Tokoh dan Penokohan
2. Tokoh dan Penokohan
Tokoh adalah individu ciptaan/rekaan pengarang yang mengalami peristiwa-peristiwa atau lakuan dalam berbagai peristiwa cerita. Sedangkan penokohan adalah penyajian watak tokoh dan penciptaan citra tokoh. Ada dua metode penyajian watak tokoh, yaitu:
a. Metode analitis/langsung/diskursif, yaitu penyajian watak tokoh dengan cara memaparkan watak tokoh secara langsung.
b. Metode dramatik/tak langsung/ragaan, yaitu penyajian watak tokoh melalui pemikiran, percakapan, dan lakuan tokoh yang disajikan pengarang. Bahkan dapat pula dari penampilan fisiknya serta dari gambaran lingkungan atau tempat tokoh.
Analisis tokoh dan penokohan dalam novel Perempuan Berkalung Sorban adalah sebagai berikut:
a. Annisa Annisa adalah tokoh sentral atau tokoh utama dalam novel Perempuan Berkalung Sorban. Dia adalah gambaran wanita cerdas yang hidup dalam a. Annisa Annisa adalah tokoh sentral atau tokoh utama dalam novel Perempuan Berkalung Sorban. Dia adalah gambaran wanita cerdas yang hidup dalam
Seperti pagi yang lain, aku tak pernah mendapatkan kesempatan untuk berbicara lebih banyak. Kecuali bersiap diri dan berangkat bersama Rizal menuju ke sekolah yang tidak begitu jauh dari rumah kami.
Di dalam kelas selagi aku masih merenung-renung perkataan Rizal, pak guru bahasa Indonesia menyuruhku mengulangi kalimat: A-yah per-gi ke kan-tor I-bu me-ma-sak di da-pur Bu-di ber-ma-in di ha-la-man A-ni men-cu-ci pi-ring “Ulangi sekali lagi, lebih keras dan jelas!” Perintah pak guru. “Bapak pergi ke kantor,” teriakku lantang kemudian terdiam. Aku
berpikir sejenak kemudian bertanya, “apa ke kantor itu termasuk urusan laki- laki, Pak Guru?”
Pak guru terkejut. Aku juga ikut terkejut. Demikian juga teman- temanku. ... . ”Baiklah anak-anak,” pak guru mencoba menguasai suasana, “dalam
adapt istiadat kita, dalam budaya nenek moyang kita, seorang lai-laki memiliki kewajiban dan seorang perempuan juga memiliki kewajiban. Kewajiban seorang laki-laki yang terutama adalah bekerja mencari nafkah, baik di kantor, di sawah, di laut atau di mana saja asal bisa mendatangkan rezeki yang halal. Sedangkan seorang perempuan, mereka memiliki kewajiban, yang terutama adalah mereka mengurus rumah-tangga dan mendidik anak. Jadi memasak, mencuci, mengepel, menyetrika, menyapu dan merapikan seluruh rumah adalah kewajiban seorang perempuan. Demikian juga memandikan anak, menyuapi, menggantikan popok dan menyusui, itu juga kewajiban seorang perempuan. Sudah paham, anak- anak…?” ….
(Perempuan Berkalung Sorban, 2009: 10-12)
Kutipan di atas menceritakan tentang pencarian Annisa atas hakekat hak dan kewajiban laki-laki dan perempuan. Sejak kecil di lingkungan pesantren, Annisa mendapatkan perlakuan yang berbeda jika dibandingkan dengan dua kakaknya yang laki-laki. Pikiran-pikiran dan keinginan untuk mendapat perlakuan yang sama dengan kedua kakaknya selalu membuat Annisa memiliki pertanyaan-pertanyaan yang selalu mengejutkan orang yang ditanya baik itu gurunya, ibunya, atau temannya. Hal tersebut juga terlihat dalam kutipan berikut.
“Tapi aku ingin belajar naik kuda dan pergi ke kantor.” “Apa hebatnya naik kuda dan apa enaknya pergi ke kantor, Nisa?”
“Jika aku naik kuda, semua orang mendongak ke arahku jika bicara denganku. Aku juga bisa memimpin pasukan perang seperti Aisyah atau
Putri Budur, sehingga laki- laki perkasa menjadi tunduk di belakangku,” aku tertawa geli, “dan jika aku pergi ke kantor, bajuku wangi dan rapi
tidak seperti Lek Sumi yang seharian di dapur, badannya bau dan bajunya kedodoran. Jika aku ke kantor, semua orang melihatku dengan hormat, tidak menutup hidung jika aku lewat seperti mereka menutup hidung dekat lek Sumi, karena bau bawang dan terasi. Dan di akhir bulan aku menerima gaji.”
“Ssst! Nggak baik berkata seperti itu. Semua pekerjaan itu ada resikonya. Ke kantor pun ada resikonya. Misalnya dimarahi bos, kalau
musim hujansuka kahujanan… . “Tetapi jika aku ke kantor, siang hari sudah pulang dan setibanya di rumah tinggal santai sambil nonton televise. Kalau hari minggu bisa rekreasi, memancing ikan di sungai Kajoran atau Kaliangkrik, bisa naik
kuda seperti Rizal dan Wildan. Iya kan, Bu?” (Perempuan Berkalung Sorban, 2009: 15-16)
Abidah El Khalieqy menggambarkan sosok Annisa melalui percakapan-percakapan yang dilakukan dengan tokoh lain dalam novel lain atau lewat pemikiran-pemikiran yang dimiliki oleh Annisa. Beberapa contoh percakapan tersebut antara lain.
“Bagaimana jika kenyataannya ada seorang isteri yang terbuka dan mengajak lebih dulu dan tidak suka bersikap menunggu.”
“Perempuan seperti itu biasanya tidak disukai laki-laki karena terlalu agresif. Nanti laki-laki bisa minder menghadapinya. Sebaiknya seorang
isteri adalah pemalu dan bersikap menunggu.” “Tetapi menunggu sampai kapan, Pak Kiai?”
Semua terkesima lalu gerr. Ustadz Ali ikut tersenyum lalu geleng- geleng kepala… . “Kira-kira sampai kapan? Tentu saja sampai suami berkenan mengajaknya,” jawabnya enteng, sembari berdehem dua kali.
“Bagaimana kalau suami tidak pernah berkenan karena sudah puas dengan diri nya sendiri atau berselingkuh, misalnya?” (Perempuan Berkalung Sorban, 2009: 80-81)
Kutipan di atas menampilkan keberanian Annisa untuk tidak segan- segan bertanya dan mendebat kiai sekalipun jika pendapatnya diyakini benar. Annisa meyakini bahwa ada yang salah dengan penafsiran yang dilakukan oleh para kiai yang hidup dalam lingkungan pesantren selama ini dan terus Kutipan di atas menampilkan keberanian Annisa untuk tidak segan- segan bertanya dan mendebat kiai sekalipun jika pendapatnya diyakini benar. Annisa meyakini bahwa ada yang salah dengan penafsiran yang dilakukan oleh para kiai yang hidup dalam lingkungan pesantren selama ini dan terus
Annisa memperlihatkan bahwa perempuan harus berani bertindak jika hak mereka sebagai perempuan tidak diberikan, bahkan kepada suaminya sendiru. Ia ingin menegaskan bahwa perempuan punya hak untuk menyuarakan hal yang dinginkan dan tidak diinginkannya. Hal tersebut terlihat pada kutipan berikut.
