Alur (Plot)
4. Alur (Plot)
Alur (plot) adalah rangkaian waktu yang digunakan oleh penulis untuk menggambarkan rangkaian cerita. Abidah El Khalieqy menggunakan alur mundur dalam menggambarkan rangkaian peristiwa yang terdapat dalam novel Perempuan Berkalung Sorban. Cerita berjalan dari Annisa dewasa yang menerawang dan mengingat kembali kehidupannya yang telah lalu. Kemudian, selanjutnya Abidah menggunakan alur maju yang dimulai dari kisah Annisa kecil menuju pergolakan hidupnya untuk memperjuangkan hakekat ke-perempuanan-nya sampai akhir cerita ketika Annisa berhasil mendapatkan haknya sebagai perempuan dan untuk selanjutnya membantu perempuan-perempuan lain agar sadar terhadap posisinya. Akhir cerita kemudian ditutup dengan keinginan Annisa dewasa untuk tetap memperjuangkan hak-hak perempuan yang harus mereka dapatkan.
Beberapa bagian dalam rangkaian alur adalah pendahuluan (eksposisi), permasalahan (komplikasi), puncak permasalahan (klimaks), penyelesaian (resolusi), dan simpulan (konklusi) (Kompeten Berbahasa Indonesia untuk SMA Kelas XI , 2009: 106).
a. Pendahuluan (eksposisi) Bagian ini berfungsi memberikan penjelasan mengenai segala hal yang diperlukan untuk dapat memahami peristiwa-peristiwa dalam cerita. Keterangan-keterangan itu dapat mengenai tokoh cerita, masalah yang timbul, tempat dan waktu cerita, dan sebagainya.
b. Permasalahan (komplikasi) Bagian permasalahan merupakan lanjutan dari bagian pendahuluan. Dalam bagian ini mulai muncul permasalahan. Biasanya, salah seorang tokoh mulai beraksi atau mengalami suatu peristiwa.
c. Puncak Permasalahan (klimaks) Klimaks merupakan bagian ketika pihak-pihak yang bermasalah atau berlawanan saling bertemu.
d. Penyelesaian (resolusi) Dalam bagian ini, semua masalah yang timbul dipecahkan. Pemecahan masalah yang terjadi antartokoh dapat dilakukan secara baik-baik dengan d. Penyelesaian (resolusi) Dalam bagian ini, semua masalah yang timbul dipecahkan. Pemecahan masalah yang terjadi antartokoh dapat dilakukan secara baik-baik dengan
e. Simpulan (konklusi) Bagian terakhir adalah simpulan. Pada bagian ini, keadaan atau nasib tokoh- tokoh cerita diputuskan. Penonton dapat mengetahui hal-hal yang terjadi pada setiap tokoh.
Analisis alur dalam novel Perempuan Berkalung Sorban adalah sebagai berikut:
a. Pendahuluan (eksposisi) Bagian ini dimulai penulis dengan menceritakan pertentangan batin yang sudah dialami tokoh utama, Annisa sejak ia masih kecil. Beberapa lembar di awal dalam novel ini memberikan gambaran pengantar konflik dan gambaran posisi setiap tokoh.
Gemercik air tak henti mengalir, mengisi kolam dan blumbang. Sungai-sungai kecil melengkungkan tubuhnya seperti sabit para petani yang menunggu musim panen. Sawah dan ladang berundak-undak seakan tangga untuk mendaki ke dalam istana peri. Semilir angin selalu datang dan pergi, tak pernah bosan menghias diri di pucuk-pucuk dedaunan. Bunga-bunga liar mekar tanpa disiram, menawarkan keindahan di lereng pegunungan, di dusun kecil yang terpisah dari keramaian, tempat bermain masa kanakku yang tak pernah kulupakan.
Meski sudah berlalu, jauh di belakang waktu, masa kanak itu banyak menyimpan cerita. Kadang mengasyikkan, tapi lebih banyak yang menyebalkan. Dan kini, setelah aku mendapatkan gelar, sudah memiliki Mahbub, anak semata wayangku, cerita itu sering muncul seturut dengan pengetahuan yang kudapatkan dari lembaran buku kehidupan… .
