Lemahnya Partisipasi
j. Lemahnya Partisipasi
Tidak terpenuhi hak-hak dasar masyarakat miskin karena tidak tepatnya layanan yang diberikan oleh pemerintah, menyentuh langsung persoalan kapabilitas dasar yang kemudian menghambat mereka untuk mencapai harkat martabat sebagai warganegara. Gagalnya kapabilitas dasar itu sering muncul dalam berbagai kasus, terkooptasinya masyarakat miskin dari kehidupan sosial dan membuat mereka semakin tidak berdaya untuk menyampaikan aspirasinya. Kasus tersebut terjadi sebagai akibat dari proses perumusan dan pelaksanaan kebijakan yang memposisikan masyarakat miskin sebagai obyek dan mengabaikan keterlibatan masyarakat miskin dalam proses pengambilan keputusan.
Ekonomi Pembangunan: Overview Indonesia Masa Krisis 1998 | 103
Salah satu penyebab kegagalan kebijakan dan program pembangunan dalam mengatasi masalah kemiskinan adalah lemahnya partisipasi masyarakat miskin, atau partisipasi LSM untuk dapat menyampaikan suara si miskin dalam tahap perumusan, pelaksanaan, pemantauan maupun evaluasi kebijakan dan program pembangunan. Berbagai kasus penggusuran di perkotaan, pemutusan hubungan kerja secara sepihak, dan pengusiran petani dari wilayah garapan menunjukkan kurangnya dialog dan lemahnya partisipasi masyarakat miskin dalam pengambilan keputusan. Partisipasi masyarakat diantaranya dapat tergambarkan dalam wujud organisasi-organisasi masyarakat yang dapat memperkuat posisi tawar untuk mempengaruhi kebijakan, antara lain (Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A), Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA), Taruna Tani).
Selain itu, hasil studi yang dilakukan oleh Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM bekerjasama dengan Kemitraan Bagi Pembaharuan Tata Pemerintahan pada tahun 2002, menunjukkan bahwa keterlibatan 30% penduduk yang berpenghasilan terendah sangat jauh berbeda dengan 30% penduduk yang berpenghasilan tertinggi dalam pengambilan keputusan tentang pembangunan jalan, pelayanan kesehatan, pengelolaan air, keamanan dan kebersihan lingkungan. Berbagai bentuk musyawarah pembangunan dan konsultasi publik dalam pengambilan keputusan hanya terbatas pada kalangan pemerintah dan kurang melibatkan masyarakat.
Praktek pengambilan keputusan dalam perencanaan anggaran juga tidak melibatkan masyarakat. Pembahasan anggaran hanya dilakukan secara tertutup dan terbatas oleh pemerintah dan parlemen. Kurangnya informasi mengenai proses tersebut menjadi salah satu penyebab rendahnya partisipasi masyarakat.
Partisipasi perempuan dalam perumusan kebijakan masih sangat terbatas. Secara umum, keterwakilan perempuan dalam lembaga legislatif yang diharapkan dapat memperjuangkan kepentingan perempuan, masih sangat kecil. Di tingkat masyarakat, perempuan sangat jarang dilibatkan dalam
104 | Ekonomi Pembangunan: Overview Indonesia Masa Krisis 1998 104 | Ekonomi Pembangunan: Overview Indonesia Masa Krisis 1998
Rendahnya partisipasi perempuan dalam legislatif disebabkan adanya pemaknaan yang berbeda atas kata “dapat” dalam pasal 65 ayat 1 UU Pemilu. Ketentuan 30% perempuan sebagai wakil partai dimaknai sebagai pilihan bukan keharusan sehingga perempuan yang dicalonkan belum tentu sebagai calon jadi. Selain itu, kuota 30% sering diartikan sebagai hadiah yang dapat membatalkan agenda strategis konstituen dan mereduksi perjuangan kesetaraan dan keadilan gender. Pembatasan kuota dan sistem kepegawaian yang netral gender telah mengakibatkan terbatasnya keterwakilan perempuan sebagai pengambil keputusan dalam lembaga tinggi negara.
Keberadaan para perempuan eksekutif dan legislatif diharapkan dapat membantu perumusan kebijakan, program, dan anggaran yang sensitif gender yang berkorelasi positif dengan penanggulangan kemiskinan. Ketidakterwakilan perempuan tersebut membuat mereka tidak dapat memperoleh informasi dan tidak dapat menyuarakan kebutuhan mereka. Hal ini juga berakibat perumusan kebijakan, porgram dan anggaran menjadi tidak sensitif gender dan mengabaikan permasalahan yang dihadapi oleh kaum perempuan khususnya perempuan miskin. Rendahnya partisipasi masyarakat miskin dalam perumusan kebijakan juga disebabkan oleh kurangnya informasi baik mengenai kebijakan yang akan dirumuskan maupun mekanisme perumusan yang memungkinkan keterlibatan mereka. Secara formal sosialisasi telah dilaksanakan, namun karena menggunakan sistem perwakilan, seringkali informasi yang diperlukan tidak sampai ke masyarakat miskin.