“Itu namanya egois, Mbak. Tidak memperhatikan kondisi jiwa istrinya.” “Memang benar dia itu egois. Jika kau sedang tidak siap, apa kau menolaknya, Anis?” “Itulah masalahnya, Mbak. Dari kitab yang pernah kupelajari, emnolak ajakan suami adalah kutukan. Aku belum tahu dengan jelas alas an dan dalil-dalil yang menguatkan pernyataan itu, juga kesahihan hadisnya. Sepertinya, hadis Nabi itu juga tidak menjelaskan berbagai kemungkinan. Jadi…dalil itu sangat lemah untuk menjawab berbagai persoalan di sekitar masalah itu.”
…. “Apa kau pernah merasa kesakitan?” “Bukan hanya pernah, Mbak, tetapi selalu, selalu sakit. Memang
sampai sekarang aku belum berani menyatakan penolakanku secara lisan, sebab aku sendiri belum emndapatkan kejelasan tentang hukumnya. Tetapi tubuhku, seluruh bagian dari tubuhku telah melakukan penolakan itu dengan bahasanya sendiri. Terlebih lagi jiwaku. Jika Samsudin merasa dan mengaku telah menguasaiku, itu bohong belaka. Secuil pun aku tak pernah menerima dirinya ke dalam diriku. Aku juga tak pernah merasakan, apa benar Samsudin mencintaiku. Kurasa ia hanya membutuhkanku.”
(Perempuan Berkalung Sorban, 2009:138-139)
Secara tegas Abidah El Khalieqy juga memberikan gambaran tentang ikhwal perbedaan kodrati antara laki-laki dan wanita lewat percakapan para Secara tegas Abidah El Khalieqy juga memberikan gambaran tentang ikhwal perbedaan kodrati antara laki-laki dan wanita lewat percakapan para
“Apa semua pekerjaan rumah tangga, Lek Umi sendiri yang menangani? Bukankah Lek Mahmud juga suka turun tangan?”
“Paling-paling yang dikerjakan Mas Mahmud hanya menyuapi Sania kalau pagi. Selebihnya aku semua yang mengerjakan. Kau bisa bayangkan betapa capeknya, dari mencuci baju dan perabot di dapur, menyapu, mengepel, emamasak dan menyeterika. Kadang-kadang Mas Mahmud mau juga menyetrika , jika kebetulan Sania rewel dan minta bersamaku.
“Wah, Nis, tak terbayangkan repotnya punya anak tanpa PRT.” “Sebenarnya lek Umi tidak usah terlalu repot dengan semua itu, karena
sebenarnya tugas merawat anak adalah tanggung jawab suami. Jadi memandikan, menyiapkan makanan dan menyuapi bkanlah kewajiban Lek Umi. Juga misalnya lek Umi tidak berkenan untuk menyusuinya, karena terlalu berat dengan tugas-tugas rumah tangga yang lain, maka lek Mahmud harus mencari seorang ibu susu dan dia harus memberi honor yang pantas untuknya. Semua itu adalah kewajiban suami, Lek. Lagipula, bukankah dulu sebelum punya anak, lek Umi sendiri yang memutuskan
ingin punya anak?” “Memutuskan ingin punya anak, aku yang memutuskan, kau ini bicara apa, Nis?” “Lek, lek, bukankah seorang anak itu lahir dari rahim perempuan.
Dikandung sembilan bulan dan selama itu sang janin memakan saripati makanan dari ibunya. Dan al-quran mengatakan bahwa kondisi ibu hamil itu wahnan „ala wahnin, derita di atas derita, semakin hari semakin payah dan berat nian. Dan semua itu, perempuanlah yang merasakan dan bukan laki-laki. Maka alangkah anehnya jika yang akan mengalami semua itu perempuan dan ternyata dia tidak dilibatkan dalam mengambil keputusan.”
(Perempuan Berkalung Sorban, 2009: 265-266)
Percakapan yang dilakukan tokoh Annisa tersebut memberikan keterangan yang baru terhadap pembaca bahwa perempuan wajib dilibatkan dalam keputusan untuk reproduksi. Wanita memiliki hak penuh dalam wilayah reproduksi karena yang akan menjalani semua proses tersebut adalah perempuan itu sendiri. Pengetahuan ini masih minim dimiliki oleh perempuan pada umumnya dan inilah yang menjadi misi Abidah sebagai penulis. Yakni ingin memberikan penerangan mengenai pembaca mengenai hal tersebut.
Selain memiliki karakter penokohan yang cerdas, keras kepala, semangat, kerja keras, Annisa juga memiliki karakter yang lembut dan kasih sayang terhadap keluarganya (suami dan anaknya).
Kelahiran anak kami telah merekat tali kasih sepanjang usia. Begitu nafas jiwaku berkata dalam kelelapan. Saat tersadar dari lelapku, bayi itu telah terbungkus rapi, tidur di sampingku. Setelah bidan dan perawat memberekan urusanku, kami pindah dari ruangan melahirkan menuju kamar yang kami pesan. Sepanjang malam itu, kakiku terasa pegal dan linu dan minta dipijiti terus menerus. Mas Khudhori memijatku sembari membicarakan rencana kami untuk memanggil nama bayi kami saat aqiqah kelak, seminggu lagi. Sekalipun sakit dan lelah, kebahagiaan membayang di seluruh ruangan itu, terutama di wajah mas Khudhori. Sebentar-sebentar dia akan menengok bayi kami dan meneliti seluruh anggota badannya. Dengan senyum- senyum, ia membandingkan segi-segi persamaan antara kami bertiga.
…. (Perempuan Berkalung Sorban, 2009: 294-295)
Annisa adalah seorang istri yang sangat mencintai suaminya, bahkan ketika Khudhori telah meninggal. Rasa cinta Annisa kepada Khudhori masih tertanam dalam jiwanya menemani Annisa sampai akhir hidupnya. Dan cinta itu menemani Annisa dalam perjuangannya untuk membangkitkan kembali posisi perempuan dalam masyarakatnya.
Lalu kutatap Mahbub dan kubawa ia mendekati bapaknya, menjabat tangannya dan mencium keningnya. Dingin. Saat menatap wajahnya, aku tak tahan oleh getar kesadaranku sendiri yang baru lahir, bahwa kami akan berpisah, seperti ketika bapak mengusirnya dari rumah kami dahulu, seperti ketika ia akan berangkat menuju Kairo. Tetapi keberangkatannya kali ini, akan merentang jarak penantianku yang begitu panjang, entah kapan kami dapat bertemu kembali. Kemudian, sekali pun berusaha kutahan, airmataku berlinangan. Namun tak satupun kata ratapan kuucapkan.
Tubuh yang beku itu, menyiratkan senyum dan wajah kemenangan, menegaskan sikapnya dalam hidup yang pantang menyerah oleh gempuran fitnah dan cobaan. Dan senyum itu membakar semangat hidupku untuk tetap bangkit, berdiri dengan tegar di tengah gelombang yang menerpa, seganas apa pun. Memandanginya membuat energiku terpompa. Melihat masa depan dan Mahbub-ku, Mahbub kami yang menjernihkan mataku dari debu dan mendung dunia.
