Sosiologi Sastra
6. Sosiologi Sastra
Istilah sosiologi muncul pada abad ke-19 sekitar tahun 1839 dari seorang ahli filsafat berkebangsaan Perancis bernama Auguste Comte. Miekel Bal dkk (dalam Nyoman Kutha Ratna, 2003: 363) berpendapat bahwa sosiologi sebagai ilmu yang relatif muda ditandai dengan terbitnya buku yang berjudul Positive- Philosophy yang ditulis Auguste Comte (1798-1857). Kemudian sosiologi berkembang pesat pada setengah abad sesudahnya yang disusul dengan terbitnya buku Principles of Sociology yang ditulis oleh Herbert Spencer (1820-1903).
Secara etimologi, sosiologi berasal dari kata socios yang berarti “kawan” dan logos yang berarti “ilmu”. Bouman (1976: 24) menyimpulkan bahwa sosiologi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari hubungan sosial antara sesama individu, antara individu dengan kelompok serta sifat dan perubahan lembaga-lembaga dan ide-ide sosial. Ia mengusahakan suatu sintesis dan ilmu jiwa sosial dan ilmu bentuk sosial sehingga dengan ilmu itu dapat mengerti hakikat sosial dalam hubungan kebudayaan umum.
Sosiologi diketahui sebagai studi yang ilmiah dan objektif mengenai manusia dalam masyarakat, studi mengenai lembaga-lembaga dan proses-proses sosial. Gambaran ini akan menjelaskan cara-cara manusia menyesuaiakan diri dengan ditentukan oleh masyarakat-masyarakat tertentu, gambaran mengenai mekanisme sosialisasi, proses belajar secara kultural, yang dengannya individu- individu dialokasikan pada dan menerima peranan-peranan tertentu dalam strutur sosial. Di samping itu sosiologi juga menyangkut mengani perubahan-perubahan sosial yang terjadi secara berangsur-angsur maupun secara revolusioner dengan akibat-akibat yang ditimbulkan oleh perubahan tersebut (Damono, 1978).
Sosiologi sastra adalah cabang penelitian sastra yang bersifat reflektif. Karya sastra menerima pengaruh dari masyarakat dan sekaligus mampu memberi pengaruh terhadap masyarakat (Semi, 1990: 73). Sastra dapat dikatakan sebagai cerminan masyarakat, tetapi tidak berarti struktur masyarakat seluruhnya tergambarkan dalam sastra, yang didapat di dalamnya adalah gambaran masalah masyarakat secara umum ditinjau dari sudut lingkungan tertentu yang terbatas dan berperan sebagai mikrokosmos sosial, seperti lingkungan bangsawan, penguasa, gelandangan, rakyat jelata, dan sebagainya. Sastra sebagai gambaran masyarakat bukan berarti karya sastra tersebut menggambarkan keseluruhan warna dan rupa masyarakat yang ada pada masa tertentu dengan permasalahan tertentu pula.
Karya sastra tidak mungkin jatuh begitu saja dari langit, tentunya selalu ada hubungannya antara sastrawan, sastra, dan masyarakat (Sapardi Djoko Damono dalam Wiyatmi, 2006: 97). Ian Watt (dalam Sapardi Djoko Damono, 1984: 3) menyatakan bahwa sosiologi sastra adalah ilmu yang membicarakan hubungan timbal balik antara sastrawan, sastra, dan masyarakat. Untuk mendekati maupun mengakrabi karya sastra perlu menggunakan suatu pendekatan sosio- kultural. Pendekatan ini menyimpulkan bahwa karya sastra tidak dapat dipahami secara selengkap-lengkapnya dan tidak bisa dipisahkan dari lingkungan atau peradaban yang telah menghasilkannya.
Garbstein (dalam Ekarini Saraswati, 2003: 17) mengungkapkan secara singkat konsep tentang sosiologi sastra, yaitu:
1) Karya sastra tidak mungkin dapat dipahami selengkapnya tanpa dihubungkan dengan kebudayaan dan peradaban yang menghasilkannya.
2) Gagasan yang terdapat dalam karya sastra sama pentingnya dalam bentuk teknik penulisannya.
3) Karya sastra bisa bertahan lama pada hakikatnya adalah sebuah prestasi.
4) Masyarakat dapat mendekati sastra dari dua arah: sebagai faktor material istimewa dan sebagai tradisi.
5) Kritik sastra seharusnya lebih dari sekadar perenungan estetis yang tanpa pamrih.
6) Kritikus bertanggung jawab baik kepada sastra masa silam maupun sastra masa depan.
