PROFIL PONDOK PESANTREN AL-QURAN DESA NARUKAN KECAMATAN KRAGAN, KABUPATEN REMBANG
Lampiran 4. PROFIL PONDOK PESANTREN AL-QURAN DESA NARUKAN KECAMATAN KRAGAN, KABUPATEN REMBANG
1. Pendahuluan
Islam merupakan agama samawi yang diturunkan sebagai rohmatan lil alamin menjamin kedamaian dan kebersamaan. Ajaran islam telah lengkap untuk mengatur hubungan antara manusia dengan Allah, manusia dengan manusia, manusia dengan alam. Dalam ajaran agama islam dipentingkan nilai-nilai kebersamaan, keadilan, tolong-menolong yang menghargai dan menghormati satu sama lain dalam bingkai ahsani taqwim, oleh sebab itu, keseimbangan kehidupan dunia dan akhirat sebagai pedoman bagi umat manusia. Untuk menuju ahsani taqwim , kemudian Allah menurunkan kitab suci Alquran sebagai petunjuk bagi umat manusia melalui wahyu yang diberikan kepada Nabi Muhammad SAW.
Pesantren sebagai institusi, lahir dan berkembang seiring dengan derap langkah perubahan-perubahan yang ada dalam masyarakat global. Karena itu, tidak berlebihan jika pondok pesantren memiliki dua potensi besar yaitu potensi pengembangan masyarakat dan potensi pendidikan. Dalam kaitan ini, bila ditilik dari sejarah kehadirannya, terbentuk institusi pesantren ternyata memiliki keunikan tersendiri dibandingkan dengan peranannya dewasa ini. Pertama, pesantren didirikan untuk memberikan respon terhadap situasi dan kondisi sosial suatu masyarakat yang tengah diharapkan pada runtuhnya sendi-sendi moral melalui transformasi nilai yang ditawarkannya (amar ma’ruf nahi munkar). Kehadiran pesantren juga untuk agen perubah dan melakukan kerja-kerja pembebasan (liberation) pada masyarakat dari segala keburukan moral, penindasan politik, kemiskinan ilmu pengetahuan, dan kemiskinan ekonomi. Institusi pesantren telah berhasil mentranformasikan masyarakat di sekitarnya dari kekafiran menuju kesalehan dan dari kemiskinan menuju kemakmuran atau kesejahteraan. Oleh karena itu, kehadiran pesantren sebagai suatu bentuk institusi yang dilahirkan atas kehendak dan kebutuhan masyarakat. Dengan kesadarannya, pesantren dan masyarakat telah membentuk hubungan yang harmonis, sehingga
komunitas pesantren kemudian diakui menjadi bagian yang tak terpisahkan atau sub-kultur dari masyarakat pembentuknya. Pada tataran ini, pesantren telah berfungsi sebagai pelaku pengembangan masyarakat. Kedua, salah satu misi awal didirikannya pesantren adalah menyebarluaskan informasi ajaran tentang universalitas islam keseluruh pelosok Nusantara yang berwatak pluralis, baik dalam dimensi kepercayaan, budaya maupun kondisi sosial masyarakat.
Fungsi utama pondok pesantren pada dasarnya untuk pendalaman agama islam (tafaqquh fiddin). Fungsi ini kemudian dijabarkan untuk melahirkan pemimpin dan kader umat seperti ulama, mubaligh, dan tokoh agama yang senantiasa memelihara ilmu-ilmu agama islam, juga sebagai lembaga dakwah dan juga sebagai lembaga pengembangan masyarakat. Fungsi terakhir ini menjadi pusat perhatian yang cukup besar dari banyak pihak, termasuk oleh pemerintah. Pondok pesantren merupakan lembaga yang mandiri dan mengakar di masyarakat merupakan lembaga yang sangat dipercaya oleh masyarakat lingkungannya. Berdasarkan hal yang demikian, adalah sangat tepat apabila dalam proses pembangunan pondok diikut sertakan secara aktif. Pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan islam tertua di Indonesia, selain fungsi utama sebagai tempat pendalaman agama ( tafqquh fiddin ), telah memacu diri dengan mencari bentuk baru yang sesuai dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta menghadapi perkembangan jaman dengan tetap kandungan iman dan taqwa kepada Allah SWT. Dengan demikian pondok pesantren ini menjelma menjadi pusat pendidikan dan pemikiran serta pengembangan masyarakat sekaligus menjalankan peran transformasi terhadap ide-ide dan wawasan baru bagi kesejahteraan rakyat dan bangsa.
