Analisis Yuridis Mengenai Kewajiban Pajak Terhadap Pelaku Usaha Dalam Perdagangan Elektronik Di Jejaring Sosial

(1)

ANALISIS YURIDIS MENGENAI KEWAJIBAN PAJAK TERHADAP PELAKU USAHA DALAM PERDAGANGAN ELEKTRONIK DI

JEJARING SOSIAL

SKRIPSI

Disusun dan Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

OLEH: KEVIN 110200264

DEPARTEMEN HUKUM EKONOMI

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

ANALISIS YURIDIS MENGENAI KEWAJIBAN PAJAK TERHADAP PELAKU USAHA DALAM PERDAGANGAN ELEKTRONIK DI

JEJARING SOSIAL SKRIPSI

Disusun dan Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

OLEH: KEVIN 110200264 Disetujui Oleh:

Ketua Departemen Hukum Ekonomi

Windha S.H.,M.Hum NIP.197501122005012002

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Prof. Budiman Ginting S.H.,M.Hum

2015

Windha S.H., M.Hum

NIP. 195905111986011001 NIP.197501122005012002 FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

i

KATA PENGANTAR

Puji Syukur atas berkat Rahmat Tuhan Yang Maha Esa, penulis akhirnya dapat menyelesaikan skripsi dengan tepat waktunya. Skripsi ini dilakukan bertujuan untuk memenuhi salah satu syarat untuk dapat menyelesaikan studi pada Program Sarjana Hukum Universitas Sumatera Utara (USU) Medan. Skripsi ini diberi judul “ANALISIS YURIDIS MENGENAI KEWAJIBAN PAJAK TERHADAP PELAKU USAHA DALAM PERDAGANGAN ELEKTRONIK DI JEJARING SOSIAL”. Dengan adanya penulisan skripsi ini penulis berharap agar para pembaca dapat memaklumi kekurangan dari penulis karena keterbatasan pengetahuan dan kemampuan. Semoga dari skripsi ini, pembaca dapat mengerti, memahami serta memberikan manfaat kepada pembaca.

Demi kelancaran penyelesaian skripsi ini penulis telah banyak menerima bantuan dari berbagai pihak baik dukungan moril dan materil. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Prof.Dr.Runtung Sitepu, S.H., M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan;

2. Bapak Prof.Dr.Budiman Ginting,S.H., M.Hum selaku Pembantu Dekan I; Bapak Syafruddin Hasibuan,S.H., M.Hum selaku Pembantu Dekan II; Bapak Dr.O.K Saidin,S.H., M.H selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan;

3. Ibu Windha,S.H.,M.Hum selaku Ketua Bagian Departemen Hukum Ekonomi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan serta selaku Dosen


(4)

ii

Pembimbing II yang telah sangat peduli dan perhatian serta memberikan pedoman terhadap penulisan skripsi ini;

4. Bapak Ramli Siregar,S.H., M.Hum selaku Sekretaris bagian Departem Hukum Ekonomi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan;

5. Bapak Prof.Dr.Budiman Ginting ,S.H., M.Hum. selaku Dosen Pembimbing I yang juga telah peduli dan memberikan pedoman terhadap penulisan skripsi ini;

6. Teristimewa kepada orangtuaku, Sinar Tankas dan Aily Riang serta Adik Tercinta, Charles Tankas, yang telah memberikan banyak semangat, kekuatan, doa, serta motivasi kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan studi dengan tepat pada waktunya di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan; 7. Bapak Edy Murya, S.H. selaku Dosen Penasehat Akademik penulis di

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

8. Segala Bapak/Ibu Staf Pengajar pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah mendidik selama proses perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

9. Teman-teman terdekat penulis di Fakultas Hukum, Febrina Yuletha, Dian Ekawati, Stella Guntur, William AB, Fredy Cahyadi, Devi Sinaga, Albert Fernando, yang selalu mendukung dan menyemangati penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

10.Sahabat penulis, Rudy yang membantu penulis dalam memberikan informasi untuk skripsi.


(5)

iii

11.Teman dekat penulis, Fenny Wongso, yang memberikan dukungan dan semangat dalam penyelesaian skripsi.

Demikianlah penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada seluruh pihak yang mendukung penulisan skripsi ini.

Medan, Penulis

Kevin NIM : 110200264


(6)

iv

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR………...i

DAFTAR ISI………...…iv

ABSTRAK……….…………...…….vii

BAB I PENDAHULUAN………...1

1. Latar Belakang……….1

2. Perumusan Permasalahan……….4

3. Tujuan dan Manfaat Penulisan……….5

4. Keaslian Penulisan………...6

5. Tinjauan Kepustakaan………..7

6. Metode Penulisan………...……11

7. Sistematika Penulisan………....15

BAB II SISTEM PERPAJAKAN DALAM DUNIA USAHA MENURUT HUKUM POSITIF DI INDONESIA………..…….18

A. Definisi Pajak….………...18

B. Asas-asas Pemungutan Pajak……….22

C. Jenis Pajak di Indonesia…….………31

D. Pengawasan dalam Pemungutan Pajak………...……...42

E. Hambatan dalam Pemungutan Pajak……….48

BAB III PERDAGANGAN ELEKTRONIK DALAM JEJARING SOSIAL MENURUT UU ITE NO. 11 TAHUN 2008 ……….……....55

A. Perkembangan Perdagangan Elektronik di Indonesia………55

B. Pengaturan mengenai Transaksi Elektronik menurut UU ITE No. 11 Tahun 2008………66


(7)

v

C. Perdagangan Elektronik melalui Jejaring Sosial menurut UU ITE No.

11 Tahun 2008………...……74

BAB IV KEWAJIBAN PAJAK TERHADAP PELAKU USAHA DALAM PERDAGANGAN ELEKTRONIK DI JEJARING SOSIAL..……….….83

A. Ketentuan Perpajakan dalam Perdagangan Elektronik di Jejaring Sosial……….………83

B. Penentuan Saat Terutangnya Pajak atas Transaksi Elektronik di Jejaring Sosial……...………94

C. Kewajiban Pajak Terhadap Pelaku Usaha dalam Perdagangan Elektronik di Jejaring Sosial………...101

D. Penanganan terhadap Pelaku Usaha yang Menghindari Pajak dalam Perdagangan Elektronik di Jejaring Sosial……….…107

BAB V PENUTUP………..………114

A. Kesimpulan………...………...………114

B. Saran………..……..………115


(8)

vi

DAFTAR GAMBAR

1. Gambar 1………62

2. Gambar 2………63


(9)

vii

ABSTRAK

ANALISIS YURIDIS MENGENAI KEWAJIBAN PAJAK TERHADAP PELAKU USAHA DALAM PERDAGANGAN ELEKTRONIK DI

JEJARING SOSIAL

Kevin* Budiman Ginting**

Windha***

Perkembangan teknologi pada era modern membawa banyak perubahan, terutama dalam hal perdagangan. Dengan adanya internet, maka dapat melakukan perdagangan elektronik, yaitu perdagangan yang dilakukan melalui media elektronik yang terhubung dengan internet, terlebih melalui jejaring sosial. Tentunya hal ini dapat memberikan pemasukan dalam perpajakan. Permasalahan dalam skripsi ini adalah bagaimana sistem perpajakan dalam dunia usaha menurut hukum positif di Indonesia, bagaimana perdagangan elektronik dalam jejaring sosial menurut UU ITE No. 11 Tahun 2008, bagaimana kewajiban pajak terhadap pelaku usaha dalam perdagangan elektronik di jejaring sosial.

Metode penelitian yang dipakai untuk menyusun skripsi ini adalah penelitian hukum normatif atau penelitian kepustakaan yaitu dengan mengumpulkan bahan-bahan dari buku, makalah, internet, jurnal, kamus, hasil tulisan ilmiah dan peraturan perundang- undangan yang erat kaitannya dengan maksud dan tujuan penyusunan karya ilmiah ini.

Pemberlakuan pajak terhadap perdagangan elektronik sama dengan perdagangan konvensional pada umumnya, dan tidak ada dikenakan jenis pajak lainnya, ataupun pajak berganda karena hanya menggunakan media yang berbeda yaitu media internet. Di dalam UU PPh juga menegaskan mengenai pendapatan bruto dari penghasilan tertentu yang diatur dalam peraturan pemerintah. Masyarakat masih belum begitu mengetahui keuntungan memiliki NPWP sehingga masyarakat sendiri masih enggan untuk mendaftarkan diri sebagai wajib pajak, namun dalam UU KUP diatur mengenai persyaratan subjektif maupun objektif apabila sudah terpenuhi, maka Dirjen Pajak dapat memaksakan seseorang untuk mendaftar sebagai wajib pajak. Dalam hal ini diharapkan pihak Dirjen Pajak dapat melakukan sosialisasi tentang pajak dan NPWP sehingga masyarakat bisa mengerti akan keuntungan memiliki NPWP terutama dalam masalah pengajuan kredit melalui perbankan.

Kata Kunci : Perdagangan Elektronik, Wajib Pajak, Pelaku Usaha, Jejaring Sosial

*) Mahasiswa Fakultas Hukum USU **) Dosen Pembimbing I


(10)

vii

ABSTRAK

ANALISIS YURIDIS MENGENAI KEWAJIBAN PAJAK TERHADAP PELAKU USAHA DALAM PERDAGANGAN ELEKTRONIK DI

JEJARING SOSIAL

Kevin* Budiman Ginting**

Windha***

Perkembangan teknologi pada era modern membawa banyak perubahan, terutama dalam hal perdagangan. Dengan adanya internet, maka dapat melakukan perdagangan elektronik, yaitu perdagangan yang dilakukan melalui media elektronik yang terhubung dengan internet, terlebih melalui jejaring sosial. Tentunya hal ini dapat memberikan pemasukan dalam perpajakan. Permasalahan dalam skripsi ini adalah bagaimana sistem perpajakan dalam dunia usaha menurut hukum positif di Indonesia, bagaimana perdagangan elektronik dalam jejaring sosial menurut UU ITE No. 11 Tahun 2008, bagaimana kewajiban pajak terhadap pelaku usaha dalam perdagangan elektronik di jejaring sosial.

Metode penelitian yang dipakai untuk menyusun skripsi ini adalah penelitian hukum normatif atau penelitian kepustakaan yaitu dengan mengumpulkan bahan-bahan dari buku, makalah, internet, jurnal, kamus, hasil tulisan ilmiah dan peraturan perundang- undangan yang erat kaitannya dengan maksud dan tujuan penyusunan karya ilmiah ini.

Pemberlakuan pajak terhadap perdagangan elektronik sama dengan perdagangan konvensional pada umumnya, dan tidak ada dikenakan jenis pajak lainnya, ataupun pajak berganda karena hanya menggunakan media yang berbeda yaitu media internet. Di dalam UU PPh juga menegaskan mengenai pendapatan bruto dari penghasilan tertentu yang diatur dalam peraturan pemerintah. Masyarakat masih belum begitu mengetahui keuntungan memiliki NPWP sehingga masyarakat sendiri masih enggan untuk mendaftarkan diri sebagai wajib pajak, namun dalam UU KUP diatur mengenai persyaratan subjektif maupun objektif apabila sudah terpenuhi, maka Dirjen Pajak dapat memaksakan seseorang untuk mendaftar sebagai wajib pajak. Dalam hal ini diharapkan pihak Dirjen Pajak dapat melakukan sosialisasi tentang pajak dan NPWP sehingga masyarakat bisa mengerti akan keuntungan memiliki NPWP terutama dalam masalah pengajuan kredit melalui perbankan.

Kata Kunci : Perdagangan Elektronik, Wajib Pajak, Pelaku Usaha, Jejaring Sosial

*) Mahasiswa Fakultas Hukum USU **) Dosen Pembimbing I


(11)

BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang.

