cacing perut terdapat sejumlah species yang ditularkan melalui tanah (soil transmitted helminths). Diantara cacing tersebut yang terpenting adalah cacing gelang (Ascaris lumbricoides), cacing tambang (Ancylostoma duodenale dan Necator americanus), cacing cambuk (Trichuris trichiura) dan cacing pita (Taeniasis) (Behrman, 2000).

2.1.1. Cacing Gelang (Ascaris lumbricoides)

Dalam Behrman (2000) dikatakan bahwa manusia merupakan satu-satunya hospes cacing gelang. Cacing ini berwarna putih atau merah. Cacing jantan berukuran 10-30 cm, sedangkan betina 22-35 cm, pada stadium dewasa hidup di rongga usus halus, cacing betina dapat bertelur sampai 100.000-200.000 butir sehari, terdiri dari telur yang dibuahi dan telur yang tidak dibuahi.

Dalam lingkungan yang sesuai, telur yang dibuahi tumbuh menjadi bentuk infektif dalam waktu kurang lebih 3 minggu. Bentuk infektif ini bila tertelan manusia,

akan menetas menjadi larva di usus halus, larva tersebut menembus dinding usus

menuju pembuluh darah atau saluran limfa dan dialirkan ke jantung lalu mengikuti

aliran darah ke paru-paru menembus dinding pembuluh darah, lalu melalui dinding alveolus masuk rongga alveolus, kemudian naik ke trachea melalui bronchiolus dan broncus. Dari trachea larva menuju ke faring, sehingga menimbulkan rangsangan batuk, kemudian tertelan masuk ke dalam esofagus lalu menuju ke usus halus, tumbuh


(24)

menjadi cacing dewasa. Proses tersebut memerlukan waktu kurang lebih 2 bulan sejak tertelan sampai menjadi cacing dewasa (Gandahusada, 1998).

2.1.1.1. Gejala Klinik dan Diagnosis

Menurut Mansjoer (2000), gangguan yang disebabkan oleh cacing dewasa biasanya ringan. Kadang-kadang penderita mengalami gangguan usus ringan seperti mual, nafsu makan berkurang, diare, dan konstipasi. Pada infeksi berat, terutama pada anak-anak dapat terjadi gangguan penerapan makanan. Keadaan yang serius, bila cacing menggumpal dalam usus sehingga terjadi penyumbatan pada usus.

Gejala kecacingan memang tidak nyata dan sering dikacaukan dengan penyakit-penyakit lain. Pada permulaan mungkin ada batuk-batuk. Anak yang menderita cacingan biasanya lesu, tidak bergairah, konsentrasi belajar berkurang.

Pada anak-anak yang menderita cacing gelang, perutnya nampak buncit karena jumlah cacing dan kembung perut, biasanya mata pucat, kotor seperti sakit mata, dan seperti ada batuk dan pilek. Perut sering sakit, diare, nafsu makan kurang. Anak masih dapat berjalan, sekolah dan bekerja sehingga sering kali anak tidak merasa sakit dan terjadi salah pengobatan.

Gejala klinik yang tidak khas, perlu diadakan pemeriksaan tinja untuk membuat diagnosis yang tepat, yaitu dengan menemukan telur-telur cacing di dalam tinja tersebut. Jumlah telur juga dapat dipakai sebagai pedoman untuk menentukan beratnya infeksi.

2.1.1.2. Epidemiologi

Cacing gelang, infeksi yang ditularkan melalui tanah, tergantung pada penyebaran telur ke dalam keadaan lingkungan yang cocok untuk pematangannya. Defekasi di tempat sembarangan dan menggunakan pupuk manusia merupakan praktek-praktek tidak higienis yang paling penting yang menyebabkan endemisitas


(25)

cacing gelang. Penyebaran kecacingan tersebar luas, baik di pedesaan maupun di perkotaan. Penularan cacing gelang dapat terjadi musiman atau sepanjang tahun (Behrman, 2000).

Hasil survei kecacingan di Sekolah Dasar di beberapa propinsi pada tahun 1986-1991 menunjukkan prevalensi sekitar 60%-80%, sedangkan untuk semua umur berkisar antara 40%-60% ( Depkes, 2004). Telur cacing gelang berkembang sangat baik pada tanah liat yang mempunyai kelembaban tinggi dan pada suhu 25°- 30°C. Pada kondisi ini telur tumbuh menjadi bentuk infektif (mengandung larva) dalam waktu 2-3 minggu (Onggowaluyo, 2002).

Infeksi cacing gelang terjadi bila telur infektif masuk melalui makanan atau minuman yang masuk ke mulut dan melalui tangan yang kotor (tercemar tanah dengan telur cacing). Intensitas dan prevalensi kecacingan meningkat pada anak-anak dan remaja. Puncak intensitas terjadi antara umur 5-10 tahun. Perilaku seseorang sangat penting peranannya. Intensitas dan prevalensi yang tinggi pada anak disebabkan oleh kebiasaan memasukkan jari-jari tangan yang kotor ke dalam mulut. (Watkins dan Pollitt dalam Poespoprodjo dan Sadjimin, 2000).

2.1.1.3. Pengobatan dan Pencegahan

Pengobatan dapat dilakukan secara individu atau massal pada masyarakat. Pengobatan individu dapat digunakan bermacam-macam obat misalnya preparat Piperasin, Pyrantel pamoate, Albendazole atau Mebendazole.

Pemilihan obat cacing untuk pengobatan massal harus memenuhi beberapa persyaratan, yaitu :

a. Mudah diterima di masyarakat.

b. Mempunyai efek samping yang minimum.


(26)

d. Harganya murah (terjangkau).

Pencegahan dapat dilakukan dengan cara menciptakan sanitasi lingkungan yang bersih yaitu menyediakan fasilitas pembuangan sampah dan air limbah. Keluarga yang pekerjaannya petani harus menggunakan sarung tangan apabila menggunakan pupuk dari kotoran manusia atau hewan (Insley, 2005).

2.1.2. Cacing Cambuk (Trichuris trichiura)

Dalam Mansjoer (2000) dikatakan bahwa manusia merupakan hospes cacing cambuk. Cacing dewasa berwarna merah muda, cacing betina panjangnya sekitar 5

cm dan yang jantan sekitar 4 cm. Cacing dewasa hidup di kolon asendens dengan

bagian anteriornya masuk ke dalam mukosa usus. Satu ekor cacing betina diperkirakan menghasilkan telur sehari sekitar 3.000-5.000 butir. Telur yang dibuahi dikelurkan dari hospes bersama tinja, telur menjadi matang (berisi larva dan infektif) dalam waktu 3-6 minggu di dalam tanah yang lembab dan teduh.

Cara infeksi langsung terjadi bila telur yang matang tertelan oleh manusia (hospes), kemudian larva akan keluar dari telur dan masuk ke dalam usus halus

sesudah menjadi dewasa cacing turun ke usus bagian distal dan masuk ke kolon

asendens dan sekum. Masa pertumbuhan mulai tertelan sampai menjadi cacing dewasa betina dan siap bertelur sekitar 30-90 hari.

2.1.2.1. Gejala Klinik dan Diagnosis

Perkembangan larva cacing cambuk didalam usus biasanya tidak

memberikan gejala klinik yang berarti walaupun dalam sebagian masa

perkembangannya larva memasuki mukosa intestinum tenue. Gejala pada infeksi

ringan dan sedang anak gugup, susah tidur, nafsu makan menurun, biasanya di jumpai

nyeri epigastric, muntah, kontipasi, perut kembung. Pada infeksi berat di jumpai


(27)

penurunan berat badan,. Pada infeksi sangat berat bisa terjadi prolapsus rekti akibat mengejannya penderita sewaktu defekasi. Gejala ini terjadi apabila cacing tersebar

diseluruh kolon dan rektum. Diagnosa dibuat dengan menemukan telur di dalam tinja

(Manjoer, 2000).

2.1.2.2. Epidemiologi

Penyebaran geografis cacing cambuk sama dengan cacing gelang sehingga sering kali kedua cacing ini ditemukan bersama-sama dalam satu hospes. Frekuensinya di Indonesia tinggi, terutama di daerah pedesaan, frekuensinya antara 30%-90%. Angka infeksi tertinggi ditemukan pada anak-anak. Faktor yang terpenting dalam penyebaran cacing cambuk adalah kontaminasi tanah dengan tinja yang mengandung telur cacing cambuk. Telur berkembang baik pada tanah liat, lembab dan teduh dengan suhu optimal ± 30°C. Infeksi cacing cambuk terjadi bila telur yang infektif masuk melalui mulut bersama makanan atau minuman yang tercemar atau melalui tangan yang kotor.