7) Secara epistemologis (dari sudut teori keilmuan) tidak mungkin membangun suatu sosiologi sastra yang general yang meliputi seluruh pendekatan.
8) Mengenai sosiologi sastra Marxis, garis besarnya sebagai berikut: pertama, manusia harus hidup dahulu sebelum dapat berpikir dan yang kedua, struktur soial masyarakat ditentukan oleh kondisi-kondisi kehidupan khususnya sistem produksi ekonomi, yaitu antara infrastruktur dan suprastrujtur.
9) Sastra merupakan fenomena kedua yang ditentukan oleh infrastruktur, yaitu ekonomi. Wellek dan Warren (1993: 111) menyatakan setidaknya ada tiga pendekatan dalam sosiologi sastra. Yaitu sosiologi sastra yang berkaitan dengan pengarang, sosiologi sastra yang berkaitan dengan karya sastra itu sendiri, dan sosiologi sastra yang berkaitan dengan pembaca. Yang perlu dicatat adalah adanya keterkaitan antara sosiologi dan sastra yang keduanya berhubungan dengan masyarakat.
Menurut Laurenson (1972) terdapat tiga perspektif berkaitan dengan sosiologi sastra.
1) Perspektif yang memandang sastra sebagai dokumen sosial yang di dalamnya merupakan refleksi situasi pada masa sastra tersebut diciptakan;
2) Perspektif yang mencerminkan situasi sosial penulisnya; dan
3) Model yang dipakai karya tersebut sebagai manifestasi dari kondisi sosial budaya atau peristiwa sejarah. Novel merupakan salah satu di antara bentuk sastra yang paling peka terhadap cerminan masyarakat. Menurut Johnson (Faruk, 2005: 45-46) novel mempresentasikan suatu gambaran yang jauh lebih realistik mengenai kehidupan sosial. Ruang lingkup novel sangat memungkinkan untuk melukiskan situasi lewat kejadian atau peristiwa yang dijalin oleh pengarang atau melalui tokoh-tokohnya. Kenyataan dunia seakan-akan terekam dalam novel, berarti ia seperti kenyataan hidup yang sebenarnya. Dunia novel adalah pengalaman pengarang yang sudah 3) Model yang dipakai karya tersebut sebagai manifestasi dari kondisi sosial budaya atau peristiwa sejarah. Novel merupakan salah satu di antara bentuk sastra yang paling peka terhadap cerminan masyarakat. Menurut Johnson (Faruk, 2005: 45-46) novel mempresentasikan suatu gambaran yang jauh lebih realistik mengenai kehidupan sosial. Ruang lingkup novel sangat memungkinkan untuk melukiskan situasi lewat kejadian atau peristiwa yang dijalin oleh pengarang atau melalui tokoh-tokohnya. Kenyataan dunia seakan-akan terekam dalam novel, berarti ia seperti kenyataan hidup yang sebenarnya. Dunia novel adalah pengalaman pengarang yang sudah
Sketsa kehidupan yang tergambar dalam novel akan memberi pengalaman baru bagi pembacanya, karena apa yang ada dalam masyarakat tidak sama persis dengan apa yang ada dalam karya sastra. Hal ini dapat diartikan pula bahwa pengalaman yang diperoleh pembaca akan membawa dampak sosial bagi pembacanya melalui penafsiran-penafsirannya. Pembaca akan memperoleh hal- hal yang mungkin tidak diperolehnya dalam kehidupan. Menurut Hauser (Ratna, 2003: 63) karya seni sastra memberikan lebih banyak kemungkinan dipengaruhi oleh masyarakat, daripada mempengaruhinya. Sastra sebagai cermin kehidupan masyarakat erat kaitannya dengan kedudukan pengarang sebagai anggota masyarakat. Sehingga secara langsung atau tidak langsung daya khayalnya dipengaruhi oleh pengalaman manusiawinya dalam lingkungan hidupnya. Pengarang hidup dan berelasi dengan orang lain di dalam komunitas masyarakatnya, maka tidaklah heran apabila terjadi interaksi dan interelasi antara pengarang dan masyarakat.
Sosiologi adalah ilmu pengetahuan yang objek studinya berupa aktivitas sosial manusia. Sastra adalah karya seni yang merupakan ekspresi kehidupan manusia. Dengan demikian, antara karya sastra dengan sosiologi sebenarnya merupakan dua bidang yang berbeda, tetapi keduanya saling melengkapi. Sosiologi tidak hanya menghubungkan manusia dengan lingkungan sosial budayanya, tetapi juga dengan alam. Kajian sosiologi sastra yang menonjol adalah yang dilakukan oleh kaum Marxisme yang mengemukakan bahwa sastra adalah refleksi masyarakat yang dipengaruhi oleh kondisi sejarah (Eagleton, 1983). Sastra, karenanya, merupakan satu refleksi lingkungan budaya dan merupakan satu tes dialektika antara pengarang dengan situasi sosial yang membentuknya atau merupakan penjelasan suatu sejarah dialektika yang dikembangkan dalam karya sastra (Langland, 1984).