Era modern sekarang ini kata “internet” sudah tidak asing lagi bagi masyarakat Indonesia. Teknologi internet sendiri sudah digunakan oleh hampir seluruh lapisan masyarakat, baik dari yang masih berusia muda, hingga berusia tua. Internet juga sudah menjadi sebuah kebutuhan di zaman sekarang ini, kebutuhan tersebut bisa berupa kebutuhan yang diperlukan untuk mengakses informasi atau berita terbaru.

Jumlah pengguna internet yang besar dan semakin berkembang telah menandakan bahwa internet juga mempunyai pengaruh yang besar atas ilmu, dan pandangan dunia. Dengan hanya berpandukan mesin pencari seperti google, pengguna di seluruh dunia mempunyai akses internet yang mudah atas bermacam-macam informasi.1

Lembaga riset pasar e-marketer mengemukakan populasi pengguna internet di Indonesia mencapai 83.7 juta orang pada 2014 yang menjadikan Indonesia berada di peringkat ke-6 di dunia dalam hal jumlah pengguna internet. Sedangan di atas peringkat Indonesia diduduki oleh China, Amerika Serikat, India, Brasil, dan Jepang. Pihak e-marketer sendiri memperkirakan jumlah pengguna internet di Indonesia pada 2017 akan mencapai 112 juta orang.2

1

Pengertian Internet, http://id.wikipedia.org/wiki/Internet (diakses pada tanggal 6 Maret 2015).

2

Jumlah Pengguna Internet Indonesia, http://tekno.kompas.com/read/ 2014 /11 /24 /0743 0087/pengguna.internet.indonesia.nomor.enam.dunia (diakses pada tanggal 6 Maret 2015).


(12)

Jumlah pengguna internet yang begitu besar di Indonesia tersebut tidak menutupi perkembangan perekonomian di Indonesia melalui internet. Perkembangan internet juga telah memengaruhi perkembangan ekonomi. Berbagai transaksi jual beli yang sebelumnya hanya bisa dilakukan dengan cara tatap muka (dan sebagian sangat kecil melalui pos atau telepon), kini sangat mudah dan sering dilakukan melalui internet. Transaksi melalui internet ini dikenal dengan nama3

Sistem perdagangan dengan memanfaatkan sarana internet (interconnection networking), yang selanjutnya disebut e-commerce telah mengubah wajah bisnis di Indonesia. Selain disebabkan oleh adanya perkembangan teknologi informasi, e-commerce lahir atas tuntutan masyarakat terhadap pelayanan yang serba cepat, mudah dan praktis. Melalui internet, masyarakat memiliki ruang gerak yang lebih luas dalam memilih produk (barang dan jasa) yang akan dipergunakan tentunya dengan berbagai kualitas dan kuantitas sesuai dengan yang diinginkan.4

Pertumbuhan pesat pangsa pasar e-commerce di Indonesia memang sudah tidak bisa diragukan lagi. Dengan jumlah pengguna internet yang mencapai angka 82 juta orang atau sekitar 30% dari total penduduk di Indonesia, pasar e-commerce menjadi tambang emas yang sangat menggoda bagi sebagian orang yang bisa melihat potensi ke depannya. Pertumbuhan ini didukung dengan data

3

http://id.wikipedia.org/wiki/Internet, Loc.Cit.

4

Dikdik M.Arief Mansur dan Elisatris Gultom, Cyber Law : Aspek Hukum Teknologi Informasi (Bandung: Refika Aditama, 2005), hlm.144.


(13)

dari Menteri Komunikasi dan Informatika yang menyebutkan bahwa nilai transaksi e-commerce pada tahun 2013 mencapai angka Rp.130 triliun.5

Pernyataan di atas menyatakan bahwa masyarakat sudah mulai merasakan kenyamanan dan kepraktisan dalam melakukan perdagangan elektronik baik dari online shop ataupun dari jejaring sosial. Pengumpulan data McKinsey menunjukkan jumlah pengguna internet yang pernah berbelanja secara online hanya mencakup 7% dari seluruh pengguna. Indonesia masih tertinggal jauh dengan China yang sudah mencapai 30%, namun hal itu tidak menutup Indonesia untuk menyaingi China, karena akan bertumbuh seiring penggunaan smartphone, penetrasi internet di Indonesia, penggunaan kartu debit dan kredit, serta tingkat kepercayaan konsumen untuk berbelanja secara online.6

Adriani mengemukakan bahwa pajak merupakan iuran kepada negara yang dapat dipaksakan yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan dengan tidak mendapat prestasi kembali, yang langsung dapat Perkembangan teknologi yang begitu pesat memungkinkan untuk melakukan perdagangan melalui internet. Jumlah perdagangan elektronik yang dilakukan di seluruh Indonesia tentu saja merupakan angka penghasilan yang cukup besar. Dalam hal ini, tentunya tidak menutup kemungkinan hasil dari perdagangan elektronik tersebut bisa dikenakan pajak.

5

Statistik Pertumbuhan Pasar E-Commerce, http://startupbisnis.com/data-statistik-mengenai-pertumbuhan-pangsa-pasar-e-commerce-di-indonesia-saat-ini/ (diakses pada tanggal 7 Maret 2015).

6 Ibid.


(14)

ditunjuk dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung dengan tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan.7 Fungsi dari perpajakan itu sendiri yaitu fungsi budgetair/finansial, dan fungsi regulerend/mengatur.8

1. Fungsi budgetair/finansial yaitu memasukan uang sebanyak-banyaknya ke kas negara, dengan tujuan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran negara. 2. Fungsi regulerend/mengatur yaitu pajak digunakan sebagai alat untuk

mengatur baik masyarakat baik di bidang ekonomi, sosial, maupun politik dengan tujuan tertentu.

Pajak memiliki fungsi penting dalam sebuah negara yaitu sebagai salah satu penghasilan negara. Dari hal ini, maka perlu adanya pengaturan mengenai pengenaan pajak terhadap perdagangan elektronik, yang akan menambah pendapatan negara dalam jumlah yang cukup signifikan.

B.Rumusan Permasalahan

Berdasarkan latar belakang tersebut dapat dirumuskan hal yang menjadi permasalahan dalam penulisan skripsi ini, adapun permasalahan yang akan dibahas antara lain:

1. Bagaimanakah sistem perpajakan dalam dunia usaha menurut hukum positif di Indonesia?

2. Bagaimanakah perdagangan elektronik dalam jejaring sosial menurut Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik Nomor 11 Tahun 2008?

7

R.Santoso Brotodihardjo, Pengantar Ilmu Hukum Pajak (Bandung: Refika Aditama, 2003), hlm.2.

8


(15)

3. Bagaimanakah kewajiban pajak terhadap pelaku usaha dalam perdagangan elektronik di jejaring sosial?

C.Tujuan dan Manfaat Penulisan

Berdasarkan perumusan masalah diatas, maka tujuan dari penulisan skripsi ini antara lain:

1. Untuk mengetahui sistem perpajakan dalam dunia usaha menurut hukum positif di Indonesia

2. Untuk mengetahui perdagangan elektronik dalam jejaring sosial menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

3. Untuk mengetahui kewajiban pajak terhadap pelaku usaha dalam perdagangan elektronik di jejaring sosial

Adapun manfaat dari penulisan skripsi ini,antara lain : 4. Secara teoritis

Tulisan ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi ilmu pengetahuan khususnya dalam perkembangan hukum ekonomi dan khususnya dalam hal kewajiban pajak terhadap pelaku usaha dalam perdagangan elektronik di jejaring sosial dan melahirkan pemahaman tentang kesadaran bagi para pelaku usaha bahwa melakukan perdagangan elektronik juga merupakan hal yang wajib pajak sekaligus memperkaya serta menambah wawasan ilmiah baik dalam tulisan ini maupun dalam bidang lainnya.


(16)

5. Secara praktis

Tulisan ini diharapkan dapat menambah wawasan masyarakat pada umumnya tentang kewajiban pajak terhadap perdagangan elektronik. Kewajiban pajak sudah ada sejak terpenuhinya syarat objektif dan subjektif wajib pajak, sehingga dengan adanya tulisan ini diharapkan dapat meningkatkan kesadaran wajib pajak untuk melaporkan pajak.

D.Keaslian Penulisan

Ilmu pengetahuan yang diperoleh dipergunakan dalam rangka meningkatkan dan mengembangkan ilmu pengetahuan yang diperoleh, maka dituangkan dalam sebuah skripsi yang berjudul “Kewajiban Pajak Terhadap Pelaku Usaha dalam Perdagangan Elektronik di Jejaring Sosial”.

Penelusuran terhadap berbagai judul skripsi yang tercatat pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara telah dilakukan untuk mengetahui keaslian penulisan. Pusat dokumentasi dan informasi hukum/perpustakaan universitas cabang fakultas hukum USU melalui surat tertanggal 16 September 2014 yang menyatakan bahwa “tidak ada judul yang sama” dan tidak terlihat adanya keterkaitan. Surat tersebut dijadikan dasar bagi bapak Ramli Siregar (sekretaris) departemen Hukum Ekonomi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara untuk menerima judul yang diajukan, karena substansi yang terdapat dalam skripsi ini dinilai berbeda dengan judul-judul skripsi lain yang terdapat dilingkungan perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.


(17)

Apabila dikemudian hari terdapat judul yang sama atau telah tertulis orang lain dalam berbagai tingkat kesarjanaan sebelum skripsi ini dibuat, maka hal tersebut dapat diminta pertanggungjawaban.

E.Tinjauan Kepustakaan

Definisi pajak menurut Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana diubah terakhir kali dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (selanjutnya disebut sebagai UU KUP) pada Pasal 1 ayat 1 berbunyi pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Definisi pajak menurut Rochmat Soemitro dalam bukunya adalah sebagai berikut :9

Definisi itu kemudian dipertahankan dan kemudian berbunyi sebagai berikut:

“Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa-jasa timbal (kontra-prestasi), yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum”, dengan penjelasan sebagai berikut: “dapat dipaksakan” artinya : bila utang pajak tidak dibayar, utang itu dapat ditagih dengan menggunakan kekerasan, seperti surat paksa dan sita, dan juga penyanderaan; terhadap pembayaran pajak, tidak dapat ditunjukkan jasa timbal balik tertentu, seperti halnya dengan retribusi.”

10

9

R.Santoso Brotodihardjo, Op.Cit., hlm.6.

10 Ibid.


(18)

“Pajak adalah peralihan kekayaan dari pihak rakyat kepada kas negara untuk membiayai pengeluaran rutin dan ‘surplus’nya digunakan untuk public saving yang merupakan sumber utama untuk membiayai public investment”

Ciri-ciri yang melekat pada pajak adalah:11

1. Pajak peralihan kekayaan dari orang/badan ke pemerintah.

2. Pajak dipungut berdasarkan kekuatan undang-undang serta aturan pelaksanaannya, sehingga dapat dipaksakan.

3. Dalam pembayaran pajak, tidak dapat ditunjukkan adanya kontaprestasi langsung secara individual yang diberikan oleh pemerintah.

4. Pajak dipungut oleh negara, baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.

5. Pajak diperuntukkan bagi pengeluaran-pengeluaran pemerintah, yang bila dari pemasukannya masih terdapat surplus, dipergunakan untuk membiayai investasi publik.

6. Pajak dapat digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan tertentu dari pemerintah.

7. Pajak dapat dpungut secara langsung atau tidak langsung.

Definisi pelaku usaha menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) yang terdapat dalam Pasal 1 angka 3 yaitu “setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik maupun berbadan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan

11


(19)

kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.”