Di daerah hiperentemik, infeksi dapat dicegah dengan pengobatan, pembuatan MCK (mandi, cuci dan kakus) yang sehat dan teratur, penyuluhan pendidikan tentang hygiene dan sanitasi pada masyarakat (Onggowaluyo, 2002).

2.1.2.3. Pengobatan

Pengobatan yang dilakukan untuk infeksi yang disebabkan oleh cacing cambuk adalah Albendazole/Mebendazole dan Oksantel pamoate untuk melemahkan dan menghancurkan perkembangbiakan cacing di usus.

Kebersihan diri dan sanitasi lingkungan dapat mencegah terjadinya kecacingan pada manusia (Behrman, 2000).


(28)

2.1.3. Cacing Tambang (Ancylostoma duodenale & Necator americanus)

Dalam Mansjoer (2000) dikatakan bahwa hospes parasit cacing tambang adalah manusia, bentuk cacing dewasa kecil, silindris. Cacing dewasa hidup di rongga usus halus dengan giginya melekat pada mucosa usus. Cacing betina menghasilkan 9.000-10.000 butir telur sehari. Cacing betina mempunyai panjang sekitar 1 cm, cacing jantan kira-kira 0,8 cm, cacing dewasa berbentuk seperti huruf S atau C dan di dalam mulutnya ada sepasang gigi. Daur hidup cacing tambang adalah sebagai berikut, telur cacing akan keluar bersama tinja, setelah 1-1,5 hari dalam tanah, telur tersebut menetas menjadi larva rabditiform.

Dalam waktu sekitar 3 hari larva tumbuh menjadi larva filariform yang dapat menembus kulit dan dapat bertahan hidup 7-8 minggu di tanah. Setelah menembus kulit, larva ikut aliran darah ke jantung terus ke paru-paru. Di paru-paru menembus pembuluh darah masuk ke bronchus lalu ke trachea dan laring. Dari laring, larva ikut tertelan dan masuk ke dalam usus halus dan menjadi cacing dewasa. Infeksi terjadi bila larva filariform menembus kulit atau ikut tertelan bersama makanan.

2.1.3.1. Gejala Klinik dan Diagnosis

Gejala klinik dapat ditimbulkan cacing dewasa atau larvanya. Bila larva infektif menembus kulit dapat terjadi gatal-gatal. Cacing tambang dewasa yang mengisap darah penderita akan menimbulkan kekurangan darah sampai 0,1 cc per hari, sedangkan seekor cacing tambang dewasa dapat menimbulkan kekurangan darah sampai 0,34 cc per hari. Akibat anemi tersebut maka penderita tampak pucat. Berat ringannya anemia tentu juga dipengaruhi oleh keadaan kesehatan secara umum dan


(29)

nutrisi penderita. Gejala ini disebabkan cacing tambang hidup dalam rongga usus halus tapi melekat dengan giginya pada dinding usus dan menghisap darah.

Di negara-negara tropis umumnya sumber ferrum dalam makanan berupa sayur-sayuran dan buah-buahan, hal ini menyebabkan absorpsi ferrum kurang dibandingkan dengan absorpsi dari sumber produk hewani (Behrman, 2000).

2.1.3.2. Epidemiologi

Endemisitas kecacingan pada setiap lokasi spesifik tergantung pada kecocokan keadaan lingkungan untuk penetasan telur dan pematangan larva. Kondisi tanah optimal ditemukan pada banyak bagian negara tropis dan juga pada bagian Tenggara Amerika Serikat.

Kasusnya banyak ditemukan di daerah pedesaan, khususnya pada pekerja di daerah perkebunan yang kontak langsung dengan tanah. Penyebaran infeksi berhubungan dengan kebiasaan buang air besar di tanah dan pemakaian tinja sebagai pupuk kebun. Habitat yang cocok untuk pertumbuhan larva ialah tanah yang gembur (misalnya humus dan pasir).

Morbiditas kecacingan di daerah endemik terutama diderita oleh anak-anak yang umurnya lebih tua. Pada suatu penelitian setengah dari anak terinfeksi sebelum usia 5 tahun, 90% terinfeksi pada usia 9 tahun. Intensitas kecacingan bertambah sampai umur 6-7 tahun, kemudian stabil (Behrman, 2000) yaitu 10 tahun. Penyebab perbedaan distribusi umur masih belum dipahami.

Infeksi dapat dihindari dengan menggunakan alas kaki (sandal atau sepatu). Pencegahan dapat dilakukan dengan cara menghindari defekasi di sembarangan tempat (Onggowaluyo, 2002).


(30)

Obat untuk infeksi cacing tambang adalah Pyrantel pamoate (Combantrin, Pyrantin), Mebendazole (Vermox, Vermona, Vircid), Albendazole akan melenyapkan atau mengurangi secara bermakna beban cacing tambang.

Pencegahan atau pelenyapan infeksi kecacingan tergantung kepada sanitasi dan kemoterapi massal.

2.1.3. Cacing Pita (Taeniasis)

Dalam Behrman (2000) dikatakan bahwa hospes parasit cacing pita adalah manusia. Macam-macam dari cacing pita adalah cacing pita sapi (Taenia saginata), cacing pita babi (Taenia solium), dan cacing pita ikan (Diphyllobothrium latum). ukurannya berkisar dari 4-10 meter. Beribu-ribu segmen pipih (proglotid) membentuk tubuh cacing dewasa. Proglotid cacing pita sapi dan babi biasanya keluar utuh dalam tinja. Sebaliknya, proglotid cacing pita ikan sering pecah dalam usus, karena sampai 1 juta telur dapat dilepaskan perhari, telur-telur tersebut dapat diamati dalam tinja. Cacing pita babi adalah patogen yang paling serius pada kelompok ini. Manusia terinfeksi dengan bentuk dewasa bila mereka mengkonsumsi daging babi mentah atau setengah masak yang mengandung kista parasit. Cacing akan melekat pada lumen usus halus.

Cacing pita babi satu-satunya cacing pita yang skoleksnya dilengkapi dengan kait disamping pengisap. Manusia dapat terinfeksi dengan cara menelan makanan atau air yang terkontaminasi dengan telur-telur cacig lalu masuk ke mukosa usus dan menyebar secara hematogen ke banyak jaringan terutama otak dan otot.

Telur cacing pita ikan menetas dalam air segar pada pemajanan terhadap cahaya, kemudian parasit yang baru lepas tertelan pada ikan air tawar dan ikan air tawar bermata besar sejenis ikan salmon. Konsumsi ikan mentah atau tidak dimasak menyebabkan infeksi cacing pita.


(31)

2.1.4.1. Gejala Klinik dan Diagnosis

Gejala klinik pada cacing pita sapi akan menimbulkan gatal pada anus. Gejala yang ditimbulkan cacing pita babi akan menimbulkan gangguan neurologis, kognitif atau gangguan kepribadian individu. Pada penderita cacing pita ikan akan mengalami mudah lelah, demam edema dan kehilangan rasa getaran.

Pemeriksaan parasitologis tinja berguna untuk diagnosis infeksi ketiga cacing pita tersebut (Behrman, 2000).

2.1.4.2. Epidemiologi

Cacing pita sapi dan babi tersebar di seluruh dunia. Meskipun beberapa penyebaran dari orang ke orang telah didokumentasi di Amerika Serikat, penyebaran ini tidak lazim. Risiko kecacingan jauh lebih tinggi di Amerika Tengah, Afrika, India, Indonesia, dan Cina. Cacing pita ikan lebih sering dijumpai di Eropa dan Asia yang beriklim sedang, tetapi dapat ditemukan di danau dingin pada tempat yang tinggi di Amerika Selatan dan Afrika. Kasusnya banyak ditemukan di daerah pedesaan, khususnya pada orang yang suka makan daging mentah atau setengah masak (Behrman, 2000)..

Cacing pita menghisap darah dan luka-luka gigitan dilepaskan dapat menyebabkan anemia yang lebih berat (Behrman, 2000).

2.1.4.3. Pengobatan dan Pencegahan

Obat untuk infeksi cacing pita adalah Niklosamid atau Prziquante. Pencegahan kecacingan harus memasak daging sapi, babi dan ikan.

Perhatian terhadap kebersihan seseorang, menghindari buah-buahan dan sayuran segar.semua anggota keluarga harus diperiksa mengenai adanya telur dan tanda-tanda penyakit.


(32)

Lingkungan hidup adalah jumlah semua benda yang hidup dan tidak hidup serta kondisi yang ada dalam ruang yang kita tempati (Sastrawijaya, 2000).

Sanitasi lingkungan adalah bagian dari ilmu kesehatan lingkungan yang meliputi cara dan usaha individu atau masyarakat untuk mengontrol dan mengendalikan lingkungan hidup eksternal yang berbahaya bagi kesehatan serta yang dapat mengancam kelangsungan hidup manusia (Chandra, 2007).