(Perempuan Berkalung Sorban, 2009: 313-314) (Perempuan Berkalung Sorban, 2009: 313-314)
Memang, berbeda dengan para pemuda di desa, selain cerdas dan berwawasan luas, lek Khudhori memiliki kebiasaan yang agak aneh. Bagaimana tidak, sambil memancing pun, lek Khudhori suka berteriak mengucapkan kata-kata yang belum pernah kudengar sebelumnya.
…. Dan ketika aku bertanya tentang apa yang sedang diteriakkannya
dengan semangat, ia menerangkan berbagai hal yang berkaitan dengan sastra. Sehingga aku tahu bahwa lek Khudhori suka pada puisi, bahkan juga mengenal nama-nama penyair dunia yang terkenal.
“Lalu, puisi siapakah yang kau baca keras-keras itu, Lek? Apa kau menyukainya?” “Mau tahu? Itu puisinya Rumi. Jalaluddin Rumi, Nisa. Aku menyukai puisi-puisi Rumi karena kata-katanya sangat indah dan sepertinya mewakili perasaanku.”
(Perempuan Berkalung Sorban, 2009: 26-27)
Kutipan tersebut memberikan penjelasan secara analitik dan dramatik tentang karakter dan penokohan Khudhori. Gambaran yang jelas tentang karakter tokoh ini disajikan Abidah El Khalieqy lewat beberapa pilihan katanya. Pandangan tokoh lain pun menjadi pilihan Abidah untuk menggambarkan karakter Khudhori bahwa ia berbeda dengan pemuda lain yang mendapatkan latar belakang yang cenderung sama. Hal ini terjadi karena dalam perkembangan pendidikannya Khudhori mendapatkan pendidikan dalam jenjang yang lebih tinggi. Khudhori yang bersentuhan dengan dunia pengetahuan yang lebih luas (Al Azhar di Mesir dan pendidikan di Jerman) membuat pandangannya lebih luas terhadap segala sesuatu.
Khudhori yang sempat mengenyam pendidikan di luar negeri dan mengenyam pendidikan dari Barat tidak lantas membuatnya melupakan ajaran agamanya. Islam masih mengakar kuat pada dirinya. Hal tersebut terlihat pada kutipan berikut.
“Jangan, Lek. Kumohon. Jika ada yang melihat kita, namamu berubah jadi hitam sampai jarak seribu mil. Berputar-putar dibawa angina usil ke
penjuru kampong.” Ia tertawa dan menjawab dengan mantap.
“Tetapi jika benar ada yang lihat, nasibmu bakal berubah melompati jarak lebih dari seribu mil.” “Itu benar. Bapak akan menghardikku seperti anjing dan Samsudin akan menjatuhkan talak tiga. Betapa mudah sesungguhnya.” “Apanya yang mudah, Nisa?” “Mengubah segala sesuatu.” Aku menerawang. Lek Khudhori tercekat melihat bayangan nekat di
wajahku. Menyaksikan setan sekaligus malaikat yang menempel di bola mataku.
“Lakukan, Lek. Cumbuilah aku dan biarkan mereka semua melihatnya.” “Nisa!!” Lek Khudhori terhenyak. Ia melepaskanku dan membelai-belai
kepalaku dengan kasih saying seorang ibu, seorang kakak, seorang manusia yang bijaksana.
“Kuatkan hatimu, Nisa. Jangan sampai lepas kendali. Semuanya akan kita atasi bersama. Kau paham kan? Sekarang, sebaiknya kau istirahat di
kamar dan besok kita akan bicara.” (Perempuan Berkalung Sorban, 2009: 156-157)
Kutipan tersebut menceritakan tentang Khudhori yang masih teguh memegang ajarannya bahwa melakukan hubungan yang tidak disadari dengan ikatan pernikahan adalah sebuah dosa. Meskipun Khudhori sangat mencintai Annisa sejak ia masih kecil tapi rasa itu masih dapat dikendalikannya karena kuatnya ajaran Islam menempel pada tingkah lakunya.
Khudhori juga bukan laki-laki yang tertutup dengan perkembangan ilmu pengetahuan. Pikirannya yang cerdas membuat ia terbuka dengan perkembangan teknologi, termasuk pada hal-hal yang berhubungan dengan permasalahan bayi tabung yang sampai saat ini masih menuai kontroversi. Abidah El Khalieqy sebagai pengarang menceritakan secara apik karakter Khudhori juga bukan laki-laki yang tertutup dengan perkembangan ilmu pengetahuan. Pikirannya yang cerdas membuat ia terbuka dengan perkembangan teknologi, termasuk pada hal-hal yang berhubungan dengan permasalahan bayi tabung yang sampai saat ini masih menuai kontroversi. Abidah El Khalieqy sebagai pengarang menceritakan secara apik karakter
“Yah… Jika kita ingin punya anak dan ternyata kita mandul, kita bisa memungut anak dari panti asuhan, misalnya, atau… kita coba inseminasi bayi tabung, jika kita setuju.”
“Inseminasi bayi tabung?” “Mengapa tidak. Kemajuan ilmu pengetahuan dan kedokteran juga
perlu kita coba, jika ternyata bermanfaat. Para pakar berpendapat bahwa upaya bayi tabung adalah untuk membantu para suami istri yang mengalami kemandulan.”
“Tetapi bagaimana hukumnya menurut Islam, Mas, apa masyarakat di sini juga sudah banyak yang me ncoba inseminasi bayi tabung?” “Banyak sih tidak. Sebab kemandulan sendiri kan sedikit juga yang mengalami. Tetapi telah ada beberapa keluarga yang mencoba dan ternyata berhasil. Sementara mengenai hukumnya, sejauh yang mas ketahui, jika menggunakan buahan di luar tubuh antara semen suami dengan ovum istri dan diinplantasikan dalam rahim (rahim resipien) istri atau dikenal juga dengan sebutan IBS, yaitu inseminasi buatan dengan suami sendiri, hukumnya boleh-boleh saja. Sebab ada yang menganalogkan dengan anak kandung biasa, hanya prosesnya tidak
dengan hubungan seksual.” “Lalu yang dilarang seperti apa, Mas.” “Jika semen dari laki-laki lain atau donor, ada yang menganalogkan
dengan anak zina karena tidak jelas siapa ayahnya. Dan bayi dengan proses ini nasabn ya hanya pada ibunya dan tidak pada ayahnya”.
(Perempuan Berkalung Sorban, 2009: 250-251)
Kutipan di atas mendeskripsikan Khudhori sebagai sosok laki-laki cerdas yang selalu mempertimbangkan sesuatunya secara bijaksana. Di sisi lain, pembaca juga dapat melihat Khudhori sebagai suami yang selalu memperhatikan dan mempertimbangkan pendapat Annisa, istrinya. Dalam setiap langkah yang diambil yang berhubungan dengan kelangsungan rumah tangga, dia selalu menanyakan pendapat Annisa agar terjadi mufakat antara keduanya dan menghindari kesalahpahaman di kemudian hari. Abidah menggambarkan contoh yang bagus dalam kehidupan rumah tangga lewat tokoh-tokoh yang diciptanya.