…. “Kita jaring betinanya!”, teriak Rizal, kakakku. “Dia mau bertelur, jangan diganggu!,” sergahku. “Justru di saat
bertelur dia tak berdaya. Kesempatan kita menangkapnya.” ….
Aku merenung sejenak. Kalau aku tak bisa menemukan jawabannya, dia pasti akan mengejekku. Mencibirku sebagai anak perempuan yang bodoh.
(Perempuan Berkalung Sorban, 2009: 1-3)
Kutipan di atas digunakan oleh penulis untuk menggambarkan tokoh utamanya. Tokoh lain menganggap perempuan adalah makhluk yang lemah Kutipan di atas digunakan oleh penulis untuk menggambarkan tokoh utamanya. Tokoh lain menganggap perempuan adalah makhluk yang lemah
b. Permasalahan (komplikasi) Penulis mulai memasukkan hal-hal yang dialami oleh masing-masing tokoh yang akan membuat permasalahan mencapai klimaks. Paragraf yang menunjukkan tahap ini, misalnya adalah sebagai berikut.
Begitulah. Ujung-ujungnya aku juga yang disalahkan. Padahal Rizal yang terlalu bernafsu dengan jaringnya. Sembari mengguyur badan di kamar mandi, kucoba mendinginkan amarahku dengan siraman air pegunungan. Tetapi keinginanku untuk belajar naik kuda telah melampaui nada tertinggi dari kemarahan bapak. Keinginan it uterus menggedor pintu yang disekat oleh batasan-batasan di ruangan hatiku.
…. Tetapi impian tinggal impian. Setelah tragedi Rizal kecemplung
blumbang dalam pengembaraan kami, duabelas pasang mata santri diberi tugas mengamati aktivitas masa kanakku. Ruang bermainku mendapat pagar baru, lebih tinggi dan sempit untuk cakrawala penglihatanku. Tanganku mulai dilatih memegang piring, gelas, sendok, wajan dan api pembakaran. Bau asap membuatku pusing dan tersedak bertubi-tubi. Bau bawang dan sambal terong membuatku bersin-bersin. Sampai lidahku tak pernah bisa menikmati sarapan pagi, bahkan tak juga merasakan kebebasan ketika kedua tangan ini mesti kembali mencuci piring yang dipenuhi minyak bekas makanan Rizal,Wildan dan bapak yang terus saja duduk di meja makan sambil ngobrol dan berdahak.
Seperti piring-piring yang berkilatan karena minyak, aku sering mencuri pandang ke arah meja makan yang masih terlihat dari tempat cucian. Mengamati wajah-wajah mereka yang begitu bahagia. Merdeka. Apalagi ketika tangan Rizal mengepal-ngepal sambil bercerita, entah apa yang diceritakannya. Berbeda dengan Wildan yang pendiam dan banyak merenung, ia hanya mengangguk dan banyak menggerakkan tangannya yang menunjukkan tak setuju. Bapak akan terbahak-bahak manakala Rizal mampu menbawakan cerita petualangan yang seru dna lucu. Tetapi begitu aku datang di antara mereka, semuanya jadi terdiam.
“Kenapa sih? Kalian piker aku ini hantu? Kok semuanya tiba-tiba diam? Pasti sedang ngerasani aku, ya.”
“Lho, lho, lho… kok malah su‟udzon,” kata bapak sambil mengusap rambutku. Aku jengkel dan merasa disepelekan, segera menepiskannya.
“Jangan begitu, Nisa. Kita kan sedang bicara urusan laki-laki,” tambah Wildan.
“Memangnya urusan laki-laki itu apa? Apa perempuan tak boleh mengetahuinya?” “Boleh sih boleh. Tetapi…ah, sudahlah. Kita mau berangkat nih! Nanti bisa terlambat.”
Seperti pagi yang lain, aku tak pernah mendapatkan kesempatan untuk berbicara lebih banyak kecuali bersiap diri dan berangkat bersama Rizal menuju ke sekolah yang tidak begitu jauh dari rumah kami.
(Perempuan Berkalung Sorban, 2009: 7-10)
c. Puncak Permasalahan (klimaks) Tokoh utama dalam novel Perempuan Berkalung Sorban, Annisa mengalami konflik-konflik yang kemudian memuncak. konflik dalam rumah tangganya yang pertama yakni dengan Samsudin mengalami puncaknya ketika Annisa mengalami berbagai penganiayaan dan perlakuan yang tidak menyenangkan dari Samsudin. Beberapa penganiayaan yang dilakukan Samsudin terlihat pada kutipan berikut.
