Latar (Setting)
3. Latar (Setting)
Latar (setting) adalah segala keterangan mengenai tempat, waktu, dan suasana (keadaan tokoh dan keadaan sosial) terjadinya peristiwa yang terdapat dalam karya sastra. Analisis latar atau setting novel Perempuan Berkalung Sorban adalah sebagai berikut.
a. Latar Tempat Novel Perempuan Berkalung Sorban sebagian besar mengambil latar tempat pondok pesantren. Latar ini menjadi tempat awal terjadinya konflik a. Latar Tempat Novel Perempuan Berkalung Sorban sebagian besar mengambil latar tempat pondok pesantren. Latar ini menjadi tempat awal terjadinya konflik
Pondok kami memang bukan pondok yang besar sebagaimana pondok pesantren Bahrul Umum Tambakberas atau Tebuireng. Hanya saja, ada beberapa kompleks yang telah dibangun oleh bapak, yang kemudian dihuni oleh lima puluh santri putri, dengan ustadz yang paling tua dan dipercaya oleh bapak, yaitu ustadz Ali. Beliaulah yang memegang pelajaran dan kitab-kitab utama yang wajib diikuti seluruh santri. Namun, aku sendiri tak pernah tertarik untuk mengikutinya, kecuali hanya untuk menuruti keinginan bapak. Itulah sebabnya, aku sering bermain dan belajar bersama-sama teman sekampung, yang tidak terdaftar sebagai santri dipondok kami. Kalaupun bermain atau belajar di pondok, paling-paling hanya bertandang di kamar Mbak May.
(Perempuan Berkalung Sorban, 2009: 52)
Latar tempat yang lain dalam novel ini adalah rumah Annisa dan Samsudin. Rumah ini adalah tempat terjadinya konflik yang mempengaruhi kehidupan Annisa selanjutnya. Tempat ini menjadi latar penganiayaan Annisa oleh suaminya dan tempat pergulatan Annisa untuk memperjuangkan haknya sebagai seorang perempuan.
Besoknya aku harus mengikuti rombongan mereka menuju suatu tempat, entah di mana. Sepanjang perjalanan, tentu saja laki-laki bernama Samsudin it uterus menerus di sampingku, menghamburiku dengan segala rayu dan pujian. Aku merasa gembira dan merasa senang, tetapi bukan karena laki-laki di sebelahku atau rayuan gombalnya. Aku gembira karena baru pertama kali naik mobil yang dipenuhi bunga warna-warni dan bau harum mengitariku. Perjalanan seperti ini mampu melambungkanku untuk berkhayal jauh ke suatu negeri seberang untuk menemuinya, membayangkan berduaan bersamanya. Alangkah indahnya jika saja laki- laki yang disebelahku adalah lek Khudhori dan bukan yang lain.
Ketika aku sampai di rumah ini, mereka semua mengagumiku, menghormatiku layaknya seorang ratu. Seorang perempuan setengah tua memijatku dengan halus, dan yang lain membukakan berbagai macam hadiah dan kado. Sementara yang lain lagi menyajikan makanan lezat dan enak-enak. Tentu, mereka berharap aku gembira dengan semua itu. Tetapi dua pasang mata tak lepas mengawasiku dan mata itu seperti dua pasang mata singa yang tak memberi kesempatan sedetik pun untuk melepas bakal mangsanya. Itulah mata nafsu Samsudin.
(Perempuan Berkalung Sorban, 2009: 105-106)
Latar tempat yang lain dalam Perempuan Berkalung Sorban adalah rumah Khudhori dan Annisa. Rumah ini mereka tempati setelah mereka menikah dan memutuskan tidak hidup di lingkungan pondok pesantren.
Pertama kulihat ruang tamu yang mungil itu dipenuhi buku-buku tebal berbahasa Arab dan Inggris dalam sebuah buffet besar dan di tengah- tengahnya ada sebuah gravier bersinar-sinar kehijauan dengan tulisan Asyaddu hubban Lillah memakai huruf Arab Kufi. Lalu di sebelahnya menutupi dinding, adalah sebuah kaligrafi Tughra Sultan Sulaiman Yang Mulia, dengan sajak pendek karya Sultan dalam tulisan Diwani ornamental di bagian bawah dalam pigura klasik berukuran 80x60 cm.