2. Pendiri Pondok Pesantren Al-Quran Desa Narukan
Pondok pesantren Al-Quran didirikan pada tahun 1974 oleh KH. Noer Salim. Beliau adalah salah seorang Kyai yang pertama kali merintis Pondok Pesantren Alquran di Desa Narukan. KH. Noer Salim adalah menantu dari KH. Shidiq Narukan. KH.Noer Salim dilahirkan di kota Tuban pada Tanggal 20 Februari 1942. Semasa kecil beliau belajar mengaji di KH. Zubaidi Tuban.
Kemudian, pada masa remaja beliau menuntut ilmu di KH. Abdullah Salam Kajen Kabupaten Pati untuk memperdalam Al-Quran. Dan beliau wafat pada hari Minggu tanggal 14 Agustus 2005.
3. Sarana dan Prasarana Pondok Pesantren Al-Quran Narukan
a. Mempunyai 2 Perpustakaan (1 putra dan 1 putri)
b. Mempunyai 15 Kamar (10 putra dan 5 putri)
c. Mempunyai 4 Aula (2 putra dan 2 putri)
d. Mempunyai 2 Mushola (1 putra dan 1 putri)
e. Mempunyai 7 Kamar Mandi dan WC (4 putra dan 3 putri)
4. SISTEM PENDIDIKAN PONDOK PESANTREN AL-QURAN
Sistem pendidikan ini mendasarkan pada tuntunan Al- Qur‟an yang dituangkan sebagai hudallinnasi wabayyinatin minal huda wal furqon. Untuk itu Pesantren Al-Quran ini mengunakan sistem pendidikan sebagai berikut :
a. Tahfidzul Quran yaitu menghafal ayat-ayat suci Al-Quran 30 juz.
b. Pemahaman dan pendalaman tafsir Al-Quran melalui metode pendidikan tektual dan kontektual dengan rujukan kitab-kitab salaf.
c. Studi-studi islam yang terintegrasi dalam pembentukan ahsani taqwim.
Adapun Kitab-Kitab Yang Di Ajarkan Di Pondok Pesantren Adalah :
a. Tafsir Jalalain Al-Maraghi
b. Tafsir Munir
c. At-Tibyan Ulumil Quran
d. Mahabis Fi Ulumil Quran
e. Hidayah Al-Mustafid
f. Aqidatul Awam
g. Ad-Din Al-Islami
h. Kifayah Al-Awwam
i. Syarah Muhtashorjidan j. Mutamminah k. Al-Imrithi
l. Al-Afiyah Ibn Malik m. Ta‟lim Al-Muta‟alim n. Al-Arbain An-Nawawi o. Bulughol Marom p. Jawahirul Al-Bukhori q. Shohih Muslim r. Shohih Bukhori s. Fath Al-Qorib t. Fath Al-Mu‟in u. Al-Bajuri
5. STRUKTUR KEPENGURUSAN PONDOK PESANTREN AL-QURAN NARUKAN
Ketua
: Zaimul Umam NS
Wakil Ketua
: Abdul Fatah
Sekretaris 1
: Ahmad Najih
Sekretaris 2
: Zainal Arifin
Bendahara 1
: Ahmad Rifa‟i
Bendahara 2
: Muhlishin
Sie Pendidikan
: - Abdul Jamil
- Mahfudz - Ibnu Mudzir - Sholihin
Sie Keamanan
: - Amin Thohari
- Masyhudi - Masrukhin
Sie Humas
: - Slamet Riyadi
- Amin Rosyidi
Sie Kebersihan
: - Syahruddin
- Fakhril Islam
Sedangkan daftar nama ustadz-ustadzah Pondok Pesantren Al-Quran Desa Narukan adalah sebagai berikut.
