PENILAIAN PEMBACA TERHADAP NOVEL PEREMPUAN BERKALUNG SORBAN

F. PENILAIAN PEMBACA TERHADAP NOVEL PEREMPUAN BERKALUNG SORBAN

Karya sastra tidak pernah lepas dari sastrawan, lingkungan, dan pembacanya. Karya sastra tidak mungkin jatuh begitu saja dari langit, tentunya selalu ada hubungannya antara sastrawan, sastra, dan masyarakat (Sapardi Djoko Damono dalam Wiyatmi, 2006: 97). Sebuah karya sastra menjadi bernilai ketika karya sastra tersebut memiliki makna dan memberikan sesuatu kepada masyarakat pembacanya sebagaimana sifat karya sastra yang bersifat dulce et utile, mendidik dan menghibur.

Karya sastra dapat menjadi sarana bagi pengarangnya untuk menyampaikan pikiran, perasaan dan gagasannya sekaligus imajinasi yang dimilikinya kepada pembaca. Oleh karena itu, karya sastra diakui dapat befungsi sebagai media yang dapat mengubah pola pikir dan paradigma masyarakat. YKF melihat peluang tersebut dan untuk melakukan sosialisasi atas hak-hak reproduksi kaum perempuan lembaga ini menggandeng sasrtawan Abidah El Khalieqy. Abidah yang memiliki kesamaan misi dengan YKF-pun menerima tawaran tersebut.

Novel Perempuan Berkalung Sorban mengangkat isu gender dengan latar kehidupan pondok pesantren. Berbagai macam penilaian hadir atas karya yang dihasilkannya setelah tulisannya sampai kepada para penikmat sastra. Novel

Perempuan Berkalung Sorban juga menuai banyak kontroversi setelah diterbitkan. Beberapa kecaman hadir dari kalangan pondok pesantren terutama oleh para kyai sepuh. Hal tersebut seperti yang diungkapkan Abidah El Khalieqy dalam wawancara di kediamannya.

Penulisan novel ini merupakan satu-satunya cara yang dilakukan oleh NGO di Indonesia. Karena novel itu kan karya sastra , jadi jangkauannya lebih luas dan tidak temporal tapi abadi. Mereka anak kyai yang rata-rata menggugat apa yang dilakukan oleh ayahnya sendiri.

Ketika kemarin rame-rame kontroversi PBS saya juga ke pondok- pondok pesantren dan kyai berang pada saya, saya diundang ke Jombang. Tapi menurut saya, karena sastrawan otoritasnya lebih jadi saya memperjuangkan mana yang hak dan yang salah. Secara hati nurani saya seperti itu. Jadi, saya mau menulis novel itu. Meskipun beberapa orang bilang ini novel pesanan dan saya bersedia di koloni, jawabannya ya itu tadi. Saya bertemu dengan teman-teman dari YKF dan nyambung di isu itu.

(Lampiran Hal. 160)

Selanjutnya, penilaian atas karya yang diterbitkannya memang tidak lagi menjadi wewenang Abidah Al Khalieqy selaku penulis karena sebagaimana sudah diketahui bahwa penilaian sastra tidak dapat dipaksakan. Penilaian atas sebuah karya sastra dapat dipengaruhi oleh latar belakang (dapat dalam bentuk sosial atau pendidikan) si penikmat sastra. Resepsi tentang sastra cenderung bersifat relatif sehingga tidak ada aturan yang baku dan larangan bagi pembaca atau penikmat sastra untuk menyatakan sebuah karya sastra itu layak atau tidak untuk dinikmati publik.

Bertolak dari hal tersebut, beberapa pembaca yang menjadi narasumber penelitian ini memberikan penilaian bahwa novel Perempuan Berkalung Sorban adalah sebuah novel yang bagus karena menggugah dan penuh dengan inspirasi. Hal tersebut seperti yang diungkapkan oleh Fetty Permatasari, “Asyik. Nuansa perlawanan dari tokoh utama terasa kental di novel itu. Ciri khas Abidah dalam karya lain juga begitu. Abidah selalu melihat sisi lain”.