Lingkungan hidup eksternal merupakan lingkungan di luar tubuh manusia yang terdiri atas tiga komponen, antara lain (Chandra, 2007) :

1. Lingkungan fisik bersifat abiotik atau benda mati seperti air, udara, tanah,

cuaca, makanan, rumah, panas, sinar, radiasi, dan lain-lain. Lingkungan fisik ini berinteraksi secara konstan dengan manusia sepanjang waktu dan masa serta memegang peranan penting dalam proses terjadinya penyakit pada masyarakat.

2. Lingkungan Biologi bersifat biotik atau benda hidup, misalnya

tumbuh-tumbuhan, hewan, virus, bakteri, jamur, parasit, serangga dan lain-lain yang dapat berperan sebagai agens penyakit, vektor penyakit.

3. Lingkungan Sosial berupa kultur, adat-istiadat, kebiasaan, kepercayaan,

agama, sikap, standar dan gaya hidup, pekerjaan, kehidupan kemasyarakatan, organisasi sosial dan politik.

2.2.1. Penyediaan Air Bersih

Air merupakan zat yang paling penting dalam kehidupan setelah udara. Air dipergunakan untuk memasak, mencuci, mandi, dan membersihkan kotoran yang ada di sekitar rumah. Air digunakan untuk keperluan industri, pertanian, pemadam


(33)

kebakaran, transportasi, dan lain-lain. Penyakit-penyakit yang menyerang manusia dapat juga ditularkan dan disebarkan melalui air (Chandra, 2007).

Sumber daya air di bumi meliputi (Soesanto, 2001) :

1. Mata air (air tanah yang menyembul ke permukaan tanah).

2. Air tanah (air tanah tidak tertekan dan air tanah tertekan)

3. Sungai

4. Danau

5. Air laut

Untuk kepentingan masyarakat sehari-hari, persediaan air harus memenuhi standar air minum dan tidak membahayakan kesehatan manusia.

Negara maju lebih menekankan standar kimia, sedangkan negara berkembang lebih menekankan standar biologis. Menurut Chandra (2007) dikatakan bahwa standar-standar untuk kelayakan air minum yang berlaku di Indonesia menurut Permenkes RI No.01/Birhubmas/I/1975 adalah :

a. Standar fisik : suhu, warna, bau, rasa, kekeruhan.

b. Standar biologis : kuman, parasit, patogen, bakteri golongan koli (sebagai

patokan adanya pencemaran tinja).

c. Standar kimia : Ph, jumlah zat padat, dan bahan kimia lain.

d. Standar radioaktif : radioaktif yang mungkin ada dalam air (Chandra,

2007).

Air dapat merupakan medium pembawa mikroorganisme patogenik yang berbahaya bagi kesehatan. Patogen yang sering ditemukan di dalam air terutama adalah bakteri-bakteri penyebab infeksi saluran pencernaan seperti Vibrio cholerae penyebab penyakit kolera, Shigella dysentriae, penyebab paratifus, virus polio dan


(34)

hepatitis, dan Entamoeba histolyca penyebab disentri amuba. Jumlah dan jenis mikroorganisme di dalam air dipengaruhi oleh sumber air tersebut.

Tabel 1. Beberapa Jenis dan Agent Penyakit Bawaan Air

Agent Jenis Penyakit Bakteri

Vibrio Cholera E. Coli

Salmonella Typhi Salmonella Parathypi Shigella Dysentrriae

Kolera Diare/Disentri Thypus Abdominalis Parathypus

Dysentri Metazoa

Ascaris Lumbrucoides Clonorchris sinensis Diphylobotrium latum Tanea Saginata/Solium Schistosoma

Ascaris Clonorchhiasis Taeniasis Schistomiasis

Sumber : Slamet, 1996

Sumur merupakan sumber utama persediaan air bersih bagi penduduk yang tinggal di daerah pedesaan maupun perkotaan Indonesia.

Secara teknis sumur dapat dibagi menjadi 2 jenis :

1. Sumur dangkal

Sumur dangkal memiliki sumber air yang berasal dari resapan air hujan di atas permukaan bumi terutama di daerah dataran rendah. Jenis sumur ini banyak terdapat di Indonesia dan mudah sekali terkontaminasi air kotor yang berasal dari kegiatan mandi-cuci-kakus.

2. Sumur dalam

Sumur dalam memiliki sumber air yang berasal dari proses purifikasi alami air hujan oleh lapisan kulit bumi menjadi air tanah.


(35)

1. Sumur berjarak maksimal 10 meter dan terletak lebih tinggi dari sumber pencemaran seperti kakus, kandang ternak, tempat sampah dan sebagainya.

2. Dinding sumur harus dilapisi dengan batu yang disemen. Pelapisan dinding

paling tidak sedalam 6 meter dari permukaan tanah.

3. Saluran pmbuangan air harus dibuat menyambung dengan parit agar tidak

terjadi genangan air di sekitar sumur.

4. Sumur sebaiknya ditutup dengan penutup terbuat dari batu terutama pada sumur

umum. Manfaat dari tutup sumur agar mencegah terkontaminasi air sumur dari penyakit.

5. Sumur harus dilengkapi dengan pompa tangan/listrik. Pemakaian timba dapat

memperbesar terjadinya kontaminasi.

2.2.2. Jamban

Jamban adalah suatu bangunan yang digunakan untuk membuang dan mengumpulkan kotoran yang lazim disebut WC, sehingga kotoran atau najis tersebut berada dalam suatu tempat tertentu dan tidak menjadi penyebab atau penyebar penyakit dan mengotori lingkungan pemukiman (Heru, 1995).

Manfaat jamban untuk mencegah terjadinya penularan penyakit dan pencemaran dari kotoran manusia (Chandra, 2007).

Pembuangan tinja yang tidak saniter akan menyebabkan berbagai macam penyakit seperti: diare, Cholera, disentri, poliomyelitis, ascariasis dan sebagainya. Kotoran manusia merupakan buangan padat. Selain menimbulkan bau, mengotori lingkungan juga merupakan media penularan penyakit pada masyarakat.

Perjalanan agent penyebab penyakit melalui cara transmisi seperti dari tangan, maupun melalui peralatan yang terkontaminasi atau pun melalui mata rantai lainnya.


(36)

Dimana memungkinkan tinja atau kotoran yang mengandung agent penyebab infeksi masuk melalui saluran pencernaan Chandra, 2007).

Jamban yang sehat adalah jamban yang memenuhi syarat sebagai berikut (Depkes RI, 1998):

a. Tidak mencemari sumber air minum (untuk ini letak lubang penampungan

kotoran paling sedikit berjarak 10 meter dari sumber air minum).

b. Tidak berbau dan tinja tidak dapat dijamah oleh serangga maupun tikus.

c. Air seni, air pembersih dan penggelontor tidak mencemari tanah di

sekitarnya.

d. Mudah dibersihkan, aman digunakan, dan harus terbuat dari bahan-bahan

yang kuat dan tahan lama.

e. Dilengkapi dinding dan atap pelindung, dinding kedap air dan berwarna

terang.

f. Cukup penerangan dan lantai kedap air.

g. Luas ruangan cukup.

h. Ventilasi cukup baik.

i. Tersedia air dan alat pembersih.

Cara memelihara jamban sehat (Depkes RI, 1998)

a. Lantai jamban hendaknya selalu bersih dan kering.

b. Disekeliling jamban tidak ada genangan air.

c. Tidak ada sampah yang berserakan.

d. Rumah jamban dalam keadaan baik.

e. Lalat, tikus, dan kecoa tidak ada.


(37)

g. Bila ada bagian yang rusak segera diperbaiki atau diganti.

Penyakit yang ditularkan oleh tinja yaitu Ascariasis dan Trichiniaris.

2.2.3. Pengelolaan Sampah

Sampah adalah suatu bahan/benda aktivitas manusia yang tidak dipakai lagi, tidak disenangi atau padat yang terjadi karena berhubungan dengan di buang dengan cara-cara saniter kecuali buangan yang berasal dari tubuh manusia (Kusnoputranto, 2000).

Pengaruh sampah terhadap kesehatan dapat secara langsung maupun tidak langsung. Pengaruh langsung adalah karena kontak langsung dengan sampah misalnya sampah beracun. Pengaruh tidak langsung dapat dirasakan akibat proses pembusukan, pembakaran dan pembuangan sampah. Efek tidak langsung dapat berupa penyakit bawaan, vektor yang berkembang biak di dalam sampah.