Bentuk atau wujud dari pelaku usaha dapat kita jabarkan ke dalam beberapa macam, yakni:12

1. Orang perorangan, yakni setiap individu yang melakukan kegiatan usahanya secara seorang diri.

2. Badan usaha, yakni kumpulan individu yang secara bersama-sama melakukan kegiatan usaha. Badan usaha selanjutnya dapat dikelompokkan ke dalam dua kategori, yakni:

a. Badan hukum. Menurut hukum, badan usaha yang dapat dikelompokkan ke dalam kategori badan hukum adalah yayasan, perseroan terbatas dan koperasi.

b. Bukan badan hukum. Jenis badan usaha selain ketiga bentuk badan usaha diatas dapat dikategorikan sebagai badan usaha bukan badan hukum, seperti firma, atau sekelompok orang yang melakukan kegiatan usaha secara insidentil. Misalnya, pada saat mobil anda mogok karena terjebak banjir, ada tiga orang pemuda yang menawarkan untuk mendorong mobil anda dengan syarat mereka diberi imbalan Rp.50.000,00. Tiga orang ini dapat dikategorikan sebagai badan usaha bukan badan hukum.

Badan usaha tersebut harus memenuhi salah satu kriteria ini:13

12

Pelaku Usaha Menurut UU PK, http://www.wibowotunardy.com/pengertian-pelaku-usaha-menurut-uu-pk/ (diakses pada tanggal 8 Maret 2015).

13 Ibid.


(20)

1. Didirikan dan berkedudukan di wilayah hukum negara Republik Indonesia.

2. Melakukan kegiatan di wilayah hukum negara Republik Indonesia Pelaku usaha yang dimaksud dalam pembahasan ini lebih difokuskan kepada pelaku usaha yang melakukan perdagangan elektronik. Transaksi e-commerce melibatkan beberapa pihak, baik yang terlibat secara langsung maupun tidak langsung, tergantung kompleksitas transaksi yang dilakukan. Apabila dilihat dari awal mula transaksi hingga berakhirnya transaksi, Budhiyanto mengidentifikasi pihak-pihak tersebut adalah:14

1. Penjual (Merchant) 2. Konsumen/Card Holder

3. Acquirer

4. Issuer

5. Certification Authorities

Disamping pihak-pihak tersebut diatas, pihak lain yang keterlibatannya secara tidak langsung dalam transaksi e-commerce yaitu jasa pengiriman (ekspedisi).15

Definisi transaksi elektronik menurut Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (selanjutnya disebut UU ITE) adalah perbuatan hukum yang dilakukan dengan menggunakan komputer, jaringan komputer, dan/atau media elektronik lainnya. Pada dasarnya, perdagangan/transaksi e-commerce dapat dikelompokkan menjadi dua bagian besar yaitu : transaksi Business to Business (B to B), dan Business to Consumer (B

14

Dikdik M.Arief Mansur dan Elisatris Gultom, Op.Cit., hlm.152.

15 Ibid.


(21)

to C).16 Namun ada juga yang menyatakan adanya bagian Customer to Customer (C to C). B to B adalah perdagangan elektronik yang dilakukan antara dua buah perusahaan, B to C adalah antara perusahaan kepada perseorangan, sementara C to C adalah perdagangan elektronik yang dilakukan antara dua orang melalui sarana internet.17

F.Metode Penulisan

Soerjono Soekanto mengemukakan bahwa penelitian dimulai ketika seseorang berusaha untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi secar sistemastis dengan metode dan teknik tertentu yang bersifat ilmiah, artinya bahwa metode atau teknik yang digunakan tersebut bertujuan untuk satu atau beberapa gejala dengan jalan menganalisanya dan dengan pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta tersebut untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas masalah-masalah yang ditimbulkan faktor tersebut.18

1. Spesifikasi penelitian

Jenis penelitian yang dipakai adalah penelitian hukum normatif, yaitu penelitian yang dilakukan berdasarkan perundang-undangan. Perundang-undangan yang akan dibahas dalam penulisan skripsi ini antara lain Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Republik Indonesia (selanjutnya disebut KUH Perdata), Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Teknologi Informasi, Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana diubah terakhir kali dengan

16

Ibid., hlm.12.

17

Nufransa Wira Sakti, Buku Pintar Pajak E-Commerce dari mendaftar sampai membayar (Ciganjur: Visimedia, 2014), hlm.12.

18

Khudzaifah Dimyati & Kelik Wriono, Metode Penelitian Hukum (Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2004), hlm.1.


(22)

Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1991 sebagaimana diubah terakhir kali dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan (selanjutnya disebut UU PPh), Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 sebagaimana diubah terakhir kali dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (selanjutnya disebut UU PPN), serta beberapa peraturan terkait lainnya yang dikeluarkan oleh lembaga yang berwenang misalnya Direktorat Jenderal Pajak (selanjutnya disebut Dirjen pajak).

Penulisan skripsi ini bersifat penelitian deskriptif, yaitu penelitian yang dimaksudkan untuk memberikan gambaran tentang keadaan yang menjadi objek penelitian yakni pelaku usaha dalam perdagangan elektronik di jejaring sosial. Penulisan skripsi ini juga menggunakan pendekatan yuridis yaitu pendekatan yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka dan peraturan perundang-undangan serta literatur hukum yang berhubungan dengan permasalahan skripsi ini.

2. Data penelitian

Penelitian yuridis normatif menggunakan jenis data sekunder sebagai data utama. Data sekunder adalah data yang didapat tidak secara langsung dari objek penelitian. Data penelitian tersebut terdiri dari:


(23)

Bahan hukum primer adalah dokumen peraturan yang mengikat dan ditetapkan oleh pihak yang berwenang.19

b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang memiliki hubungan dengan bahan hukum primer dan dapat digunakan untuk menganalisis dan memahami bahan hukum primer yang ada. Seperti hasil seminar atau makalah-makalah dari para pakar hukum, koran, majalah, serta sumber-sumber lain yakni internet yang memiliki kaitan erat dengan permasalahan yang dibahas.

Dalam penelitian ini bahan hukum primer, yaitu: berbagai dokumen peraturan perundang-undangan yang tertulis mengenai pajak dan perdagangan elektronik, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana diubah terakhir kali dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum Perpajakan dan Tata Cara Perpajakan, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana diubah terakhir kali dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 sebagaimana diubah terakhir kali dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Pajak pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan serta peraturan perundang-undangan yang lainnya yang terkait dengan pajak dan perdagangan elektronik.

19 Soedikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar (Yogyakarta: Liberty, 1988), hlm.19.


(24)

c. Bahan hukum tersier, yaitu mencakup bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, contohnya adalah kamus, ensiklopedia, indeks kumulatif dan seterusnya.

3. Teknik pengumpulan data

Bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder dikumpulkan dengan melakukan penelitian kepustakaan atau yang lebih dikenal dengan studi kepustakaan. Penelitian kepustakaan dilakukan dengan cara mengumpulkan data yang terdapat dalam buku-buku literatur, peraturan perundang-undangan, majalah, surat kabar, hasil seminar dan sumber-sumber lain yang terkait dengan masalah yang dibahas dalam skripsi ini. Hal ini ditempuh dengan melakukan penelitian kepustakaan (library research), atau bisaa dikenal dengan sebutan studi kepustakan, walaupun penelitian yang dimaksud tidak lepas pula dari sumber lain selain sumber kepustakaan, yakni penelitian terhadap bahan media massa ataupun internet.

Tahap-tahap pengumpulan data melalui studi pusaka adalah sebagai berikut:20

a. Melakukan inventarisasi hukum positif dan bahan-bahan hukum lainnya yang relevan dengan objek penelitian.

b. Melakukan penelusuran kepustakaan melalui artikel-artikel media cetak maupun media eletronik, dokumen-dokumen pemerintah dan peraturan perundang-undangan.

20

Ronitidjo Hanitijo Soematri, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimet (Jakarta, Ghalia Indonesia, 1990), hlm.63.


(25)

c. Mengelompokkan data-data yang relevan dengan permasalahan.

d. Menganalisa data-data yang relevan tersebut untuk menyelesaikan masalah yang menjadi objek penelitian.

4. Analisis data

Data yang diperoleh dari penelusuran kepustakaan, dianalisis dengan deskriptif kualitatif. Metode deskriptif yaitu menggambarkan secara menyeluruh tentang apa yang menjadi pokok permasalahan. Kualitatif yaitu metode analisa data yang mengelompokkan dan menyeleksi data yang diperoleh menurut kualitas dan kebenarannya kemudian dihubungkan dengan teori yang diperoleh dari penelitian kepustakaan sehingga diperoleh jawaban atas permasalahan yang diajukan.

G. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan skripsi ini terdiri dari V bab yang masing-masing bab memiliki sub-babnya tersendiri, yang secara garis besar dapat diuraikan sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN

Bab ini berisi pengantar yang di dalamnya terurai mengenai latar belakang penulisan skripsi, perumusan masalah, dilanjutkan dengan tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penulisan, dan diakhiri dengan sistematika penulisan skripsi.


(26)

BAB II SISTEM PERPAJAKAN DALAM DUNIA USAHA MENURUT HUKUM POSITIF DI INDONESIA

Pada bab ini diuraikan definisi pajak, asas-asas pemungutan pajak, jenis pajak di Indonesia, pengawasan dalam pemungutan pajak, dan hambatan pemungutan pajak.

BAB III PERDAGANGAN ELEKTRONIK DALAM JEJARING SOSIAL MENURUT UNDANG-UNDANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK NOMOR 11 TAHUN 2008

Bab ini mengurai tentang perkembangan perdagangan elektronik di Indonesia, pengaturan mengenai transaksi elektronik menurut Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik Nomor 11 Tahun 2008, dan perdagangan elektronik dalam jejaring sosial menurut Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik Nomor 11 Tahun 2008.

BAB IV KEWAJIBAN PAJAK TERHADAP PELAKU USAHA DALAM PERDAGANGAN ELEKTRONIK DI JEJARING SOSIAL

Pada bab ini dibahas mengenai ketentuan perpajakan dalam perdagangan elektronik di jejaring sosial, penentuan saat terutangnya pajak atas transaksi elektronik di jejaring sosial, kewajiban pajak terhadap pelaku usaha dalam perdagangan elektronik di jejaring sosial, dan penanganan terhadap pelaku usaha yang menghindari pajak dalam perdagangan elektronik di jejaring sosial


(27)

BAB V PENUTUP

Pada bab terakhir ini akan dimuat kesimpulan dari pembahasan yang ada pada bab-bab sebelumnya dan akan diakhiri dengan saran-saran terhadap pembahasan skripsi ini.


(28)

BAB II

SISTEM PERPAJAKAN DALAM DUNIA USAHA MENURUT HUKUM POSITIF DI INDONESIA

A. Definisi Pajak

Hukum pajak, yang juga disebut hukum fiskal, adalah keseluruhan dari peraturan-peraturan yang meliputi wewenang pemerintah untuk mengambil kekayaan seseorang dan menyerahkannya kembali kepada masyarakat dengan melalui kas negara, sehingga ia merupakan bagian dari hukum publik, yang mengatur hubungan-hubungan hukum antara negara dan orang-orang atau badan-badan (hukum) yang berkewajiban membayar pajak, yang kemudian disebut sebagai wajib pajak.21 Tugas hukum pajak ini adalah menelaah keadaan-keadaan dalam masyarakat yang dapat dihubungkan dengan pengenaan pajak, merumuskannya dalam peraturan hukum dan menafsirkan peraturan-peraturan hukum ini; bahwa penting sekali untuk tidak mengabaikan latar belakang ekonomis dari keadaan-keadaan dalam masyarakat tersebut.22

Hukum pajak mengatur mengenai kewenangan pemerintah untuk memungut pajak dari masyarakat, sehingga pengertian pajak itu menjadi tidak jelas. Menurut Adriani, pajak itu adalah iuran kepada negara yang dapat dipaksakan yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan dengan tidak mendapat prestasi-kembali, yang langsung dapat ditunjuk,

21

R. Santoso Brotodihardjo, Op.Cit., hlm.1.

22 Ibid.


(29)

dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung dengan tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan.23

Pengertian tersebut menyatakan bahwa bahwa pajak sebagai pengertian yang dianggapnya sebagai suatu species dalam genus pungutan, yang berarti bahwa pungutan bermakna lebih luas dibanding pajak. Dalam definisi ini lebih ditekankan pada fungsi budgetair dari pajak, sedangkan pajak sendiri juga mempunyai satu fungsi lagi, yaitu fungsi mengatur (regulerend).24

Rochmat Soemitro mengemukakan pengertian pajak dalam bukunya “Dasar-Dasar Hukum Pajak dan Pajak Pendapatan” adalah sebagai berikut:25

Definisi ini kemudian dipertahankan dan disimpulkan kembali dalam bukunya yang berjudul “Pajak dan Pembangunan”, definisi tersebut berupa:

“Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang yang dapat dipaksakan, dengan tidak mendapat jasa imbal (kontraprestasi), yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum.”

