NILAI-NILAI KULTURAL PONDOK PESANTREN DALAM NOVEL PEREMPUAN BERKALUNG SORBAN
D. NILAI-NILAI KULTURAL PONDOK PESANTREN DALAM NOVEL PEREMPUAN BERKALUNG SORBAN
Pondok pesantren adalah lembaga pendidikan Islam yang diperkenalkan di Jawa sekitar 500 tahun yang lalu. Sejak saat itu, lembaga pesantren tersebut telah mengalami banyak perubahan dan memainkan berbagai macam peran dalam masyarakat Indonesia. Secara historis, pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam yang di-kembangkan secara indigenous oleh masyarakat Indonesia. Karena sebenarnya pesantren merupakan produk budaya masyarakat Indonesia yang sadar sepenuhnya akan pentingnya arti sebuah pendidikan bagi orang pribumi yang tumbuh secara natural.
Novel Perempuan Berkalung Sorban memiliki setting pondok pesantren yang berfungsi sebagai tempat berkembangnya gagasan-gagasan masing-masing tokoh dan awal terciptanya konflik. Abidah El Khalieqy sebagai penulis menempatkan pondok pesantren sebagai institusi pendidikan yang berperan penting dalam perubahan pola pandang masyarakat saat ini. Dalam wawancara yang dilakukan dengan Abidah El Khalieqy di kediamannya, dia mengungkapkan sebagi berikut.
Pesantren ini kan satu institusi pendidikan yang merupakan agent of change untuk merubah pola pikir masyarakat. Bagaimana mindset masyarakat itu di rubah. Dari masyarakat yang patriarki menjadi tidak patriarki atau patriarki ini dilestarikan terus menerus ya berasal dari sini. Kalau dari agennya saja tidak mau berubah semua ini, kita tidak akan berbah. Karena yang bisa merubah pola pikir masyarakat adalah agen-agen perubahan ini. Nah, kalau kita ingin melakukan revolusi pemikiran ya dari agen-agen ini.
Ada juga yang menanyakan kenapa Mbak Abidah nggak menulis saja novel yang setting-nya pelacuran atau tempat-tempat yang lain. Itu kan juga sarat sekali dengan nilai-nilai feminisme. Tapi bukan itu yang saya inginkan. Kalau kita ingin perubahan kita cari dulu akarnya dalam masyarakat. Kalau ada ketimpangan, ada ketidakseimabangan dalam masyarakat kita cari dulu akar permasalahannya. Awalnya, kita lakukan kritik-kritik dulu, kita benahi ada apa sebenarnya dalam pondok pesantren. di sana kan ada penguasa-penguasa, yaitu kyai dan kitab kuning. Dalam PBS saya memberikan contoh-contoh beberapa hadist dan profil seorang kyai yang dominan terhadap keluarga dan pondok pesantrennya. Maka, setting pondok pesantren adalah satu kewajiban yang harus diangkat. Latar pondok pesantren adalah target untuk dikritisi karena dari sana akar dari Ada juga yang menanyakan kenapa Mbak Abidah nggak menulis saja novel yang setting-nya pelacuran atau tempat-tempat yang lain. Itu kan juga sarat sekali dengan nilai-nilai feminisme. Tapi bukan itu yang saya inginkan. Kalau kita ingin perubahan kita cari dulu akarnya dalam masyarakat. Kalau ada ketimpangan, ada ketidakseimabangan dalam masyarakat kita cari dulu akar permasalahannya. Awalnya, kita lakukan kritik-kritik dulu, kita benahi ada apa sebenarnya dalam pondok pesantren. di sana kan ada penguasa-penguasa, yaitu kyai dan kitab kuning. Dalam PBS saya memberikan contoh-contoh beberapa hadist dan profil seorang kyai yang dominan terhadap keluarga dan pondok pesantrennya. Maka, setting pondok pesantren adalah satu kewajiban yang harus diangkat. Latar pondok pesantren adalah target untuk dikritisi karena dari sana akar dari
(Lampiran Hal. 158)
Menurut Dhofier (1985), secara umum pondok pesantren dibagi menjadi dua yaitu pondok pesantren tradisional (salafi) dan pondok pesantren modern (khalafi). Pesantren tradisional mengajarkan pengajaran kitab-kitab islam klasik sebagai inti pendidikannya tanpa mengenalkan pengajaran pengetahuan umum. Metode pengajaran di pondok pesantren tradisional menggunakan sistem bandongan (kelompok) dan sorogan (individual).