“Berikan selimut itu untukku,” aku meminta. Ia hanya mendengus sekali dan menjalarkan api nafsunya.
Aku mau selimut, Samsudin!” Teriakku menderita. “Untuk menyelimuti apa, Annisa. Apa kau ingin menyembunyikan
sesuatu dari pandanganku. Memangnya aku ini siapa, hah…?!” “Bener, kau ingin tahu siapa dirimu?” “Katakan! Siapa aku ini. Ayo katakana!” “Keledai! Kau keleedai! Dan keledai tidak membutuhkan selimut
untuk menutupi tubuhnya. Jadi masalahnya, aku bukan keledai sepertimu, sebab itu aku membutuhkan…..”
Plak!Plaakk!! Ia menampar mukaku bertubi-tubi hinga pipi dan pundakku lebam
kebiru-biruan. Untuk kali pertama kucakar wajahnya dan ia membanting badanku ke lantai. Bunyi gedebug dan suara berisik di kamar membuat Mbak kalsum curiga. Ia menggedor pintu dengan ketakutan dan Samsudin membentaknya. Seperti keledai tanpa pakaian, ia melenggang kamar dengan tenangnya. Melewati Kalsum dan putri mereka, Fadilah. Sampai anak kecil itu terlongong-longong seakan tengah menyaksikan unta budukan di tengah sahara.
(Perempuan Berkalung Sorban, 2009: 131-132)
Permasalahan yang dihadapi Annisa tidak hanya berhenti pada konflik yang dialaminya selama rumah tangga yang pertama. Cerita-cerita selanjutnya yang menjadi isi novel adalah tentang usaha Annisa untuk memberikan kesadaran kepada wanita tentang kedudukan mereka.
Rumah tangga kedua Annisa dengan Khudhori dipenuhi dengan kebahagiaan karena hadir tanpa paksaan. Komunikasi yang dilakukan antara keduanya juga membuat hubungan suami-istri menjadi harmonis. Namun, rumah tangga kedua ini tidak bertahan lama karena maut memisahkan Khudhori dan Annisa.
Di dalam mobil aku bertanya kepada mas Khudhori, apa Samsudin menanyakan tentang Mahbub kepadanya. “Untuk apa, Nisa? Tanya atau tidak, jelas ia sudah tahu kalau Mahbub anak kita.” “Paling tidak, aku ingin mendengar nada kekalahan paling akhir dari mulutnya.” “Siapa tahu ini bukan yang terakhir.” “Apa maksudmu, Mas?” “Iya. Perjalanan kehidupan Samsudin kan masih panjang, saying. Apa
yang terjadi antara kalian hanyalah permulaan baginya. Siapa tahu, hanya Tuhan kan?”
“Tetapi aku telah melihat banyak dari matanya, tadi sewaktu kalian sedang bercakap- cakap.” “Apa yang kau lihat, Nisa?” Mas Khudhori meledek. “Ia sinis sekali melihatmu. Pandangan matanya berkobar-kobar dengan
dendam dan amarah. Apa Mas tidak melihatnya?”
“Ah, itu hanya perasaanmu saja. Kau melebih-lebihkan, Nisa.” “Tidak! Ia pasti masih menaruh dendam pada kita, Mas. Terlebih
setelah melihat Mahbub, kedengkiannya mencapai puncaknya.” “Nisa, istghfar! Nggak baik terus menerus su’udzon kepada orang lain. Sudahlah ! Semuanya sudah berlalu kan?” Sekalipun aku masih diliputi rasa mengganjal dan kurang puas dengan tanggapannya, akhirnya kupendam sendiri semua kekhawatiran itu. Mas Khudhori terlalu positive thinking. Dan aku malas untuk kembali membincangkan berbagai kemungkinan yang bakal terjadi. Bukankah segala sesuatu yang bakal terjadi tak seorangpun yang mengetahui selain Yang Maha Mengetahui.