Mengingat efek daripada sampah terhadap kesehatan maka pengelolaan sampah harus memenuhi kriteria sebagai berikut :

a. Tersedia tempat sampah yang dilengkapi dengan penutup.

b. Tempat sampah terbuat dari bahan yang kuat, tahan karat, permukaan bagian

dalam rata dan dilengkapi dengan penutup.

c. Tempat sampah dikosongkan setiap 1 x 24 jam atau 2/3 bagian telah terisi

penuh.

d. Jumlah dan volume tempat sampah disesuaikan dengan volume sampah yang

dihasilkan setiap kegiatan.

e. Tersedia tempat pembuangan sampah sementara yang mudah terjangkau

kendaraan pengangkut sampah dan harus dikosongkan sekurang-kurangnya 3x24 jam.


(38)

Jenis penyakit yang dapat ditularkan dari sampah yaitu cacing gelang, Salmonella typh.

Pembuangan kotoran, air buangan dan sampah serta pemeliharaan lingkungan juga penting dalam penanggulangan penyebaran cacingan. Hal ini dibuktikan oleh Pasaribu (2004) di Kabupaten Karo yang menemukan 45,8% sampel tanah yang diperiksa mengandung telur cacing gelang.

2.2.4. Pengelolaan Air Limbah

Menurut Ehless dan Steel dalam Chandra (2007), air limbah adalah cairan buangan yang berasal dari rumah tangga, industri, dan tempat-tempat umum lainnya dan biasanya mengandung bahan-bahan atau zat yang dapat membahayakan kehidupan manusia serta mengganggu kelestarian lingkungan.

Sarana pembuangan air limbah yang sehat harus memenuhi persyaratan teknis sebagai berikut :

a. Tidak mencemari sumber air bersih.

b. Tidak menimbulkan genangan air yang menjadi sarang serangga/nyamuk.

c. Tidak menimbulkan bau.

d. Tidak menimbulkan kelembaban dan pandangan yang tidak menyenangkan.

Untuk itu pengelolaan limbah harus memiliki persyaratan teknis apabila belum ada atau tidak terjangkau oleh sistem pengelolaan limbah perkotaan. Kualitas air limbah yang dibuang ke lingkungan harus mempunyai persyaratan baku mutu air limbah sesuai peraturan.


(39)

Rumah adalah tempat tinggal suatu keluarga yang dilengkapi dengan berbagai fasilitas pendukungnya seperti sarana jalan, saluran air kotor, tempat sampah, sumber air bersih, lampu jalan, dan lain-lain (Chandra, 2007).

Kriteria rumah yang sehat dan aman dari segi lingkungan, antara lain:

a. Memiliki sumber air bersih dan sehat serta tersedia sepanjang tahun.

b. Memiliki tempat pembuangan kotoran, sampah, dan air limbah yang baik.

c. Dapat mencegah terjadi perkembangbiakan vektor penyakit, seperti nyamuk,

lalat, tikus, dan sebagainya.

d. Letak perumahan jauh dari sumber pencemaran dengan jarak minimal 5 km,

memiliki daerah penyangga atau daerah hijau (green belt) dan bebas banjir (Chandra, 2007).

Penelitian Damayanti seperti yang dikutip Hidayat (2002) menunjukkan adanya hubungan yang erat antara interaksi faktor lingkungan tempat tinggal dengan prevalensi cacing pada anak sekolah dasar. Tingginya prevalensi cacing gelang pada anak sekolah dasar di desa dibanding dengan di kota menunjukkan adanya perbedaan hygiene dan sanitasi lingkungan Penelitian tersebut menggambarkan bahwa adanya infeksi ganda cacing gelang di desa lebih tinggi dibanding dengan di kota. Hal ini menunjukkan lingkungan pedesaan merupakan faktor predisposisi untuk anak-anak sekolah dasar di desa.

Menurut Ismid et al. (1980) seperti yang dikutip Hidayat (2002), di halaman rumah telur cacing gelang banyak ditemukan di sekitar tumpukan sampah (55%) dan tempat teduh di bawah pohon (33,3%). Penelitian Hadidjaja et al (1989) menunjukkan bahwa 14-12% sampel air got yang diperiksa ternyata positip mengandung telur cacing. Telur cacing juga banyak ditemukan di sekitar sumur, tempat cuci, dekat


(40)

jamban, pinggiran kali bahkan dekat di dalam rumah. Kepadatan penghuni dalam rumah juga berperan terhadap penularan kecacingan.

2.3. Hygiene

2.3.1. Definisi Hygiene

Hygiene berasal dari bahasa Yunani yang artinya bersih. Kebersihan adalah suatu tindakan untuk memelihara kebersihan dan kesehatan seseorang untuk kesejahteraan fisik dan psikis. Kesehatan pribadi yang buruk pada masa tersebut akan dapat mengganggu perkembangan kualitas sumber daya manusia.

Keadaan tangan dan kuku yang kotor serta kebiasaan-kebiasaan lain yang salah tentang kesehatan pribadi tersebut akan dapat menimbulkan infeksi kecacingan (Tarwoto dan Wartonah,2006).

Dalam praktiknya upaya hygiene antara lain meminum air yang sudah direbus sampai mendidih dengan suhu 100°C selama 5 menit, mandi dua kali sehari agar badan selalu bersih dan segar, mencuci tangan dengan sabun sebelum memegang makanan, mengambil makanan dengan alat seperti sendok atau penjepit, dan menjaga kebersihan kuku serta memotongnya bila panjang (Azwar, 1993).

Menurut Entjang (2000), usaha kesehatan perorangan adalah daya upaya seseorang untuk memelihara dan mempertinggi derajat kesehatannya sendiri.

Usaha usaha tersebut antara lain adalah :

a. Memelihara kebersihan, hal-hal yang termasuk ke dalam usaha memelihara

kebersihan ini adalah kebersihan badan (mandi minimal 2x sehari, menggosok gigi secara teratur, dan mencuci tangan sebelum memegang makanan dan sesudah makan), menjaga kebersihan pakaian (selalu di cuci dan


(41)

di setrika), memelihara kebersihan rumah dan lingkungan (selalu disapu, membuang sampah, buang air besar dan air limbah pada tempatnya).

b. Makanan sehat adalah makanan yang harus selalu dijaga kebersihannya,

bebas dari penyakit, cukup kuantitas dan kualitasnya.

c. Cara hidup yang sehat yaitu makan, tidur, bekerja dan beristirahat secara

teratur termasuk rekreasi dan menikmati hiburan pada waktunya.

d. Meningkatkan daya tahan tubuh untuk mendapatkan kekebalan terhadap

penyakit perlu mendapatkan vaksinasi, olah raga yang teratur untuk menjaga agar badan selalu bugar.

e. Menghindari terjadinya penyakit agar selalu sehat, hindari kontak dengan

sumber penularan penyakit baik yang berasal dari penderita maupun dari sumber lainnya, menghindari pergaulan yang tidak baik, selalu berfikir dan berbuat baik.

f. Pemeriksaan kesehatan untuk menjaga badan agar selalu sehat, perlu

dilakukan pemeriksaan secara periodik, walaupun merasa sehat, dan segera memeriksakan diri apabila merasa sakit.

2.3.2. Kebersihan tangan, kaki dan kuku

Tangan sangat berperan dalam penularan penyakit, khususnya penyakit yang ditularkan melalui makanan dan minuman yang masuk ke mulut, misalnya cacingan. Tangan kotor setelah mencebok pada waktu buang air besar atau memegang kotoran lainnya harus dicuci dengan bersih agar terbebas dari segala bibit penyakit yang melekat pada tangan. Mencuci tangan dengan benar berarti mencuci tangan dengan air yang cukup dan menggunakan sabun.

Menggosok tangan hendaknya dilakukan dengan baik sehingga seluruh bagian dari tangan tercuci sempurna dan menggunakan lap khusus untuk mengeringkan


(42)

tangan. Pakaian yang mungkin sudah kotor jangan digunakan. Kebersihan tangan, kaki dan kuku secara wajar penting artinya bagi manusia dalam usia berapapun. Untuk menjaga kebersihan tangan, kaki dan kuku selalu melakukan mencuci tangan dengan benar harus dilakukan cara-cara :

a. Membersihkan tangan sebelum makan dan setelah makan.

b. Setelah buang air besar.

c. Sebelum memasak atau menyiapkan makanan.

d. Sebelum memberikan makanan bayi dan anak-anak (sebelum memegang

makanan).

e. Sebelum menyusui.

f. Setelah memegang hewan, ternak atau benda-benda kotor lainnya.

g. Mencuci kaki sebelum tidur.

Sewaktu mencuci tangan bagian kuku hendaklah mendapatkan perhatian yang lebih karena kuku yang terawat dan bersih juga merupakan cerminan kepribadian seseorang. Kuku yang panjang dan tidak terawat akan menjadi tempat melekatnya berbagai kotoran yang mengandung berbagai bahan dan mikroorganisme diantaranya bakteri dan telur cacing.