26

Definisi tersebut kurang lengkap, bahkan seperti halnya pula dengan Adriani, yang kemudian di dalam bukunya termaksud mengupas panjang lebar

“Pajak adalah peralihan kekayaan dari pihak rakyat kepada kas negara untuk membiayai pengeluaran rutin dan “surplus-nya” digunakan untuk public saving yang merupakan sumber utama untuk membiayai public investment.”

23

Ibid., hlm.2.

24 Ibid. 25

Erly Suandy, Op.Cit., hlm.10.

26


(30)

tentang fungsi mengatur. Padahal, communis opinion doctorum menyatakan bahwa sebaik-baiknya suatu definisi adalah bila ia memuat semua ciri yang melekat pada pengertian yang akan dibuatkan pembatasannya; setidak-tidaknya definisi tersebut sudah mendekati kesempurnaan.27

Pajak dari perspektif ekonomi dipahami sebagai beralihnya sumber daya dari sektor privat kepada sektor publik. Pemahaman ini memberikan gambaran bahwa adanya pajak menyebabkan dua situasi menjadi berubah. Pertama, berkurangnya kemampuan individu dalam menguasai sumber daya untuk kepentingan penguasaan barang dan jasa. Kedua, bertambahnya kemampuan keuangan negara dalam penyediaan barang dan jasa publik yang merupakan kebutuhan masyarakat.

Definisi pajak menurut UU KUP pada Pasal 1 ayat 1 berbunyi pajak adalah “kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.

28

Pemahaman pajak dari perspektif hukum menurut Soemitro merupakan suatu perikatan yang timbul karena adanya undang-undang yang menyebabkan timbulnya kewajiban warga negara untuk menyetorkan sejumlah penghasilan tertentu kepada negara, negara mempunyai kekuatan untuk memaksa dan uang pajak tersebut harus dipergunakan untuk penyelenggaraan pemerintahan. Dari pendekatan hukum ini memperlihatkan bahwa pajak yang dipungut harus berdasarkan undang-undang sehingga menjamin adanya kepastian hukum, baik

27

R.Santoso Brotodihardjo, Op.Cit., hlm.6.

28


(31)

bagi fiskus sebagai pengumpul pajak maupun wajib pajak sebagai pembayar pajak.29

Hasil kajian dari pengertian diatas, penerimaan pajak merupakan pemasukan dana yang paling potensial bagi negara, karena besarnya pajak seiring dengan laju pertumbuhan penduduk, perekonomian, dan stabilitas politik. Sedangkan penerimaan di luar pajak adalah seperti dari sektor migas.30

Ciri-ciri pajak yang tersimpul dalam berbagai definisi itu adalah:31 1. Pajak peralihan kekayaan dari orang/badan ke pemerintah.

2. Pajak dipungut berdasarkan kekuatan undang-undang serta aturan pelaksanaannya, sehingga dapat dipaksakan.

3. Dalam pembayaran pajak, tidak dapat ditunjukkan adanya kontraprestasi langsung secara individual yang diberikan oleh pemerintah.

4. Pajak dipungut oleh negara, baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.

5. Pajak diperuntukkan bagi pengeluaran-pengeluaran pemerintah, yang bila dari pemasukannya masih terdapat surplus, dipergunakan untuk membiayai investasi publik.

6. Pajak dapat digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan tertentu dari pemerintah.

7. Pajak dapat dipungut secara langsung atau tidak langsung.

29 Ibid. 30

Rimsky K. Judisseno, Pajak & Strategi Bisnis (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1997), hlm.4.

31


(32)

B. Asas-Asas Pemungutan Pajak

Hukum pada umumnya bertugas membuat adanya keadilan, sesuai dengan hukum itu bahwa tujuan hukum pajak sendiri adalah membuat adanya keadilan dalam hal pemungutan pajak. Asas keadilan ini harus senantiasa dipegang teguh, baik dalam prinsip mengenai perundang-undangannya maupun dalam prakteknya sehari-hari.32

Hal inilah yang menjadi sendi pokok yang harus diperhatikan oleh negara selaku pemungut pajak. Maka dari hal itu, pertimbangan dan perbuatan yang adil adalah syarat mutlak bagi pembuat undang-undang khususnya undang-undang perpajakan dan juga selaku aparatur pemerintah yang berkewajiban melaksanakannya.33

Konsep keadilan itu bersifat relatif. Hal yang dulunya dianggap adil, di zaman modern sekarang ini tidak lagi dianggap sebagai keadilan. Sebagai contohnya bahwa zaman dahulu suatu negara yang kalah perang harus membayar setiap tahun sejumlah uang atau memberikan hasil bumi kepada negara yang menaklukkannya.34

Kebijakan yang dianggap adil oleh suatu negara, belum tentu adil di mata negara lainnya, misalkan di Jepang, pegawai negeri dibebaskan dari pajak pendapatan karena telah secara langsung menyumbangkan tenaga dan pikirannya kepada pemerintah. Di Indonesia sendiri juga berlaku sejak 1 Januari 1964 dengan pengertian bahwa pajak pendapatannya dipikul oleh pemerintah. Namun di negara-negara lain tidak dibahas mengenai pengecualian pajak pendapatan bagi

32

R.Santoso Brotodihardjo, Op.Cit., hlm.26.

33 Ibid. 34


(33)

pegawai negeri. Dalam mencari keadilan, salah satu jalan yang harus ditempuh ialah mengusahakan agar supaya pemungutan pajak diselenggarakan secara umum dan merata.35

Adam Smith dalam bukunya “An Inquiry into the Nature and Causes of The Wealth of Nations” pada abad ke-18 mengajarkan tentang asas-asas pemungutan pajak yang dikenal dengan nama The Four Cannons atau The Four Maxims dengan uraian sebagai berikut:36

1. Equality

Pembagian tekanan pajak di antara subjek pajak masing-masing hendaknya dilakukan seimbang dengan kemampuannya, yaitu seimbang dengan penghasilan yang dinikmatinya masing-masing, dibawah perlindungan pemerintah (asas pembangunan/asas kepentingan). Dalam asas “equality” ini tidak diperbolehkan suatu negara mengadakan diskriminalisasi di antara sesama wajib pajak, dalam keadaan yang sama, para wajib pajak harus dikenakan pajak yang sama pula.

2. Certainty

Pajak yang harus dibayar oleh seseorang harus terang (certain) dan tidak mengenal kompromis (not arbitrary). Dalam asas “certainty” ini, kepastian hukum yang dipentingkan adalah yang mengenai subjek, objek, besarnya pajak, dan juga ketentuan mengenai waktu pembayarannya.

3. Convenience of payment

35 Ibid. 36


(34)

“Every tax ought to be levied at the time, or in the manner, in which it is most likely to be convenient for the contributor to pay it”. Teknik pemungutan pajak yang dianjurkan ini (yang juga disebut convenience of payment) menetapkan bahwa pajak hendaknya dipungut pada saat yang paling baik bagi para wajib pajak, yaitu saat sedekat-dekatnya dengan waktu diterimanya penghasilan yang bersangkutan.

4. Efficiency

“Every tax ought to be so contrived as both to take out and to keep out of the pockets of the people as little as possible over and above what it brings into to public treasury of the state”. Asas efisiensi ini menetapkan bahwa pemungutan pajak hendaknya dilakukan sehemat-hematnya; jangan sekali-kali biaya pemungutan melebihi pemasukan pajaknya.

Hostra dalam mengemukakan pendapatnya mengenai “The Four Maxims” dari Adam Smith ini mengatakan bahwa dalam “formulasi klasik dari teori tentang pajak” itu terlihat adanya kepincangan dalam tubuh asas-asas tersebut, di samping kenyataan bahwa cara perumusan Maxim pertama dirasakannya kurang tandas dan tuntas. Misalnya: oleh Adam Smith diwariskan kepada generasi penerusnya suatu persoalan penting, yaitu apa sajakah yang dapat dipakai sebagai ukuran untuk mengukur “equality” tersebut.37

Ungkapan Adam Smith tersebut merupakan sesuatu yang merumuskan suatu asas pemungutan pajak yang dalam prinsip diikuti oleh para pengikutnya sepanjang masa. Jauh di kemudian hari ditemukan formulasi yang lebih konkret

37


(35)

yaitu bahwa dalam pajak atas pendapatan bukanlah pendapatan itu sendiri yang dipakai sebagai ukuran pengenaan pajak pendapatan, melainkan yang terkenal dengan nama “gaya pikul”.38

Perbedaan dengan maxim-maxim berikutnya dijelaskan bahwa persyaratan keadilan dalam maxim kedua sesungguhnya berlaku penuh untuk bidang hukum seluruhnya, jadi tidak merupakan monopoli hukum pajak. Namun demikian, daripadanya tercermin betapa pentingnya adanya pembatasan-pembatasan yang tepat, pasti, dan tegas sehingga tidak memungkinkan ditemukannya peluang oleh siapapun untuk mengelakkan diri dari pajak dalam bentuk penyelundupan dan sebagainya. Selanjutnya maxim ke-3 dan ke-4 dianggapnya hanya bersifat memberi petunjuk dalam pelaksanaannya.39

Zaman modern sekarang ini pun Adriani sangat menyetujui syarat umum dan merata itu walaupun dalam arti yang agak berlainan daripada tafsiran yang dianut dalam abad ke-18. Menurut guru besar itu, yang dimaksudkan dengan umum dan merata ialah bahwa pemungutan pajak itu harus diselenggarakan sedemikian rupa sehingga dapat diperoleh tekanan yang sama atas seluruh rakyat. Adapun bagaimana jelasnya, barulah dapat diuraikan dalam membicarakan tentang hal tarif.40

1. Teori-teori pembenaran pemungutan pajak

Beberapa teori yang memberikan dasar pembenaran (justification) untuk menjawab berbagai perdebatan yang ada di kalangan para sarjana dan pemikir

38 Ibid. 39

Ibid., hlm.29.

40 Ibid.


(36)

masalah pemungut pajak, mengenai apakah negara dibenarkan memungut pajak dari rakyat.41

a. Teori asuransi

Negara dalam melaksanakan tugasnya, mencakup pula tugas melindungi jiwa raga dan harta benda perseorangan. Oleh sebab itu, negara disamakan dengan perusahaan asuransi, warga negara membayar pajak sebagai premi untuk mendapat perlindungan.

Adapun beberapa hal yang membedakan antara pemungutan pajak dengan premi asuransi adalah:42

1) Pemungutan pajak untuk kepentingan seluruh masyarakat, sedangkan asuransi untuk kepentingan individual.

2) Besarnya beban pajak disesuaikan dengan kondisi dan kemampuan wajib pajak, sedangkan dalam asuransi besarnya premi disesuaikan dengan besar kecilnya pertanggungan.