Khudhori adalah laki-laki yang dipenuhi dengan sikap bijaksana, lemah lembut, sekaligus kasih sayang dengan orang-orang yang ada di sekitarnya. Sikap Khudhori dengan Samsudin yang pernah menyiksa Annisa Khudhori adalah laki-laki yang dipenuhi dengan sikap bijaksana, lemah lembut, sekaligus kasih sayang dengan orang-orang yang ada di sekitarnya. Sikap Khudhori dengan Samsudin yang pernah menyiksa Annisa
Di dalam mobil aku bertanya kepada mas Khudhori, apa Samsudin menanyakan tentang Mahbub kepadanya. “Untuk apa, Nisa? Tanya atau tidak, jelas ia sudah tahu kalau Mahbub anak kita.” “Paling tidak, aku ingin mendengar nada kekalahan paling akhir dari mulutnya.” “Siapa tahu ini bukan yang terakhir.” “Apa maksudmu, Mas?” “Iya. Perjalanan kehidupan Samsudin kan masih panjang, saying. Apa
yang terjadi antara kalian hanyalah permulaan baginya. Siapa tahu, hanya Tuhan kan?”
“Tetapi aku telah melihat banyak dari matanya, tadi sewaktu kalian sedang bercakap- cakap.” “Apa yang kau lihat, Nisa?” Mas Khudhori meledek. “Ia sinis sekali melihatmu. Pandangan matanya berkobar-kobar dengan
dendam dan amarah. Apa Mas tidak melihatnya?”
“Ah, itu hanya perasaanmu saja. Kau melebih-lebihkan, Nisa.” “Tidak! Ia pasti masih menaruh dendam pada kita, Mas. Terlebih
setelah meli hat Mahbub, kedengkiannya mencapai puncaknya.” “Nisa, istghfar! Nggak baik terus menerus su’udzon kepada orang lain. Sudahlah! Semuanya sudah berlalu kan?”
(Perempuan Berkalung Sorban, 2009: 303-304)
c. Samsudin Samsudin adalah tokoh dalam novel Perempuan Berkalung Sorban yang merupakan gambaran dari laki-laki yang tidak menghargai posisi wanita. Samsudin menganggap bahwa wanita hanya makhluk yang diciptakan untuk memuaskan laki-laki dalam hasrat seksual dan mengurusi keperluan dapur belaka. Perangai buruk Samsudin terlihat pada semua dialog yang dilakukan dengan tokoh yang lain.
Samsudin memiliki watak yang tinggi hati dan cenderung meremehkan Annisa sebagai istrinya. Sikap sombong juga dimilikinya dan terasa sangat kental pada setiap ungkapan yang disampaikannya.
“Kepalaku sudah penuh dengan ilmu. Jadi jangan tambah lagi dengan sesuatu yang tidak berguna dari mulutmu, nanti bisa pecah.” “Kupikir yang memenuhi kepalamulah yang tak berguna, bukan sesuatu yang keluar dari mulutku.” “Kau ini lulusan SD berani bertingkah. Tak bisa kubayangkan jika lulus sarjana, Tuhanpun pasti kau debat juga.” “Jika mungkin, mengapa tidak? Besok aku mulai kembali sekolah dan suatu saat akupun sarjana, di manabukan hanya kepala dan otakku akan dipenuhi ilmu, tapi juga hatiku yang dapat menentukan, mana sampah dan mana mutiara.”
Ia tertawa dengan pura-pura dan berlalu dengan muka kecewa. “Samsudin!” teriakku “Panggil aku „mas‟!” “Tetapi Aisyah hanya memanggil –yaa Muhammad- kepada Nabi.”
“Lalu?” “Beliau mendiamkannya. Berarti ini sunnah. Dan aku menyukai
sunnah nabi.” Ia geleng-geleng kepala dan dengan tergesa seakan hendak menimpukkan batu di atas kepala untuk kedua kalinya, ia berlalu dengan wajah lebih keruh dari air bekas cucian. Akupun tergelak karena telah mampu menghalaunya dengan kebenaran yang menyesakkan dadanya. Ia laki-laki yang selalu tak tahan dengan kejujuran dan suara kebenaran. Suara-suara itu seperti bunyi halilintar di tengah malam, ketika seseorang tengah bersembunyi di antara gulitanya. Benar-benar menakutkan. Tetapi ketinggian hatinya menjadikan ia seakan-akan melecehkan semua halilintar itu.
(Perempuan Berkalung Sorban, 2009: 100-101)
Kutipan tersebut menegaskan tentang perangai Samsudin yang merasa bahwa dirinya berada di atas Annisa baik dari segi ilmu maupun kekuasaan. Samsudin yang merupakan lulusan sarjana meremehkan suara kebenaran dari Annisa yang hanya lulusan SD. Sikap congkak yang sudah melebihi kadarnya membuat Samsudin sudah tidak mampu lagi membedakan kebenaran dan kebatilan yang ada dalam hidup.
Sebagai seorang suami, Samsudin juga tidak memiliki sifat yang pengasih kepada istrinya. Seorang istri diperlakukan Samsudin hanya sebagai pemuas hawa nafsu semata. Perlakuan yang tidak senonoh seringkali diberikan kepada Annisa ketika melakukan hubungan suami-istri.
“Berikan selimut itu untukku,” aku meminta. Ia hanya mendengus sekali dan menjalarkan api nafsunya.
Aku mau selimut, Samsudin!” Teriakku menderita. “Untuk menyelimuti apa, Annisa. Apa kau ingin menyembunyikan
sesuatu dari pandanganku. Memangnya aku ini siapa, hah…?!” “Bener, kau ingin tahu siapa dirimu?” “Katakan! Siapa aku ini. Ayo katakana!” “Keledai! Kau keleedai! Dan keledai tidak membutuhkan selimut
untuk menutupi tubuhnya. Jadi masalahnya, aku bukan keledai sepertimu, sebab itu aku membutuhkan…..”
Plak!Plaakk!! Ia menampar mukaku bertubi-tubi hinga pipi dan pundakku lebam
kebiru-biruan. Untuk kali pertama kucakar wajahnya dan ia membanting badanku ke lantai. Bunyi gedebug dan suara berisik di kamar membuat Mbak kalsum curiga. Ia menggedor pintu dengan ketakutan dan Samsudin membentaknya. Seperti keledai tanpa pakaian, ia melenggang kamar dengan tenangnya. Melewati Kalsum dan putri mereka, Fadilah. Sampai anak kecil itu terlongong-longong seakan tengah menyaksikan unta budukan di tengah sahara.
(Perempuan Berkalung Sorban, 2009: 131-132)
Kutipan tersebut menunjukkan oontoh perlakuan yang diberikan Samsudin kepada istrinya. Pukulan dan makian yang tidak seharusnya diberikan Samsudin kepada Annisa, bahkan ketika melakukan hubungan seksual. Perilaku Samsudin tersebut membuat Annisa merasa tidak dihormati dan berakibat tidak menghormati Samsudin sebagai suaminya. Dalam kacamata Annisa, Samsudin hanyalah laki-laki yang menginginkan tubuhnya saja untuk memuaskan hawa nafsunya belaka.