Kuku jari tangan yang kotor kemungkinan terselip telur cacing akan tertelan ketika makan. Hal ini akan lebih parah apabila tidak terbiasa mencuci tangan memakai sabun sebelum makan, bahkan pada anak-anak yang menderita Oxyuriasis akan mengalami auto infeksi ketika mengisap jari sewaktu tidur (Luize A, 2004 dan Onggowaluyo, 2002).


(43)

Anak adalah individu yang unik dan bukan orang dewasa mini. Anak juga bukan merupakan harta atau kekayaan orangtua yang dapat dinilai secara ekonomi, melainkan masa depan bangsa yang berhak atas pelayanan kesehatan secara individual. Anak adalah individu yang masih bergantung pada orang dewasa dan lingkungannya, artinya membutuhkan lingkungan yang dapat memfasilitasi dalam memenuhi kebutuhan dasarnya dan untuk belajar mandiri. Lingkungan yang dimaksud bisa berupa keluarga (orangtua), pengurus panti (bila anak berada di panti asuhan).

Perkembangan psikososial (Erikson dalam Supartini, 2004) pada anak usia 6

sampai 12 tahun adalah anak akan belajar untuk bekerja sama dan bersaing dengan anak lainnya melalui kegiatan yang dilakukan baik dalam kegiatan akademik maupun dalam pergaulan melalui permainan bersama. Terjadinya perubahan fisik, emosi, dan sosial pada anak berpengaruh terhadap gambaran terhadap tubuhnya. Interaksi sosial lebih luas dengan teman, umpan balik berupa kritik dan evaluasi dai teman atau lingkungannya, mencerminkan penerimaan dan kelompok akan membantu anak semakin mempunyai konsep diri positif.

Anak sudah dapat berfikir konsep tentang waktu dan mengingat kejadian yang lalu serta menyadari kegiatan yang dilakukan berulang-ulang, tetapi pemahamannya belum mendalam, selanjutnya akan semakin berkembang di akhir usia sekolah atau awal masa remaja (Supartini, 2004).

2.5. Dampak Kecacingan

2.5.1 Dampak Kecacingan terhadap Kualitas Sumber Daya Manusia

Dalam rangka mewujudkan bangsa yang maju dan mandiri serta sejahtera lahir dan batin, pembangunan kesehatan ditujukan untuk mewujudkan manusia sehat, produktif dan mempunyai daya saing yang tinggi. Salah satu ciri bangsa yang maju


(44)

adalah bangsa yang mempunyai derajat kesehatan yang tinggi pula, pada pembangunan jangka panjang kedua pembangunan kesehatan diarahkan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat dan kualitas sumber daya manusia.

Penyakit kecacingan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi terhadap penurunan kualitas SDM, mengingat kecacingan akan menghambat pertumbuhan fisik dan kecerdasan anak serta produktifitas kerja. Sampai saat ini, penyakit kecacingan masih merupakan masalah kesehatan masyarakat Indonesia terutama di daerah pedesaan. Sedangkan salah satu faktor yang mempengaruhi tingginya prevalensi kecacingan adalah kebersihan pribadi (Depkes RI, 2002).

2.5.2. Dampak Kecacingan terhadap Intelektual dan Kecerdasan Anak

Secara umum, berpengaruh terhadap tingkat kecerdasan mental dan prestasi anak sekolah. Hasil penelitian Bundy tahun 1992 menunjukkan bahwa anak-anak sekolah dasar di Jamaika yang terinfeksi cacing cambuk mengalami penurunan kemampuan berfikir.

Penyakit ini tidak menyebabkan orang mati mendadak, akan tetapi menyebabkan penderita semakin lemah karena kehilangan darah yang menahun sehingga menurunkan prestasi. Di samping itu daya tahan tubuh juga menurun sehingga dapat memperberat penyakit lainnya. (Depkes RI, 1995).

2.5.3. Pengaruh Kondisi Sanitasi Lingkungan terhadap Kecacingan

Salah satu masalah kesehatan masyarakat Indonesia yang tidak kurang pentingnya adalah infeksi cacing usus karena prevalensinya masih tinggi. Hal ini dikarenakan Indonesia berada dalam posisi geografi dengan temperatur kelembaban yang tinggi. Pengaruh lingkungan global dan semakin meningkatnya komunitas manusia serta kesadaran penciptaan hygiene dan sanitasi yang semakin menurun,


(45)

merupakan faktor yang mempunyai andil besar terhadap penularan parasit pada umumnya dan cacing yang hidup pada manusia khususnya, sebagai contoh :

a. Pembuangan tinja yang kurang memenuhi syarat kesehatan, misalnya : tanah

tergolong hospes perantara atau tuan rumah sementara, tempat berkembangnya telur-telur atau larva cacing sebelum dapat menular dari seseorang ke orang lain, yaitu larvanya yang ada di tinja menembus kulit memasuki tubuh.

b. Penyediaan air bersih yang tidak memenuhi syarat kesehatan dapat juga sebagai

media penularan melalui mulut menyertai makanan atau minuman yang terkontaminasi oleh tinja yang mengandung telur cacing (Depkes RI, 2002).

2.6. Konsep Dasar Perilaku

Perilaku adalah suatu kegiatan atau aktivitas organisme (mahluk hidup) yang bersangkutan. Jadi perilaku manusia pada hakekatnya adalah suatu aktivitas dari manusia itu sendiri. Oleh sebab itu, dari sudut pandang biologis semua mahluk hidup mulai dari tumbuh-tumbuhan, binatang sampai dengan manusia itu berperilaku, karena mereka mempunyai aktivitas masing-masing (Notoadmojo,2005a).

2.6.1. Prosedur Pembentukan Perilaku

Prosedur pembentukan perilaku dalam operant conditioning menurut Skinner dalam Notoadmojo (2005a) adalah sebagai berikut :

a. Melakukan identifikasi tentang hal-hal yang merupakan penguat atau

reinforcer berupa hadiah-hadiah atau rewards bagi perilaku yang akan dibentuk.

b. Melakukan analisis untuk mengidentifikasi komponen-komponen kecil yang


(46)

tersebut disusun dalam urutan yang tepat untuk menuju kepada terbentuknya perilaku yang dimaksud.

c. Dengan menggunakan secara urut komponen-komponen itu sebagai tujuan

sementara, mengidentifikasi reinforcer atau hadiah untuk masing-masing komponen tersebut.

d. Melakukan pembentukan perilaku dengan menggunakan urutan komponen

yang telah tersusun itu. Apabila komponen pertama telah dilakukan maka hadiahnya diberikan. Hal ini akan mengakibatkan komponen atau perilaku (tindakan) tersebut cenderung akan sering dilakukan. Kalau perilaku ini sudah terbentuk kemudian dilakukan komponen (perilaku) yang kedua, diberi hadiah (komponen pertama tidak memerlukan hadiah lagi), demikian berulang-ulang sampai komponen kedua terbentuk. Setelah itu dilanjutkan dengan komponen ketiga, keempat, dan selanjutnya sampai seluruh perilaku yang diharapkan terbentuk.

Perilaku untuk buang air besar di sembarangan tempat dan kebiasaan tidak memakai alas kaki mempunyai intensitas cacing tambang pada penduduk di Desa Jagapati Bali, dengan pola transmisi kecacingan tersebut pada umumnya terjadi di dekat rumah (Bakta, 1995). Kebiasaan buang air besar di sungai secara menetap ternyata menyebabkan tingginya infeksi oleh ” Soil-Transmited Helminths” pada masyarakat Sanliurfa Turkey (Ulukanligil et. Al, 2001).

2.6.2. Domain Perilaku

Perilaku manusia itu sangat kompleks dan mempunyai ruang lingkup yang sangat luas. Benyamin Bloom dalam Notoatmodjo (2007) seorang ahli psikologi pendidikan membagi perilaku itu kedalam 3 domain (ranah / kawasan) yang terdiri dari a) ranah kognitif, b) ranah afektif, c) ranah psikomotor.


(47)

2.6.2.1. Pengetahuan

Pengetahuan merupakan hasil tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indera manusia, yakni penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga (Notoadmojo, 2003).

Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang. Karena dari pengalaman dan penelitian ternyata perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan. Pengetahuan yang ada pada diri manusia bertujuan untuk dapat menjawab masalah-masalah kehidupan yang dihadapinya sehari-hari dan digunakan untuk menawarkan berbagai kemudahan bagi manusia. Dalam hal ini pengetahuan dapat diibaratkan sebagai suatu alat yang dipakai manusia dalam menyelesaikan persoalan yang dihadapinya.

Menurut Notoadmodjo (2003a) unsur-unsur dalam pengetahuan pada diri manusia terdiri dari : (1) Pengertian dan pemahaman tentang apa yang dilakukan. (2) Keyakinan dan kepercayaan tentang manfaat kebenaran dari apa yang dilakukannya. (3) Sarana yang diperlukan untuk melakukannya. (4) Dorongan atau motivasi untuk berbuat yang dilandasi oleh kebutuhan yang dirasakannya.