Fananie (2000: 133) mengutip dari Zerafta mengemukakan bahwa bentuk dan isi karya sastra sebenarnya lebih banyak diambil dari fenomena sosial dibandingkan dengan seni yang lain, kecuali film. Karena itu, karya sastra Fananie (2000: 133) mengutip dari Zerafta mengemukakan bahwa bentuk dan isi karya sastra sebenarnya lebih banyak diambil dari fenomena sosial dibandingkan dengan seni yang lain, kecuali film. Karena itu, karya sastra
Dalam konteks metodologis, pendekatan sosiologis selalu mengalami perubahan. Pada mulanya, pendekatan sosiologis diletakkan pada kerangka positivisme. Model ini menitikberatkan pada usaha pencarian hubungan antara sastra dengan beberapa faktor, seperti iklim, geografi, filsafat, dan politik. Sastra diperlakukan sebagai fakta yang statusnya sama dengan penelitian ilmiah (Damono, 1979). Perkembangan selanjutnya, pendekatan sosiologis menolak model positivisme. Pendekatan sosiologis lalu diarahkan pada telaah nilai-nilai. Hal tersebut didasarkan pengertian bahwa karya sastra berkaitan dengan hakikat dituasi di dalam sejarah. Karya sastra adalah karya yang menyajikan persoalan- persoalan interpretasi yang paling tidak terpecahkan yang berkaitan dengan makna (tata nilai) dan bentuk (struktur) dari kondisi sosial dan historis yang terdapat dalam kehidupan manusia. Secara implisit, di dalam teks sastra terdapat proposisi- proposisi bahwa manusia tidak pernah hidup sendiri dan lebih dari itu manusia memiliki masa lampau, masa sekarang, dan masa yang akan datang atau seolah- olah merupakan sebuah oracle (sabda dewa atau garis yang pasti dilalui). Karena itu, nilai yang terdapat dalam karya sastra adalah nilai yang hidup, yang selalu berkembang dan dinamis. Ini berarti karya sastra tidak diperlakukan sebagai data jadi, melainkan merupakan data mentah yang masih harus diolah dengan fenomena lain.
Bertolak dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa sosiologi sastra adalah salah satu pendekatan untuk mengurai karya sastra yang mengupas masalah hubungan antara pengarang dengan masyarakat, hasil berupa karya sastra dengan masyarakat, dan hubungan pengaruh karya sastra terhadap pembaca. Namun, dalam kajian ini hanya dibatasi dalam kajian mengenai gambaran pengarang melalui karya sastra mengenai kondisi suatu masyarakat.
a. Resepsi Sastra
Resepsi sastra secara singkat dapat disebut sebagai aliran yang meneliti teks sastra dengan bertitik tolak pada pembaca yang memberi reaksi atau tanggapan terhadap teks itu. Teori Resepsi Sastra pada tataran dasar secara singkat dapat disebut sebagai teori yang menjelaskan bahwa teks sastra (lisan maupun tulis) dengan bertitik tolak pada pembaca (penikmat) yang memberi reaksi atau tanggapan terhadap teks tersebut (Abdullah, 1994: 148).
Teori tentang resepsi sastra ini dikemukakan oleh Felix Vodicka dengan memperjelas peranan pembaca. Karya sastra bagi Vodicka diletakkan sebagai sebuah artefak yang mati, baru kemudian dihidupkan oleh pembaca melalui apa yang disebut kongkretisasi. Pada proses tersebut, semuanya bergantung kepada hubungan pembaca dengan tempat, waktu, latar sosialnya, dan karya bersangkutan.
Pendekatan inilah yang kemudian dikenal dengan teori resepsi sastra. Teori ini kemudian dikembangkan oleh Robert Jausz yang melontarkan gagasan tentang tanggapan dan efek/rezeption and wirkung (Teeuw, 1984) dan Yori Lotmann dengan konsep horison harapan pembaca (Terry Eagleton, 1983). Perkembangan tersebut akhirnya mengarah pada aspek sosiologi (Burns and Burns, eds., 1973). Pembaca selaku pemberi makna adalah variabel menurut ruang, waktu dan golongan sosial budaya. Menurut perumusan tori ini, dalam memberikan sambutan terhadap sesuatu karya sastra, pembaca diarahkan oleh horison harapan. Horison harapan ini merupakan reaksi antara karya sastra di satu pihak dan sitem interpretasi dalam masyarakat penikmat di lain pihak.