Dua pemandangan itu begitu menonjol dan menarik perhatianku. Selebihnya adalah meja kursi dan satu tape recorder dengan sejumlah kaset dari penyanyi-penyanyi Maroko, Mesir, Lebanon dan Turki serta seperangkat komputer terbaru pada saat itu dan tumpukan kertas-kertas. Sementara ruangan kedua adalah kamar tidur yang berisi ranjang, lampu tidur dan telepon dalam satu meja mungil bundar serta lemari pakaian dan televise. Sementara ruangan samping yang berhubungan dengan kamar tidur adalah ruang makan, dapur dan kamar mandi.
Dari segi artistik, penataan ruang yang dilakukan lek Khudhori cukup berhasil dan menciptakan imaji keindahan yang nyaman sekali untuk ruangan sesempit itu. Memang debu tipis masih tetap kelihatan, terutama di sekitar buku-buku dan lantai keramik berwarna putih di sudut-sudut ruang. Karena usil, kuperiksa lapisan debu dengan menjentikkan jari antara buku-buku. Lek Khudhori hanya tersenyum maklum.
(Perempuan Berkalung Sorban, 2009: 208-209)
Tempat lain yang digunakan dalam novel Perempuan Berkalung Sorban adalah rumah sakit tempat Annisa melahirkan dan Komisariat organisasi LSM tempat Annisa berdiskusi dengan teman-temannya dan menyampaikan gagasan yang dimilikinya tentang perempuan dan hak-haknya.
b. Latar Waktu Latar waktu dalam novel Perempuan Berkalung Sorban terentang antara waktu pagi sampai malam hari. Namun, sebagian besar terjadi pada waktu malam hari ketika terjadinya diskusi, konflik atau hubungan suami istri. Salah satu penggambaran atas latar waktu diceritakan oleh penulis seperti paragraf berikut.
Malam itu udara alangkah pengap. Di mana-mana menjadi tak nyaman, terlebih jika berada dalam ruangan. Kami memutuskan untuk jalan-jalan sambil melihat pemandangan dan menikmati keindahan purnama kelimabelas. Sambil mengemudi, mas Khudhori rengeng-rengeng menirukan alunan Rubab Kuwait yang tengah kami putar. Malam kian merasuk dan kami masih asyik keliling kota sambil bercanda dan iseng menghentikan mobil di depan pedagang sate di pinggir jalan. Aroma yang keluar dari kepulan asap daging kambing yang tengah dibakar itu membuat air liur meleleh. Kami pun memesan sekian tusuk untuk dimakan di rumah.
(Perempuan Berkalung Sorban, 2009: 221-222)
c. Latar Keadaan Tokoh Latar keadaan tokoh yang banyak diceritakan dalam novel Perempuan Berkalung Sorban adalah tentang kondisi Annisa dan Khudhori. Masing- masing gambaran keadaan masing-masing tokoh tersebut adalah sebagai berikut.
Sejak aku terlahir ke dunia, kata ibuku, Hajjah Mutmainah, aku selalu digadang dan diharapkan agar kelak dapat menggantikan posisi bapak. Tetapi, dalam benakku, harapan itu tak pernah muncul sebagai cita-cita. Sepertinya aku lebih suka untuk bersekolah dan mencari ilmu yang lebih luas dari kompleks pondok kami., juga lebih tinggi dari ilmu yang diperoleh para santri yang paling tua sekalipun.