a. Zaimul Umam NS Rembang
b. Muhlisin Ibnu Qosim Bojonegoro
c. Amin Thohari Rembang
d. Abdul Fatah
Pati
e. Mashudi Bojonegoro
f. Ahmad Rifa‟i
Tuban
g. Ibnu Mundzir
Madura
h. Lulik Chumaidiyyah Bojonegoro
i. Miyazatul Falahah
Tuban
j. Ni‟matus Sa‟diyah Rembang
6. JADWAL AKTIFITAS
a. Aktifitas Harian Pondok Pesantren Al-Quran
Jamaah Shubuh
05:20 – 06:30 Mengaji Al-Quran Bil Ghoib 06:30 – 07:00
Persiapan Sekolah 07:00 – 12:00
Sekolah
12:00 – 13:00 Istirahat dan Persiapan Jamaah 13:00 – 13:30
Jama‟ah Dzuhur
Mengaji Hadits
14:30 – 15:30 Istirahat dan Persiapan Jamaah 15:30 – 16:00
Jamaah Ashar
16:00 – 17:00 Mengaji Al-Quran Bin Nadzor 17:00 – 18:00
Istirahat dan Persiapan Jamaah 18:00 – 18:30
Jamaah Maghrib
Mengaji Fiqih
Jamaah Isya‟
Mengaji Tafsir
Istirahat
21:00 – 22:00 Musyawarah ( Belajar Bersama ) 22:00 – 04:45
Istirahat
b. Aktifitas Mingguan Pondok Pesantren Al-Quran
HARI
AKTIFITAS
Ziarah ke KH. SHIDIQ Selasa
Dzibaiyyah Ziarah ke KH. NOER SALIM
Jum‟at
Dzibaiyyah Khitobiyyah
7. POTRET KE DEPAN
Pengembangan Pondok Pesantren Al- Qur‟an Desa Narukan Kecamatan Kragan Kabupaten Rembang ke depan diarahkan kepada :
a. Peningkatan kemajuan sistem pendidikan agama islam yang di jiwai oleh nilai-nilai luhur (akhlaqul karimah) sebagai cermin ihsan yang mandiri cakap dan terampil.
b. Pengembangan dan pemberdayaan masyarakat sekitar pondok pesantren mengenai potensi ekonomi umat yang mengarah pada kegiatan produktif dan kemandirian umat.
c. Perwujudan dan mencetak calon-calon kader bangsa yang memiliki kredibilitas dan kualitas yang handal dengan bersandar pada nilai-nilai agama.
Lampiran 5.
Wawancara dengan Santri Pondok Pesantren
Nomor catatan lapangan
Hari, tanggal
: Selasa, 13 April 2010
Pukul
: 18.30 WIB
Informan : Ni‟matuss‟diyah dan Lulik Khumaidiyah Jabatan
: Santri Ponpes Alquran Narukan Topik
: Tanggapan terhadap novel Perempuan Berkalung Sorban dan kultur pondok pesantren tempat mereka menuntut ilmu.
Tempat : Pondok Pesantren Alquran (LP3AI) Desa Narukan, Kecamatan Kragan, Kab. Rembang
Berikut adalah wawancara yang peneliti lakukan dengan dua orang narasumber tersebut: P
: “Sebelumnya, perkanalan dulu mbak. Saya tutut, ini dengan mbak siapa saja?”
D : “Saya Diah, ini Mbak Lulik.” P
: “Sudah siap dengan wawancaranya? Ini kita cuma ngobrol saja kok.” D+L : (diam sambil senyum dan tertawa sebentar)
P : “Nggak apa-apa kok mbak? Siap ya?” D+L : “Ya, Mbak. Kami siap.” P
: “Bagaimana pendapat Mbak berdua tentang novel Perempuan Berkalung Sorban?”
L : “Penilaiannya, setelah membaca novel itu paling tidak menambah pengalaman kehidupan. Terutama tentang sosok Annis a.”
P : “Tentang Annisa? Maksudnya?” L
: “Ya, maksudnya Annisa itu orang yang sabar, yang tabah dan tegar.”
D : “Iya, yang tidak pernah putus asa juga.”
P : “Ehm, waktu Mbak Diah tadi bilang Annisa itu wanita yang tidak mudah putus asa. Contonhnya pada bag ian mana ini, Mbak?”