Samsudin juga bukan seorang yang senang dengan kebahagiaan yang dirasakan oleh orang lain. Annisa yang merasakan kebahagiaan setelah bercerai dengannya bahkan masih belum bisa hidup dengan tenang karena sosok Samsudin masih menghantui. Fitnah dan gunjingan pun Samsudin hadirkan untuk membuat hidup Annisa dan Khudhori menjadi tidak tenang. Hal tersebut terlihat pada kutipan berikut.
Sepulang mereka, aku tercenung sendirian memikirkan perjalanan nasibku yang terus berubah. Dari cerita mas Khudhori yang disampaikan ibu kepadanya, kuketahui bahwa Samsudin lah yang meniupkan berita mengenai pernikahan fiktif mas Khudhori di luar negeri. Kepada mas Saipul dan beberapa teman dekat mas Khudhori, ia meniupkan berita itu dengan tambahan, bahwa aku mandul dan mengkhianatinya. Aku tertawa mengingat semua tingkahnya yang kekanak-kanakan. Sejak mengandung Sepulang mereka, aku tercenung sendirian memikirkan perjalanan nasibku yang terus berubah. Dari cerita mas Khudhori yang disampaikan ibu kepadanya, kuketahui bahwa Samsudin lah yang meniupkan berita mengenai pernikahan fiktif mas Khudhori di luar negeri. Kepada mas Saipul dan beberapa teman dekat mas Khudhori, ia meniupkan berita itu dengan tambahan, bahwa aku mandul dan mengkhianatinya. Aku tertawa mengingat semua tingkahnya yang kekanak-kanakan. Sejak mengandung
(Perempuan Berkalung Sorban, 2009: 289-290)
Usaha-usaha yang tidak terpuji pun dilakukan Samsudin untuk menghilangkan kebahagiaan Annisa, yaitu dengan memisahkan Annisa dengan Khudhori, suaminya. Usaha ini terlihat pada bagian akhir novel Perempuan Berkalung Sorban .
Sekalipun suara-suara itu mengatakan, bahwa Samsudin lah yang menabrak mas Khudhori hingga menyebabkan ia diopname dalam rumah sakit, yang belum juga kuketahui secara pasti kapan sembuhnya, aku tak perlu menyimpan dendam kepadanya atau kepada siapa pun. Hidup dan mati sepenuhnya di Tangan Allah, dan jika kami harus berpisah, sebab Allah memang menghendaki yang demikian. Ia lebih tahu apa yang terbaik bagi hamba-Nya. Ia Maha Adil. Sekalipun keadilannya memerlukan rentang waktu yang panjang untuk dapat dipahami.
(Perempuan Berkalung Sorban, 2009: 307-308)
d. Kyai Haji Hanan Abdul Malik Haji Hannan adalah Bapak dari Annisa. Dia adalah pendiri pondok pesantren yang bercita-cita untuk mendidik remaja putri agar menjadi kaum muslimah yang berguna bagi negara dan bangsa. Sosok Kyai Hanan mewakili sosok kyai yang kolot dengan ajaran Islam dan cenderung menerima ajaran Islam secara tekstual semata. Telaah yang dilakukannya dengan kyai-kyai yang lain hanya terbatas pada terminologi tanpa membahasnya lebih dalam pada aspek relevansi. Hal inilah yang membuat Kyai Hanan menjadi sosok yang tidak bijaksana dalam langkah yang diambilnya. Sebagai seorang Kyai, dia juga tidak melakukan perlakuan yang semestinya kepada putrinya, Annisa. Kesenjangan perlakuan terlihat jelas antara Annisa dengan dua saudara laki- lakinya. Budaya patriarkal masih kental mempengaruhi pola pikirnya.
“Siapa yang mau belajar naik kuda? Kau, bocah wedhok?” “Iya. Memangnya kenapa, Pak? Tidak Boleh? Kak Rizal juga belajar
naik kuda.” “Ow…ow…ow… jadi begitu. Apa Ibu belum mengatakan padamu
kalau naik kuda hanya pantas dipelajari oleh Kakakmu Rizal, atau Kakakmu Wildan. Kau tahu, mengapa? Sebab kau ini anak perempuan,
Nisa. Nggak pantas, anak perempuan kok naik kuda, pencilakan, apalagi keluyuran mengelilingi ladang, sampai ke blumbang segala. Memalukan! Kau ini sudah besar masih bodoh juga, hehh!!” Tasbih bapak bergerak
lamban, mengena kepalaku.
“Sudah, sudah. Sekarang mandi sana. Kau Rizal. Kau juga Nisa.” Suara ibu menyela sambil mendekati kami berdua, memberi keputusan
yang adil. Beberapa santri putrid yang berada di ddekat pintu, kembali masuk ke ruang dapur. Bapak dan Ibu meninggalkan kami dalam kamar mandi. Dua santri mendekati kami dan membereskan kaleng-kaleng yang berserakan.
(Perempuan Berkalung Sorban, 2009: 7) Namun, sebagai seorang bapak, Kyai Hanan memiliki kasih sayang
layaknya orang tua kepada anaknya. Hal ini terlihat ketika Kyai Hanan mengetahui perlakuan yang diterima Annisa dari Samsudin. Kyai Hanan mengakui bahwa kesengsaraan yang dialami Annisa sedikit banyak karena sikap Kyai Hanan yang menjodohkan Annisa tanpa mempertanyakan kepada Annisa terlebih dahulu berkenan atau tidak.
Aku gugup dan tidak tahu dari mana memulainya. Ibu menuntunku dengan membuka sedikit permasalahan yang telah kuceritakan kepadanya. Lek Khudhori menambahkan beberapa masalah yang penting-penting saja, kemudian baru aku menyambungnya dengan pesristiwa-peristiwa yang kiranya belum pernah kuceritakan pada keduanya, baik ibu dan lek Khudhori. Bapak memandang Rizal dan Wildan yang terlongong menatapku tak percaya. Aku tak tahu apa yang tengah mereka pikirkan setelah ikut mendengar problem rumah tangga yang sedang kuhadapi.
“Bapak tak menyangka. Ini benar-benar pelik. Kiai Nasiruddin, Bapak mertuamu itu adalah sahabat terbaik dan paling dekat dengan Bapak
semasa kami sama-sama moncok di Tebuireng. Saat Bapak kehabisan uang dan kiriman belum datang, beliaulah yang sering meminjami uang. Beliau itu orangnya baik, dermawan, tidak suka menyakiti hati orang, apalagi istrinya sendiri. Bagaimana bisa anaknya menjadi seperti itu. Jika semua ini terungkap di hadapannya, aku tak tahu bagaimana reaksinya.”
“Apapun reaksinya, Pak, kita harus menyelesaikan masalah ini secara kekluargaan. Demi Nisa. Bapak harus membicarakan masalah ini dengan
Kiai Nasir,” ibu mendesak. “Tentu saja, Bu. Masalahnya bukan aku mau atau tidak mau. Ettapi
aku sedang berpikir, kira-kira apa dampaknya untuk persahabatan kami selanjutnya.”