Selain itu, di pondok pesantren tradisional kyai memiliki otoritas yang besar dalam menentukan kebijakan. Sistem pendidikan tergantung kepada selera kyai serta tidak adanya sebuah aturan baik menyangkut manajerial, administrasi, birokrasi, struktur, budaya, dan kurikulum (Wahid, 2001). Dalam kehidupan sehari-hari, di pondok pesantren tradisional karisma dan kepribadian kyai sangat berpengaruh terhadap santri. Sikap hormat, takzim, dan kepatuhan mutlak kepada kyai. Ini adalah salah satu nilai pertama yang ditanamkan kepada setiap santri. Sedangkan pondok pesantren modern telah memasukkan pengajaran pengetahuan umum dalam madrasah-madrasah yang dikembangkan atau membuka tipe-tipe sekolah umum di lingkungan pesantren dengan metode pembelajaran menggunakan sistem klasikal.
Ini juga seperti dijelaskan oleh Lulik Khumaidiyah, santri pondok pesantren Al Quran, Narukan Kecamatan Kragan bahwa dalam pondok pesantren tidak ada santri yang mengikuti sekolah umum. Santri belajar dalam pondok pesantren sepanjang hari yang dimulai pada pukul 8 pagi sampai jam 11 siang dan dilanjutkan hingga sore hari. Santri belajar sepanjang hari secara berkelompok dan individual. Sebagaimana namanya, pondok pesantren ini lebih memfokuskan pengajaran dan pemahaman tafsir Al Quran kepada para santri yang belajar di sana.
Bertolak dari pemikiran tersebut, Abidah El Khalieqy kemudian menggunakan latar pondok pesantren salaf, bukan pondok pesantren modern. Dalam novel Perempuan Berkalung Sorban, Abidah menggambarkan sosok kyai Bertolak dari pemikiran tersebut, Abidah El Khalieqy kemudian menggunakan latar pondok pesantren salaf, bukan pondok pesantren modern. Dalam novel Perempuan Berkalung Sorban, Abidah menggambarkan sosok kyai
Sebagai institusi pendidikan yang mewakili satu rezim tafsir agama tertentu. Kalau saya sebagai muslimat, saya tahu bahwa kondisi perempuan kita, tidak hanya di Indonesia tapi di seluruh dunia, kita mengalami segala macam ketidakadilan, gender dan lain sebagainya itu berasal dari salah tafsir. Jadi tidak berasal dari ayat-ayat alquran yang kita pegang selama ini tapi penafsiran. Dan penafsiran ini merupakan otoritas dari kyai, ulama, dan ustadz kita dan mereka ada di pesantren.
…. Pondok pesantren yang saya jadikan tempat observasi di Kali Angkrik,
Magelang itu sangat kecil. Tidak seperti di filmnya ya, kalau filmnya kan depannya laut. Tidak seperti itu. Setting-nya di daerah pegunungan yang turun naik begitu. Jadi memang sangat asyik. Dan tentang naik kuda itu memang benar. Saya mengadakan observasi di lapangan selama 3 bulan di sana. Saya perlu observasi di lapangan karena kultur pondok muhammadiyah dengan NU itu berbeda, dengan pondok modern juga berbeda. Saya berasal dari pondok modern dan beberapa kitab yang digunakan beberapa juga berbeda. Ketika observasi saya sempat terbelalak dengan ajaran di sana karena ternyata ajarannya sampai seperti itu. Sebelumnya, sama sekali tidak pernah saya pelajari di pondok saya.
(Lampiran Hal. 159 dan 161)
Pengambilan setting pondok pesantren salaf dilakukan Abidah untuk menjelaskan hegemoni kekuasaan para kyai dan kitab kuning yang sangat mempengaruhi jalannya kultur dalam wilayah pondok pesantren. Hal tersebut sulit ditemui jika Abidah mengambil setting pondok pesantren modern karena santri pada pondok pesantren modern telah cukup banyak bersinggungan dengan dunia di luar pesantren. misalnya, dengan sekolah di sekolah umum mereka akan bersinggungan dengan individu-individu baru dengan kebiasaan-kebiasaan yang juga baru.
Bertolak dari penjelasan Wahid di atas tentang otoritas kyai pada pondok pesantren modern yang mengharuskan santri memiliki kepatuhan yang tinggi kepada kyai, Abidah menceritakan sebagai berikut dalam kutipan novel Perempuan Berkalung Sorban .
Sengaja kuambil tempat paling tengah persis di depan ustadz Ali, dan di sebelah kiri Mbak May untuk menyaringkan pendengaran dan memudahkan bertanya jika, perlu. Setelah memberi pengantar secukupnya, beliau memberi penjelasan.