D : “Contohnya ketika Annisa hidup dengan Samsudin, ketika itu Annisa kan tersiksa, Mbak. Tetapi dia tetap belajar dan belajar.”
: “Begitu. Kemudian kalau Khudhori bagaimana menurut Mbak?”
L+D
: (tertawa) “Kita pengen punya suami yang seperti itu. Hehe…”
P : (tertawa juga) “Oh, kira-kira di pesantren sini ada tidak yang seperti Khudhori?”
D : “Iya, mungkin ada. Tapi ya tidak sesempurna Khudhori. Kalau dalam novel itu kan Khudhori digambarkan sangat sempurna menurut saya.”
P : “Kemudian kembali lagi ke Annisa. Menurut Mbak Berdua bagaimana? Dia ini dalam cerita bisa dikatakan sebagai calon bu nyai tetapi sikapnya cukup keras seperti itu? Katanya kalau jadi wanita kan nggak boleh pethakilan , naik kuda misalnya. Lha ini bagaimana?”
D : “Ehm, ya nggak boleh. Mosok anak putri seperti itu. Ditambah Annisa kan ingin seperti idolanya itu, Putri Budur seperti di zaman Nabi. Menurut saya, Annisa itu seorang perempuan yang pintar dan cerdas Meskipun pada beberapa bagian bahasanya terlalu kasar, tapi novel itu memberikan pelajaran terhadap kami. Tetapi, tetap saja wanita tidak boleh menyalahi kodratnya. Tidak baik kalau misalnya dalam novel itu perempuan naik kuda. ”
L : “Tapi kalau menurut saya boleh-boleh saja. Nggak pa pa. P
: “Oh, iya, Mbak. Mau Tanya? Mbak berdua sudah berapa tahun tinggal di pondok ini?”
D+L : “Kita sudah sekitar 6 tahun di sini. Sudah dari tahun 2004.” P
: “Dari umur berapa?” D+L
: “Dari kita lulus sekolah tsanawiyah”. P
: “Oh, begitu. Kembali ke novel tadi, bagaimana kalau tentang sikap dan karakter Kyai Hanan?”
D : “Ya, kalau menurut saya nggak pa pa. itu kan buat mendidik anaknya. Anak putri kok seperti itu itu. Jadi, sebagai bapak ya memang seperti itu.”
L : “Hanya saja, kalau menurut saya harus agak lembut. Kan sama anaknya sendiri. Apalagi anak putri.”
: “Kemudian tentang kedua kakaknya Annisa, Rizal dan Wildan.”
D : “Kalau tentang kakak-kakaknya tidak banyak diceritakan, hanya masa kecil mereka saja. Dan menurut saya ya itu cuma kenakalan anak-anak kecil,saling mengejek dan lain- lain.”
P : “Kemudian kalau untuk kehidupan di pesantren sini, ada perbedaan perlakuan atau tidak antara santri putra dengan santri putri?”
L : “Tidak ada perbedaan, semua diperlakukan sama”
D : “Hanya saja kalau untuk santri putra cara mendidiknya lebih keras. Karena mereka kan dididik untuk dapat memimpin umat, yang nanti akan menjadi kepala keluarga. Tapi, kalau yang putri kan cuma akan
menjadi makmum.” P
: “Kemudian kalau menurut Mbak tentang sikap Annisa yang ingin sejajar dengan laki-laki bagaimana, misalnya ingin dapat sama-sama
kesempatan belajar dan lain- lain?” L
: “Kalau menurut saya itu terlalu over karena semampu-mampunya wanita itu kan sekuat-kuatnya laki-laki. Jadi, tidak bisa wanita
menyamai laki- laki.” P
: “Di sini juga digambarkan kultur pesantren, ada mengaji kitab kuning dan lain-lain. Sama atau tidak penggambaran yang ada dalam novel ini
dengan kebiasaan yang ada di pondok pesantren sini?”
D : “Pada dasarnya sama hanya saja kalau sini lebih ditekankan pada tafsir Al Quran. Bukan kitab kuning .”
L : “Pondok kami ini juga kan pondok pesantren Al Quran jadi tekanannya berbeda. Kami juga lebih fokus pada Al Quran sebagai pedoman kami.”