Novel Perempuan Berkalung Sorban adalah sebuah novel berbingkai feminisme yang cukup kental. Beberapa pembaca menilai bahwa gagasan yang disampaikan penulis melalui novel tersebut menyentuh sisi-sisi ini. Abidah El Khalieqy sebagai penulis menginginkan perubahan paradigma pembaca terhadap Novel Perempuan Berkalung Sorban adalah sebuah novel berbingkai feminisme yang cukup kental. Beberapa pembaca menilai bahwa gagasan yang disampaikan penulis melalui novel tersebut menyentuh sisi-sisi ini. Abidah El Khalieqy sebagai penulis menginginkan perubahan paradigma pembaca terhadap

“Menurutku novel itu sangat bagus karena mengandung pesan moral dan nilai religi yang tinggi. Bahwa seorang wanita berhak mendapatkan pendidikan meskipun dia sudah menikah dan berkeluarga. Juga terdapat gerakan feminisme yang tinggi, yaitu bahwa cewek dan cowok mempunyai hak yang sa ma”. (Anis Ningsih)

(Lampiran Hal. 177)

Beberapa komentar juga menyatakan kekagumannya pada sosok Annisa yang menjadi tokoh perempuan utama dalam novel tersebut. Penilaian tersebut menunjukkan bahwa Abidah El Khalieqy berhasil menciptakan tokoh-tokoh yang menjadi nilai lebih dalam novel Perempuan Berkalung Sorban.

“Penggambaran tokoh kuat dengan masing-masing karakter yang dimilikinya. Amanat yang dikandung dalam novel tersebut bahwa sebagai perempuan harus bisa memperjuangkan haknya, jangan mau kalah dengan laki-laki. Usaha untuk persamaan gender antara laki- laki dan wanita”. (Dian Fitri Argarini)

(Lampiran Hal.177) Abidah menggambarkan Anisa sebagai seorang santri yang ideal,

berpikiran moderat, cerdas dan kerap kali mendebat para ustaznya terutama untuk hal-hal yang dirasa mengganggu logikanya. Dengan kecerdasannya pula, Anisa berani menolak terhadap segala sesuatu yang dianggap menyimpang dari nilai agama. Hal tersebut seperti yang diungkapkan oleh Lulik, salah satu santri pondok pesantren Al Quran Desa Narukan Kecamatan Kragan Kabupaten Rembang, “Novel itu memberikan pengalaman yang baru terhadap kami. Tentang

perjuangan Annisa sebagai wanita yang kuat, tegar, dan tabah dalam menjalani hidupnya”. Hal yang sama juga dikemukakan oleh Ni‟matussa‟diyah, salah satu

santri dari pondok pesantren yang sama sebagai berikut.

“Menurut saya, Annisa itu seorang perempuan yang pintar dan cerdas Meskipun pada beberapa bagian bahasanya terlalu kasar, tapi novel itu

memberikan pelajaran terhadap kami. Tetapi, tetap saja wanita tidak boleh menyalahi kodratnya. Tidak baik kalau misalnya dalam novel itu

perempuan naik kuda.” (Lampiran Hal. 176) Selanjutnya, pembaca juga memberikan penilaian terhadap cara

penggambaran Abidah El Khalieqy terhadap kondisi pondok pesantren yang menjadi setting novel. Hal tersebut seperti yang diungkapkan oleh Vivin Ariyani, “Bagus. Lebih menonjolkan gerakan feminisme. Tetapi, saya pikir tidak semua

pondok pesantren digambarkan seperti itu apalagi pada masa sekarang. Kalau dalam novel tersebut pondok pesantren digambarkan sebagai sebuah lingkungan pendidikan yang sangat mengekang santri- santrinya”. (Lampiran Hal. 176)