(Perempuan Berkalung Sorban, 2009: 183-184)
Kutipan di atas memperlihatkan sikap Kyai Hanan terhadap kedukaan yang dialami putrinya yang nelangsa karena sikapnya dan dia berusaha memperbaiki sikapnya dengan mencarikan jalan keluar untuk putrinya, Annisa.
e. Hajjah Mutmainah Tokoh ini adalah gambaran dari wanita Jawa yang hidup menurut apa yang telah digariskan. Seperti wanita awam pada umumnya, ia hidup dengan aturan-aturan yang sudah pasti. Hajjah Mutmainah yang berperan sebagai Ibu Annisa berpendapat bahwa wanita harusnya hidup nerimo sesuai dengan kodratnya. Pekerjaan rumah tangga adalah hal yang wajib dikerjakan oleh seorang wanita sebagai seorang istri dan ibu kelak. Sikap pasrah yang terlalu berlebihan inilah yang sering didebat oleh Annisa. Hal tersebut terlihat pada kutipan berikut.
“Tapi aku ingin belajar naik kuda dan pergi ke kantor.” “Apa hebatnya naik kuda dan apa enaknya pergi ke kantor, Nisa?” “Jika aku naik kuda, semua orang mendongak ke arahku jika bicara
denganku. Aku juga bisa memimpin pasukan perang seperti Aisyah atau Putri Budur, sehingga laki- laki perkasa menjadi tunduk di belakangku,” aku tertawa geli, “dan jika aku pergi ke kantor, bajuku wangi dan rapi tidak seperti Lek Sumi yang seharian di dapur, badannya bau dan bajunya kedodoran. Jika aku ke kantor, semua orang melihatku dengan hormat, tidak menutup hidung jika aku lewat seperti mereka menutup hidung dekat lek Sumi, karena bau bawang dan terasi. Dan di akhir bulan aku menerima gaji.”
“Ssst! Nggak baik berkata seperti itu. Semua pekerjaan itu ada resikonya. Ke kantor pun ada resikonya. Misalnya dimarahi bos, kalau
musim hujansuka kahujanan… . “Tetapi jika aku ke kantor, siang hari sudah pulang dan setibanya di rumah tinggal santai sambil nonton televise. Kalau hari minggu bisa rekreasi, memancing ikan di sungai Kajoran atau Kaliangkrik, bisa naik kuda seperti Rizal dan Wildan. Iya kan, Bu?”
“Sudah…sudah, Nisa. Kau ini ngomongnya suka ngelantur. Lebih baik ganti pakaian, lalu makan. Dan jangan lupa, belajar baca al-quran, kemudian shalat berjamaah di masjid, sekalian ikut penga jian siang.”
(Perempuan Berkalung Sorban, 2009: 15-16)
Hajjah Mutmainah juga memiliki karakter keibuan yang mendominasi pada setiap perkataan dan sikap yang dilakukannya. Sebagai seorang ibu, ia memberikan pengertian kepada Annisa bagaimana menjadi perempuan seutuhnya menurut pemikiran yang dilingkupi budaya patriarkal. Hajjah Mutmainah selalu memberikan jawaban dan pengertian kepada Annisa meskipun tidak pernah memuaskan hati putrinya karena perbedaan pandangan antara keduanya.
“Sejak saat ini, kau bukan kanak-kanak, Nisa. Darah haid pertama telah menandai batas masa kanak-kanakmu menuju usia dewasa. Sejak hari ini, kau adalah mukallaf. Semua hukum agama harus dilaksanakan sebagaimana mestinya. Kau paham apa maksud Ibu?
“Nisa paham. Tetapi buka itu yang ingin Nisa ketahui, Bu!” sambil berkata demikian, aku teringat pada cerita mbak May, cerita tentang tanda- tanda seorang perempuan yang dianggap dewasa. Melihat aku menerawang, ibu mempertegas kembali pertanyaanku.
“Lalu apa? Apa yang ingin kau ketahui? “Tentang darah haid ini. Benarkah darah haid adalah kotor dan najis.
Sehingga perempuan yang sedang haid, kalau orang kota menyebutnya menstruasi, dilarang masuk masjid dan membaca ayat-ayat al- quran?”
“Tidak hanya itu, Nisa. Perempuan yang sedang haid juga dilarang shalat, puasa, ihra, di waktu haji dan kegiatan-kegiatan lain yang berkaitan
dengan ibadah.” “Kegiatan lain itu misalnya apa, Bu?” “Misalnya jimak atau dukhul antara suami isteri. Nanti pada saatnya,
kau akan tahu, mengapa semua itu dilarang untuk dikerjakan perempuan yang sedang mengalami haid. Yang perlu kau ketahui sekarang adalah, menjaga kebersihan dan lebih berhati-hati dalam bersikap. Ingat! Kau sudah dewasa sekarang! … .
Selesai bicara dan memberi sedikit kursus untuk menjaga darah haid, ibu segera bangkit dari tempat duduknya dan tergesa menuju ruang tamu. Sama sekali aku tidak puas dengan keterangan ibu.
(Perempuan Berkalung Sorban, 2009: 92-93)
Sebagai seorang Ibu, Hajjah Mutmainah juga sangat mencintai anaknya. Perhatian dan cinta yang begitu besar kepada Annisa terlihat ketika ia mengetahui penderitaan yang dialami oleh Annisa selama pernikahannya dengan Samsudin. Perasaan bersalah juga memenuhi perasaannya karena ia juga ikut memutuskan pernikahan yang tidak pernah diinginkan Annisa tersebut.
Aku gugup dan tidak tahu dari mana memulainya. Ibu menuntunku dengan membuka sedikit permasalahan yang telah kuceritakan kepadanya. Lek Khudhori menambahkan beberapa masalah yang penting-penting saja, kemudian baru aku menyambungnya dengan pesristiwa-peristiwa yang kiranya belum pernah kuceritakan pada keduanya, baik ibu dan lek Khudhori. Bapak memandang Rizal dan Wildan yang terlongong menatapku tak percaya. Aku tak tahu apa yang tengah mereka pikirkan setelah ikut mendengar problem rumah tangga yang sedang kuhadapi.
“Bapak tak menyangka. Ini benar-benar pelik. Kiai Nasiruddin, Bapak mertuamu itu adalah sahabat terbaik dan paling dekat dengan Bapak
semasa kami sama-sama moncok di Tebuireng. Saat Bapak kehabisan uang dan kiriman belum datang, beliaulah yang sering meminjami uang. Beliau itu orangnya baik, dermawan, tidak suka menyakiti hati orang, apalagi istrinya sendiri. Bagaimana bisa anaknya menjadi seperti itu. Jika semua ini terungkap di hadapannya, aku tak tah u bagaimana reaksinya.”
“Apapun reaksinya, Pak, kita harus menyelesaikan masalah ini secara kekluargaan. Demi Nisa. Bapak harus membicarakan masalah ini dengan
Kiai Nasir,” ibu mendesak. “Tentu saja, Bu. Masalahnya bukan aku mau atau tidak mau. Tetapi
aku sedang berpikir, kira-kira apa dampaknya untuk persahabatan kami selanjutnya.”