Penelitian Rogers dalam Notoadmojo (2003a) mengungkapkan bahwa sebelum orang mengadopsi perilaku baru (berperilaku baru), didalam diri orang tersebut terjadi proses yang berurutan, yakni : a) Kesadaran dimana orang tersebut menyadari dalam arti mengetahui terlebih dahulu terhadap stimulus (objek). b) Merasa tertarik terhadap stimulus atau objek tersebut, disini sikap subjek sudah mulai timbul. c) Menimbang-nimbang terhadap baik dan tidaknya stimulus tersebut bagi dirinya, hal ini berarti sikap responden sudah lebih baik lagi. d) Trial dimana subjek


(48)

mulai mencoba untuk melakukan sesuatu sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh stimulus. e) Adopsi dimana subjek telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan, kesadaran dan sikapnya terhadap stimulus.

Namun demikian dari penelitian selanjutnya Rogers menyimpulkan bahwa perubahan perilaku tidak selalu melewati tahapan-tahapan tersebut diatas. Apabila penerimaan perilaku baru atau adopsi perilaku melalui proses seperti ini dimana didasari oleh pengetahuan, kesadaran dan sikap yang positif maka perilaku tersebut akan bersifat langgeng. Sebaliknya apabila perilaku itu tidak didasari oleh pengetahuan dan kesadaran akan tidak berlangsung lama.

Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket yang menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari subjek penelitian atau responden. Kedalaman pengetahuan yang ingin kita ketahui atau kita ukur dapat kita sesuaikan dengan tingkat-tingkat tersebut diatas.

Pengetahuan tentang objek dapat diperoleh dari pengalaman, guru, orangtua, teman, buku, dan media masa (WHO, 1992 dalam Wachidanijah, 2002). Pengetahuan seseorang terhadap suatu objek dapat berubah dan berkembang sesuai dengan kemampuan, kebutuhan, pengalaman dan tinggi rendahnya mobilitas tentang objek tersebut di lingkungannya.

Salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya penularan kecacingan adalah kurangnya pengetahuan tentang kecacingan. Penelitian Wachidanijah, (2002) menunjukkan bahwa terdapat kecendrungan makin tinggi Pengetahuan semakin baik perilaku dalam hubungan dengan kecacingan.

2.6.2.2 Sikap

Sikap merupakan reaksi atau respons seseorang yang masih tertutup terhadap suatu stimulus atau objek


(49)

Dalam kehidupan sehari-hari merupakan reaksi yang bersifat emosional terhadap stimulus sosial. Newcomb, salah seorang ahli psikologi sosial, menyatakan bahwa sikap itu merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak dan bukan merupakan pelaksana motif tertentu.

Sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktivitas akan tetapi merupakan predisposisi tindakan atau perilaku. Sikap itu masih merupakan reaksi tertutup bukan merupakan reaksi terbuka tingkah laku yang terbuka. Lebih dapat dijelaskan lagi bahwa sikap merupakan reaksi terhadap objek di lingkungan tertentu sebagai suatu penghayatan terhadap objek.

Dalam bagian lain Allport dalam Notoadmojo (2005a) menjelaskan bahwa sikap itu mempunyai 3 komponen pokok, yakni : (1) Kepercayaan (keyakinan), ide dan konsep terhadap suatu objek. (2) Kehidupan emosional atau evaluasi emosional terhadap suatu objek. (3) Kecenderungan untuk bertindak

Ketiga komponen ini secara bersama-sama membentuk sikap yang utuh. Dalam penentuan sikap yang utuh ini, pengetahuan, berpikir, keyakinan dan emosi memegang peranan penting. Menurut Berkomitz dalam Azwar (2007), sikap adalah suatu bentuk mendukung atau memihak maupun perasaan tidak mendukung atau tidak memihak.

Suatu contoh seorang ibu telah mendengarkan penyakit kecacingan (penyebab, akibat, pencegahan, dan sebagainya). Pengetahuan ini akan membawa ibu untuk berpikir dan berusaha supaya anaknya tidak terkena penyakit kecacingan. Dalam berpikir ini, komponen emosi dan keyakinan ikut bekerja sehingga ibu tersebut berniat akan mengajari anaknya agar melakukan kebersihan diri, memasak makanan dengan menyuci sayuran sampai bersih supaya anaknya tidak terkena penyakit


(50)

kecacingan. Sehingga ibu ini mempunyai sikap tertentu terhadap objek yang berupa penyakit kecacingan ini.

Pengukuran sikap dilakukan dengan secara langsung dan tidak langsung. Secara langsung dapat ditanyakan bagaimana pendapat atau pernyataan responden terhadap suatu objek. Secara tidak langsung dapat dilakukan dengan pernyataan-pernyataan hipotesis kemudian ditanyakan pendapat responden.

2.6.2.3. Tindakan

Suatu sikap belum otomatis terwujud dalam bentuk tindakan. Untuk terwujudnya sikap menjadi suatu perbuatan nyata diperlukan faktor pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan, antara lain adalah fasilitas.

Praktek ini mempunyai beberapa tingkatan : (1) Persepsi, mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan dengan tindakan yang akan diambil merupakan praktek tingkat pertama. (2) Respon Terpimpin, dapat melakukan sesuatu sesuai dengan urutan yang benar sesuai dengan contoh merupakan indikator praktek tingkat kedua. Misalnya seorang ibu dapat memasak sayur dengan benar, mulai dari cara mencuci dan memotong-motongnya, lamanya memasak dan menutup pancinya. (3) Mekanisme, apabila seseorang telah dapat melakukan sesuatu dengan benar secara otomatis atau sesuatu itu sudah merupakan kebiasaan maka ia sudah mencapai praktek tingkat tiga. Misalnya seorang ibu yang sudah biasa memberikan obat 6 bulan sekali tanpa menunggu perintah atau ajakan orang. (4) Adaptasi adalah suatu praktek atau tindakan yang sudah berkembang dengan baik. Artinya tindakan itu sudah dimodifikasinya sendiri tanpa mengurangi kebenaran tindakannya tersebut. Misalnya ibu dapat memilih dan memasak makanan yang bergizi tinggi berdasarkan bahan-bahan murah dan sederhana.


(51)

Hasil penelitian Limin di Kecamatan Sei Bingei Langkat tahun 2005, menunjukkan bahwa ibu dengan pengetahuan rendah mempunyai risiko 13,9 kali mengalami kecacingan pada anaknya dibandingkan ibu yang mempunyai pengetahuan tinggi. Ibu dengan sikap kurang mempunyai risiko 20,9 kali mengalami kejadian kecacingan pada anaknya dibandingkan ibu dengan sikap yang baik. Sedangkan ibu keluarga dengan penghasilan rendah berisiko 44,6 kali mengalami kejadian kecacingan pada anaknya dibandingkan ibu dari keluarga dengan penghasilan tinggi.

2.6.3 Perilaku Kesehatan

Perilaku kesehatan adalah semua aktivitas atau kegiatan seseorang, baik yang diamati maupun yang tidak diamati, yang berkaitan dengan pemeliharaan dan peningkatan kesehatan. pemeliharaan kesehatan ini mencakup mencegah atau melindungi diri dari penyakit dan masalah kesehatan lain, meningkatkan kesehatan dan mencari penyembuhan apabila sakit atau terkena masalah kesehatan (Notoadmojo, 2005a).

Perilaku kesehatan dalam Notoadmojo (2003b) dapat diklasifikasikan menjadi 3 kelompok yaitu:

1. Perilaku pemeliharaan kesehatan

Perilaku atau upaya individu untuk memelihara atau menjaga kesehatan agar tidak sakit dan usaha untuk penyembuhan bilamana sakit.

Perilaku pemeliharaan kesehatan terdiri dari 3 aspek :

a. Perilaku pencegahan penyakit dan penyembuhan penyakit bila sakit serta


(52)

b. Perilaku peningkatan kesehatan, apabila seseorang dalam keadaan sehat sehingga dapat mencapai tingkat kesehatan yang optimal.

c. Perilaku gizi, makanan dan minuman dapat memelihara dan meningkatkan

kesehatan tetapi dapat juga menjadi penyebab menurunnya kesehatan bahkan dapat mendatangkan penyakit.

2. Perilaku pencarian dan penggunaan sistem atau fasilitasi pelayanan kesehatan

(perilaku pencarian pengobatan). Menyangkut upaya/tindakan seseorang saat sakit/kecelakaan, mulai dari mengobati sendiri, dukun, mantri, dokter, bahkan pencarian pengobatan sampai ke luar negeri.