3) Dalam pajak tidak ada klaim langsung atas terjadinya keadaan yang memberatkan individu, sedangkan dalam asuransi besarnya premi disesuaikan dengan besar kecilnya pertanggungan.

Teori ini sudah lama ditinggalkan dan sekarang praktis tidak ada pembelanya lagi, sebab selain perbandingan ini tidak cocok dengan kenyataan, yakni jika seseorang misalnya meninggal, kecelakaan atau kehilangan, negara tidak akan mengganti kerugian seperti halnya dengan

41

Erly Suandy, Op.Cit., hlm.28.

42


(37)

asuransi. Di samping itu, tidak ada hubungan langsung antara pembayaran pajak dengan nilai perlindugannya terhadap pembayar pajak.

b. Teori kepentingan

Teori ini menyatakan bahwa pembayaran pajak mempunyai hubungan dengan kepentingan individu yang diperoleh dari pekerjaan negara. Makin banyak individu yang menikmati jasa dari pekerjaan pemerintah, makin besar juga pajaknya.

Permasalahan dalam teori ini adalah bagaimana dan kriteria apa yang diambil sebagai ukuran tingkat kepentingan seseorang dan/atau badan terhadap negara. Misalnya, seorang yang miskin, yang membutuhkan perlindungan dan jaminan sosial yang besar, harus membayar pajak yang lebih besar, sementara mereka yang hidup cukup mapan, yang tidak membutuhkan perlindungan dan jaminan sosial, justru memberikan pajak yang sedikit. Namun demikian teori ini cukup penting untuk diperhatikan, karena semua orang, kaya dan miskin, mempunyai kepentingan terhadap negara yang jelas-jelas membutuhkan pembiayaan yang tidak sedikit.43

c. Teori daya pikul/teori gaya pikul

Teori ini mengemukakan bahwa pemungutan pajak harus sesuai dengan kekuatan membayar dari wajib pajak, jadi tekanan semua pajak-pajak harus sesuai dengan daya pikul wajib pajak-pajak dengan memperhatikan

43


(38)

pada besarnya penghasilan dan kekayaan, juga pengeluaran belanja wajib pajak tersebut.

Teori ini menekankan pembebanan pajak itu harus sama beratnya untuk setiap orang dengan daya pikulnya masing-masing. Dalam teori ini muncul masalah, yaitu: bagaimana mungkin si miskin yang membutuhkan perlindungan dan jaminan sosial yang besar dapat memberikan pajak yang besar, maka dalam teori ini, keadilan dan keabsahan pemungutan pajak didasarkan pada kemampuan dan kekuatan masing-masing anggota masyarakatnya, bukan berdasarkan besar kecilnya kepentingannya.44

Teori ini masih dipertahankan hingga kini oleh kebanyakan sarjana terkemuka dalam lapangan hukum pajak. Asas ini sangat terkenal, tetapi mengenai seluk-beluknya sering kali timbul salah paham, bahkan di antara para sarjana hukum dan para cerdik-pandai lainnya.45

De Langen mengemukakan bahwa asas gaya pikul hingga kini masih tetap merupakan asas yang terpenting dalam hukum pajak, walaupun tidak dapat disangkal, bahwa ada asas-asas lain, yang semenjak tahun 1919 semakin menduduki tempat yang utama pula, seperti asas perolehan utama dan asas kenikmatan.46

44

Ibid., hlm.9.

45

R.Santoso Brotodihardjo, Op.Cit., hlm.32.

46 Ibid.

Pengertian asas kenikmatan ialah asas bahwa pajak dapat dipungut seimbang dengan jasa-jasa pemerintah yang telah dinikmati oleh orang masing-masing seperti tercantum dalam teori kepentingan. Dengan kata lain, asas ini adalah asas umum yang


(39)

terdapat dalam jual-beli yaitu membayar sesuatu seimbang dengan apa yang diperolehnya.47

De Langen menyatakan bahwa asas gaya pikul ini menjelmakan cita-cita untuk mendapatkan tekanan yang sama atas individu, seimbang dengan luasnya pemuasan kebutuhan yang dapat dicapai oleh seseorang. Dalam pemuasan kebutuhan itu yang dibutuhkan untuk kehidupan yang mutlak harus diabaikan, dan sisanya inilah yang disamakannya dengan gaya pikul seseorang.48 Asas gaya pikul ini hingga kini tetap merupakan suatu pengertian yang hidup dan yang seadil-adilnya, tetapi uraian secara ilmiah mengenai isinya sering terbentur kepada kesulitan-kesulitan terhadap uraian mengenai luasnya, terlebih mengenai pelaksanaan untuk menetapkan imbalan antara luasnya dengan jumlah-jumlah pajak yang harus dipungutnya.49

d. Teori bakti

Teori ini didasari paham organisasi negara (organische staatsleer) yang mengajarkan bahwa negara sebagai organisasi mempunyai tugas untuk menyelenggarakan kepentingan umum. Negara harus mengambil tindakan atau keputusan yang diperlukan termasuk keputusan dibidang pajak. Dengan sifat seperti itu, maka negara mempunyai hak mutlak untuk memungut pajak dan rakyat harus membayar pajak sebagai tanda baktinya. Menurut teori ini, dasar hukum pajak terletak pada hubungan antara rakyat dengan negara, di mana negara berhak memungut pajak dan rakyat

47

Ibid., hlm.33.

48 Ibid. 49


(40)

berkewajiban membayar pajak. Kelemahan dari teori ini adalah negara bisa menjadi otoriter sehingga mengabaikan aspek keadilan dalam pemungutan pajak. Teori ini merupakan hubungan antara “bapak” dengan “anak” tercermin dengan baik, yaitu: sudah menjadi tugas “bapak” untuk memperhatikan segala keperluan anaknya, dan untuk itu “anak” menunjukkan bakti terhadap bapaknya dengan turut merawat dan memelihara pemberian tersebut berupa pembayaran pajak.50

e. Teori daya beli

Teori ini adalah teori modern, yang tidak mempersoalkan asal mulanya negara memungut pajak melainkan banyak melihat kepada “efeknya” dan memandang efek yang baik itu sebagai dasar keadilannya. Menurut teori ini, fungsi pemungutan pajak jika dipandang sebagai gejala dalam masyarakat, dapat disamakan dengan pompa, yaitu mengambil daya beli dari rumah tangga masyarakat untuk rumah tangga negara dan kemudian memelihara hidup masyarakat untuk membawanya ke arah tertentu. Teori ini mengajarkan bahwa menyelenggarakan kepentingan masyarakat inilah yang dapat dianggap sebagai dasar keadilan pemungutan pajak, bukan kepentingan individu dan bukan kepentingan negara, melainkan kepentingan masyarakat yang meliputi keduanya itu. Teori ini menitikberatkan ajarannya kepada fungsi kedua dari pemungutan pajak, yaitu fungsi mengatur.

50


(41)

Adriani mengemukakan bahwa teori ini berlaku sepanjang masa, baik dalam masa ekonomi bebas maupun dalam masa ekonomi terpimpin, bahkan pula dalam masyarakat yang sosialistis, walaupun tidak terluput dari adanya variasi dalam coraknya.51 Perlu dicatat bahwa dalam zaman modern ini, banyaklah terdapat aliran yang tidak menyetujui adanya teori-teori untuk memberi dasar keadilan kepada hak negara untuk memungut pajak. Mereka menyandarkannya atas dasar pertimbangan praktis, seperti kita lihat pada teori asas gaya beli dan yang seharusnya tidak menyimipang dari asas keadilan pula. Hanya bilamana sangat diperlukan, barulah mereka itu menunjuk kepada sejarah atau mencarikan dasar keadilan untuk pemungutan suatu pajak tertentu.52

C. Jenis Pajak di Indonesia

Pembagian pajak yang berlaku di Indonesia dapat dilakukan berdasarkan golongan, wewenang pemungut, maupun sifatnya.53

Pembagian pajak berdasarkan golongan terbagi 2 yaitu:54 1. Pajak langsung

Pajak langsung adalah pajak yang bebannya harus ditanggung sendiri oleh wajib pajak yang bersangkutan dan tidak dapat dialihkan kepada pihak lain. Contohnya: pajak penghasilan, yaitu pajak yang dikenakan terhadap

51

R. Santoso Brotodihardjo, Op.Cit., hlm.36.

52 Ibid. 53

Erly Suandy, Op.Cit., hlm.37-40.

54 Ibid.


(42)

penghasilan, dapat dikenakan secara berkala dan berulang-ulang dalam jangka waktu tertentu baik masa pajak maupun tahun pajak.

2. Pajak tidak langsung

Pajak tidak langsung adalah pajak yang bebannya dapat dialihkan atau digeserkan kepada pihak lain. Contohnya: pajak pertambahan nilai dan pajak penjualan atas barang mewah. Dalam pajak ini, beban pajak digeserkan dari produsen/penjual ke pembeli/konsumen, karena pergeseran ini searah dengan arus barang yaitu dari produse ke konsumen maka pergeserannya disebut pergeseran ke depan (forward shifting). Di samping itu ada juga yang disebut dengan pergeseran ke belakang (backward shifting) yaitu pergeseran pajak yang berlawanan dengan arus barang.

Pembagian pajak berdasarkan wewenang pemungut pajak dapat dibagi menjadi dua, yaitu:55

1. Pajak pusat/pajak negara

Pajak pusat/pajak negara adalah pajak yang wewenang pemungutannya ada pada pemerintah pusat yang pelaksanaannya dilakukan oleh departemen keuangan melalui Dirjen pajak. Pajak pusat diatur dalam undang-undang dan hasilnya akan masuk ke Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (selanjutnya disebut APBN). Pajak pusat yang berlaku saat ini adalah:

a. Pajak penghasilan.

b. Pajak pertambahan nilai dan pajak penjualan atas barang mewah.

55 Ibid.


(43)

c. Pajak bumi dan bangunan. d. Bea materai.

e. Bea perolehan hak atas tanah dan bangunan. 2. Pajak daerah

Pajak daerah adalah pajak yang wewenang pemungutannya ada pada pemerintah daerah yang pelaksanaannya dilakukan oleh dinas pendapatan daerah.

Jenis pajak daerah yang berlaku adalah sebagai berikut: a. Pajak daerah tingkat I

1) Pajak kendaraan bermotor dan kendaraan di atas air.

2) Bea balik nama kendaraan bermotor dan kendaraan di atas air. 3) Pajak bahan bakar kendaraan bermotor dan kendaraan di atas air.

4) Pajak pengambilan dan pemanfaatan air bawah tanah dan air permukaan.

b. Pajak daerah tingkat II 1) Pajak hotel.

2) Pajak restoran. 3) Pajak hiburan. 4) Pajak reklame.

5) Pajak penerangan jalan.

6) Pajak pengambilan dan pengolahan bahan galian golongan C. 7) Pajak parkir.


(44)

Pembagian pajak berdasarkan sifatnya dapat dibagi menjadi dua, yaitu:56 1. Pajak subjektif

Pajak subjektif adalah pajak yang memperhatikan kondisi/keadaan wajib pajak. Dalam menentukan pajaknya harus ada alasan-alasan objektif yang berhubungan erat dengan keadaan materialnya, yaitu gaya pikul.

2. Pajak objektif

Pajak objektif adalah pajak yang pada awalnya memerhatikan objek yang menyebabkan timbulnya kewajiban membayar, kemudian baru dicari subjeknya baik orang pribadi maupun badan. Jadi dengan kata lain, pajak objektif adalah pengenaan pajak yang hanya memperhatikan kondisi objeknya saja.