“Malam ini, saya akan menjelaskan macam-macam kaum perempuan yang mas uk neraka dan masuk surga.” ... .
“Perempuan mana saja yang diajak suaminya untuk berjimak lalu ia menunda-nunda hingga suaminya tertidur, maka ia kan di laknat oleh
Allah.” Kemudian lanjutnya, “perempuan mana saja yang cemberut di hadapan suaminya, maka dia dimurkai Allah sampai ia dapat
menimbulkan senyuman suaminya dan meminta keridlaannya.” …. “Bagaimana jika isterinya yang mengajak ke tempat tidur dan suami
menunda-nunda hingga isteri tertidur, apa suami juga dilaknat Allah, Pak Kiai?”
“Tidak. Sebab tidak ada hadist yang menyatakan seperti itu. Lagipula mana ada seorang isteri yang mengajak lebih dulu ke tempat tidur.
Seorang isteri biasanya pemalu dan bersikap menunggu.” “Bagaimana jika kenyataannya ada seorang isteri yang terbuka dan mengajak lebih dulu dan tidak suka bersikap menunggu.” “Perempuan seperti itu biasanya tidak disukai laki-laki karena terlalu agresif. Nanti laki-laki bisa minder menghadapinya. Sebaiknya seorang
isteri adalah pemalu dan bersikap menunggu.” “Tetapi menunggu sampai kapan, Pak Kiai?” Semua terkesima lalu gerr. Ustadz Ali ikut tersenyum lalu geleng-
geleng kepala… . “Kira-kira sampai kapan? Tentu saja sampai suami berkenan mengajaknya,” jawabnya enteng, sembari berdehem dua kali.
“Bagaimana kalau suami tidak pernah berkenan karena sudah puas dengan dirinya sendiri atau berselingkuh, misalnya?” Ustadz Ali yang sering dipanggil Kiai Ali memang sudah agak tua hingga ketika melotot, menambah ramai kerut merut dan tegangan di wajahnya. Dan seperti kucing kehujanan, para santri menggeletar ketakutan. Seakan puing-puing tengah berhamburan karena suaraku adalah irama bom yang diledakkan persis di tengah kesunyian malam menggertak sasaran. Ingin kupamerkan tawa dan kegembiraan andai aku tak ingat pada wajah bapak dan irama geramannya saat amarahnya meletus. Kurendahkan pandanganku menunggu sampai ustadz Ali dapat menguasai perasaannya kembali.
(Perempuan Berkalung Sorban, 2009: 78-82)
Kutipan tersebut memberikan gambaran tentang ketakutan dan sikap hormat yang berlebihan yang dimiliki oleh santri-santri di pondok pesantren terhadap kyai-kyai mereka. Sikap hormat yang berlebihan tersebut bahkan Kutipan tersebut memberikan gambaran tentang ketakutan dan sikap hormat yang berlebihan yang dimiliki oleh santri-santri di pondok pesantren terhadap kyai-kyai mereka. Sikap hormat yang berlebihan tersebut bahkan
Ketakutan yang kemudian menutup keberanian para santri untuk bertanya atas setiap ajaran yang diberikan membuat kesalahan tafsir yang dilakukan oleh para kyai terjadi secara terus menerus. Kelanjutan dari proses tersebut adalah bahwa pondok pesantren yang seharusnya menjadi institusi pendidikan yang mampu membawa perubahan pemikiran ke arah yang lebih baik tidak melakukan fungsi tersebut. Kesalahan tafsir yang diterima secara serta merta ini kemudian disebarkan kembali oleh para santri lulusan pondok pesantren. Maka, masyarakat akan menerima informasi yang salah dan hal tersebut terjadi secara simultan dan kontinyu. Hal tersebut akan semakin bertambah buruk karena masyarakat pun akan menerima ajaran tersebut secara total. Ini terjadi karena kultur masyarakat di tanah air cenderung langsung percaya dengan ajaran-ajaran yang disebarkan melalui pondok pesantren tanpa di saring terlebih dahulu. Masyarakat masih menempatkan posisi kyai sebagai status sosial yang dikultuskan dan cenderung selalu benar.
Novel Perempuan Berkalung Sorban diciptakan dengan menggunakan kearifan lokal sebagai kekuatannya. Setting pondok pesantren yang dipilih Abidah El Khalieqy memiliki satu kekuatan bagi pembaca sastra di tanah air. Setting pondok pesantren yang sudah dikenal pembaca akan membuat pembaca mudah untuk menggambarkan kondisi tempat, sosial atau budaya yang dijadikan Abidah sebagai latar novel tersebut.