Resepsi sastra oleh Jausz disebut sebagai estetika resepsi adalah estetika (ilmu keindahan) yang didasarkan pada tanggapan-tanggapan atau resepsi-resepsi pembaca terhadap karya sastra. Karya sastra tidak mempunyai arti tanpa pembaca atau penikmat sastra yang menanggapinya. Karya sastra mempunyai nilai karena ada pembaca yang menilai (Pradopo, 1995: 206).
Estetika Resepsi atau Resepsi Sastra memberikan perhatian utama kepada pembaca karya sastra di antara jalinan segitiga pengarang, karya sastra dan masyarakat pembaca (Jausz, 1974: 12). Pada penelitian ini objek analisis adalah Estetika Resepsi atau Resepsi Sastra memberikan perhatian utama kepada pembaca karya sastra di antara jalinan segitiga pengarang, karya sastra dan masyarakat pembaca (Jausz, 1974: 12). Pada penelitian ini objek analisis adalah
Perkembangan berikutnya seperti yang dikemukakan oleh Swingewood bahwa kendati sastra dan sosiologi mempunyai perbedaan namun sebenarnya dapat memberikan penjelasan yang bermanfaat tentang sastra (Laurenson dan Swingewood, 1972). Dengan kata lain, sebagaimana konsep Rene Wellek bahwa sosiologi sastra dianggap sebagai unsur ekstrinsik (Wellek, 1956) dan unsur ekstrinsik tidak hanya meliputi sosiologi, melainkan juga unsur yang lain seperti ideologi, ekonomi, agama, psikologi, dan sebagainya.
Sebelum muncul pendekatan sosiologi sastra yang merupakan salah satu dari perkembangan pendekatan sastra yang modern terdapat pendekatan pragmatik yang berdekatan dengan resepsi sastra. Pendekatan pragmatik ini merupakan salah satu dari pendekatan sastra yang bersifat universal selain pendekatan mimesis, objektif, dan ekspresif. Sama dengan resepsi sastra, pendekatan pragmatik adalah pendekatan yang didasarkan kepada pembaca. Keberhasilan suatu karya sastra diukur dari pembacanya. Karya sastra yang berhasil adalah karya sa stra yang dianggap mampu memberikan “kesenangan” dan “nilai”. Walaupun dimensi pragmatik melingkupi pengarang dan pembaca, pembacalah yang lebih dominan. Karena itu, proses komunikasi dan pemahaman karya sastra mempengaruhi dan ikut menentukan sikap pembaca terhadap karya yang dihadapinya (Foulkes, dikutip, Teeuw, 1984: 57). Kemampuan kebahasaan pembaca sangat menentukan karena pembaca bertindak sebagai penentu pemahaman karya sastra.
Pengertian pragmatik lebih mengarah pada performance daripada competence apabila pemahaman kebahasaan didasarkan pada sistem kebahasaan Noam Choamsky. Hal ini karena pragmatik tidak mendasarkan pada sistem bahasa semata, melainkan juga aspek-aspek kultural, psikologi, sosial, dan budaya Pengertian pragmatik lebih mengarah pada performance daripada competence apabila pemahaman kebahasaan didasarkan pada sistem kebahasaan Noam Choamsky. Hal ini karena pragmatik tidak mendasarkan pada sistem bahasa semata, melainkan juga aspek-aspek kultural, psikologi, sosial, dan budaya
Berdasarkan uraian di atas, dapat dijelaskan bahwa pendekatan pragmatik dalam telaah sastra hasil akhirnya akan bergantung sepenuhnya pada kemampuan pembaca. Baik kemampuan kebahasaannya maupun kemampuan aspek yang lain, seperti aspek budaya, psikologi, filsafat, pendidikan, dan sebagainya.
b. Kritik Sastra
Kritik sastra memiliki korelasi yang erat dengan perkembangan kesusastraan. Menurut Andre Hardjana, kritik sastra merupakan sumbangan yang dapat diberikan oleh para peneliti sastra bagi perkembangan dan pembinaan sastra. Hal senada juga diungkapkan oleh Subagio Sastrowardoyo, bahwa untuk bisa menentukan bagaimana sesungguhnya perkembangan kesusastraan Indonesia, dibutuhkan suatu kritik.