Pemaparan mengenai pengaturan atas Pajak Penghasilan (selanjutnya disebut PPh) dan Pajak Pertambahan Nilai (selanjutnya disebut PPN), karena kedua jenis pajak ini yang menjadi fokus dalam topik ini, yaitu jenis pajak yang berlaku di dalam dunia usaha, meskipun masih banyak pajak yang berlaku di dalam dunia usaha, namun kedua jenis pajak ini lebih difokuskan karena kedua pajak ini yang biasanya dikenakan terhadap badan usaha. Adapun uraian mengenai hal tersebut di atas adalah sebagai berikut:

1. Pajak penghasilan (PPh)

PPh merupakan singkatan dari “pajak penghasilan” adalah salah satu jenis pajak langsung yang ada di Indonesia dan dikelola oleh Dirjen pajak dan

56 Ibid.


(45)

departemen keuangan.57 PPh termasuk dalam kategori sebagai pajak subjektif, artinya pajak dikenakan karena ada subjeknya yakni telah memenuhi kriteria yang telah ditetapkan dalam peraturan perpajakan sehingga terdapat ketegasan bahwa apabila tidak ada subjek pajaknya, maka jelas tidak dapat dikenakan PPh.58

Pengertian penghasilan dalam UU PPh tidak memperhatikan adanya penghasilan dari sumber tertentu, tetapi pada adanya tambahan kemampuan ekonomis. Tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak merupakan ukuran terbaik mengenai kemampuan wajib pajak tersebut untuk ikut bersama-sama memikul biaya yang diperlukan pemerintah untuk kegiatan rutin dan pembangunan.59

Dilihat dari penggunaannya, penghasilan dapat dipakai untuk konsumsi dan dapat pula ditabung untuk menambah kekayaan wajib pajak.60 UU PPh menganut pengertian penghasilan yang luas sehingga semua jenis penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam suatu tahun pajak digabungkan untuk mendapatkan dasar pengenaan pajak. Dengan demikian, apabila dalam satu tahun pajak suatu usaha atau kegiatan menderita kerugian, maka kerugian tersebut dikompensasikan dengan penghasilan lainnya (kompensasi horisontal), kecuali kerugian yang diderita di luar negeri.61

57

Liberti Pandiangan, Pedoman Praktis Penghitungan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan Pasal 26 (Jakarta: Salemba Empat, 2009), hlm.1.

58

Erly Suandy, Op.Cit., hlm.45.

59

Thomas Sumarsan, Perpajakan Indonesia : Konsep, Aplikasi, dan Kasus Pembahasan Berdasarkan Undang-Undang Terbaru (Bogor: Esiamedia, 2009), hlm.125.

60 Ibid. 61


(46)

Suatu jenis penghasilan apabila dikenakan pajak dengan tarif yang bersifat final atau dikecualikan dari objek pajak, maka penghasilan tersebut tidak boleh digabungkan dengan penghasilan lain yang dikenakan tarif umum.62

Subjek pajak dalam pajak penghasilan adalah:63 a. Orang pribadi

Kedudukan orang pribadi sebagai subjek pajak dapat bertempat tinggal atau berada di Indonesia ataupun di luar Indonesia. Orang pribadi tidak melihat batasan umur dan juga jenjang sosial ekonomi, dengan kata lain berlaku sama untuk semua (nondiscrimination). b. Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan

yang berhak

Dalam hal ini, warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan merupakan subjek pajak pengganti, menggantikan mereka yang berhak yaitu ahli waris. Penunjukan warisan tersebut dimaksudkan agar pengenaan pajak atas penghasilan yang berasal dari warisan tersebut tetap dapat dilaksanakan, demikian juga dengan tindakan penagihan selanjutnya.

c. Badan

Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer,

62

Ibid., hlm.126.

63


(47)

perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pension, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga, dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.64

d. Bentuk usaha tetap

Dari uraian di atas, terlihat bahwa yang dimaksud dengan badan sebagai subjek pajak tidaklah semata-mata yang bergerak dalam bidang usaha (komersial), namun juga yang bergerak di bidang sosial, kemasyarakatan, dan sebagainya, sepanjang pendiriannya dikukuhkan dengan akta pendirian oleh yang berwenang, sehingga tidak ada alasan bagi badan (khususnya organisasi) selain yang bergerak di bidang usaha untuk menyatakan bahwa mereka tidak termasuk sebagai subjek pajak.

Bentuk usaha tetap (BUT) adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau juga badan yang tidak didirikan atau tidak bertempat kedudukan di Indonesia untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia, yang dapat berupa tempat kedudukan manajemen, cabang perusahaan, kantor

64


(48)

perwakilan, gedung kantor, pabrik, bengkel, pertambangan dan penggalian sumber alam, wilayah kerja pengeboran yang digunakan untuk eksplorasi pertambangan, perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan, atau kehutanan, proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan, pemberian jasa dalam bentuk apapun oleh pegawai atau oleh orang lain, sepanjang dilakukan lebih dari 60 (enam puluh) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, orang atau badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya tidak bebas, agen atau pegawai dari perusahaan asuransi yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menerima premi atau menanggung resiko di Indonesia.

Objek pajak dari pajak penghasilan ditegaskan kembali berdasarkan Pasal 4 ayat (1) dan ayat (2) UU PPh bahwa objek pajak penghasilan adalah penghasilan. Dari mekanisme aliran pertambahan kemampuan ekonomis, penghasilan yang diterima oleh wajib pajak dapat dikategorikan atas empat sumber yakni:65

a. Penghasilan yang diterima atau diperoleh dari pekerjaan berdasarkan hubungan kerja dan pekerjaan bebas;

b. penghasilan dari usaha dan kegiatan; c. penghasilan dari modal;

d. penghasilan lain-lain, seperti hadiah, pembebasan utang, dan sebagainya.

65


(49)

Sesuai dengan pengertian tentang penghasilan yang luas, yang dianut oleh UU PPh, penghasilan di bawah ini dapat dikenai pajak bersifat final:66

a. Penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan lainnya, bunga obligasi dan surat utang negara, dan bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggota koperasi orang pribadi;

b. penghasilan berupa hadian undian;

c. penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya, transaksi derivatif yang diperdagangkan di bursa, dan transaksi penjualan saham atau pengalihan penyertaan modal pada perusahaan pasangannya yang diterima oleh perusahaan modal ventura;

d. penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan, usaha jasa konstruksi, usaha real estate, dan persewaan tanah dan bangunan; dan

e. penghasilan tertentu lainnya yang diatur dengan atau berdasarkan peraturan pemerintah.

2. Pajak pertambahan nilai (PPN)

PPN adalah pajak yang dikenakan terhadap penyerahan atau impor barang kena pajak atau jasa kena pajak yang dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak (selanjutnya disebut PKP), dan dapat dikenakan berkali-kali setiap ada pertambahan nilai dan dapat dikreditkan.67

66

Thomas Sumarsan, Op.Cit., hlm.152.

67

Erly Suandy, Op.Cit., hlm.57.

Subjek PPN adalah PKP. Pengusaha adalah orang pribadi atau badan dalam bentuk apapun yang dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaannya menghasilkan


(50)

barang, mengimpor barang, mengekspor barang, melakukan usaha perdagangan, memanfaatkan barang tidak berwujud dari luar daerah pabean, melakukan usaha jasa, atau memanfaatkan jasa dari luar daerah pabean. PKP adalah pengusaha yang melakukan penyerahan barang kena pajak dan/atau jasa kena pajak. 68

Objek PPN diatur dalam Pasal 4, Pasal 16C, dan Pasal 16D UU PPN, sebagai berikut:69

a. Penyerahan barang kena pajak di dalam daerah pabean yang dilakukan dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaan oleh PKP; b. impor barang kena pajak;

c. penyerahan jasa kena pajak di dalam daerah pabean yang dilakukan dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaan oleh PKP;

d. pemanfaatan barang kena pajak tidak berwujud dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean;

e. pemanfaatan jasa kena pajak dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean;

f. ekspor barang kena pajak oleh PKP;

g. kegiatan membangun sendiri yang dilakukan tidak di dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaan oleh orang pribadi atau badan, baik yang hasilnya akan digunakan sendiri atau digunakan oleh pihak lain;dan

68 Ibid. 69


(51)

h. penyerahan aset oleh PKP yang menurut tujuan semula aset tersebut tidak untuk diperjualbelikan, sepanjang pajak pertambahan nilai yang dibayar pada saat perolehannya menurut ketentuan dapat dikreditkan.

Adapun kelompok barang yang tidak dikenakan PPN adalah:70

a. Barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran, yang diambil langsung dari sumbernya, seperti minyak tanah (crude oil), gas bumi, panas bumi, pasir dan kerikil, batu bara sebelum diproses menjadi briket batu bara, dan bijih besi, bijih timah, bijih emas, bijih tembaga, bijih nikel, bijih perak, serta bijih bauksit.

b. Barang-barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak, seperti beras, gabah, jagung, sagu, kedelai, dan garam baik yang beryodium maupun yang tidak beryodium.

c. Makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung, dan sejenisnya.

d. Uang, emas batangan, dan surat-surat berharga.

Kelompok jasa yang tidak dikenakan PPN adalah jasa di bidang pelayanan kesehatan medik, pelayanan sosial, pengiriman surat dengan perangko, perbankan, asuransi, dan sewa guna usaha dengan hak opsi, keagamaan, pendidikan, kesenian dan hiburan yang telah dikenakan pajak tontonan, penyiaran yang bukan bersifat iklan, angkutan umum di darat

70


(52)

dan di air, tenaga kerja, perhotelan, dan jasa yang disediakan oleh pemerintah dalam rangka menjalankan pemerintahan secara umum.71

D. Pengawasan dalam Pemungutan Pajak

Persoalan penerimaan pajak yang menjadi titik sentral sumber penerimaan dalam APBN memunculkan suatu gagasan untuk membentuk suatu komisi pengawas perpajakan untuk mengawasi penerimaan pajak menjadi ide cukup menarik. Begitu pentingnya peranan APBN menjadikan semua pihak berkepentingan melakukan pengawasan karena semua pihak juga mempunyai kewajiban yang sama untuk membayar pajak.72

Menteri Keuangan mengemukakan bahwa aparat pajak diawasi oleh atasannya secara berjenjang, adapun pengawasan secara internal oleh inspektorat jenderal. Selain itu juga ada pengawasan yang dilakukan oleh Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Pengawasan yang ketat diharapkan untuk tidak mengakibatkan penerimaan menjadi terhambat.73

Kesimpulan terhadap pernyataan di atas ada beberapa hal, pertama, pengawasan terhadap pajak adalah penting dilakukan dalam rangka meningkatkan kinerjanya. Kedua, semua orang punya kewajiban membayar pajak. Oleh karena itu, juga mempunyai hak turut mengawasi apakah pajak yang telah disetorkannya benar-benar masuk dalam kas APBN ataupun Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Ketiga, terlalu banyaknya lembaga pengawasan terhadap pajak

71

Ibid., hlm.58-59.

72

Richard Burton, Kajian Aktual Perpajakan (Jakarta: Salemba Empat, 2009), hlm.232.