“Jika kita berbicara dan musyawarah secaraa kekeluargaan dan jika benar kiai Nasir itu orang yang baik dan tak suka menyakiti orang lain, tentu persahabatan kita tak terganggu dengan adanya masalah ini, Pak. Bapak jangan lupa, jika ini dibiarkan berlarut-larut, Nisa yang akan jadi korban. Ini saja Ibu rasa sudah terlambat, Pak. Jadi jangan ditunda-tunda
lagi. Kasihan Nisa,” desak ibu sambil mengelus kepalaku. Aku merasa, belum pernah nada suara ibu sesimpati itu. Ia terlihat begitu cemas dan tak sabar untuk melihat kehangatan kasih sayangnya merasuk ke dalam jiwaku yang tengah gelisah.
(Perempuan Berkalung Sorban, 2009: 183-184)
f. Rizal dan Wildan Rizal dan Wildan adalah saudara laki-laki Annisa. Perilaku mereka dalam novel Perempuan Berkalung Sorban menunjukkan perilaku kakak yang cenderung meremehkan adik perempuannya. Mereka masih mengangap bahwa anak perempuan tidak seharusnya menguasai hal-hal yang biasa dikuasi laki-laki. Pandangan ini sangat dipengaruhi oleh kondisi tempat mereka lahir dan berkembang dan ajaran-ajaran yang selama ini mereka dapatkan.
Seperti piring-piring yang berkilatan karena minyak, aku sering mencuri pandang ke arah meja makan yang masih terlihat dari tempat Seperti piring-piring yang berkilatan karena minyak, aku sering mencuri pandang ke arah meja makan yang masih terlihat dari tempat
“Kenapa sih? Kalian piker aku ini hantu? Kok semuanya tiba-tiba diam? Pasti sedang ngerasani aku, ya.” “Lho, lho, lho… kok malah su‟udzon,” kata bapak sambil mengusap rambutku. Aku jengkel dan merasa disepelekan, segera menepiskannya.
“Jangan begitu, Nisa. Kita kan sedang bicara urusan laki-laki,” tambah Wildan.
“Memangnya urusan laki-laki itu apa? Apa perempuan tak boleh mengetahuinya?” “Boleh sih boleh. Tetapi…ah, sudahlah. Kita mau berangkat nih! Nanti bisa terlambat.” Seperti pagi yang lain, aku tak pernah mendapatkan kesempatan untuk berbicara lebih banyak kecuali bersiap diri dan berangkat bersama Rizal menuju ke sekolah yang tidak begitu jauh dari rumah kami.
(Perempuan Berkalung Sorban, 2009: 9-10)
Perilaku Rizal yang menganggap remeh segala hal yang dikerjakan oleh adiknya, Annisa juga terlihat pada kutipan berikut. Kami pindah ke ruang tengah dan menikmati kue sambil meneruskan
perbincangan yang bertambah seru. Ketika Rizal pada akhirnya keluar juga mendengar serunya perbincangan kami, ia tak tahan ingin tahu dan ikut nimbrung.
“Serius amat bicaranya. Kasih tahu ding. Masalahnya apaan sih?” “Rahasia ya, Lek. Awas! Jangan katakana apapun sama dia. dia tak
bisa nyimpan rahasia,” aku menekan lek Khudhori. Rizal sewot dan berlagak sok tahu.
“Alaaah…paling-paling urusan perempuan, feminisme, jender, patriarkhi…apalagi ya, emansipasi RA. Kartini.” “Emangnya tahu, apa itu jender.” “Kalau gendher sih aku tahu, kalau digoreng jadi krupuk asin, ha ha..” “Dasar otak udang! Selalu saja ketinggalan zaman,” cemoohku, “Memangnya apa feminisme itu. Apa gender itu. Tahu apa kau tentang
patriarkhi? Sok tahu, Zal, Rizal.” Lek Khudhori memandangku dan Rizal secara bergantian, lalu menggelengkan kepala. Ia hanya tersenyum menyaksikan pertentangan kami berdua.
(Perempuan Berkalung Sorban, 2009: 172-173)
Meskipun begitu, kedua kakak beradik ini juga memiliki perhatian yang cukup besar kepada Annisa ketika mengetahui bahwa selama menikah dengan Samsudin Annisa mengalami perlakuan yang tidak seharusnya. Mereka ikut andil dalam pemecahan masalah Annisa.
Lek Khudhori semakin bingung. Tidak mungkin ia mengatakan bahwa Samsudin telah mengetahui hubungan kami. Sebab dengan mengatakannya, sama saja dengan menambah persoalan baru. Sangat tidak etis, membuka satu masalah ketika masalah yang lebih kritis sedang dijajagi dan dicari jalan keluarnya, tiba-tiba datang persoalan lain yang sama pentingnya. Tiba-tiba saja, Wildan yang pendiam dan pemalu, kini angkat bicara sebagai orang dewasa.
“Kalau aku diizinkan berpendapat, menurutku, lek Khudhori masih terlalu musa sebagai hakam dalam masalah ini. Apa tidak lebih baik kalau
yang diutus sebagai hakam adalah satu pihak yang minimal telah berkeluarga. Sebab dengan itu, pastilah dia lebih tahu urusan dan permasalahan tentang keluarga. Ini pendapat saya.”
“Aku setuju,” cepat-cepat aku menyambung Wildan, “mungkin Bapak bisa mengutus Kiai Mahfud atau Kiai Badawi yang jauh lebih sepuh dan
pastilah lebih arif untuk membincangkan masalah seperti ini.” “Benar. Ibu kira Kiai Mahfud jauh lebih baik dibandingkan Kiai Badawi. Soalnya Bapak tahu sendiri kan masalah kita dengan Kiai Badawi?,” ibu menyambung dengan teka-teki di antara kami. Ingin
kutanyakan, ada apa dengan kiai Badawi tetapi pasti nanti akan jadi persoalan. Lagi pula saat ini masalahku jauh lebih gawat dari persoalan Kiai Badawi.
“Baiklah kalau begitu,” bapak memutuskan, “nanti bapak akan menghubungi kiai Mahfud.”
Mencairlah sedikit ketegangan dalam hidupku. Malam itu, sekalipun udara pegunungan begitu dingin, melihat simpati yang ditunjukkan oleh semua yang ada di rumah, aku mendapat kehangatan lain yang membuatku terharu dan ingin menangis. Rizal berhenti memperolokku dan Wildan memberikan dukungan yang cukup berarti untuk selesainya masalahku. Ini benar-benar membesarkan hatiku untuk tetap bangkit, terlepas dari perhatian lek Khudhori, dan mahabbah di antara kami yang demikian puitis.
(Perempuan Berkalung Sorban, 2009: 186-188)
g. Mbak Kalsum Tokoh ini adalah perwakilan dari perempuan yang menjadi korban perilaku laki-laki. Kalsum adalah wanita yang terjebak oleh perangkap Samsudin hingga dia hamil di luar nikah. Kalsum menjadi orang ketiga dalam g. Mbak Kalsum Tokoh ini adalah perwakilan dari perempuan yang menjadi korban perilaku laki-laki. Kalsum adalah wanita yang terjebak oleh perangkap Samsudin hingga dia hamil di luar nikah. Kalsum menjadi orang ketiga dalam
Pada suatu saat, seorang dari janda itu datang ke rumah dan mengadu padaku atas perilaku Samsudin yang telah menghamilinya. Katanya, ia minta lelaki yang menjadi suamiku itu untuk bertanggungjawab menikahinya. Tapi aku sudah tak peduli, juga tidak memiliki kefasihan untuk menjawab urusan semacam itu. Maka, kuserahkan semuanya pada mertua, agar mereka tahu bahwa anaknya benar-benar menderita sakit yang sulit disembuhkan dan orang yang sehat tak dapat menerimanya. Karena tak ada pilihan lain, sekaligus untuk menutupi kehormatan mereka, jadilah Samsudin melaksanakan niatnya untuk berpoligami.