Pendekatan dalam kritik sastra cukup beragam. Pendekatan-pendekatan tersebut bertolak dari empat orientasi teori kritik. Yang pertama, orientasi kepada semesta yang melahirkan teori mimesis. Kedua, teori kritik yang berorientasi kepada pembaca yang disebut teori pragmatik. Penekanannya bisa pada pembaca sebagai pemberi makna dan pembaca sebagai penerima efek karya sastra. Resepsi sastra merupakan pendekatan yang berorientasi kepada pembaca.
Untuk yang ketiga, teori kritik yang berorientasi pada elemen pengarang dan disebut sebagai teori ekspresif. Sedangkan keempat adalah teori yang berorientasi kepada karya yang dikenal dengan teori obyektif. Dalam kaitan ini, sosiologi sastra merupakan pendekatan yang bertolak dari orientasi kepada semesta, namun bisa juga bertolak dari orientasi kepada pengarang dan pembaca.
Menurut pendekatan sosiologi sastra, karya sastra dilihat hubungannya dengan kenyataan, sejauh mana karya sastra itu mencerminkan kenyataan. Kenyataan di sini mengandung arti yang cukup luas, yakni segala sesuatu yang berada di luar karya sastra dan yang diacu oleh karya sastra.
Wilayah sosiologi sastra cukup luas. Rene Wellek dan dan Austin Warren membagi telaah sosiologis menjadi tiga klasifikasi. Pertama, sosiologi pengarang, yakni yang mempermasalahkan tentang status sosial, ideologi politik, dan lain- lain yang menyangkut diri pengarang. Kedua, sosiologi karya sastra, yakni mempermasalahkan tentang suatu karya sastra. Yang menjadi pokok telaah adalah tentang apa yang tersirat dalam karya sastra tersebut dan apa tujuan atau amanat yang hendak disampaikannya. Ketiga, sosiologi sastra yang mempermasalahkan tentang pembaca dan pengaruh sosialnya terhadap masyarakat.
Klasifikasi tersebut tidak jauh berbeda dengan bagan yang dibuat oleh Ian Watt dengan melihat hubungan timbal balik antara sastrawan, sastra, dan masyarakat. Telaah suatu karya sastra menurut Ian Watt akan mencakup tiga hal, yakni konteks sosial pengarang, sastra sebagai cermin masyarakat, dan fungsi sosial sastra.
Konteks sosial pengarang adalah yang menyangkut posisi sosial masyarakat dan kaitannya dengan masyarakat pembaca, termasuk di dalamnya faktor-faktor sosial yang bisa mempengaruhi diri pengarang sebagai perseorangan di samping mempengaruhi isi karya sastranya. Sastra sebagai cermin masyarakat menelaah sampai sejauh mana sastra dianggap sebagai pencerminan keadaan masyarakat. Fungsi sosial sastra, dalam hal ini ditelaah sampai berapa jauh nilai sastra berkaitan dengan nilai sosial, dan sampai seberapa jauh pula sastra dapat berfungsi sebagai alat penghibur dan sekaligus sebagai pendidikan masyarakat bagi pembaca.
Umar Junus mengemukakan, bahwa yang menjadi pembicaraan dalam telaah sosiologi sastra adalah karya sastra dilihat sebagai dokumen sosial budaya. Ia juga menyangkut penelitian mengenai penghasilan dan pemasaran karya sastra. Termasuk pula penelitian tentang penerimaan masyarakat terhadap sebuah karya sastra seorang penulis tertentu dan apa sebabnya. Selain itu juga berkaitan dengan pengaruh sosial budaya terhadap penciptaan karya sastra, misalnya pendekatan Taine yang berhubungan dengan bangsa, dan pendekatan Marxis yang berhubungan dengan pertentangan kelas. Tak boleh diabaikan juga dalam kaitan ini pendekatan strukturalisme genetik dari Goldman dan pendekatan Devignaud Umar Junus mengemukakan, bahwa yang menjadi pembicaraan dalam telaah sosiologi sastra adalah karya sastra dilihat sebagai dokumen sosial budaya. Ia juga menyangkut penelitian mengenai penghasilan dan pemasaran karya sastra. Termasuk pula penelitian tentang penerimaan masyarakat terhadap sebuah karya sastra seorang penulis tertentu dan apa sebabnya. Selain itu juga berkaitan dengan pengaruh sosial budaya terhadap penciptaan karya sastra, misalnya pendekatan Taine yang berhubungan dengan bangsa, dan pendekatan Marxis yang berhubungan dengan pertentangan kelas. Tak boleh diabaikan juga dalam kaitan ini pendekatan strukturalisme genetik dari Goldman dan pendekatan Devignaud
Demikian pula obyek karya sastra adalah realitas kehidupan, meskipun dalam menangkap realitas tersebut sastrawan tidak mengambilnya secara acak. Sastrawan memilih dan menyusun bahan-bahan itu dengan berpedoman pada asas dan tujuan tertentu. Henry James mengatakan, bahwa sastrawan menganalisis "data" kehidupan sosial, memahaminya dan mencoba menentukan tanda yang esensial untuk dipindahkan ke dalam karya sastra.