Selain isu gender yang menjadi subject matter novel Perempuan Berkalung Sorban pemilihan setting pesantren dinilai memiliki kekuatan dan daya tarik tersendiri, terutama bagi pembaca sastra di tanah air. Alasan tersebut antara lain karena pondok pesantren merupakan satu institusi pendidikan yang dalam masyarakat dinilai sebagai kawah candradimuka yang menghasilkan tokoh-tokoh masyarakat. Lulusan yang telah menikmati pendidikan - pendidikan umum dan agama - dalam pondok pesantren ditempatkan masyarakat sebagai guru dalam kehidupan sehari-hari. Namun, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa Selain isu gender yang menjadi subject matter novel Perempuan Berkalung Sorban pemilihan setting pesantren dinilai memiliki kekuatan dan daya tarik tersendiri, terutama bagi pembaca sastra di tanah air. Alasan tersebut antara lain karena pondok pesantren merupakan satu institusi pendidikan yang dalam masyarakat dinilai sebagai kawah candradimuka yang menghasilkan tokoh-tokoh masyarakat. Lulusan yang telah menikmati pendidikan - pendidikan umum dan agama - dalam pondok pesantren ditempatkan masyarakat sebagai guru dalam kehidupan sehari-hari. Namun, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa
Keadaan seperti itu membuat hegemoni tafsir yang tekstual yang dilakukan oleh para kyai berlangsung terus menerus tanpa ada relevansi dengan kehidupan sekarang yang bersifat kontekstual. Hal tersebut yang akhirnya membuat beberapa kebijakan dan fatwa yang dikeluarkan para kyai dari kalangan pondok pesantren mengundang kontroversi dalam masyarakat.
Nilai-nilai yang terdapat dalam penggambaran kultur pondok pesantren dalam novel Perempuan Berkalung Sorban antara lain adalah, pertama, sikap hormat yang berlebihan terhadap sesama manusia tidak akan menghasilkan dampak yang positif. Hal tersebut terlihat jelas pada penggambaran kultur dan kebiasaan para santri di pondok pesantren terhadap para kyai, terutama kyai sepuh.
Kedua, novel Perempuan Berkalung Sorban sarat dengan tema kesetaraan gender. Tema tersebut adalah tema krusial yang penting untuk dikaji karena berhubungan dengan kehidupan sehari-hari. Pembicaraan mengenai kesetaraan gender telah dimulai sejak beberapa dekade terakhir dan makin marak dibicarakan sekarang ini seiring semakin aktifnya organisasi-organisasi yang bergerak dan mengusung tema ini sebagai arah gerak organisasi mereka.
Pengangkatan tema tersebut ke dalam karya sastra akan membuat pembaca secara tidak langsung ikut mengamati sekaligus berdiskusi atau mengadakan kontemplasi tentang fenomena yang berada di sekitar. Fakta dan kejadian yang ada di sekitar akan membuat pembaca dekat dengan novel tersebut karena pembaca mengetahui sendiri fenomena tersebut. Kontemplasi yang dilakukan pembaca atas karya sastra yang mengandung isu kesetaraan gender ini akan membuat pembaca sedikit banyak mengetahui dan memahami solusi atau pemecahan masalah yang terjadi. Sekaligus sebuah kesadaran bahwa pola patriarkal yang ada dalam struktur masyarakat kita membawa dampak yang tidak selalu baik, terutama bagi kaum perempuan. Pembaca perempuan khususnya akan memahami nilai-nilai tersebut dan memahami bahwa hak-hak perempuan yang dimiliki harus diperjuangkan. Namun, harus tetap sesuai dengan kodrat mereka.
Sedangkan nilai ketiga, berkaitan dengan nilai kedua adalah bahwa perjuangan diperlukan untuk mencapai segala mimpi, termasuk ketika hendak meminta hak pribadi. Novel Perempuan Berkalung Sorban menceritakan secara jelas perjuangan tokoh Annisa untuk mendapatkan kembali kemerdekaan dan hak- hak yang seharusnya dapat ia nikmatAbidah El Khalieqy menggambarkan Annisa sebagai perempuan yang berani memperjuangkan hak-hak yang dimilikinya dengan kecerdasan dan keberaniannya. Melalui tokoh Annisa, Abidah merepresentasikan pemikirannya tentang sikap dan pemikiran perempuan yang seharusnya. Tokoh inilah yang kemudian diharapkan Abidah El Khalieqy mampu menjadi model bagi perempuan-perempuan lainnya.