3. Perilaku kesehatan lingkungan

Cara seseorang merespon lingkungan fisik, sosial budaya dan sebagainya, sehingga lingkungan tersebut tidak mempengaruhi/mengganggu kesehatannya, keluarga dan masyarakat.

2.7. Landasan Teori

Konsep Blum dalam Notoadmojo (2005a) menjelaskan bahwa derajat kesehatan di pengaruhi oleh 4 faktor utama, yakni : lingkungan, perilaku, pelayanan kesehatan dan herediter. Perilaku merupakan faktor yang terbesar kedua setelah faktor lingkungan yang mempengaruhi kesehatan individu, kelompok, atau masyarakat. Intervensi terhadap faktor perilaku dapat dilakukan melalui dua upaya yang bertentangan yaitu tekanan dan pendidikan. Agar intervensi kedua upaya tersebut efektif, maka sebelum dilakukan intervensi perlu dilakukan diagnosis terhadap masalah perilaku tersebut.

Konsep umum yang digunakan untuk mendiagnosa perilaku kesehatan adalah model Precede-Proceed dari Lawrence Green (1980) dalam Glanz.K. (2002), menunjukkan bahwa perilaku kesehatan yang nantinya akan mempengaruhi kualitas


(53)

seseorang dipengaruhi oleh 3 faktor utama, yaitu: faktor predisposisi mencakup pengetahuan,sikap individu, tradisi, kepercayaan, norma sosial dan unsur-unsur lain yang terdapat dalam diri individu atau masyarakat.

Faktor pendukung ketersediaan sarana dan prasarana atau fasilitas kesehatan bagi masyarakat misalnya air bersih, tempat pembuangan sampah, tempat pembuangan tinja dan sebagainya. Termasuk juga fasilitas pelayanan kesehatan seperti puskesmas dan rumah sakit. Faktor pendorong adalah sikap dan perilaku petugas kesehatan. Pendekatan ini disebut model Precede, yakni predisposing, reinforcing and enabling couse in educational diagnosis and evaluation.

Teori WHO dalam Notoadmodjo S. (2003), juga menjelaskan 4 alasan pokok mengapa seseorang berperilaku yaitu :

a. Pemikiran dan perasaan.

b. Adanya acuan atau referensi dari seseorang atau perilaku yang dipercaya .

c. Sumber daya.

d. Sosial Budaya.

Apabila konsep Green yang menjelaskan bahwa derajat kesehatan itu dipengaruhi 4 faktor utama maka promosi kesehatan adalah intervensi terhadap faktor perilaku. Kedua konsep tersebut dapat diilustrasikan seperti pada gambar di bawah ini :

Promosi Kesehatan

Kesehatan Perilaku

dan cara hidup Faktor

Predisposisi

Faktor Penguat Pendidikan

Kesehatan

Kualitas Hidup


(1)

Risk Estimate

.783 .380 1.613

.864 .563 1.326

1.104 .821 1.484

125 Odds Ratio for infeksi

kecacingan (negatif / positip)

For cohort Umur Anak Responden = Umur anak 5-8 tahun For cohort Umur Anak Responden = Umur anak 9-12 tahun N of Valid Cases

Value Lower Upper

95% Confidence Interval

9. Kecacingan * Jenis Kelamin Anak

Crosstab

36 36 72

50.0% 50.0% 100.0%

24 29 53

45.3% 54.7% 100.0%

60 65 125

48.0% 52.0% 100.0%

Count % within infeksi kecacingan Count % within infeksi kecacingan Count % within infeksi kecacingan negatif

positip infeksi kecacingan

Total

perempuan laki-laki Jenis Kelamin Anak

Total

Chi-Square Tests

.272b 1 .602

.116 1 .733

.272 1 .602

.717 .367

.270 1 .603

125 Pearson Chi-Square

Continuity Correctiona

Likelihood Ratio Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association N of Valid Cases

Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided)

Computed only for a 2x2 table a.

0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 25. 44.

b.

Risk Estimate

1.208 .593 2.461

1.104 .759 1.607

.914 .653 1.280

125 Odds Ratio for infeksi

kecacingan (negatif / positip)

For cohort Jenis Kelamin Anak = perempuan For cohort Jenis Kelamin Anak = laki-laki N of Valid Cases

Value Lower Upper

95% Confidence Interval


(2)

Crosstab

39 33 72

54.2% 45.8% 100.0%

13 40 53

24.5% 75.5% 100.0%

52 73 125

41.6% 58.4% 100.0%

Count % within infeksi kecacingan Count % within infeksi kecacingan Count % within infeksi kecacingan negatif

positip infeksi kecacingan

Total

Baik Buruk

Kebersihan Anak Responden

Total

Chi-Square Tests

11.038b 1 .001

9.852 1 .002

11.377 1 .001

.001 .001

10.950 1 .001

125 Pearson Chi-Square

Continuity Correctiona

Likelihood Ratio Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association N of Valid Cases

Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided)

Computed only for a 2x2 table a.

0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 22. 05.

b.

Risk Estimate

3.636

1.669

7.923

2.208

1.316

3.706

.607

.452

.815

125

Odds Ratio for infeksi

kecacingan (negatif /

positip)

For cohort Kebersihan

Anak Responden = Baik

For cohort Kebersihan

Anak Responden = Buruk

N of Valid Cases

Value

Lower

Upper

95% Confidence

Interval

11. kecacingan * Jamban

Crosstab

40 32 72

55.6% 44.4% 100.0%

19 34 53

35.8% 64.2% 100.0%

59 66 125

47.2% 52.8% 100.0%

Count % within infeksi kecacingan Count % within infeksi kecacingan Count % within infeksi kecacingan negatif

positip infeksi kecacingan

Total

Risiko tinggi

Risiko rendah Jamban sehat


(3)

Chi-Square Tests

4.757b 1 .029

3.999 1 .046

4.802 1 .028

.032 .022

4.719 1 .030

125 Pearson Chi-Square

Continuity Correctiona

Likelihood Ratio Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association N of Valid Cases

Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided)

Computed only for a 2x2 table a.

0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 25. 02.

b.

Risk Estimate

2.237 1.079 4.636

1.550 1.023 2.347

.693 .499 .961

125 Odds Ratio for

infeksi kecacingan (negatif / positip) For cohort Jamban sehat = memiliki For cohort Jamban sehat = tidak N of Valid Cases

Value Lower Upper

95% Confidence Interval

Lampiran 8

Hasil Analisa Multivariat (Logistic Regression

)

Omnibus Tests of Model Coefficients

5.497 1 .019

5.497 1 .019

5.497 1 .019

Step Block Model Step 1

Chi-square df Sig.

Variables in the Equation

.862 .372 5.351 1 .021 2.367 1.141 4.911

-1.631 .608 7.191 1 .007 .196

tahuktgr Constant Step 1a

B S.E. Wald df Sig. Exp(B) Lower Upper

95.0% C.I.for EXP(B)

Variable(s) entered on step 1: tahuktgr. a.

Logistic Regression

Omnibus Tests of Model Coefficients

6.196 1 .013

6.196 1 .013

6.196 1 .013

Step Block Model Step 1


(4)

Variables in the Equation

.913 .371 6.051 1 .014 2.493 1.204 5.162

-1.651 .583 8.030 1 .005 .192

sikapkgr Constant Step

1a

B S.E. Wald df Sig. Exp(B) Lower Upper

95.0% C.I.for EXP(B)

Variable(s) entered on step 1: sikapkgr. a.

Logistic Regression

Omnibus Tests of Model Coefficients

11.471 1 .001

11.471 1 .001

11.471 1 .001

Step Block Model Step 1

Chi-square df Sig.

Variables in the Equation

1.257 .380 10.960 1 .001 3.515 1.670 7.399

-2.153 .596 13.045 1 .000 .116

tindktgr Constant Step

1a

B S.E. Wald df Sig. Exp(B) Lower Upper

95.0% C.I.for EXP(B)

Variable(s) entered on step 1: tindktgr. a.

Logistic Regression

Omnibus Tests of Model Coefficients

6.735 1 .009

6.735 1 .009

6.735 1 .009

Step Block Model Step 1

Chi-square df Sig.

Variables in the Equation

.953 .372 6.543 1 .011 2.593 1.249 5.381

-1.741 .597 8.494 1 .004 .175

airktgri Constant Step

1a

B S.E. Wald df Sig. Exp(B) Lower Upper

95.0% C.I.for EXP(B)

Variable(s) entered on step 1: airktgri. a.

Logistic Regression

Omnibus Tests of Model Coefficients

11.242 1 .001 11.242 1 .001 11.242 1 .001 Step

Block Model Step 1

Chi-square df Sig.

Variables in the Equation

1.347 .423 10.143 1 .001 3.847 1.679 8.816 -2.571 .753 11.655 1 .001 .076

smphktgr Constant Step 1a

B S.E. Wald df Sig. Exp(B) Lower Upper 95.0% C.I.for EXP(B)

Variable(s) entered on step 1: smphktgr. a.