(Perempuan Berkalung Sorban, 2009: 303-305) (Perempuan Berkalung Sorban, 2009: 303-305)
“Bapak tak menyangka. Ini benar-benar pelik. Kiai Nasiruddin, Bapak mertuamu itu adalah sahabat terbaik dan paling dekat dengan Bapak
semasa kami sama-sama moncok di Tebuireng. Saat Bapak kehabisan uang dan kiriman belum datang, beliaulah yang sering meminjami uang. Beliau itu orangnya baik, dermawan, tidak suka menyakiti hati orang, apalagi istrinya sendiri. Bagaimana bisa anaknya menjadi seperti itu. Jika semua ini terungkap di hadapannya, aku tak tahu bagaimana reaksinya.”
... . “Jika kita berbicara dan musyawarah secaraa kekeluargaan dan jika
benar kiai Nasir itu orang yang baik dan tak suka menyakiti orang lain, tentu persahabatan kita tak terganggu dengan adanya masalah ini, Pak. Bapak jangan lupa, jika ini dibiarkan berlarut-larut, Nisa yang akan jadi korban. Ini saja Ibu rasa sudah terlambat, Pak. Jadi jangan ditunda-tunda
lagi. Kasihan Nisa,” desak ibu sambil mengelus kepalaku. Aku merasa, belum pernah nada suara ibu sesimpati itu. Ia terlihat begitu cemas dan tak sabar untuk melihat kehangatan kasih sayangnya merasuk ke dalam jiwaku yang tengah gelisah.
(Perempuan Berkalung Sorban, 2009: 183-184)
Semua keluarga Annisa termasuk saudara laki-lakinya yang semasa kecil selalu mengejeknya pun memberikan andil dalam permasalahan rumah tangga Annisa. Ketika itulah Annisa merasa bahwa begitu banyak orang yang mencintainya dan dia harus bangkit dari keterpurukan tersebut.
“Kalau aku diizinkan berpendapat, menurutku, lek Khudhori masih terlalu muda sebagai hakam dalam masalah ini. Apa tidak lebih baik kalau
yang diutus sebagai hakam adalah satu pihak yang minimal telah berkeluarga. Sebab dengan itu, pastilah dia lebih tahu urusan dan permasalahan tentang keluarga. Ini pendapat saya.”
“Aku setuju,” cepat-cepat aku menyambung Wildan, “mungkin Bapak bisa mengutus Kiai Mahfud atau Kiai Badawi yang jauh lebih sepuh dan
pastilah lebih arif untuk membincangkan masalah seperti ini.” “Benar. Ibu kira Kiai Mahfud jauh lebih baik dibandingkan Kiai Badawi. Soalnya Bapak tahu sendiri kan masalah kita dengan Kiai Badawi?,” ibu menyambung dengan teka-teki di antara kami. Ingin
kutanyakan, ada apa dengan kiai Badawi tetapi pasti nanti akan jadi kutanyakan, ada apa dengan kiai Badawi tetapi pasti nanti akan jadi
“Baiklah kalau begitu,” bapak memutuskan, “nanti bapak akan m enghubungi kiai Mahfud.”
Mencairlah sedikit ketegangan dalam hidupku. Malam itu, sekalipun udara pegunungan begitu dingin, melihat simpati yang ditunjukkan oleh semua yang ada di rumah, aku mendapat kehangatan lain yang membuatku terharu dan ingin menangis. Rizal berhenti memperolokku dan Wildan memberikan dukungan yang cukup berarti untuk selesainya masalahku. Ini benar-benar membesarkan hatiku untuk tetap bangkit, terlepas dari perhatian lek Khudhori, dan mahabbah di antara kami yang demikian puitis.
(Perempuan Berkalung Sorban, 2009: 187-188)
Sedangkan kematian Khudhori yang merupakan ujian besar dalam rumah tangga Annisa dan Khudhori diterima Annisa dengan ikhlas dan lapang dada. Kematian yang telah menimpa Khudhori adalah takdir dari Allah SWT yang tidak bisa ditolaknya.
Tidak! Mas Khudhori tidak mati. Aku yakin, bahwa ia hanya tidur kelelahan dan sebentar lagi akan
bangun kembali. Tapi keyakinan itu selalu lenyap dalam mimpi. Sebab, hampir dua minggu aku bolak-balik ke rumah sakit. Sampai-sampai aku bermimpi yang bukan-bukan.