73


(53)

bisa menjadi kontraproduktif terhadap kinerja pelaksanaan undang-undang pajak itu sendiri.74

Kecenderungan masyarakat memandang pajak dari sisi negatif wajar saja karena memang dalam sejarahnya tidak pernah ada orang yang mau membayar pajak. Bahkan kalaupun mau bayar pajak, sebaiknya kecil saja. Selain hasilnya tidak bisa dirasakan langsung, juga pelayanan yang diberikan pemerintah tidak pernah dirasakan baik dan menyenangkan.75

Pandangan masyarakat seperti demikian tentu bisa menimbulkan pola berpikir lain agar terhadap aparatur pajak dilakukan pengawasan melalui suatu komisi khusus. Gagasan ini wajar, namun perlu dikaji lebih lanjut efektivitasnya, terlebih dengan sudah adanya lembaga pengawas yang cukup banyak.76

Masyarakat menginginkan adanya suatu lembaga pengawasan lain berupa Komisi Pengawas Perpajakan (selanjutnya disebut Komwas perpajakan), adalah hal wajar. Kecenderungan yang terjadi pada berbagai institusi lain juga dibentuk suatu komisi, contohnya komisi kejaksaan, komisi kepolisian, komisi yudisial, komisi pemilihan umum, dan lainnya. Bahkan komisi juga dibentuk untuk pekerjaan yang lebih luas sifatnya seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Komisi Ombudsman Nasional (KON), Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Komisi Hukum Nasional (KHN), dan Komisi Nasional Hak Asasi Nasional (Komnas HAM). Tujuan pembentukan komisi-komisi tersebut

74 Ibid. 75

Ibid. 76


(54)

menunjukkan bahwa tidak berjalannya dengan baik sistem pengawasan yang ada baik secara internal maupun eksternal terhadap suatu organisasi pemerintah.77

Ketidakpuasan masyarakat untuk mengawasi pajak, saat ini telah tertampung dalam Pasal 36C UU KUP yang menyebutkan bahwa menteri keuangan membentuk Komwas perpajakan, yang ketentuannya diatur dengan peraturan menteri keuangan.78 Dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 36C UU KUP tersebut, menteri keuangan telah menetapkan peraturan menteri keuangan tentang Komite Pengawas Perpajakan melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 54/PMK.09/2008 Tentang Komite Pengawas Perpajakan (selanjutnya disebut PMK No.54/PMK.09/2008), yang di dalamnya mencakup mengenai tugas, keanggotaan, dan kewenangan Komwas perpajakan.79

Implementasi terhadap amanat UU KUP, secara eksplisit Komwas perpajakan juga dibentuk untuk mewujudkan kultur baru, nilai baru, dan tata kelola yang baik di lingkungan perpajakan, sehingga diharapkan dapat lebih meningkatkan kinerja dan profesionalisme aparat perpajakan dalam melaksanakan tugasnya, yang pada akhirnya dapat mewujudkan tujuan reformasi bidang perpajakan. 80

77 Ibid. 78

Ibid. 79

Komisi Pengawas Perpajakan, http://komwasperpajakan.depkeu.go.id/index.php?r =publikasi/about/view&id=1 (diakses pada tanggal 13 Maret 2015).

80 Ibid.

Berdasarkan Pasal 1 PMK No.54/PMK.09/2008, Komwas perpajakan adalah komite non struktural yang bertugas membantu menteri keuangan dan bersifat mandiri dalam melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan tugas instansi perpajakan. Komwas perpajakan dibentuk untuk menampung pengaduan dari masyarakat pada umumnya dan wajib pajak


(55)

khususnya yang merasa diperlakukan tidak adil dalam pengenaan pajaknya, baik terdapat unsur kerugian negara atau tidak, dan membantu menteri keuangan dalam mengawasi instansi perpajakan dalam melakukan pemungutan pajak sesuai undang-undang.81

Komwas perpajakan bersifat mandiri artinya dalam melaksanakan tugas dilakukan secara professional, tidak terpengaruh pihak-pihak lain dan bertindak imparsial (tidak memihak) sekalipun mendapatkan penugasan dari menteri keuangan. Komwas perpajakan tetap bersifat independen dalam hal melaksanakan tugas walaupun tetap bertanggung jawab kepada menteri keuangan, namun menteri keuangan tidak dapat mengintervensi Komwas perpajakan dalam melaksanakan tugas menganalisa dan membuat kajian atas temuan yang ada. Sesuai penugasannya, komite melakukan kajian dan menyampaikan saran/masukan kepada menteri keuangan. Keberadaan Komwas perpajakan dibawah menteri keuangan, tidak dapat menjadi ukuran ketidak-indipendenan Komwas perpajakan. Sebagai contoh, pengadilan dan hakim sebelum revisi ke-3 UUD 1945 tahun 2001 berada dibawah menteri/departemen, tetapi hakimnya tetap independen dalam memutus perkara.82

Komwas perpajakan bertugas untuk melakukan pengawasan dan melakukan kajian serta memberikan masukan dan/atau saran yang diperlukan dalam pelaksanaan tugas instansi perpajakan agar melakukan pemungutan pajak

81

Komisi Pengawas Perpajakan, http://komwasperpajakan.depkeu.go.id/index.php?r =publikasi/faq (diakses pada tanggal 13 Maret 2015).

82 Ibid.


(56)

sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam melakukan pengawasan, Komwas perpajakan bertugas:83

1. Menerima pengaduan dari masyarakat yang merasa diperlakukan tidak adil dalam pemungutan pajak.

2. Menerima dan mendapatkan informasi baik dari pihak ketiga maupun mass media.

3. Melakukan pengamatan terkait kendala dan dampak pelaksanaan peraturan perpajakan oleh instansi perpajakan.

4. Melakukan kajian-kajian atas tugas pada butir 1, 2, dan 3, untuk diberikan saran atau masukan kepada menteri keuangan sepanjang terkait untuk meningkatkan pelaksanaan peraturan perpajakan oleh instansi perpajakan.

Adapun kewenangan Komwas Perpajakan dalam melaksanakan tugas pengawasan adalah:

1. Menampung masukan dan/atau pengaduan masyarakat atau pihak lain tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan tugas instansi perpajakan serta menetapkan prioritas yang memerlukan proses lebih lanjut.

2. Meminta informasi secara tertulis kepada pihak-pihak terkait selain instansi perpajakan dalam rangka klarifikasi mengenai masukan dan/atau pengaduan masyarakat atau pihak lain sebagaimana dimaksud pada angka 1.

3. Meminta keterangan kepada petugas instansi perpajakan sehubungan dengan masukan dan/atau pengaduan masyarakat atau pihak lain dengan tetap memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

83 Ibid.


(57)

4. Memberi rekomendasi dan/atau saran kepada menteri keuangan untuk perbaikan pelaksanaan tugas instansi perpajakan.

Pengawas struktural seperti Kepatuhan Internal dan Transformasi Sumber Daya Aparatur (KITSDA) dan Inspektorat Jenderal (Itjen) menerima dan mempertanggungjawabkan tugas kepada atasan struktural langsung, dan pejabat/petugasnya berasal dari intern struktural tersebut. Komwas perpajakan seperti halnya dewan pengawas/komisaris pada perusahaan, dimana Komwas perpajakan mewakili pemegang saham (menteri keuangan) dalam melakukan pengawasan terhadap direksi (dirjen pajak) dalam mengelola dan mengendalikan perusahaan (instansi perpajakan). Dalam pelaksanaannya, dewan pengawas (komisaris) dengan direksi harus bersinergi dengan pelaksanaan pengelolaan perusahaan. Begitu pula dengan Komwas perpajakan harus bersinergi dengan instansi perpajakan dalam mengawasi pelaksanaan peraturan perpajakan sehingga dapat menimbulkan rasa keadilan bagi wajib pajak.84

Komwas perpajakan sendiri memiliki rencana jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang, yaitu:85

1. Rencana jangka pendek: menangani/menyelesaikan pengaduan-pengaduan yang disampaikan oleh wajib pajak yang merasa diperlakukan tidak adil, sehingga sengketa pajak dapat berkurang.

2. Rencana jangka menengah: melakukan pengamatan dan kajian untuk usul penyempurnaan peraturan perundang-undangan yang tidak sesuai prosedur atau yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan lainnya agar

84 Ibid. 85


(58)

penyimpangan peraturan-peraturan tersebut dapat di eliminir sehingga lebih memberikan keadilan kepada wajib pajak sebagai pemikul beban pajak.

3. Rencana jangka panjang: berdasarkan masukan dan pengamatan tersebut, diberikan saran dan/atau masukan agar sistem hukum pajak yang terdiri dari legal substance (peraturan perpajakan), legal structure (institusi perpajakan) dan legal culture (sikap hukum wajib pajak/kepatuhan wajib pajak) berjalan dan terpenuhi dengan baik.

E. Hambatan dalam Pemungutan Pajak

Terlepas dari kewajiban rakyat untuk membayar pajak kepada negara, sebagian besar masyarakat tidak akan pernah mengerti kewajibannya untuk membayarkan pajak, bahkan bila ada sedikit kemungkinan, maka pada umumnya mereka cenderung meloloskan diri dari setiap pengenaan pajak. Hal ini ternyata telah ada sejak dulu. Masyarakat cenderung melakukan perlawanan terhadap pemungutan pajak, yang menjadi hambatan bagi negara dalam hal pemungutan pajak. Perlawanan ini terbagi atas dua jenis, yaitu perlawanan pasif dan perlawanan aktif.86

1. Perlawanan pasif

Perlawanan pajak secara pasif ini berkaitan erat dengan keadaan sosial ekonomi masyarakat di negara yang bersangkutan. Pada umumnya masyarakat tidak melakukan suatu upaya yang sistematis dalam rangka menghambat

86


(59)

penerimaan negara, tetapi lebih dikarenakan oleh kebiasaan-kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat.87

Perlawanan pasif terdiri dari hambatan-hambatan yang mempersukar pemungutan pajak dan yang erat hubungannya dengan struktur ekonomi suatu negara, dengan perkembangan intelektual dan moral penduduk, dan dengan teknik pemungutan pajak itu sendiri.88

Penjelasan atas hambatan tersebut berupa:89 a. Struktur ekonomi

Contoh: pajak penghasilan yang diterapkan pada masyarakat agraris. Padahal pajak ini diperuntukkan untuk masyarakat di negara industri. Dalam pajak ini, wajib pajak dituntut untuk menghitung sendiri pendapatan nettonya. Untuk itu diperlukan adanya pembukuan. Namun, menghitung pendapatan netto akan sangat sulit dilakukan oleh masyarakat agraris. Selain karena pencatatan pendapatan yang akurat sulit dilakukan, mereka juga tidak mampu melakukan pembukuan. Karena itu, timbullah perlawanan pasif terhadap pajak. Untuk menghindari hal ini, pajak ditentukan dengan perkiraan jumlah bulat atas dasar pendapatan kadastral/nilai sewa, ataupun atas dasar luasnya tanah yang dikerjakan.

Negara berkembang biasanya negara agraris menghubungkan besarnya penghasilan netto dengan luas kepemilikan atas tanah dan

87

Erly Suandy, Op.Cit., hlm.21.

88

R.Santoso Brotodihardjo, Loc.Cit. 89

Penghindaran Pajak, http://id.wikipedia.org/wiki/Penghindaran_pajak (diakses pada tanggal 14 Maret 2015).


(60)

dihubungkan dengan tingkat kesuburan tanah. Indonesia mengambil jalan keluar untuk masyarakat kecil yang tidak bisa melakukan pembukuan dengan menggunakan norma perhitungan. Norma perhitungan dibuat oleh Dirjen pajak. Wajib pajak tinggal menghitung berapa omsetnya dikalikan dengan norma perhitungannya.

b. Perkembangan intelektual dan moral penduduk

Perlawanan pasif yang timbul dari lemahnya sistem kontrol yang dilakukan oleh fiskus ataupun karena objek pajak itu sendiri sulit untuk dikontrol. Contoh: pajak kepemilikan permata yang diterapkan di Belgia. Permata adalah benda yang kecil dan sulit dikontrol keberadaannya sehingga bisa saja pemilik permata menyembunyikan permata ini agar terhindar dari pengenaan pajak.

c. Cara hidup masyarakat di suatu negara

Contoh: masyarakat yang hidup di daerah tropis yang hanya memiliki dua musim sehingga memungkinkan mereka bekerja sepanjang tahun. Hal ini bisa mengakibatkan mereka bekerja lebih santai dan hasilnya tidak optimal. Pendapatan mereka lebih sedikit sehingga penerimaan negara pun kurang. Berbeda dengan masyarakat yang tinggal di daerah subtropis yang memiliki empat musim. Sebelum teknologi berkembang, mereka tidak bisa bekerja di musim dingin. Karena itu, mereka harus bekerja keras di musim yang lainnya agar kebutuhan di musim dingin bisa terpenuhi. Hasilnya, mereka bisa


(1)

ini jejaring sosial termasuk dalam sistem elektronik yang disepakati oleh para pihak.