Apabila realitas itu adalah sebuah peristiwa sejarah, maka karya sastra dapat mencoba menerjemahkan peristiwa itu dalam bahasa imajiner dengan maksud untuk memahami peristiwa sejarah menurut kadar kemampuan pengarang. Kecuali itu, karya sastra dapat menjadi sarana bagi pengarangnya untuk menyampaikan pikiran, perasaan dan tanggapannya mengenai peristiwa sejarah dan ketiga seperti juga karya sejarah, karya sastra dapat merupakan penciptaan kembali peristiwa sejarah dengan pengetahuan dan daya imajinasi pengarang.
Hubungan dialektik antara karya sastra dan realitas sosial budaya memperkuat anggapan bahwa sastra merupakan salah satu institusi sosial. Sastra tidak hanya mendapat pengaruh dari realitas sosial tetapi juga dapat mempengaruhi realitas sosial. Memang benar, sastra mengambil sebagian besar karakternya dari bahasa, namun bentuk dan isi novel lebih banyak berasal dari fenomena sosial daripada dari seni lain, terkecuali film. Novel seringkali merupakan ikatan dengan momentum tertentu dalam peristiwa sejarah masyarakat. Michel Zerraffa mengatakan, bahwa karya sastra merupakan analisis estetis dan sintesis sebuah realitas tertentu dan novelis senantiasa melakukan analisis dan sintesis sebelum memulai menulis.
1) Kritik Sastra Feminis Sebuah kata merupakan sebuah unit budaya jika dipandang dari sisi semiotik. Dalam sebuah budaya, sebuah unit merupakan sesuatu yang dideefinisikan secara budaya dan dibedakan sebagai suatu entitas. Unit tersebut bisa jadi adalah seseorang, sebuah tempat, benda, perasaan, peristiwa, firasat, fantasi, halusinasi, harapan atau ide (Sugihastuti, 2007b: 117). Demikian halnya perihal gender dalam karya sastra. Gender adalah sebuah unit budaya yang selanjutnya dapat ditentukan secara semiotik sebagai suatu unit semantik yang dimasukkan dalam sebuah sistem. Unit semacam ini juga dikenal sebagai unit interkultural yang tetap tidak dapat berubah meskipun simbol linguistik tempat tersebut disignifikan.
Permasalahan yang dibicarakan akan erat kaitannya dengan studi wanita jika ideologi gender dibicarakan dalam karya sastra. Kajian wanita mencakup berbagai topik yang bertalian dengan wanita, seperti, novel wanita, buruh atau pekerja wanita, psikologi wanita, lesbianisme, dan lain-lain. Kajian wanita di bidang sastra pun menggulir pelan-pelan, yaitu dengan mulai diliriknya penerapan kritik sastra feminis (Sugihastuti, 2007a: 129-130). Analisis kritik sastra feminis terhadap wacana cerita dapat ditelusuri melalui salah satu varian pendekatan kritik sastra feminis yang berkembang di Amerika. Sepeerti diketahui, kritik sastra feminis berawal dari hasrat para feminis untuk mengkaji karya penulis-penulis wanita pada masa silam. Misalnya, bagaimana kajian atas novel-novel Hamidah dan Selasih sampai novel Ayu Utami. Kajian atas karya novelis-novelis wanita Indonesia pada masa silam menjadi fokus perhatian analisis kritik sastra feminis.