Di mana aku bangkit, berdiri dan berjalan menuju ruang tengah. Tetapi apa yang kulihat? Tubuh berselimutkan kain panjang itu wajahnya begitu pucat, matanya terpejam dan diam. Aroma kapur barus itu, telah menyentakkan kesadaranku akan makna semua yang diam. Para pelayat yang terus berdatangan dan tatapan mata mereka, semuanya memberitahuku arti sebuah peristiwa.
... . Tubuh yang beku itu, menyiratkan senyum dan wajah kemenangan,
menegaskan sikapnya dalam hidup yang pantang menyerah oleh gempuran fitnah dan cobaan. Dan senyum itu membakar semangat hidupku untuk tetap bangkit, berdiri dengan tegar di tengah gelombang yang menerpa, seganas apa pun. Memandanginya membuat energiku terpompa. Melihat masa depan dan Mahbub-ku, Mahbub kami yang menjernihkan mataku dari debu dan mendung dunia.
(Perempuan Berkalung Sorban, 2009: 312-314)
e. Simpulan (konklusi) Bagian ini menjadi penutup cerita dari novel Perempuan Berkalung Sorban yang menceritakan tentang tokoh utama setelah konflik-konflik yang dilaluinya memuncak dan mengalami penyelesaiannya.
Namun, sejauh apapun kesedihan terhampar, selalu saja ada bunga yang mekar di ujungnya. Aku yakin, setelah kesulitan pasti kan datang kemudahan. Bahkan lebih dari itu, kesulitan dan kemudahan selalu datang bersamaan. Penderitaan ada dalam kebahagiaan, begitupun sebaliknya, kebahagiaan ada dalam penderitaan. Maka, kurasakan pada saat itu, harapan demi harapan terus berdatangan dalam kepala dan hatiku. Hingga aku dapat berjalan kembali dengan langkah kaki seperti biasanya. Kukerjakan apa saja yang bisa dikerjakan oleh kedua tanganku. Kubaca ayat-ayat semesta, kitab dan buku-buku yang menyimpan lekuk liku perjalanan adam dan hawa.
“Nisa, apakah kau masih mencintaiku seperti gadis kecil di pinggir sungai itu?” “Aku tetap Nisa yang dulu, Mas.” “Tapi…”
Aku tersenyum bangga. Kuletakkan buku yang sedari tadi kubaca di sisinya. Lalu kucium dahinya dengan lembut. Selembut embun pagi yang menetes dari langit biru. Mengisi jadwal dan kewajiban hari-hariku untuk tetap melangkah, memerdekakan kaumku yang masih saja dianggap lemah. Agar mereka selalu hadir dan mengalir di tengah zaman. Membawa kemudi. Panji matahari.
(Perempuan Berkalung Sorban, 2009: 315-316)
Secara umum, alur yang digunakan dalam novel Perempuan Berkalung Sorban memiliki alur mundur (regresif, flashback). Cerita dalam novel tersebut dimulai dari keadaan Annisa yang mengenang masa lalunya melalui penggambaran alam desanya.
Gemercik air tak henti mengalir, mengisi kolam dan blumbang. Sungai-sungai kecil melengkungkan tubuhnya seperti sabit para petani yang menunggu musim panen. Sawah dan ladang berundak-undak seakan tangga untuk mendaki ke dalam istana peri. Semilir angin selalu datang dan pergi, tak pernah bosan menghias diri di pucuk-pucuk dedaunan. Bunga-bunga liar mekar tanpa disiram, menawarkan keindahan di lereng pegunungan, di dusun kecil yang terpisah dari keramaian, tempat bermain masa kanakku yang tak pernah kulupakan.
Meski sudah berlalu, jauh di belakang waktu, masa kanak itu banyak menyimpan cerita. Kadang mengasyikkan, tapi lebih banyak yang menyebalkan. Dan kini, setelah aku mendapatkan gelar, sudah memiliki Mahbub, anak semata wayangku, cerita itu sering muncul seturut dengan pengetahuan yang kudapatkan dari lembaran buku kehidupan. Seperti dalam film, jalanan usiaku membentuk gambar-gambar yang terus bergerak dalam kepala. Kadang juga menjelma padang ilalang, semak dan hutan belantara.