3. Kewajiban pajak terhadap pelaku usaha dalam perdagangan elektronik di jejaring sosial sebenarnya sama dengan pelaku usaha dalam perdagangan konvensional. Hal ini diklarifikasikan oleh Dirjen pajak terutama dalam hal pengenaan pajak penghasilan dan pajak pertambahan nilai. Untuk pajak penghasilan atas penghasilan tertentu yang disebutkan dalam Pasal 4 ayat (2) UU PPh diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah. Peraturan pemerintah yang dimaksud adalah Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang memiliki Peredaran Bruto Tertentu, dengan ketentuan peredaran bruto di atas 4,8 miliar rupiah per tahunnya. Sedangkan untuk pengenaan PPN tetap seperti biasanya karena objek PPN merupakan penyerahan barang/jasa yang merupakan objek pajak PPN sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 4 ayat (1) UU PPN mengenai pengenaan PPN. Contohnya adalah jual beli baju online ataupun penyediaan jasa iklan secara online.

B. Saran

Melihat berbagai kondisi yang ada, melalui tulisan ini diajukan beberapa saran, yaitu:

1. Pihak Dirjen pajak seharusnya lebih banyak melakukan edukasi dan bimbingan kepada masyarakat tentang keuntungan memiliki NPWP, karena


(2)

masyarakat pada umumnya masih takut dan bimbang dengan pendaftaran dirinya sebagai seorang wajib pajak. Padahal dengan memiliki NPWP, masyarakat bisa lebih mudah dalam mengurus urusan terhadap perbankan, terutama dalam hal peminjaman kredit apabila dari segi pembayaran pajaknya bagus dan lancar.

2. Mengenai pajak terhadap transaksi e-commerce bisa juga dijalin kerjasama dengan para penyelenggara jejaring sosial untuk menyediakan suatu program khusus terhadap pelaku usaha yang ingin mengekspansi bisnisnya ke ranah media sosial, tentunya dimana Dirjen pajak bisa melacak setiap transaksi yang dilakukan oleh akun tersebut, sehingga memudahkan pihak Dirjen pajak untuk mengenakan pajak terhadap transaksi e-commerce.

3. Perlu adanya suatu tim khusus dalam Dirjen pajak seperti yang dilakukan di Singapura adanya tim IRAS (Inland Revenue Authority of Singapore)

mengeluarkan dokumen Income Tax Guide on E-Commerce, ataupun belajar dari Jepang yang membentuk suatu satuan khusus yang disebut PROTECT

(Professional Team for E-Commerce Taxation). Tim PROTECT ini melacak


(3)

DAFTAR PUSTAKA A. Buku

Barkatullah, Abdul Halim dan Teguh Prasetyo. Bisnis E-Commerce Studi Sistem

Keamanan dan Hukum di Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005.

Brotodihardjo, R.Santoso. Pengantar Ilmu Hukum Pajak. Bandung: Refika Aditama, 2003.

Burton, Richard. Kajian Aktual Perpajakan. Jakarta: Salemba Empat, 2009. Dimyati, Khudzaifah & Kelik Wriono. Metode Penelitian Hukum. Surakarta:

Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2004.

Hernoko, Agus Yudha. Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas dalam Kontrak

Komersial. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010.

Judisseno, Rimsky K. Pajak & Strategi Bisnis. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1997.

Mansur, Dikdik M. Arief dan Elisatris Gultom. Cyber Law: Aspek Hukum

Teknologi Informasi. Bandung: Refika Aditama, 2005.

Mas, Marwan. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Ghalia Indonesia, 2004.

Mertokusumo, Soedikno. Mengenal Hukum Suatu Pengantar. Yogyakarta: Liberty, 1988.

Pandiangan, Liberti. Pedoman Praktis Penghitungan Pajak Penghasilan Pasal 21

dan Pasal 26. Jakarta: Salemba Empat, 2009.

Pudyatmoko, Y.Sri. Pengantar Hukum Pajak. Yogyakarta: Penerbit Andi, 2009. Sakti, Nufransa Wira. Buku Pintar Pajak E-Commerce dari mendaftar sampai

membayar, Ciganjur: Visimedia, 2014.

Soematri, Ronitidjo Hanitijo. Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimet. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1990.

Soeroso, R. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Sinar Grafika, 1996.. Suandy, Erly. Hukum Pajak. Jakarta: Salemba Empat, 2008.


(4)

Sumarsan, Thomas. Perpajakan Indonesia : Konsep, Aplikasi, dan Kasus

Pembahasan Berdasarkan Undang-Undang Terbaru. Bogor: Esiamedia,

2009.

Sunarso, Siswanto. Hukum Informasi dan Transaksi Elektronik Studi Kasus :

Prita Mulyasari. Jakarta: Rineka Cipta, 2009.

B. Peraturan-Peraturan

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Republik Indonesia

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

UNCITRAL Model Law on Electronic Commerce with Guide to Enactment 1996 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 46 Tahun 2013 tentang Pajak

Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2012 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak atas Penjualan Barang Mewah.


(5)

Surat Edaran Direktorat Jenderal Pajak Nomor SE-62/PJ/2013 tentang Penegasan Ketentuan Perpajakan atas Transaksi E-Commerce.

C. Jurnal/Makalah

Erwina, Marcella. “Aspek Hukum Transaksi (Perdagangan) melalui Media Elektronik (E-Commerce) di Era Global: Suatu Kajian Perlindungan Hukum terhadap Konsumen”, Jurnal Legality Universitas Muhamadiyah Malang,

Taxation and Electronic Commerce – OECD. http://www.oecd.org/tax/ consumption/Taxation%20and%20eCommerce%202001.pdf.

Yusron, M. “Tinjauan Tentang Dasar Hukum Transaksi Elektronik di Indonesia”,

Jurnal Hukum Vol. XIX Nomor 19 Oktober 2010.

D. Website

Budi, Chandra, “Menyasar Pajak Transaksi e-commerce”, http://www.kemenkeu.go.id/Artikel/menyasar-pajak-transaksi-e-commerce (diakses pada tanggal 5 April 2015).

Budilaksono, Agung, “Bagaimana Perlakuan Pajak dari Transaksi E-Commerce di Indonesia”, http://www.bppk.depkeu.go.id/webbc/images/stories/file/2011/ artikel/upload%205%20agustus%202011/AGUNG%20BL%20BAGAIMAN A%20PERLAKUAN%20PAJAK%20UNTUK%20TRANSAKSI%20E-COMMERCE%20DI%20INDONESIA.pdf (diakses pada tanggal 8 April 2015).

Dobbel Taxation, http://www.pajak.go.id/content/tidak-ada-dobbel-taxation-di-bidang-e-commerce (diakses pada tanggal 6 April 2015).

Internet, http://id.wikipedia.org/wiki/Internet (diakses pada tanggal 6 Maret 2015). Kasus UU ITE,

http://tekno.liputan6.com/read/2126834/5-kasus-uu-ite-yang-hebohkan-netizen?p=2 (diakses pada tanggal 2 April 2015).

Komisi Pengawas Perpajakan, http://komwasperpajakan.depkeu.go.id/ index.php?r=publikasi/about/view&id=1 (diakses pada tanggal 13 Maret 2015).

Komisi Pengawas Perpajakan, http://komwasperpajakan.depkeu.go.id/ index.php?r=publikasi/faq (diakses pada tanggal 13 Maret 2015).


(6)

Komputer, http://id.wikipedia.org/wiki/Komputer (diakses pada tanggal 31 Maret 2015).

Media Sosial, http://id.wikipedia.org/wiki/Media_sosial (diakses pada tanggal 4 April 2015).

Pajak, http://id.wikipedia.org/wiki/Pajak (diakses pada tanggal 11 Maret 2015). Pengguna Internet Indonesia, http://tekno.kompas.com/read/2014/11/24

/07430087/pengguna.internet.indonesia.nomor.enam.dunia (diakses pada tanggal 6 Maret 2015).

Perdagangan Elektronik, http://id.wikipedia.org/wiki/Perdagangan_elektronik (diakses pada tanggal 19 Maret 2015).

Pelaku Usaha Menurut UU PK, http://www.wibowotunardy.com/pengertian-pelaku-usaha-menurut-uu-pk/ (diakses pada tanggal 8 Maret 2015).

Penghindaran Pajak, http://id.wikipedia.org/wiki/Penghindaran_pajak (diakses pada tanggal 14 Maret 2015).

Pertumbuhan E-Commerce, http://startupbisnis.com/data-statistik-mengenai-pertumbuhan-pangsa-pasar-e-commerce-di-indonesia-saat-ini/ (diakses pada tanggal 7 Maret 2015).

Pidana Pajak NPWP, http://www.pajak.go.id/content/article/pidana-pajak-bagi-yang-belum-ber-npwp (diakses pada tanggal 13 April 2015).

Saputra, Kharisma Eki, “Pemahaman Pegawai Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dan Konsultan Pajak Tentang Perilaku Wajib Pajak : Sebuah Studi Fenomologi”, http://download.portalgaruda.org/article.php?article=189254 &val=6467&title=PEMAHAMAN%20PEGAWAI%20DIREKTORAT%20J ENDERAL%20PAJAK%20(DJP)%20DAN%20KONSULTAN%20PAJAK %20%20TENTANG%20PERILAKU%20WAJIB%20PAJAK:%20SEBUAH %20STUDI%20FENOMENOLOGI (diakses pada tanggal 13 April 2015).


Dokumen yang terkait

Analisis Mengenai Tanggung Jawab Pelaku Usaha Dalam Memberikan Informasi Produk Melalui Transaksi E-Commerce (Studi Pada AUTO 2000-Medan)

1 79 106

Tinjauan Yuridis Pemberian Kuasa Direktur Terhadap Pemenuhan Hak Dan Kewajiban Perusahaan Dalam Pelaksanaan Proyek Pembangunan Jalan

1 50 128

ANALISIS YURIDIS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PENYEBARAN PORNOGRAFI MELALUI SITUS JEJARING SOSIAL FACEBOOK

0 12 17

ANALISIS YURIDIS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PENYEBARAN PORNOGRAFI MELALUI SITUS JEJARING SOSIAL FACEBOOK

0 10 17

Protokol Izin Usaha Perdagangan Secara Elektronik Di Indonesia.

0 5 64

REGISTER PERDAGANGAN DI JEJARING SOSIAL BUKALAPAK: KAJIAN SOSIOLINGUISTIK Register Perdagangan di Jejaring Sosial Bukalapak: Kajian Sosiolinguistik.

0 2 17

REGISTER PERDAGANGAN DI JEJARING SOSIAL BUKALAPAK: KAJIAN SOSIOLINGUISTIK Register Perdagangan di Jejaring Sosial Bukalapak: Kajian Sosiolinguistik.

0 4 13

Tinjauan Yuridis Terhadap Tanggung Jawab Badan Usaha Dalam Pelaksanaan Kewajiban Tanggung Jawab Sosial Perusahaan dan Lingkungan Dalam Sistem Hukum Indonesia.

0 0 31

BAB II SISTEM PERPAJAKAN DALAM DUNIA USAHA MENURUT HUKUM POSITIF DI INDONESIA A. Definisi Pajak - Analisis Yuridis Mengenai Kewajiban Pajak Terhadap Pelaku Usaha Dalam Perdagangan Elektronik Di Jejaring Sosial

1 21 37

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang. - Analisis Yuridis Mengenai Kewajiban Pajak Terhadap Pelaku Usaha Dalam Perdagangan Elektronik Di Jejaring Sosial

0 0 17