Logistic Regression

Omnibus Tests of Model Coefficients

9.328 1 .002

9.328 1 .002

9.328 1 .002

Step Block Model Step 1

Chi-square df Sig.

Variables in the Equation

1.235 .424 8.503 1 .004 3.440 1.499 7.892

-2.399 .757 10.036 1 .002 .091

palktgr Constant Step

1a

B S.E. Wald df Sig. Exp(B) Lower Upper

95.0% C.I.for EXP(B)

Variable(s) entered on step 1: palktgr. a.


(5)

Omnibus Tests of Model Coefficients

20.343 1 .000 20.343 1 .000 20.343 1 .000 Step

Block Model Step 1

Chi-square df Sig.

Variables in the Equation

1.706 .395 18.673 1 .000 5.506 2.540 11.936

-2.824 .624 20.447 1 .000 .059

rmhktgr Constant Step 1

a

B S.E. Wald df Sig. Exp(B) Lower Upper

95.0% C.I.for EXP(B)

Variable(s) entered on step 1: rmhktgr. a.

Logistic Regression

Omnibus Tests of Model Coefficients

.441 1 .506

.441 1 .506

.441 1 .506

Step Block Model Step 1

Chi-square df Sig.

Variables in the Equation

-.245 .369 .442 1 .506 .783 .380 1.613

.085 .615 .019 1 .890 1.088

umrktgr Constant Step 1a

B S.E. Wald df Sig. Exp(B) Lower Upper

95.0% C.I.for EXP(B)

Variable(s) entered on step 1: umrktgr. a.

Logistic Regression

Omnibus Tests of Model Coefficients

.272 1 .602

.272 1 .602

.272 1 .602

Step Block Model Step 1

Chi-square df Sig.

Variables in the Equation

.189 .363 .272 1 .602 1.208 .593 2.461

-.595 .583 1.040 1 .308 .552

sexanak Constant Step

1a

B S.E. Wald df Sig. Exp(B) Lower Upper

95.0% C.I.for EXP(B)

Variable(s) entered on step 1: sexanak. a.

Logistic Regression

Omnibus Tests of Model Coefficients

11.377 1 .001

11.377 1 .001

11.377 1 .001

Step Block Model Step 1

Chi-square df Sig.

Variables in the Equation

1.291 .397 10.557 1 .001 3.636 1.669 7.923

-2.390 .682 12.265 1 .000 .092

bershktg Constant Step

1a

B S.E. Wald df Sig. Exp(B) Lower Upper

95.0% C.I.for EXP(B)

Variable(s) entered on step 1: bershktg. a.

Logistic Regression

Omnibus Tests of Model Coefficients

4.802 1 .028

4.802 1 .028

4.802 1 .028

Step Block Model Step 1


(6)

Variables in the Equation

.805 .372 4.687 1 .030 2.237 1.079 4.636

-1.550 .609 6.468 1 .011 .212

jambankat Constant Step

1a

B S.E. Wald df Sig. Exp(B) Lower Upper

95.0% C.I.for EXP(B)

Variable(s) entered on step 1: jambankat. a.

Logistic Regression

Variables in the Equation

.774 .538 2.075 1 .150 2.169 .756 6.220

1.181 .548 4.641 1 .031 3.259 1.113 9.547

.484 .535 .820 1 .365 1.623 .569 4.629

.426 .515 .686 1 .408 1.532 .558 4.204

1.743 .592 8.653 1 .003 5.712 1.789 18.240

1.411 .621 5.160 1 .023 4.099 1.214 13.847

1.680 .548 9.399 1 .002 5.368 1.833 15.717

1.709 .556 9.452 1 .002 5.521 1.858 16.408

.657 .534 1.514 1 .218 1.930 .677 5.498

-16.199 2.883 31.561 1 .000 .000

tahuktgr sikapkgr tindktgr airktgri smphktgr palktgr rmhktgr bershktg jambankat Constant Step

1a

B S.E. Wald df Sig. Exp(B) Lower Upper

95.0% C.I.for EXP(B)

Variable(s) entered on step 1: tahuktgr, sikapkgr, tindktgr, airktgri, smphktgr, palktgr, rmhktgr, bershktg, jamb a.

Logistic Regression

Variables in the Equation

.765 .534 2.049 1 .152 2.148 .754 6.120

1.167 .545 4.586 1 .032 3.212 1.104 9.344

.591 .518 1.299 1 .254 1.806 .654 4.987

1.742 .590 8.706 1 .003 5.710 1.795 18.165

1.516 .606 6.259 1 .012 4.552 1.388 14.923

1.714 .543 9.979 1 .002 5.551 1.917 16.076

1.707 .556 9.434 1 .002 5.514 1.855 16.391

.679 .529 1.645 1 .200 1.971 .699 5.561

-15.938 2.857 31.112 1 .000 .000

tahuktgr sikapkgr tindktgr smphktgr palktgr rmhktgr bershktg jambankat Constant Step

1a

B S.E. Wald df Sig. Exp(B) Lower Upper

95.0% C.I.for EXP(B)

Variable(s) entered on step 1: tahuktgr, sikapkgr, tindktgr, smphktgr, palktgr, rmhktgr, bershktg, jambankat. a.

Logistic Regression

Variables in the Equation

.801 .528 2.302 1 .129 2.227 .792 6.267

1.325 .531 6.230 1 .013 3.762 1.329 10.647

1.880 .576 10.665 1 .001 6.551 2.120 20.241

1.538 .609 6.375 1 .012 4.654 1.411 15.355

1.870 .528 12.531 1 .000 6.486 2.304 18.264

1.745 .556 9.841 1 .002 5.724 1.924 17.025

.648 .521 1.548 1 .213 1.911 .689 5.301

-15.883 2.900 30.004 1 .000 .000

tahuktgr sikapkgr smphktgr palktgr rmhktgr bershktg jambankat Constant Step

1a

B S.E. Wald df Sig. Exp(B) Lower Upper

95.0% C.I.for EXP(B)

Variable(s) entered on step 1: tahuktgr, sikapkgr, smphktgr, palktgr, rmhktgr, bershktg, jambankat. a.


Dokumen yang terkait

Pengaruh Sanitasi Lingkungan dan Personal Hygiene terhadap Kejadian Penyakit Skabies pada Warga Binaan Pemasyarakatan yang Berobat Ke Klinik di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Medan

10 99 155

Pengetahun, Sikap dan Tindakan Ibu Rumah Tangga Tentang Hygiene Dan Sanitasi Lingkungan Yang Berkaitan Dengan Penularan Infeksi Kecacingan Pada Anak Sekolah Dasar Di Sekolah Dasar Negeri I Kecamatan Hinai Kabupaten Langkat Tahun 2004

1 38 90

Hubungan Pengetahuan Ibu Tentang Higiene Perorangan Dan Keadaan Sanitasi Lingkungan Keluarga Terhadap Infeksi Kecacingan Pada Anak Balita Di Kelurahan Batang Terab Kecamatan Perbaungan Tahun 2005

12 84 69

Pengaruh Sanitasi Lingkungan, Personal Hygiene Dan Karakteristik Anak Terhadap Infeksi Kecacingan Pada Murid Sekolah Dasar Di Kecamatan Blang Mangat Kota Lhokseumawe

6 48 123

Pengaruh Karakteristik, Personal Hygiene dan Sanitasi Lingkungan Rumah terhadap Kejadian Kecacingan pada anak balita di Wilayah Kerja Puskesmas Bromo Kota Medan Tahun 2015

0 0 17

Pengaruh Karakteristik, Personal Hygiene dan Sanitasi Lingkungan Rumah terhadap Kejadian Kecacingan pada anak balita di Wilayah Kerja Puskesmas Bromo Kota Medan Tahun 2015

0 0 2

Pengaruh Karakteristik, Personal Hygiene dan Sanitasi Lingkungan Rumah terhadap Kejadian Kecacingan pada anak balita di Wilayah Kerja Puskesmas Bromo Kota Medan Tahun 2015

0 0 10

Pengaruh Karakteristik, Personal Hygiene dan Sanitasi Lingkungan Rumah terhadap Kejadian Kecacingan pada anak balita di Wilayah Kerja Puskesmas Bromo Kota Medan Tahun 2015

0 0 24

Pengaruh Karakteristik, Personal Hygiene dan Sanitasi Lingkungan Rumah terhadap Kejadian Kecacingan pada anak balita di Wilayah Kerja Puskesmas Bromo Kota Medan Tahun 2015

0 0 3

HUBUNGAN PERILAKU HIDUP BERSIH DAN SANITASI LINGKUNGAN TERHADAP KECACINGAN PADA PEMULUNG

0 0 21