Entah apa maksudnya, perempuan itu disatukan denganku dalam satu rumah. Mula-mula ia begitu baik denganku, ramah dan suka tersenyum. Ia menempati kamar kedua bersebelahan dengan ruang makan. Karena antaraku dan Samsudin sedang terjadi perang batin yang berkepanjangan dan perempuan itu tahu banyak tentang hubungan kami berdua. Itulah sebabnya, ia mulai membanggakan diri sebagai perempuan yang mampu memuaskan dahaga Samsudin. Ia pun mulai mengatur menu makanan dan mengubah letak perabotan. Meja kursi dipindah ke sini, dan lukisan kuno itu dipajang di dinding sana. Pada akhirnya, ia mengambil alih seluruh urusan keluarga. Mengatur keuangan, mengatur belanja, mengatur belanja dan segala keperluan, juga keperluanku.
Aku tak peduli dengan semua itu karena kesibukanku adalah sekolah dan hobiku membaca. Perempuan yang bernama Kalsum itu mengerti kondisiku dan ia menyerobot apa yang dapat diserobot. Akupun tak mersa ada pesaing di sisiku, apalagi memiliki rasa cemburu. Bagiku, ia layaknya seorang ibu atau pembantu yang mengurusi urusan rumahtanggaku, karena usianya jauh di atas Samsudin, hampir seusia dengan ibuku.
(Perempuan Berkalung Sorban, 2009: 116-117)
Kalsum juga menggambarkan karakter wanita yang terpaksa menerima perlakuan dari suaminya karena ketidakberdayaannya untuk menolaknya. Dia adalah gambaran wanita yang tergoda karena bujukan materi dari seorang laki-laki. Keterbatasan Kalsum atas pemahaman agama membuatnya tidak memiliki pegangan yang kuat dalam hidupnya. Ini tergambar melalui paragraf berikut.
Agaknya Kalsum juga merasa semakin dekat denganku dan ia mulai terbiasa mengutarakan isi hatinya, baik tentang Samsudin atau banyak hal Agaknya Kalsum juga merasa semakin dekat denganku dan ia mulai terbiasa mengutarakan isi hatinya, baik tentang Samsudin atau banyak hal
Satu hal yang menjadi pikiran serius bagi Kalsum adalah masalah uang. Ia anak perempuan dari seorang makelar tanah yang selalu bau rupiah. Tembak sana, tembak sini tanpa rasa jengah. Tampaknya, itu juga yang membuat hidungnya mendengus seperti kucing yang mencari daging walau tersembunyi di bawah kasur. Ia akan bertengkar mati-matian hanya seratus rupiah kembalian yang belum dibayarkan. Selain statusnya sebagai janda, Kalsum tertarik rayuan Samsudin adalah karena mendengar warisan Samsudin berjumlah lima hektar sawah dan satu hektar kebun klengkeng. Air liurnya menetes setiap kali ia menyebut sawah dan kebun klengkeng itu.
(Perempuan Berkalung Sorban, 2009: 122-123)
Namun begitu, Kalsum juga memiliki sikap mau memperbaiki kesalahannya. Pertemuan dan pembicaraan yang intens dengan Annisa membuat mata hatinya terbuka atas kebenaran dan menciptakan keinginan untuk belajar ilmu agama kepada Annisa. Satu hal yang tidak pernah dipikirkan sebelumnya.
“Anis, kau seperti adikku sendiri. Jika kau sudi, ajarilah aku tentang hukum-hukum Islam. Aku lihat kau begitu khusuk ibadah dan terlihat sekali, kau menikmati setiap amalan yang kau kerjakan. Aku juga sering tergetar ketika menatap matamu, bagaimana tegasnya ketika kau bicara tentang kebenaran. Bahkan kulihat Mas Sam sendiri segan kepadamu,
sekalipun ia tidak menyukaimu.” “Sudahlah, Mbak Kalsum. Terimakasih jika Mbak mau menganggapku seperti itu. Tetapi saya tidak suka dipuji-puji seperti itu. Nanti saya bisa takabbur. Mungkin akan lebih baik, jika kita bersama-sama mulai belajar berperilaku sebagaimana yang diajarkan oleh Rasulullah, sebab kita ini muslim dan sekaligus mukminat, insya Allah.”
“Kau benar, Anis. Tetapi aku lebih senang lagi jika kau adalah guruku dalam hal ini. Sebab aku telah melihat kemampuanmu dan bagaimana perilakumu selama ini. Aku bicara apa adanya, Anis. Sama sekali tidak mengada- ada.”
Kutatap mata mbak Kalsum dan ia ganti menatapku tak berkedip, menyorotkan ketegasan yang belum pernah kulihat selama ini dari dirinya.
Akupun yakin ia bicara jujur dan tidak berpura-pura. Karena terharu atas kejujurannya, kupeluk Kalsum dan ia mendekapku seperti seorang ibu mendekap anaknya yang hilang sekian waktu. Kami berdua sesenggukan meluapkan keharuan, seakan gunung es yang begitu tinggi telah mencair dan kami berada dalam kehangatan kasih yang lahir dari sebuah pengertian baru tentang makna dan warna kehidupan.
(Perempuan Berkalung Sorban, 2009: 124-125)
h. Mbak Maryam Tokoh perempuan ini adalah gambaran dari perempuan modern yang berpandangan luas dan memiliki kritik-kritik yang cerdas. Mbak Maryam adalah ketua organisasi (LSM) tempat Annisa bergabung dalam wadah yang bertujuan untuk melindungi hak-hak kaum perempuan. Karakter Maryam diceritakan penulis melalui kutipan berikut.
Maryam memiliki karakter yang kuat sebagai pemimpin. Ia mampu memobilisasi massa dan mengelola keuangan sekaligus dengan begitu rapinya. Bicaranya pelan penuh tekanan. Selain itu, Mbak Maryam memiliki kepekaan yang luar biasa dalam hal ketidakadilan. Mungkin hasil pergaulannya dengan suaminya yang pengacara. Dalam beberapa hal, terutama kritikannya yang tajam terhadap kasus-kasus para suami yang menelantarkan istri, melecehkan istri, perlakuan kasar sampai membunuh dan penyelewengan umum yang dilakukan para suami secara sembunyi dan terang-terangan di muka anak-istri, mbak Maryam adalah pusat kekagumanku karena kedalaman kritikannya jauh dari kesan kanak-kanak yang mau menang sendiri. Ia juga sering melontarkan kritik tajamnya terhadap organisasi perempuan yang tidak mandiri, selalu dibayangi dan berada di bawah organisasi induknya yang nota bene adalah kepunyaan laki- laki. Dan satu lagi, ia sangat piawai dalam qira‟ah.
(Perempuan Berkalung Sorban, 2009: 229-230)