Dalam arti leksikal, feminisme adalah gerakan wanita yang menuntut persamaan hak sepenuhnya antara kaum wanita dan pria (KBBI, 1996: 241). Feminisme ialah teori tentang persamaan antara laki-laki dan wanita di bidang politik, ekonomi, dan sosial; atau kegiatan terorganisasi yang memperjuangkan hak-hak serta kepentingan wanita (Goefe, 1986: 837). Dalam ilmu sastra, feminisme ini berhubungan dengan konsep kritik sastra feminis, yaitu studi sastra yang mengarahkan fokus analisis kepada wanita (Sugihastuti, 2000d: 37). Jika selama ini dianggap dengan sendirinya bahwa yang mewakili pembaca dan Dalam arti leksikal, feminisme adalah gerakan wanita yang menuntut persamaan hak sepenuhnya antara kaum wanita dan pria (KBBI, 1996: 241). Feminisme ialah teori tentang persamaan antara laki-laki dan wanita di bidang politik, ekonomi, dan sosial; atau kegiatan terorganisasi yang memperjuangkan hak-hak serta kepentingan wanita (Goefe, 1986: 837). Dalam ilmu sastra, feminisme ini berhubungan dengan konsep kritik sastra feminis, yaitu studi sastra yang mengarahkan fokus analisis kepada wanita (Sugihastuti, 2000d: 37). Jika selama ini dianggap dengan sendirinya bahwa yang mewakili pembaca dan
Kritik sastra feminis didefinisikan oleh Kolodny, seorang pengkritik feminis Amerika sebagai berikut. it involved exposing the sexual stereotyping of women, in both our
literature and our literary critism and, as well, demonstrating the inadequency of established critical schools and methods to deal fairly or sensitively with work written by women (dalam Sugihastuti, 2007a: 141)
Kolodny menjelaskan bahwa kritik sastra feminis membeberkan wanita menurut stereotipe seksual, baik dalam kesusastraan maupun dalam kritik sastra kita, dan juga menunujukkan bahwa aliran-aliran serta cara-cara yang tidak memadai telah digunakan untuk mengkaji tulisan wanita secara tidak adil dan tidak peka. Menurutnya, mereka yang menekuni bidang sastra pasti menyadari bahwa biasanya karya sastra, yang pada umumnya hasil tulisan laki-laki menampilkan stereotipe wanita sebagai istri dan ibu yang setia dan berbakti, wanita manja, pelacur, dan wanita dominan. Citra-citra wanita seperti itu ditentukan oleh aliran-aliran sastra dan pendekatan-pendekatan tradisional yang tidak cocok dengan keadaan karena penilaian demikian tentang wanita tidak adil dan tidak teliti. Pdahal wanita memiliki perasaan-perasaan yang sangat pribadi, seperti penderitaan, kekecewaan atau rasa tidak aman yang hanya bisa diungkapkan secara tepat oleh wanita itu sendiri.
Kritik sastra feminis bertujuan untuk menunjukkan citra wanita dalam karya penulis-penulis pria yang menampilkan wanita sebagai makhluk yang dengan berbagai cara ditekan, disalahtafsirkan serta disepelekan oleh tradisi patriarkal yang dominan. Hasrat kritikus sastra feminis dapat saja didasari oleh perasaan cinta dan setia kawan terhadap pengarang dan penyair atau penulis- penulis wanita dari zaman dahulu sampai sekarang. Dapat pula, hasrat mereka didasari oleh perasaan prihatin dan amarah. Kedua hasrat kritikus sastra feminis ini menimbulkan berbagai ragam cara mengkritik yang kadang-kadang terpadu. Misalnya, dalam meneliti citra wanita dalam karya sastra penulis wanita, Kritik sastra feminis bertujuan untuk menunjukkan citra wanita dalam karya penulis-penulis pria yang menampilkan wanita sebagai makhluk yang dengan berbagai cara ditekan, disalahtafsirkan serta disepelekan oleh tradisi patriarkal yang dominan. Hasrat kritikus sastra feminis dapat saja didasari oleh perasaan cinta dan setia kawan terhadap pengarang dan penyair atau penulis- penulis wanita dari zaman dahulu sampai sekarang. Dapat pula, hasrat mereka didasari oleh perasaan prihatin dan amarah. Kedua hasrat kritikus sastra feminis ini menimbulkan berbagai ragam cara mengkritik yang kadang-kadang terpadu. Misalnya, dalam meneliti citra wanita dalam karya sastra penulis wanita,
Salah satu dari beberapa ragam kritik sastra feminis adalah kritik ideologis. Kritik sastra feminis yang lapang banyak - dan yang sekiranya sederhana, mudah, dan cepat - dipakai adalah kritik ideologis. Kritik sastra feminis ini melibatkan wanita, khususnya kaum feminis sebagai pembaca. Yang menjadi pusat perhatian pembaca adalah citra serta stereotipe wanita dalam karya sastra. Kritik ini juga meneliti kesalahpahaman tentang wanita dan sebab-sebab mengapa wanita sering tidak diperhitungkan, bahkan nyaris diabaikan sama sekali dalam kritik sastra. Pada dasarnya, ragam kritik sastra feminis ini merupakan cara menafsirkan suatu teks, yaitu satu di antara banyak cara yang dapat diterapkan untuk teks yang paling rumit sekalipun. Cara ini bukan saja memperkaya wawasan para pembaca wanita, tetapi juga membebaskan cara berpikir mereka (Djajanegara, 2000: 28).
