Gaya bahasa

7. Gaya bahasa

Gaya bahasa adalah teknik pengolahan bahasa oleh pengarang dalam upaya menghasilkan karya sastra yang hidup dan indah. Pengolahan bahasa harus didukung oleh diksi (pemilihan kata) yang tepat. Namun, diksi bukanlah satu- satunya hal yang membentuk gaya bahasa.

Gaya bahasa merupakan cara pengungkapan yang khas bagi setiap pengarang. Gaya seorang pengarang tidak akan sama apabila dibandingkan dengan gaya pengarang lainnya, karena pengarang tertentu selalu menyajikan hal- hal yang berhubungan erat dengan selera pribadinya dan kepekaannya terhadap segala sesuatu yang ada di sekitamya.

Gaya bahasa dapat menciptakan suasana yang berbeda-beda: berterus terang, satiris, simpatik, menjengkelkan, emosional, dan sebagainya. Bahasa dapat menciptakan suasana yang tepat bagi adegan seram, adegan cinta, adegan peperangan dan lain-lain.

Gaya bahasa sinisme juga kerap digunakan Abidah El Khalieqy untuk menggambarkan kesenjangan yang ada atas perlakuan bagi kaum perempuan dan laki-laki. Hal tersebut tampak dalam kutipan berikut.

“Apapun yang terjadi…aku harus bisa. Aku mesti belajar naik kuda. Aku akan tetap belajar naik kuda. Naik kuda.”

Tetapi impian tinggal impian. Setelah tragedy Rizal kecemplung Blumbang dalam pengembaraan kami, dua belas pasang mata santri diberi tugas mengamati aktivitas masa kanakku. Ruang bermainku mendapat pagar baru, lebih tinggi dan lebih sempit untuk cakrawala penglihatanku. Tanganku mulai dilatih memegang piring, gelas, sendok, wajan, dan api pembakaran. Bau asap membuatku pusing dan tersedak bertubi-tubi. Bau bawang dan sambal terong membuatku bersin-bersin. Sampai lidahku tak pernah bisa menikmati sarapan pagi, bahkan tak juga merasakan kebebasan ketika kedua tangan ini mesti kembali mencuci piring yang dipenuhi minyak bekas makanan Rizal, Wildan, dan bapak yang terus saja duduk di meja makan sambil ngobrol dan berdahak.

(Perempuan Berkalung Sorban, 2009: 8-9)

Melalui beberapa narasi cerita, Abidah sebagai penulis juga mampu memberikan penjelasan tentang gambaran bagaimana pembagian kewajiban dan hak antara suami-istri tanpa ada kesenjangan antara keduanya. Kutipan narasi tersebut dapat dicontohkan sebagai berikut.

Saat paling berat kulalui adalah ketika pagi menjelang dan udara dingin menyerang. Perutku serasa diaduk-aduk dan sulit sekali memberi toleransi untuk keringat dan bau mulut yang belum disikat. Maunya begitu mataku terbangun, seluruh isi kamar harus berbau harum segar dan tidak menyengat. Juga tak ada sedikitpun barang yang berantakan, maunya rapid an indah. Jika tidak, aku akan terus menerus muntah berkepanjangan dan pusing dan ingin marah yang tak jelas ujungnya. Tak ada pilihan lain bagi mas Khudhori kecuali menuruti segala permintaanku.

Sebelum subuh ia telah bangun dan merapikan semua, menyemprot dan mengepel seluruh ruangan dengan pengharum lalu mandi cepat-cepat sebelum aku terbangun. Jika aku belum juga bangun setelah semuanya beres, ia akan menyiapkan apel kesayanganku di nampan buah dan segelas susu prenagen.

(Perempuan Berkalung Sorban, 2009: 285-286)

Kutipan di atas memberikan penjelasan bahwa tidaklah menjadi satu hal yang tabu jika suami melakukan pekerjaan yang biasa dilakukan oleh isteri. Mengepel, mencuci baju, mencuci piring, menyiapkan segala hal yang diperlukan dalam rumah tangga adalah hal-hal yang biasa dilakukan oleh seorang suami. Deksripsi yang diberikan oleh Abidah dalam novel tersebut antara Annisa dan Khudhori memberikan penerangan sekaligus kejelasan hak dan kewajiban serta keharusan harus saling membantu antara suami-isteri. Hal ini jelas menolak nilai yang diajarkan dalam lingkungan pondok pesantren tempat Annisa hidup sejak kecil. Bahwa, segalanya yang berbau rumah tangga adalah pekerjaan yang harus diselesaikan oleh seorang isteri tanpa ada pengecualian waktu, termasuk ketika seorang perempuan hamil.