P : “Tetapi kitab kuning tetap dipelajari?”
D : “Kami pelajari, hanya saja tidak sebanyak tafsir Al Quran. Mosok kita lebih banyak mengkaji kitab lain tapi Al Quran tidak.”
P : “Oh, begitu. Kemudian antara santri putra dan putri apakan ada forum musyawarah bersama atau forum bersama yang lain?”
D : “Santri putra dan putri dipisah termasuk dalam forum musyawarahnya. Santri putra sendiri, sanri putri sendiri.”
P : “Kalau hari Jumat itu libur, biasanya digunakan santri untuk apa?”
D : “Ehm, biasanya digunakan untuk kerja bakti, belanja juga.” L
: “Biasanya juga ada yang pulang ke rumah kalau santri-santri yang rumahnya dekat.”
P : “Kalau di sini tidak ada yang sekolah umum ya?”
D : “Tidak ada, semuanya cuma mondok saja di sini.” P
: “Aktivitas belajar biasanya dimulai dari jam berapa?” L
: “Dari jam 8 sampai jam 11 nanti lanjut lagi sampai sore buat mengaji kitab.”
P : “Ustadz-ustadz sini beragam?”
D : “Ustadznya beragam. Masing-masing punya bidangnya sendiri.”
P : “Kalau untuk ustadz yang mengajar tafsir Al Quran siapa? D+L
: “Ustadz Baha‟udin” P
: “Waktu belajar, ada sistem diskusi atau cuma searah saja dari ustadz ke santri?”
L : “Ada diskusi, antara santri satu dengan yang lain juga bisa bertukar pendapat. Kami cukup bebas bertanya apa yang ingin kami tahu kepada ustadz kami.”
D : “Pokoknya selama ustadz bisa ya dijawab tapi kalau tidak ya dibuat PR dulu untuk dicarikan jawabannya. ”
P : “Jadi, seperti di sekolah-sekolah umum ya? (mengangguk) Ya sudah Mbak, begitu dulu. Terimakasih untuk waktunya.”
D+L : “Iya, Mbak. Sama-sama.”
Keterangan : P
: Peneliti
D : Ni‟matuss‟diyah L
: Lulik Khumaidiyah
Refleksi
Wawancara dilakukan peneliti dengan dua orang santri Pondok Pesantren Al Quran Desa Narukan Kecamatan Kragan, Kabupaten Rembang. Dua orang santri tersebut adalah Ni‟matuss‟diyah dan Lulik Khumaidiyah yang sudah belajar di pondok pesantren tersebut selama kurang lebih enam tahun. Sebelum dilakukan wawancara, peneliti memberikan novel Perempuan Berkalung Sorban kepada keduanya untuk dibaca terlebih dahulu agar sedikit banyak narasumber mengetahui isi pembicaraan dalam wawancara dan mengetahui bagaimana isi novel tersebut karena wawancara yang dilakukan juga bertujuan untuk mengetahui penilaian pembaca novel terhadap novel Perempuan Berkalung Sorban .
Pada awal wawancara peneliti menilai bahwa kedua narasumber mengalami ketegangan karena sebelumnya belum ada yang melakukan wawancara terhadap mereka atau melakukan penelitian di pondok pesantren tersebut. Namun, seiring dengan berjalannya wawancara suasana mencair sedikit demi sedikit sehingga suasana benar-benar cair. Kedua narasumber mulai memberikan wawancara dengan jawaban yang lancar sampai akhir wawancara.
Pada umumnya, penilaian kedua narasumber terhadap novel Perempuan Berkalung Sorban merupakan penilaian yang baik. Artinya, kedua narasumber menilai novel tersebut memberikan pengetahuan dan pengalaman baru tentang arti perjuangan kaum perempuan terutama dalam lingkungan pesantren. Namun, kedua narasumber manyatakan bahwa cara penggambaran Abidah El Khalieqy sebagai penulis novel Perempuan Berkalung Sorban terlalu berlebihan sehingga terlihat bersikap keras terhadap pondok pesantren.
Lampiran 6.
Gb.1 Wawancara dengan dua orang santri Pondok Pesantren Al Quran, Desa Narukan, Kec, Kragan, Kab. Rembang