Sejalan dengan kritik sastra feminis ideologis adalah konsep reading as a woman (Culler, 1983: 43-63). Konsep ini adalah konsep yang sekiranya pantas dipakai untuk membongkar praduga dan ideologi kekuasaan laki-laki yang androsentris atau patriarkal yang sampai sekarang diasumsikan menguasai penulisan dan pembacaan sastra (dalam Sugihastuti, 2007a: 139). Arti kritik sastra feminis secara sederhana adalah sebuah kritik sastra yang memandang sastra dengan kesadaran khusus akan adanya jenis kelamin yang banyak berhubungan dengan budaya, sastra, dan kehidupan manusia. Jenis kelamin itu membuat banyak perbedaan, di antara semuanya dalam sistem kehidupan manusia. Ada asumsi bahwa wanita memiliki persepsi yang berbeda dengan laki-laki dalam membaca sastra (Sugihastutia, 2007: 140).
Sumber yang lain menyatakan bahwa feminisme memandang wanita bukan sebagai korban melainkan sebagai pelaku. Menurut Paula Gunn Allen (dalam Zita Rarastesa, 2001): a feminist approach in the Native American
women’s writing could both show the power of the indian women and the tendencies to suppress the Indian women’s power and subjectivity. Tulisan tersebut menjelaskan bahwa pendekatan feminis pada wanita barat -yang diwakili women’s writing could both show the power of the indian women and the tendencies to suppress the Indian women’s power and subjectivity. Tulisan tersebut menjelaskan bahwa pendekatan feminis pada wanita barat -yang diwakili
2) Sastra Mengeksploitasi Manusia Karya sastra mengeksploitasi manusia dan masyarakat. Hal ini yang menjadi alasan utama mengapa sosiologi sastra penting dan dengan sendirinya perlu dibangun pola-pola analisis sekaligus teori-teori yang berkaitan dengannya. Meskipun masalah sastra dan manusia/masyarakat sudah dibicarakan jauh sebelumnya, sosiologi sastra sebagai ilmu yang berdiri sendiri dengan menggunakan teori dan metode ilmiah dianggap baru mulai pada abad ke-18.
Paradigma sosiologi sastra berakar dari latar belakang historis dua gejala, yaitu masyarakat dan sastra: karya sastra ada dalam masyarakat, dengan kata lain, tidak ada karya sastra tanpa masyarakat. Sosiologi sastra, meskipun belum menemukan pola analisis yang dianggap memuaskan, mulai memperhatikan karya seni sebagai bagian yang integral dari masyarakat. Tujuannya jelas untuk memberikan kualitas yang proposional bagi kedua gejala: sastra dan masyarakat.
Demikianlah, pendekatan sosiologi sastra menaruh perhatian pada aspek dokumenter sastra, dengan landasan suatu pandangan bahwa sastra merupakan gambaran atau potret fenomena sosial. Pada hakikatnya, fenomena sosial itu bersifat konkret, terjadi di sekeliling kita sehari-hari, bisa diobservasi, difoto, dan didokumentasikan. Oleh pengarang, fenomena itu diangkat kembali menjadi wacana baru dengan proses kreatif (pengamatan, analisis, interpretasi, refleksi, imajinasi, evaluasi, dan sebagainya) dalam bentuk karya sastra.
Sastra menyajikan gambaran kehidupan, dan kehidupan itu sendiri sebagian besar terdiri dari kenyataan sosial. Dalam pengertian ini, kehidupan mencakup hubungan antarmasyarakat dengan orang-orang, antarmanusia, antarperistiwa yang terjadi dalam batin seseorang. Maka, memandang karya sastra sebagai penggambaran dunia dan kehidupan manusia, kriteria utama yang dikenakan pada karya sastra adalah "kebenaran" penggambaran, atau yang hendak digambarkan.
Namun, Wellek dan Warren mengingatkan, bahwa karya sastra memang mengekspresikan kehidupan, tetapi keliru kalau dianggap mengekspresikan selengkap-lengkapnya. Hal ini disebabkan fenomena kehidupan sosial yang terdapat dalam karya sastra tersebut kadang tidak disengaja dituliskan oleh pengarang, atau karena hakikat karya sastra itu sendiri yang tidak pernah langsung mengungkapkan fenomena sosial, tetapi secara tidak langsung, yang mungkin pengarangnya sendiri tidak tahu. Karya sastra dapat juga mencerminkan dan menyatakan segi-segi yang kadang-kadang kurang jelas dalam masyarakat.