Pondok kami memang bukan pondok yang besar sebagaimana pondok pesantren Bahrul Umum Tambakberas atau Tebuireng. Hanya saja, ada beberapa kompleks yang telah dibangun oleh bapak, yang kemudian dihuni oleh lima puluh santri putri, dengan ustadz yang paling tua dan dipercaya oleh bapak, yaitu ustadz Ali. Beliaulah yang memegang pelajaran dan kitab-kitab utama yang wajib diikuti seluruh santri. Namun, aku sendiri tak pernah tertarik untuk mengikutinya, kecuali hanya untuk menuruti keinginan bapak. Itulah sebabnya, aku sering bermain dan belajar bersama-sama teman sekampung, yang tidak terdaftar sebagai santri dipondok kami. Kalaupun bermain atau belajar di pondok, paling-paling hanya bertandang di kamar Mbak May.
(Perempuan Berkalung Sorban, 2009: 51-52)
Kutipan di atas menceritakan kondisi tokoh Annisa yang sedari kecil telah memiliki pemikiran dan gagasan yang berbeda dengan lingkungan yang didiaminya sejak kecil. Ia mengingkinkan hidup yang lebih luas dan bebas dari tembok pondok pesantren yang dirasakannya sejak kecil. Pemikiran inilah Kutipan di atas menceritakan kondisi tokoh Annisa yang sedari kecil telah memiliki pemikiran dan gagasan yang berbeda dengan lingkungan yang didiaminya sejak kecil. Ia mengingkinkan hidup yang lebih luas dan bebas dari tembok pondok pesantren yang dirasakannya sejak kecil. Pemikiran inilah
Tokoh Khudhori digambarkan oleh Abidah El Khalieqy dalam paragraf-paragraf berikut. Sekian detik, mungkin juga menit, aku terdiam. Satu perasaan sedih
tiba-tiba muncul menyeruak di dasar kalbu. Kupandangi wajah lek Khudhori dan kuteliti matanya, hidungnya, rambutnya dan semuanya begitu sempurna di mataku. Bukan saja kata-katanya saja yang bagus, lek Khudhori juga begitu baik, begitu perhatian dan sayang padaku. Tidak seperti lek Mahmud, yang suka mengelus-elus kakiku sewaktu mengajariku mengaji, sehingga bapak melarangku untuk belajar bersamanya. Bahkan bapak telah berkali-kali mengusir dan menyuruh lek Mahmud untuk tidak bermain-main di rumah kami. Padahal ia adalah adik kandung bapakku sendiri.
Sikap bapak memang berbeda dengan lek Khudhori. Meskipun ia bukan adik kandungnya sikap bapak lebih lembut kepadanya. Lek Khudhori adalah cucu dari keluarga neneknya ibu. Dan meskipun bapaknya telah meninggal dua tahun yang lalu, ia tetap melanjutkan sekolahnya di pondok Gontor. Hanya saja, kalau pulang selalu ke rumah kami. Dua kakaknya telah berkeluarga dan lek Khudhori lebih suka tinggal di sini, terutama untuk mendapat teman berkomunikasi bahasa Arab dengan bapak dan para ustadz di pondok. Ia tinggal di kamar yang bersebelahan dengan kamar bapak, Rizal dan Wildan. Selama hampir setahun ini, dalam masa cutinya, ia membantu mengajar di pondok serta mengajariku mengaji, nahwu sharaf dan bahasa Arab. Sementara Wildan dan Rizal lebih suka belajar mengaji di masjid dengan lek Mahmud.
(Perempuan Berkalung Sorban, 2009: 37-38)
d. Latar Keadaan Sosial Keadaan sosial dalam novel Perempuan Berkalung Sorban didominasi oleh kultur pondok pesantren. Segala tingkah dan ide yang dimiliki oleh setiap tokoh sangat dipengaruhi oleh ajaran yang diberikan dalam lingkungan pondok pesantren. Telaah atas kitab kuning atau kitab klasik yang dimiliki oleh setiap pondok pesantren mendominasi pemikiran para tokoh. Telaah yang tidak dilakukan secara menyeluruh dan kontekstual inilah yang membuat beberapa kyai sepuh dalam pikiran kolot mereka sehingga sulit menyesuaikan dengan perubahan kondisi zaman. Dalam novel Perempuan Berkalung Sorban , inilah yang menyebabkan pertentangan dan konflik antartokoh.